1
ARENT JAN WENSINCK DAN STUDI HADITS1
Oleh: Laila Mumtahanah2
A. Biografi Penulis
Dalam skripsinya Ipar Badru bahwa Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 7 agustus 1882 di Aarlanderveen, negeri Belanda bagian selatan. Ia lahir dari pasangan Johan Herman Wensinck, seorang pendeta di Gereja Protestan Belanda, dan Anna Sara Geertruida Vermeer. Wensinck lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen Protestan yang taat. Ayahnya yang seorang pendeta sangat mempengaruhi kepribadiannya. Pengaruhnya ini tampak pada minat Wensinck muda yang mengikuti jejak ayahnya ingin menjadi pendeta. Oleh karena itu, setelah lulus dari gymnasium3 di kota Amersfoort, Wensinck kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa teologi di Universitas Utrecht pada 19014.
Tetapi setahun kemudian Wensinck mengubah minat studinya semula teologi, menjadi studi bahasa-bahasa Semit pada Fakultas Sastra di universitas yang sama dibawah bimbingan M.T. Houtsma (1850-1943)5. Tidak didapat informasi yang menjelaskan tentang perubahan minatnya ini. Sejak saat itu ia mencurahkan seluruh perhatian intelektualnya pada studi bahasa-bahasa tersebut. Perhatian seriusnya ini dibuktikannya dengan meraih predikat terpuji. Wensinck berhasil meraih gelar Litt. D(Doctor of literature: Doktor bidang kesastraan) bidang bahasa dan sastra Semit dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Mohammed en de Joden te Madina di hadapan penguji C. Snouck Hurgronje.
Orintalis belanda ini belajar kepada Houtsma, De Goeje, Snouck Hurgronje, dan di kemudian hari menggantikan posisi Snouck Hurgronje di Universitas Leiden tahun 19276.
Wensinck pernah memegang sejumlah jabatan di beberapa lembaga ilmiah dan proyek-proyek akademis internasional penting. Pada 10 Oktober 1917 Wensinck tercatat menjadi anggota Koninklijke Nederlanse Akademie van Wetenschapen (KNAW) hingga tahun 1938. Pada 6 Oktober 1933 ia diangkat menjadi salah satu dari lima orientalis anggota Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah al-Malaki, Kairo, Mesir. Tetapi, kurang dari empat bulan kemudian, pada 24 Januari 1934 Wensinck diberhentikan dari keanggotaan lembaga kerajaan Mesir tersebut atas tekanan dan protes kalangan Muslim ortodoks-radikal Mesir karena tulisan-tulisan kritis-konvensialnya dalam Da‟irah al-Ma‟arif al-Islamiyah7.
Di samping itu, Wensinck juga terlibat dalam pengerjaan dua proyek ilmiah internasional, yakni penyusunan The Encyclopaedia of Islam, lima volume edisi pertama (EI), edisi bahasa Inggris dan Perancis (1913-1938) sebagai editor dan
1 Salah satu tugas Studi Hadits di Barat
2 Mahasiswi Tafsir hadits Semester 7
3 Gymnasium adalah sekolah lanjutan menengah yang menekankan pelajaran bahasa dan budaya latin serta Yunani.
4 Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits: Arent Jan Wensinck dan Studi Hadits, UIN, 2011-2012, pdf, hlm. 123. Berdasarkan tulisan Ipad Badru dalam skripsinya yang berjudul “Studi Hadis dalam Kesarjanaan Barat” merujuk kepada H. Van Der Hoeven, “A.J. Wensinck”, Biografisch Woordenboek van Nederland, (Den Haag, 1994), vol. IV, hal. 346.
5 Ibid, merujuk kepada Jaoqus Waardenburg, “Wensinck A.J” dalam Mircean Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New York: Maemillan Library USA, 1995), vol. V, hal. 369.
6 Abdurrahman Badawi, Mausu‟ah al-Musytasyriqin, terj: Amroeni Drajat, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, cet. 1, Yogyakarta: LKIS, 2003, hlm.424
7 Wensinck diberhentikan dari keanggotaan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Mesir tanggal 28 Syawwal 1352 H/24 Januari 1934 M. Surat keputusan ini sekaligus berisi keputusan pengangkatan Prof. Littman, guru besar Universitas Tubingen, sebagai penggantinya.
