Minggu, 10 Januari 2016

1
AL-LUBAB FI ‘ULUMIL KITAB1
KARYA IMAM IBNU ADIL AL-HAMBALI
Oleh: Laila Mumtahanah2
Biografi Imam al-Mufassir Ibnu ‘Adil al-Hambali
A. Nasab, Kunyah, dan Laqabnya
Abu Hafs Umar bin Ali bin Sirajuddin ad-Dimasyqi al-Hambali an-Nu‟mani. “Ad-Dimasyqi” adalah Damaskus yaitu suatu negeri yang terkenal berada di kota Syam. Al-Hambali adalah nisbat yang diberikan atas pilihan para ulama, mereka mensifati dengannya, sebagai panutan mereka kepada mazhab al-Imam Abi Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani al-Marwazi, yaitu imam yang ahli hadits dan mazhabnya adalah salah satu penguat islam (dari 4 mazhab).
An-Nu‟mani adalah nisbat pada An-Nu‟maniyyah yaitu negeri antara Baghdad dan Wasith. Beliau telah pergi kesana dan menetap disana. Hal ini diterangkan oleh Ismail Basya al-Baghdadi dalam kitab Hidayah al-‘Arifin dan Kahalah.
B. Kelahirannya
Setelah meneliti kitab as-Siar wa al-A’lam tidak ditemukan tanggal lahirnya secara pasti, tetapi setiap orang yang membuat biografinya disebutkan bahwa ia hidup pada tahun 880H sebagaimana yang terdapat dalam nash az-Zarkali dalam kitab al-A’lam yaitu ketika Ustadz al-Muarrikh Umar Ridha Kahalah berpendapat bahwa Ibnu Adil meluangkan waktu untuk mengarang kitabnya ini pada bulan Ramadhan tahun 879H.
Namun ada yang berpendapat ia hidup sebelum itu, namun kitab as-Siar wa at-Tarajim (tentang biorgafinya) sudah tidak terjaga sehingga tidak ditemukan sedikit pun yang menyebutkan tentang sejarah kelahirannya kecuali kalimat yang sedikit yang kami datangkan dari nash az-Zarkali dan Kahalah.
C. Guru dan Muridnya
Kembali kepada apa yang ditulis oleh para imam yang tsiqat, tidak ditemukan orang yang menceritakan pada kami siapa yang mengambil keterangan kitab itu dari mereka atau karena adanya suatu kepentingan tertentu. Karya kitab ini tidak terbit hasil pengarangnya sendiri, maka sekiranya bahkan semestinya ia menyebarkan kepada orang-orang disekitarnya.
Kitabnya penuh dengan Ilmu dan pengetahuan juga Nukat Ilmiyah Daqiqiyah yang kami membuat kesimpulan bahwa ia bermulazamah pada syekh-syekh dan ulama-ulama untuk waktu yang lama sampai keluar pada kami contoh kitab yang agung ini.
Begitu juga dengan muridnya, dalam hal ini kami menyimpulakan bahwa ia adalah penerang bagi orang-orang pada masanya dalam bidang aqidah, syari‟ah, lughah, dan adab. Peneliti tafsirnya ini menemukan bukti apa yang telah dikatakan bahkan beri‟tikad dengan kuat pada bukti-bukti bahwa Ibnu „Adil selalu haus akan ilmu dan pengetahuan.
C. Mazhabnya
Imam Ibnu Adil adalah seorang imam tafsir, dan ia juga seorang ahli fikih dalam mazhab Hambali berdasarkan kemampuannya yang tinggi pada fikih Hambali. Dalam mazhabnya, Beliau memperluas pengetahuannya pada Madrasah Ali Qadamah al-Muqaddisiyyin dan Madrasah Ali Taimiyyah al-Haraniyyin, yang mana keduanya berpegang pada fikih Hambali. Yang menunjukan bahwasanya Ibnu Adil bermazhab Hambali adalah:
1 Salah satu tugas mata kuliah Membahas Kitab Tafsir II (Kontemporer)
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
2
karena penisbatannya pada nama lengkapnya dan Hasyiyahnya pada kitab al-Muharrar fi al-Fiqh al-Hambali karya Majuddin Ibnu Taimiyyah3.
D. Pujian Para Ulama kepadanya
Al-Alamah al-Khatib asy-Syarbini menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya yang dinamai as-Siraj al-Munir. Bahwasanya ia berpegang pada seluruh materi-materi ilmu karya para ulama yang paling mulia dan berwenang dalam ilmu tafsir dan diantara mereka yaitu Imam Ibnu Adil.
Al-Alamah az-Zarkali berkata setelah menyebutkan nasabnya..ia adalah pemilik kitab Tafsir al-Kabir. Dan al-Alamah Umar Ridha Kahalah: Ia adalah seorang mufassir. Yang lainnya mensifati dari naskah-naskah dengan “bahwa Ia adalah penutup para ulama” dan yang paling menguatkan: “Ia adalah seorang yang kamil”.
E. Karya-karyanya
Suatu penelitian yang yakin bahwa Imam Ibnu Adil al-Hambali adalah salah satu ulama pada masanya yang memberikan jiwanya dan manfaat bagi ilmu, cukup umurnya dalam pencapaiannya dalam bidang ilmu pengetahuan (at-Tahshil), penelitian (al-Bahts), pentahqiq-an, pengarangannya (tulisannya) (at-Tanmiq) sampai terpancar sumber-sumber ilmu pengetahuan dan berjalan cepat dalam menghasilkan ilmu dengan disusunnya karya-karyanya, penemuan-penemuan pada karyanya kebanyakan dalam bidangnya. Sehingga karya-karyanya ada yang tersebar, juga ada yang tidak tersebar, ada yang telah dibaca, ada yang menyalinnya, dan yang menyingkat kitab-kitab terdahulunya. Maka orang-orang menekuni kitab-kitabnya. Allah swt mengkhususkannya dalam bidang tafsir, hal itu telah tampak dan secara khusus kepada orang-orang yang sezaman dengannya. Adapun karya-karyanya diantaranya:
1. Al-Lubab fi Ulumil Qur’an yaitu yang kita bahas tahqiqnya. Menurut Abdul Hayyi Hasan bahwa terbit pertama kali dengan tahqiq dari 2 syekh yaitu „Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu‟awwid. Kemudian dihimpun dalam artikel-artikel ilmiyah, yang pertama: oleh Dr. Muhammad Sa‟ad Ramadhan Hasan dimana Ia mentahqiq surat Maryam ayat 95 sampai akhir al-Qashash. Yang kedua: Dr. Muhammad al-Mutawalli Dasuqi Harb, Ia mentahqiq surat al-Ankabut sampai al-Qamar4.
2. Hasyiyah ‘ala al-Muharrar fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam Ahmad bin Hambal
Ibnu Adil berkata dalam muqaddimah kitabnya: “Inilah kitab fiqh pada mazhab Imam Abi Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy-Syaibani”, lalu ia memperbaiki dan meringkasnya sampai disusun menjadi “al-Muharrar” yang kebanyakan dimuat ushul-ushul masalah yang kosong dari Illat-illat (menerangkan sebab-sebabnya) dan dalil-dalil. Ia bersungguh-sungguh dalam menetapkan lafadz-lafadz yang mudah bagi para murid yang menjaga kitabnya. Kami meminta kepada Allah adanya manfaat pada kitabnya untuk pertama kali dan terakhir. Agar memberi kami taufiq untuk kebenaran ucapan dan amal serta menjaganya dari kekeliruan dan kelemahan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengijabah do‟a.
F. Rujukan Tafsirnya
Rujukan Tafsir yang paling penting dalam tafsirnya adalah:Tafsir Thabari, Ma’alim at-Tanziil karya al-Baghawi, Tafsir al-Muharrar al-Wajiiz karya Ibnu Athiyyah, Tafsir al-Wasith karya al-Wahidi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim karya Ibnu Katsir, Tafsir an-Nukat wal
3 Abdul Hayyi Hasan Musa Abdul Majid, al-Imam Abu Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil al-Hambali al-Mutawaffa Sanatun 880H wa Manhajuhu fi at-Tafsir, Palestina: Jami‟ah an-Najah al-Wathaniyyah, 2003, hlm. 29
4 Abdul Hayyi Hasan Musa Abdul Majid, al-Imam Abu Hafs, hlm.32
3
‘Uyuun karya al-Mawaridi, al-Kasyaf karya Zamakhsyari, mafatih al-Ghaib: Ar-Razi,al-Jaami’ li Ahkamil Qur’an : al-Qurthubi, al-Bahr al-Muhith: Abi Hayyan, ad-Daaru al-Mashun fi ‘Ulumil Kitab al-Maknun karya Samin al-Halibi.
Rujukan Ulumul Qur‟annya, Ia berpegang pada kitab-kitab seperti: a-Wujuh wan Nazhair, Kutubul Qira’at:1. Sumber qira‟at yang mutawatir, Ia brpegang pada kitab alhujjah lil qura’is Sab’ah karya Abi Ali al-Farisi 2. Sumber Qira‟at yang Syadz, paling banyak hanya merujuk pada 2 kitab yaitu al-Muhtasib karya Ibnu al-Jani dan Mukhtashar fi Syawadzil Qur’an karya Ibnu Khalwiyah. 3. Asbabun Nuzul yang merupakan rujukan yang paling penting dalam tafsirnya yaitu Asbabun Nuzul karya Al-Wahidi, diantara ayat yang diberikan asbabun nuzul karya al-Wahidi adalah qs. An-Nisa ayat 22.
Rujukan Kitab Hadits yaitu 1.Shahih Bukhari; 2.Shahih Muslim; 3.Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dan Ibnu Majah; 4.Sunan Abu Daud dan Ibnu Majah; 5.Sunan Abu Daud; 6.Sunan Ibnu Majah; 7. Sunan Tirmidzi 8. Dunan Ad-Daruquthni 9. Sunan Ad-Darimi 10. Muwatha Malik. Adapun Kitab-kitab Sirahnya: Ibnu Adil adalah salah satu ahli tafsir yang menjadikan sirah berkedudukan penting dalam memperolehnya untuk menafsirkan, karena akan diperoleh tafsir „ilmi yang banyak dari sirah pada ayat-ayat Qur‟an, contohnya Ia merujuk pada Muqaddimah Sirah Ibnu Ishaq yaitu pendapatnya Ibnu Hisyam. Yang terkadang Ia menisbatkan kepadanya, terkadang pada imam sirah yang lainnya. Diantara ayat yang dijelaskan sirah kepadanya yaitu:Ketika menafsirkan Surat al-Anfal ayat 5, at-Taubah ayat , al-Hajj: 26.
Rujukan Kitab Fikihnya: Ibnu Adil adalah seorang ahli fiqh yang bermazhab Hambali yang disandarkan pada keberadaannya sebagai ahli tafsir. Ia memiliki kesungguhan dalam ilmu fiqh, ditunjukan pada hasyiyahnya kitab al-Muharrar karya Ibnu Taimiyyah yang senantiasa dijadikan makhtutah sampai sekarang diperlihatkan tahqiqnya dan dikeluarkan kepada semua orang. Walaupun Ia adalah ahli fiqh mazhab Hambali, namun Ia juga memiliki pengetahuan luas pada mazhab-mazhab lainnnya.
Ketika Ia menyandarkan rujukan yang Ia peroleh, maka pada umumnya Ia hanya menyandarkan pada mazhab atau pemilik kitab yang Ia rujuk, tidak membatasi pada penyusun atau kitab yang jadi rujukannya. Contohnya: Ia berkata: Qaala asy-Syafi’i…’inda asy-Syaafi’i. terkadang Ia menjelaskan pendapat Jumhur Ulama dengan perkataan:wa ‘indal Jumhur…Qaala Jumhur…meskipun Ia tak suka sedikitnya menyandarkan pada kitab-kitab fiqh atau pengarang kitab Fiqh, namun Ia adalah orang yang dapat dipercaya dalam menyandarkan pada mazhab-mazhab dan pemilik mazhab pada umumnya.