2
sekaligus kontributor dan Concordance et Indices de Malik, le Musnad de Hanbal (Al-Mu‟jam al-Mufahras fi Alfaz al-Hadis an-Nabawi). Wensinck juga pernah menjabat sebagai sekretaris Goeje Foundation dan, bahkan, pada 1928, menjabat rektor Universitas Leiden.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Wensinck mencurahkan perhatiannya pada penelitian tentang Perjanjian Baru dalam latar belakang bahasa Agama dan aktif terlibat sebagai anggota dalam kegiatan liturgy Gereja Protestan Belanda pada 1939, beberapa saat sebelum meninggal. Setelah sekian lama menderita sakit, akhirnya Wensinck meninggal dunia pada 19 September 1939, dalam usia 57 tahun.
B. Karya-karyanya8
1. Karya pertamanya adalah Risalah sarjana tingkat pertama dengan judul “Mohammed en de Jodente Madina” dalam bahasa Belanda (Leiden, Brill, 1908).
2. Tahun 1916, ia menegaskan obsesinya di majalah ZDMG dengan menyusun konkordasi9 indeks kosakata alfabetis dari Hadits-haadits Nabi Muhammad: Yang terdapat kitabussittah, Musnad ad-Darimi, Ahmad bin Hambal, Muwatha Malik. Dalam mewujudkan obsesi ini, ia mengorganisisr 38 pakar dari berbagai Negara. Sedangkan dananya berasal dari akademi Ilmu Pengetahuan di Amsterdam, Yayasan-yayasan Belanda lain, dan 8 Yayasan-yayasan Akademi Eropa.
Juz 1 selesai dikerjakan tahun 1936, dari “huruf alif” sampai “huruf ha”. Sejak tahun 1932, proyek raksasa ini ditangani oleh Persatuan Akademi Dunia. Setelah jilid pertama selesai, dilanjutkan dengan jilid selanjutnya hingga sempurna.
3. Selain karya monumental tersebut, tahun 1927 ia juga menyusun matan hadits-hadits Nabi Muhammad secara alfabetis. Karya inilah yang kemudian disalin ke dalam bahasa arab oleh Fu‟ad Abdul Baqi dengan judul “Miftahul Kunuz as-Sunnah” tahun 1934. Sedangkan cetakan asli diterbitkan di Leiden oleh penerbit Brill.
4. Kumpulan tulisan-tulisan lepas Snouck Hurgronje dengan judul “Verspreide Geschriften” dalam 6 jilid. Antara tahun 1923-1927.
5. The Muslim Creed, its Genesis and Historical Development (London: Cambridge the University Press, 1932)
6. La Pensee de Ghazzali, diterbitkan secara anumerta (Paris: A. Maisonneuve, 1940)
7. “Asathir al-Qadisiyyin asy-Syarqiyyin” yang merujuk pada sumber-sumber bahasa Suryani. Beberapa bagian sudah diterbitkan dan diterjemahkan oleh Wensinck dalam 2 jilid (Leiden: Brill. 1911-1913)
8. Al-Auqiyanus fi Kutub as-Samiyyin al-Gharbiyyin (Amsterdam, 1918)
9. Karya-karya yang berkaitan dengan bahasa Semit dikumpulkan dalam 1 kumpulan karya Wensinck dengan judul “kajian bahasa Semit karya Prof. Dr. A. J. Wensinck” (8 agustus 1882- 19 September 1939). Sebagian karyanya telah diterbitkan di berbagai tempat dan sebagian lainnya belum diterbitkan.
8 Abdurrahman Badawi, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, hlm.424-425
9 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “konkordasi” berarti: (1). Daftar alfabetis kata (pokok dari sebuah buku atau karya seorang penulis dengan konteks terdekat) dan (2). Daftar kata yang disusun secara alfabetis dalam alkitab (kitab suci) disertai dengan keterangan halaman buku dan kutipan naskah yang mengandung kata itu, atau indeks. Lihat Departement Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm. 724
3
C. Pemikirannya
1. Kajian hadits sama pentingnya bagi orang yang memiliki kepentingan akan tinggal di Negara-negara Islam maupun bagi para pengkaji sejarah Islam.
Urgensi hadits terletak pada fungsinya yaitu sebagai: Alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah bagi orang yang – boleh jadi karena memiliki kepentingan-kepentingan tertentu – seperti: harus tinggal di Negara-negara Islam atau yang harus berpenduduk muslim. Sehingga orang yang memiliki pengetahuan luas tentang hadits akan lebih mudah memahami Islam dan Kaum Muslim. Dan sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah Islam, fungsi hadits sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah islam10.
2. Menurutnya, hadits merupakan komposisi campur aduk antara ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi yang dihisap dari Kristen, Yudaisme, Yunani (Helenisme), dan Romawi.
Wensinck mempersoalkan apakah “matan hadits” berasal dari ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam. Menurut Wensinck sendiri, sebagian hadits itu tidak otentik karena berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi diluar islam yakni terutamanya Kristen dan Yahudi. Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar-besaran ke dalam perkataan Nabi saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen , hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Salah satu buktinya adalah bahwa Ka‟ab al-Akhbar (seorang muslim yang sebelumnya beragama Yahudi) telah meriwayatkan cerita-cerita dan legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (Israiliyyat) ke dalam hadits. Hadits adalah wadah dimana hukum yang dipinjam dari Yahudi dan Romawi, Kristen: Etika dan Estetika, Yunani: Budaya, Filsafat dan Sosial11.
Latar Belakang pemikirannya: Persepsinya tentang hadits tersebut diatas, bisa jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Dimana ia mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah agama-agama. Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah-sejarah agama-agama semit, Wensinck mamapu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar agama. Jadi, untuk mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadits sebagai produk ajaran islam, Wensinck melakukan kritik terhadap sebuah matan hadits dengan kenyataan dan fakta-fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam. Contoh sederhananya, adalah 3 riwayat hadits tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, 3 riwayat ini mencerminkan evolusi 3 tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni: Tradisi kaum semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria.
3. Wensinck memandang bahwa hadits yang dianggap kata-kata Muhammad, sebenarnya adalah:
10 Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits, hlm. 124-125. Lihat A.J.Wensinck, “The Importance of Tradition for Study of Islam”, The Moslem World, 11, 1921, hal.245.
11 Ibid, hlm. 125
4
a. cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad 1 H12.
b. hadits adalah hasil pergulatan teologis generasi sahabat13
c. hadits adalah history of dogma dan law. Karena hampir tidak ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadits.
Jadi, hadits adalah sumber informasi utama bagi perkembangan awal teologi islam.
Diantara hadits-hadits yang dianggap buatan para sahabat (tidak otentik) adalah hadits-hadits tentang akidah, syahadat, dan rukun islam. Yaitu hadits-hadits tersebut mencerminkan kondisi akidah Islam pada masa awal perkembangannya.
Dalam buku Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya disebutkan bahwa Wensinck berkata: "Beberapa dekade sesudah Nabi saw wafat, terjadi perkembangan dari pemikiran dan pekerjaan. Perkembangan ini mengilhami para tokoh spiritual (ulama) untuk menjelaskan semangat Islam yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi" antara lain tentang akidah dan syahadat, serta hadits tentang “Islam” yang ditegakkan diatas 5 pilar”.
Menurut Wensinck, sebagai bukti bahwa dua hadis tersebut baru dibuat oleh para sahabat sesudah Nabi saw wafat adalah sebagai berikut :
“Nabi tidak pernah mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka mengetahui bahwa orang-orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka lalu merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua hadis tersebut. Karena hadis itu berisi dua syahadat, maka tidak mungkin itu berasal dari Nabi saw”.
Sebenarnya Wensinck sangat mengetahui bahwa dua syahadat itu merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca di akhir setiap dua rakaat dalam shalat. Seharusnya ia mengubah teorinya. Tetapi ia justru menuduh bahwa shalat itu baru selesai dalam bentuknya yang terakhir ini sesudah Nabi saw wafat14. Aneh sekali kalau demikian. Al-Qur‟an sendiri berpuluh-puluh kali menyuruh untuk mengerjakan salat15, begitu pula hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan shalat mencapai ribuan. Nabi saw sendiri tidak mengajarkan salat dalam bentuk yang belum sempurna dan membiarkan hal itu diselesaikan oleh para sahabat.
Masalahnya tidak berhenti di situ, sebab salat dalam Islam dikerjakan secara berjamaah. Orang-orang Islam juga melakukannya demikian. Al-Quran sendiri juga menjelaskan demikian. Dan pada tahun pertama atau kedua hijri sudah ada adzan, al-Quran juga mengisyaratkan hal itu16. Sedangkan dua kalimat syahadat bagian dari adzan.