Adapun rujukan kitab fiqhnya yaitu: 1. Fiqh Hanafi: Ahkamul Qur’an karya al-Jashosh 2. Fiqh Maliki: Ahkamul Qur’an karya Ibnu al-„Arabi al-Maliki 3. Fiqh Syafi‟i: al-Umm karya asy-Syafi‟I, ahkamul Qur’an karya Kiya al-Harasi 4. Fiqh Hambali: Rasa-il Syeikh Islam Ibnu Taimiyah.
Rujukan Kitab Ushul Fiqh: al-Mahshul karya Imam ar-Razi. Rujukan Kitab Aqidah: mafatih al-Ghaib karya Imam ar-Razi. Rujukan dalam Kitab Lughah dan Nahwiyah: al-Kitaabu liSabawaih, Ma’anil Qur’an li az-Zujaj, at-Tibyan fi I’rabil Qur’an karya Abi al-Baqa‟ al-„Ikbaari, Ma‟anil Qur‟an karya al-Fara‟, Musykilkun I’rabil Qur’an karya Maki bin Abi Thalib, Mufradat li I’rabil Qur’an karya ar-Raghib al-Asfahani, dan 2 kitab lainnya. 5.
G. Wafatnya
Sebagaimana halnya pendapat tentang hari kelahirannya, hari wafatnya pun tidak ditemukan dalam kitab as-Siyar wa al-A’lam. Dan tidak disebutkan sejarah wafatnya6. Namun, dalam kitab tahqiqnya disebutkan bahwa al-Alamah al-Mu-arrikh Umar Ridha
5 Ibid, hlm35-67
6 Ibid, hlm.26
4
Kahalah (Mu’jam al-Muallifin) menetapkan ketika al-Alamah az-Zarkali (Kitab al-A’lam) berpendapat bahwa Ibnu Adil wafat setelah tahun 880H.
Seputar Kitabnya
A. Kutipan Sya’ir dalam Kitabnya
Kutipan-kutipan syair al-Alamah Ibnu Adil menduduki posisi yang tinggi dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwiyah. Maka kami beranggapan bahwa kebanyakan hujjahnya dengan syair ini yaitu di waktu menjelaskan makna-makna lafadz al-Qur‟an. Tidak diperoleh kalimat dari segi I‟rabnya kecuali datang dengan suatu kutipan dari kutipan-kutipan bahasa arab. Ia membandingkan untuk menjelaskan makna bahasa yang asing, ia menjelaskan bahasanya dan memperluasnya.
Sebagaimana ia membuat kutipan pada tiap hal itu, yang kebanyakan dengan syair-syair yang berdalil shahih terhadap apa yang diriwayatkannya. Ia menyingkap hal-hal yang samar dari masalah nahwiyah, menjelaskan perbedaan pendapat diantara para Ahli nahwiyah, mentarjih pendapat yang lain, mengkaji dari segi sharafnya dan dengan ungkapan yang ringkas. Sesungguhnya kitab ini dipenuhi dengan kutipan-kutipan syair yang dibantu oleh ahli tata bahasa balaghah dengan pemahamannya yang mendalam.
B. Hadits dalam al-Lubab
Tidak diragukan lagi bahwa ucapan Nabi saw secara khusus akan menyinari pada pembahasan untuk mengetahui hukum-hukum syara‟ dan bahasa, maka kebanyakan apa yang dikutip Ibnu Adil itu adalah hadits Nabi dalam penetapannya. Para Ulama ahli bahasa arab telah sepakat dalam menetapkan lafadz-lafadz bahasa, dan menetapkan ushul-ushul nahwu yang merujuk kepada al-Qur‟an dan ucapan bahasa arab yang asli (murni). Ibnu Adil pun mengikuti kelompok yang mengutip Hadits Nabi saw.
Kelompok ini berpendapat bahwa pentingnya berhujjah dengan hadits dalam bidang bahasa, bahkan berpegang pada ushul-ushul yang kembali kepada para ulama dalam mentahqiq lafadz-lafadz dan menetapkan kaidah-kaidahnya. Ulama yang masuk dibawah pimpinan mazhab ini adalah Ibnu malik, Ibnu hisyam, al-Badru ad-Dimamini dalam syarahnya at-Tashil, Ibnu ath-Thaib dalam syarahnya al-Iqtirah. Diantara orang yang membantu mazhab ini juga yaitu Ibnu Hunay, Ibnu Bari, Ibnu Faris, Ibnu Kharuf, Ibnu Saidih, dan yang lainnya dari para ulama ahli bahasa arab yang mulia.
Satu fasal dalam kitab Milal wa an-Nihal disebutkan bahwa Filosofi kelompok ini yaitu bersandar pada:”Bahwa Nabi adalah orang yang paling fasih lahjah bahasa arabnya, yang paling bagus bicara dalam bahasa arabnya, yang paling tahu tentang lafadz-lafadz dan lahjahnya”.
Kesimpulan: Harus menyantumkan hadits-hadits Nabi saw seperti dalil-dalil untuk menetapkan hukum bahasa, menyebutkan keterangan atau pendapat (kutipan-kutipan) dalam bidang nahwiyah. Pendapat mayoritas Imam ahli bahasa seperti Abi Manshur al-Azhari dalam kitabnya at-Tahdzib, Ibnu al-Hajj dalam Syarah al-Muqarib, Ibnu al-Khabaz dalam Syarah Alfiyah Ibnu Muthi’, Abi Ali Asy-Syalubin, dan ulama lainnya dalam bidang bahasa: Mereka mengutip hadits-hadits dalam masalah bahasa dan nahwiyah.