Apabila demikian halnya, maka “penyelidikan dan penelitian” Wensinck adalah omong kosong belaka. Kecuali apabila Wensinck juga berteori bahwa adzan itu merupakan ibadah yang dibuat pada masa belakangan yang meniru orang-orang Kristen Bizantium. Dan seperti inilah
12 Ibid, Lihat A.J.Wensinck, The Muslim Creed : its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co Ltd., 1965), hal.1
13 Ibid. Lihat A.J.Wensinck, The Muslim Creed , hal.19
14 Ibid, Lihat A.J.Wensinck, The Muslim Creed, hal.32
15 Lihat Wahbah Zuhaili, dkk,Maushu‟ah Qur‟aniyyatul Muyassarah, terj: Tim Kuwais, Ensiklopedia al-Qur‟an, cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2007, hlm.878
16 Qs.al-Jumu‟ah: 9
5
contoh kritik seorang orientalis yang telah menghabiskan umurnya untuk membuat al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits17.
D. Metode Kajian Hadits Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck menggunakan
metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis sastra (literary analysis), yang
dikenal dengan „kritik sejarah‟ (historical criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticism
tertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan
pengarang (author), waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks
tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian sejarah
atau lebih dikenal dengan istilah „metode sejarah‟ (historical method)18, yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber-sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan kemudian
menulisnya.
Dengan kombinasi antara „metode sejarah‟ dan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam.
Langkah-langkah kritik Wensinck terhadap hadis adalah dengan cara menghadapkan hadis dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit. Untuk contoh sederhana, Wensinck menyodorkan tiga riwayat hadis tentang pengkafanan jenazah.
Menurut Wensinck, ketiga hadis tersebut mereflesikan evolusi tiga tradisi pemakaman. Riwayat pertama sesuai dengan tradisi atau cara kaum Semit kuno dalam
membungkus jenazah sebanyak pakaian yang biasa dipakai si mayat semasa hidupnya. Riwayat kedua boleh jadi menunjukkan telah masuknya pengaruh doktrin Yahudi tentang kegemaran memilih jumlah ganjil dalam persoalan-persoalan ritual. Sedangkan riwayat ketiga mereflesikan pengaruh doktrin-doktrin Kristen Syiria19.
E. Gagasan Penyusunan Indeks hadits
Dalam konteks al-Qur‟an, indeks yaitu daftar kata yang terdapat dalam ayat-ayat suci al-Qur‟an yang disertai kutipan naskah berupa penggalan ayat yang mengandung kata itu dan dilengkapi dengan keterangan nomor surat serta nomor ayatnya.
Dalam konteks literatur hadis indeks bisa memiliki arti yang lebih kompleks.
Karena, indeks hadis, karena luas dan banyaknya literatur, memiliki berbagai corak dan metode. Tetapi, secara sempit dan sederhana, pengertian indeks dapat dirumuskan
sebagai buku yang memuat daftar kata, subjek hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab hadis yang disertai kutipan naskah berupa penggalan matn (teks) hadis
yang mengandung kata itu dan dilengkapi keterangan nama kitab (dalam arti bagian),
nama atau nomor bab serta nomor hadisnya. Dua definisi yang terakhir ini, dalam
konteks al- Qur‟an dan hadis. Istilah lain yang sama dengan indeks dengan arti tersebut adalah korkondansi, kata Inggris, concordance.
17 M.M Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, terj: Ali Mushthafa Yaqub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, cet.3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, hlm.612-614
18 Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits, hlm. 126. Lihat A.J.Wensinck, “The Importance of .., The Moslem World, hal.244.
19 Ibid, hlm. 127. Lihat A.J.Wensinck, “The Importance of .., The Moslem World, hal.245. Namun saying, Wensinck tidak menyebutkan riwayat-riwayat hadits tersebut.
6
Penyusunan konkordansi dan indeks hadis merupakan agenda utama Wensinck dalam kajian dan penelitian ilamologi. Dalam bidang ini jasa besar beliau dalam mengembangkan kajian hadis lebih dikenal di dunia barat maupun Islam. Wensinck telah menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya untuk mewujudkan gagasan ini. Hasil jerih payahnya ini membuahkan dua buah karya besar, yaitu A Handbook of Early Muhammadan Tradition: Alphabetically Arranged yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Miftah kunuz as-Sunnah dan al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi, yang dikerjakan secara missal bersama para ilmuan lainnya.
Gagasan penyusunan al-Mu‟