C. Penisbatan Kitab kepada Pengarangnya
Penyusun kitab al-Lubab ini tidak diragukan lagi bahwa kitab itu adalah tulisan tangan al-Alamah Ibnu Adil sebagai kumpulan sumber-sumber bagi yang membuat tarjamahnya. Pendapat para Ulama:
1. Haji Khalifah berkata: “al-Lubab fi Ulumil Kitab” terdapat 6 jilid karya Sirajuddin bin Adil Abi Hafs bin Ali.
5
2. Menurut Al-Alamah Ismail Basya al-Baghdadi dan al-Alamah Umar Ridha Kahalah: Orang yang menyusun kitab “al-Lubab fi Ulumil Kitab” meluangkan waktu dalam menyusunnya pada bulan Ramadhan tahun 879H
3. Menurut al-Ustadz Khairuddin az-Zarkali dalam kitab al-A’lam: Ia pemilik kitab at-Tafsir al-Kabir yaitu kitab “al-Lubab fi Ulumil Kitab”.
4. Alasan lain: Ia adalah pemilik nash pada awal (muqaddimah) kitabnya disebutkan: Ini adalah kitab yang dikumpulkan dari pendapat para ulama dalam ulumul qur‟an dan dinamai “al-Lubab fi Ulumil Kitab”. Dan macam-macam tulisannya ditetapkan pada sampul manuskrip. Dikumpulkan dalam fahras Darul Kutub alMashriyah, Ma‟had al-Makhthuthah dan Zhahiriyah Damaskus, dan lainnya. Ada kitab karya salah satu ulama senior yang mengambil rujukan padanya, seperti: al-Alamah Syeikh al-Muhaqqiqin dan Umdah para Imam al-Mudaqqiqin Syeikh Sulaiman al-Bujairimi ia berkata dalam kitabnya yang dinamai Tuhfatul Habib ‘ala Syarhi al-Khatab pada fasal ath-Thalaq…”Dalam Tafsir Ibnu Adil diriwayatkan oleh ‘Urwah bin az-Zubair ia berkata:Orang-orang pada awalnya mentalaq tanpa ada batas dan tidak terhitung, laki-laki mentalaq istrinya jika telah dekat akhir iddahnya lalu ruju’ kembali padanya. Kemudian ditalaq lagi dan ruju’ kembali dengan maksud memadharatkannya. Maka turun ayat: …”ath-Thallaaqu marratan…”{Talaq yang dapat diruju’ dua kali} (Qs.al-Baqarah:229). Diriwayatkan bahwa laki-laki pada zaman jahiliyyah yang mentalaq istrinya kemudian ruju’ lagi sebelum selesai iddahnya, walaupun mereka lakukan 1000 kali. Rujukan yang menetapkan hal ini adalah: Telah datang seorang perempuan kepada Aisyah, maka ia mengadu bahwa suaminya mentalaqnya dan ruju’ lagi padanya, ia berusaha memadharatkannya. Lalu Aisyah menceritakan hal itu kepada Rasul saw. Lalu turun firman Allah swt: …”ath-Thallaaqu marratan…” (Qs.al-Baqarah:229) maksudnya: Talaq yang mampu ruju’ kembali setelah mentalaq dua kali.
D. Sistematika Penulisan dalam Kitabnya:
Diawali dengan Muqaddimah yang membahas beberapa point yaitu:Keterangan zaman pada masa Ibnu Adil
1. Kondisi politik: pada masa Daulah al-Mumallik al-Barjiyyah
2. Kondisi Kemasyarakatannya pada masa khalifah al-Jarakisah
3. Kondisi Peradilan pada masa khalifah al-Jarakisah
4. Kondisi wawasan kelimuan dan Pengetahuan pada masa khalifah al-Jarakisah
Lalu di sebutkan “seputar Biografi Imam Ibnu Adil” dari mulai: Nasab, Kunyah, laqab, Kelahirannya, Guru dan Muridnya, Wafatnya, Pujian para Ulama kepadanya, Karya-karyanya, dan Wafatnya. Setelah itu, dibahas secara mendalam tentang “Tafsir dan Ta‟wil” yaitu: Tafsir secara bahasa dan istilah, Ta‟wil secara bahasa dan istilah, Perbedaan Tafsir dan Ta‟wil, Kebutuhan manusia akan Tafsir, Pemahaman Sahabat tentang al-Qur‟an, Mufassir Sahabat yang paling termasyur, Berharganya Tafsir bil ma’tsur: para Sahabat, Tabi‟in. Penamaan Tafsir pada periode itu, Tafsir pada masa Pengkodifikasian, Macam-macam Tafsir, Seputar Kitab: Kutipan Sya‟ir dalam Kitabnya, Hadits dalam al-Lubab, Penisbatan Kitab pada Penyusun al-Lubab, Pensifatan naskah Kitab al-Lubab fi ulumil Kitab. Kemudian dilanjutkan pada Penafsirannya: dari Tafsir surat al-Fatihah sampai an-Nas.
E. Metode Penafsiran dalam Kitabnya
Metode: Dalam menyusun tafsirnya, Ibnu Adil sama seperti ulama lainnya yaitu sesuai tartib al-Qur‟an dari surat al-Fatihah sampai an-Nass. Sebelum menjelaskan tafsirnya, Beliau menyebutkan makiyyah dan madaniyyah surat yang akan ia tafsirkan, jumlah ayat dan hurufnya. Contohnya, sebelum menjelaskan tafsir surat al-Hajj, Ia berkata: Surat al-Hajj itu
6
Makiyyah kecuali 6 ayatnya diturunkan di madinah yaitu dari ayat 19-24. Terdapat 78 ayat, 2291 kalimat, dan 5075 huruf.
Tafsir Ibnu Adil digambarkan termasuk “Tafir Tafshili (Penjelasan secara mendetail)” yaitu mendatangkan beberapa ayat atau satu ayat yang memiliki satu tema pada suatu surat, kemudian dijelaskan tafsirnya berupa penjelasan lughah, nahwu, qira‟at, asbabun nuzul, Wujuh wan Nazhair, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tafsirnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para Mufassir lainnya seperti al-Qurthubi, Ibnu Athiyyah, Abu Hayyan, dan lainnya. Contohnya, ketika menafsirkan qs. Al-Baqarah ayat 67-73. Ia mendatangkan semua ayat yang berkaitan dengan satu tema yaitu tentang Nabi Musa yang diperintah oleh Allah untuk menyembelih sapi betina.
Ibnu Adil mendatangkan suatu surat, lalu menafsirkannya sesuai tema. Ia tidak meninggalkan satu ayat pun kecuali jika ia telah mengulang ayat itu pada surat itu sendiri. Maka cukup menafsirkan satu kali saja. Contohnya ketika menafsirkan surat al-Mursalat:19 Wailuy Yaumaidzil lil Mukadzdzibin . ayat ini terulang 9 kali. Maka ia cukup menafsirkan satu kali saja.
Ia juga sering melewatkan sebagian ayat, khususnya jika mengulang ayat-ayat mutasyabihat atau perkara-perkara yang banyak. Ayat yang dilewat ini biasanya tafsirnya telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu. Adapun yang tafsirnya dijelaskan diakhir itu jarang. Contohnya ketika menafsirkan surat al-Mu‟minun ayat 11 Alladziina yaritsuunal firdaus hum fiiha khaaliduun . katanya: pembahasan tentang firdaus telah dikemukakan pada surat al-Kahfi.
Pengetahuan yang berharga yang tampak dalam tafsir Ibnu Adil itu luas, khususnya dalam aspek lughah dan nahwiyah. Dimana Ia menyebutkan perbedaan pendapat para ahli nahwiyah dan lughah. Ia banyak sekali mengemukakan kutipan-kutipan dari segi nahwu dan lughah, jalur periwayatan yang banyak dalam segi qira‟at baik yang mutawatir atau syadz, menyebutkan kisah-kisah, memperhatikan urusan fikih dengan menyebutkan berbagai pendapat dari setiap mazhab dengan jalur yang banyak. Sebagaimana perhatiannya juga dengan keinginannya mendebat dan menolak orang-orang yang menyimpang dan sesat seperti mu‟tazilah, murji‟ah, dan lainnya.
Ibnu Adil dalam menafsirkan beberapa ayat atau satu ayat yang memiliki satu tema itu tidaklah mudah dilakukan karena hanya berdasarkan satu jalan saja. Dimana harus menafsirkan dari segi asbabun nuzulnya, munasabah, qira‟at dan balaghah.
Ia meletakkan diakhir setiap suratnya suatu hadits keutamaan surat itu, haditsnya ada yang shahih, hasan, dlaif7.
Pada sumber lain dikatakan, Dibuat fasal-fasal yang banyak mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan nahwiyah, aqidah, fiqh, wa’zhiyah (nasehat-nasehat), dan lain sebagainya.dan sungguh telah datang pada kitab ini dalam bentuk mausu’ah ilmiyah tentang ulumul qur‟an, tafsir dan penjelasannya8.
Menggabungkan antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir ra’yu, Pertama: Ibnu Adil menafsirkan dengan tafsir bil ma’tsur, lalu jika sulit karena hanya melalui satu jalan saja, maka kemudian ia menafsirkan dengan tafsir bir ra’yu. Adapun tafsir bir ra’yu nya pun tidak keluar dari kaidah syarat-syarat penafsiran yang dilakukan para mufassirin, tidak menggunakan akal yang tidak berlandaskan pada nash, dan menolak orang yang menafsirkan dengan hawa nafsunya, seperti firqah-firqah yang menyimpang9.
F. Manhaj Ibnu Adil tentang Tafsir Kisah-kisah al-Qur’an dan Posisi Israiliyyat dalam Tafsirnya
7 Ibid, hlm. 68-73
8 http://hanabila.blogspot.com/2009/09/blog-post_23.html
9 Abdul Hayyi Hasan Musa Abdul Majid, al-Imam Abu Hafs, hlm.74
7
Didalam muqaddimah kitab tafsirnya tidak dijelaskan mengenai manhaj, thuruq, dan posisi israiliyyatnya seperti apa. Hanya terdapat ungkapan:” Kami meminta kepada Allah agar memberi kami taufiq untuk kebenaran ucapan dan amal serta menjaganya dari kekeliruan dan kelemahan.”.
Mengenai kekosongan yang tampak pada tafsirnya, memungkinkan kita untuk menentukan manhajnya tentang kisah-kisah al-Qur‟an dan Israiliyyat dalam bentuk yang khusus berikut ini: Terkadang menafsirkan sebagian ayat dengan israiliyyat yang datang sesuai syari‟at kita, contohnya menentukan nama seorang hamba yang menemukan Nabi Musa dengan Nabi Khidir; Menolak israiliyyat yang mencela para Nabi dan menjelekkan kema‟shuman mereka, contohnya: dalam surat Shad:33 "Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku". lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. Jenis-jenis ini diantara dosa-dosa besar yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman dan lafadz al-Qur'‟n itu tidak memberi petunjuk sedikitpun darinya10.
Tujuan Penafsirannya Agar membawa kebahagian dengan memuliakan berkhidmat pada kitab Allah swt11.
G. Contoh Tafsirnya
Allah swt berfirman:
            
              
  
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya12 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Qs.an-Nisa‟:1)
Allah swt memulai surat ini dengan bersikap lembut pada wanita dan anak yatim, disebutkan pada ayat tersebut hukum-hukum yang banyak di bagian penutup ayat dan tugas yang berat bagi tiap jiwa ini dibuka dengan perintah bertaqwa yang meliputi setiap kebaikan.
Dalam Tafsir ar-Razi (128/9) disebutkan bahwa sebagian mufassirin berpendapat: Dari Ibnu Abbas pada firmanNya: ياأيها الناس sesungguhnya khitab ini untuk penduduk Makkah.
Adapun Ahli Ushuliyyin diantara musfassirinnya bersepakat bahwasanya khitab itu umum untuk seluruh mukallaf, dan pendapat inilah yang paling shahih. Sesungguhnya lafadz an-Nass itu jama‟ yaitu masuknya alif dan Nun yang berfaedah al-Istighraq, dan memberikan illat perintah untuk bertaqwa karena Allah menciptakan mereka dari satu jiwa. Inilah illat yang terdapat pada semua mukallaf. Dan juga yang ditugasi bertaqwa itu tidak khusus bagi
10 Abdul Hayyi Hasan Musa Abdul Majid, al-Imam Abu Hafs, hlm.104-105
11 Ibid, hlm.231
12 Maksud “dari padanya” menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan “dari padanya” ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
8
penduduk Makkah saja, tapi umum. Jika lafadz an-Nass umum, perintah bertaqwa juga umum serta illat taklif ini umum pula, maka tidak ada suatu bentuk pengkhususan.
Sedangkan hujjah Ibnu Abbas itu adalah pada firman Allah swt: نولءاست يذلا للها اوقتاو
به و الأرحام . Lafadz ayat ini dikhususkan bagi bangsa Arab karena permohonannya dengan mengatasnamakan Allah dan menjaga silaturahmi yang merupakan adat yang dikhususkan kepada mereka. Mereka berkata: “Saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah dan (perihalalah) silaturahmi”13. Jika keadaannya seperti ini, maka firmanNya واتقوا الله الذي
تساءلون به و الأرحام itu dikhususkan bagi orang arab dan FirmanNya ياأيها الناس dikhususkan pada mereka yaitu ditujukan pada satu khitab. Maka memungkinkan jawabannya: “Bahwa pengkhususan ayat lain tidak menolak dari keumuman ayat”.
Fasal
Ketahuilah bahwa Allah swt menjadikan pembukaan ayat ini pada 2 surat dalam al-Qur‟an:
1. Surat an-Nisa diantara setengah awal dari al-Qur‟an yang memberikan illat perintah bertaqwa pada kedua surat tersebut, dengan menunjukan pengetahuan tentang “permulaan” bahwa Allah menciptakan makhluqnya dari satu jiwa. Maka hal ini menunjukan kesempurnaan kuasa, ilmu, dan hikmah penciptanya.
2. Surat al-Hajj diantara setengah kedua dari al-Qur‟an yang memberikan illat perintah bertaqwa padaNya, dengan menunjukan pengetahuan “tempat kembali”. Inilah rahasia suatu ayat yang agung.
Lafadz من نفس berkaitan dengan lafadz خلقكم yaitu menempati tempat nasab. Dan kata من untuk al-Ibtida’ al-Ghayah, begitu juga lafadz ومنها زوجها وبث منهما . Kebanyakan kata wahidah itu dengan ta’ ta’nits. Kesepakatan kaum muslim bahwa maksud باالنفس الواحدة
disana yaitu diri Nabi Adam as, kecuali kata al-wahidah itu memuanatskan sifat pada lafadz an-Nafs seperti firman Allah swt dalam qs.al-Kahfi ayat 74:
...




...
Menurut Ibnu Abi „Alabah bahwa kata waahid itu tanpa ta’ ta’nits yang padanya ada 2 bentuk:
1. Muraa’ah Lafadz bil Ma’na: bahwa kata itu maksudnya diri Nabi Adam as
2. Bahwa kata an-Nafs mudzakkar dan mu‟annats
1726-Tsalaatsatu Anfusin wa Tsalaatsa Dzawdin Laqad Jaara az-zamaanu ‘ala ‘Iyaali.
Dan lafadz wa khalaqa ada 3 bentuk:
1. Bahwa lafadz itu athaf pada kata waahidah dan kata itu dari makna al-fi’lu. Seolah-olah dikatakan: “min nafsi wahidat” yaitu Infaradat (tunggal), disebut:”Rajulun wahuda yahidu wahdan wahidatan”.
2. Bahwa lafadz itu adalah athaf yang dibuang
Zamakhsyari berkata: “Seolah-olah dikatakan: Dari satu jiwa yang menumbuhkannya dan memulainya serta diciptakan dari padanya, hanyasanya dibuang sebagai dilalah ma’na padanya. Dan makna mencabangkan kalian “dari satu jiwa” ini adalah sifatnya”. “dengan sifatnya”: yaitu menjelaskan dan memperinci tata cara penciptaan kalian. Sesungguhnya
13 Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
9
Zamakhsyari mengartikannya dan berpendapat bahwa sebelumnya mengenai hal itu disebut Muraa’ah at-Tartib al-Wujuudi, karena penciptaan Hawa itu digambarkan “dari padanya” yaitu pada istrinya--sebelum kami menciptakannya.
3. Athaf pada lafadz Khalaqakum yang masuk pada tempat yang berhubungan beserta wau, tapi tidak diperhatikan ketika tidak ditunjukan susunannya. Kecuali Zamakhsyari mengkhususkan bentuk ini dengan khitab (lil mu’minin) pada lafadz Yaa ayyuhannaas untuk zaman Rasul. Maka Zamakhsyari berkata: Yang keduanya yaitu bahwa lafadz itu diathafkan pada lafadz khalaqakum yang khitabnya bagi orang-orang yang telah diutus Rasul. Adapun makna: Khalaqakum min nafsin Aadama yaitu diantara Jumlah al-Jinsu (kalimat sejenis) yang difuru‟kan dari Adam14 dan diciptakan dari Adam, ibu kalian yaitu Hawa.
Maka tampaklah pengkhususan pada bentuk kedua ini, sesungguhnya khitab itu bagi beberapa zaman, setelah ditinjau, lalu ditunjukan “sebagian mereka” itu dengan mudhaf pada kata منها yaitu من جنسها زوجها hal ini adalah perkataan Abi Muslim. Ia berkata: ayat ini seperti firman Allah swt dalam qs.an-Nahl ayat 72






...
Juga pada surat Ali-Imran ayat 164 dan at-Taubah ayat 28. Ia berkata: Hawa tidak diciptakan dari diri Nabi Adam as, hawa hanya diciptakan dari tanah sisa dari tanah Nabi Adam. Al-Qadli berkata15: Pendapat pertama yang lebih kuat seperti pada firmanNya Wa Khalaqakum min Nafsiw Waahidah. Ibnu al-Khatib berkata: “Kemungkinan jawabannya bahwa huruf min sebagai al-Ibtida’ al-Ghayah yaitu permulaan penciptaan yang terjadi pada Adam yang benar untuk disebut Khalaqakum min Nafsiw Waahidah, dan kemampuan menciptakan Adam dari tanah itu juga, kemampuan menciptakan Hawa dari tanah16. Jika seperti itu, maka artinya faedah pada penciptaan hawa itu dari tulang rusuk diantara tulang rusuk Nabi Adam”.
Dibaca “ خال ق وبا ث ”17 dengan lafadz Isim Fa‟il, Zamakhsyari meriwayatkan bahwa kedua kata itu Khabar untuk Mubtada‟ yang dibuang yaitu: خالقٌ وبا ث . Disebutkan: Batstsa wa Abatstsa maknanya Farraqa (menyebarkan). Disebutkan: بثّ الخيل في الغارة (menyebarkan kuda untuk menyerang). Allah swt berfirman:



dan permadani-permadani yang terhampar.(Qs.al-Ghasyiyyah:16)
Maka jika dikatakan: Apa hubungan antara perintah bertaqwa dan apa yang disebut bersama dari sifatNya? Jawabannya: Terhadap apa yang disebutkan bahwa Allah menciptakan kita dari satu jiwa, hal itu yang memberikan alasan tentang wajibnya melaksanakan tugas yang dibebani kepada kita. Karena kita adalah hambanya dan Dia adalah tuan kita. Hamba wajib patuh pada tuannya, karena Dia yang telah memberi kita nikmat dan memberi rasa aman dengan berbagai bentuk kenikmatan dan pengamananNya. Dialah yang Maha Mengadakan, Maha Menghidupkan, Maha Mengajarkan, dan Maha Memberi Petunjuk. Nikmat tersebut agar bisa diterima oleh hamba-hamba dengan berbagai jenis ketundukan, karena Allah itu adalah Yang Maha Mengadakan, Maha Menciptakan, Maha Memiliki yang
14 Tafsir ar-Razi (131/9)
15 (sebagai tambahan rawi untuk agar sempurnanya makna)
16 Al-Kasyaf (462/1), ad-Daarul Mashun (296/2)
17 Ibid
10
wajib kita ibadahi, melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Merupakan suatu kemestian untuk beribadah, dan tiada yang diperoleh atas perbuatan kita kecuali pahala.
Sesungguhnya” kita diciptakan dari satu jiwa”, hal ini menyebabkan kita wajib taat kepadaNya. Karena penciptaan kita menunjukkan kesempurnaan kekuasaanNya, dan walaupun tabiat tersebut dilahirkan dari manusia. Kecuali manusia dapat membuat suatu variasi dan menyerupai penciptaaan Allah dan tabi‟at-tabi‟at manusianya, juga ketika manusia berselisih tentang sifat dan warna kulit (bayi yang dilahirkan). Hal ini menunjukan bahwa Allah Yang Berkuasa, Maha Memilihkan (rupa), dan Maha Mengetahui. PerintahNya agar bertaqwa, berbuat baik pada anak yatim, istri-istri, kaum dlu‟afa itu karena Allah akan membalasnya. Maka diantara manusia ada hubungan dan kedekatan, sehingga menambah rasa cinta. Maka Ia berkata: lafadz Min Nafsiw Waahidah untuk memperkuat kasih sayang sebagian kita dengan sebagian yang lainnya.
Lalu kenapa tidak disebut وبثَّ منهما الرجال و النساء ? Jawabannya: karena lafadz tersebut menunjukan laki-laki dan perempuan itu tersebar dari pada diri-diri keduanya (Adam dan Hawa). Maka disinilah keadilan Allah pada lafadz:
    
Kata “كثيرًا ” ada 2 bentuk:
1. Berkedudukan sebagai Na’at (sifat) pada kata ar-Rijaal. Abu al-Baqa berkata: Tidak menjadikannya mu‟annats (berjenis perempuan) yang menjadi beban pada pemaknaan. Ar-Rijaal maknanya berbilang (‘adad), jama‟, jenis kelamin (jins). Seperti disebutkan fi‟il musnadnya pada sekelompok yang berjenis perempuan (Qs.Yusuf:30).
2. Berkedudukan sebagai Na’at pada Mashdar, taqdiruhu: وبث منهما بثا كثيرا .
Maka jika dikatakan; Kenapa lafadz itu hanya mengkhususkan pada ar-Rijaal saja mengenai sifat yang banyak dan tanpa an-Nisa? Jawabannya ada 2 (dalam Kitab Darul Mashun):
1. Sesungguhnya lafadz tersebut dibuang “sifat” pada perempuannya sebagai dalil pada yang sebelumnya. Taqdiruhu: ونساء كثيرة .
2. Laki-laki itu masyhur (lebih dikenal), maka sesuai pada lafadz tersebut. Berbeda dengan perempuan yang sesuai dengan ketidakmasyhurannya dan tersembunyi
Kata تسا~ءلون dibaca oleh al-Kuffiyyin: تساءلون yaitu: mentakhfifkan sin dengan dibuangnya salah satu huruf ta’ , asalnya: Tatasaa-aluuna. Kata تساءلون yang berwazan Tafaa’ala ada 2 bentuk:
1. Al-Musyarakah pada kata as-Su-aal
2. Maknanya “fa’ala” yang menunjukan pada qira‟at Abdullah
Kata والأرحام kebanyakan yang menasabkan mim, padanya ada dua bentuk:
1. Athaf pada lafadz Jalalah, yaitu: “واتقوا الأرحام ” : Jangan memutuskannya. Sebagian mereka mengiranya sebagai mudhaf : قطْعَ الأرحا م . Dikatakan: Sesungguhnya pada hal ini hakikatnya diantara Athaf yang dikhususkan atas keumumannya, bahwasanya makna ittaqullaah : takut pada pelanggarannya dan memutuskan silaturahim. Ini adalah pendapat Mujahid, Qatadah, as-Sadi, adl-Dlahak, al-Farra, dan az-Zujjaj.
11
Menurut al-Wahidi: Boleh keadaannya mansub bil al-Ighra’, yaitu: silaturahim itu dijaga dan disambungkan. Hal ini menunjukan keharaman memutuskan silaturahim dan wajib menyambungkannya.
2. Diathafkan pada tempat Jar majrur yaitu pada kata به . Hal ini dikuatkan pada bacaan Abdullah:
وبا لأرحام
lafadz:
     
Sesungguhnya lafadz diatas adalah hikayat dari “suatu perbuatan”, mereka melakukan perbuatan itu pada zaman jahiliyyah, karena mereka berkata: “Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan (perihalalah) hubungan silaturahim”. Datang perbuatan ini pada masa dahulu, dan tidak menafikan pelarangannya pada masa yang akan datang. Larangan itu ditujukan pada “bersumpah kepada nenek moyang mereka” saja, lafadz disini bukanlah seperti itu tetapi yang pertama bersumpah dengan nama Allah, kemudian disertai setelahnya menyebutkan “(periharalah) hubungan silaturahim”. Inilah hal yang tidak dinafikan dan yang ditunjukan oleh hadits.
Hamzah adalah salah satu imam qira‟at yang tujuh, telah tampak bahwa Ia tidak mendatangkan qira‟at ini dari dirinya sendiri, tapi Ia meriwayatkannya dari Rasulullah saw.
Faedahnya:
1. Menguatkan suatu perintah dan anjuran (melaksanakan perintah itu)
2. Perintah yang pertama itu umum tentang “taqwa”, perintah kedua khusus pada sebagian meminta kepada sebagian yang lainnya
3. Kata Ittaquu Rabbakumu dan ar-Rabbu menunjukan pada hal” pendidikan” dan “berbuat baik (ihsan)”, kata Ittaqullah dan al-Ilaah menunjukan pada hal kemenangan (al-Ghalabah) dan kekuasaan. Perintah pertama untuk bertaqwa menetapkan pada at-Targhib, perintah kedua pada at-Tarhib. Jadi seolah-olah dikatakan:”Bertaqwalah pada Allah karena sesungguhnya Dia adalah Rabbmu, berbuat baiklah apda dirimu sendiri, takutilah pelanggarannya, karena Ia amat keras siksaanNya dan Yang besar kekuasaanNya”.
firmanNya:
    
Kata Raqiiba berwazan fa’iilun lil Mubaalaghah dari kata raqaba yarqubu raqban, waruquuban, wa riqbaanan. Ar-Raaqib yaitu al-Muraaqib yang menjaga seluruh perbuatan-perbuatanmu dan digunakan pada sifat Allah (al-Hafiidz). Sedangkan al-Marqabu: Tempat yang tinggi dan mulia berdirinya Yang Maha Menjaga.
Fasal
Ayat itu menunjukan keagungan hak silaturahim dam menguatkan larangan dari memutuskannya. Allah swt berfirman: (Qs. Muhammad:20, at-Taubah:10, dan al-Isra‟:33). Nabi saw bersabda: Dari Abdurrahman bin Auf RA, ia berkata, "Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman, "Akulah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan Aku telah memberinya nama dari salah satu nama-Ku, maka barangsiapa yang telah menyambungnya, maka Aku telah menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Aku telah memutuskannya.” (shahih.)(HR. Abu Daud, Kitab Zakat, Bab Fi Silaturahim)
12
Fasal
Umat bersepakat bahwa silaturahmi itu wajib, dan memutuskannya adalah haram. Sungguh telah menshahkannya bahwa ketika Rasulullah berkata kepada Asma‟, sungguh Asma‟ meminta pendapat Rasul saw: apakah aku harus menjalin hubungan dengan ibuku?" Beliau menjawab: "Ya, sambunglah silaturrahim dengan ibumu".(HR.Bukhari, Kitab Hibah, Bab al-Hibah lilMusyrik). Nabi memerintahkan kepada Asma‟ agar tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Walaupun ia seorang yang kafir, maka Nabi menguatkannya dengan fadilah menjalin hubungan dengan orang kafir sampai selesai. Hal ini menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta orang yang menyetujui mereka pada “yang akan mewarisi pada yang memiliki kekerabatan, jika tidak ada „ashabah. Adapun memerdekakan hamba sahaya pada orang yang telah membelinya dari yang memiliki kekerabatan dengan mereka untuk menghormati kekerabatannya. Dari Ibnu Umar, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa memiliki kekerabatan terhadap seorang muhrim, maka berarti ia merdeka." Shahih (HR.Ibnu Majah, Kitab al-Itq, Bab Man malaka Dza Rahimin Mahrom Fahuwa Hurrun). Pendapat ini adalah pendapat yang paling banyak di kalangann ahli ilmu, diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas‟ud, dan tidaka diketahui para sahabat yang menyelisihi keduanya.
Data kitabnya:
]اللباب في علوم الكتاب[
الدؤلف: أبو حفص سراج الدين عمر بن علي بن عادل الحنبلي الدمشقي النعماني )الدتوفى: 777 ه(
المحقق: الشيخ عادل أحمد عبد الدوجود والشيخ علي محمد معوض
الناشر: دار الكتب العلمية بيروت / لبنان -
الطبعة: الأولى، 4141 ه 4111 م -
عدد الأجزاء: 02
18
13
14
15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar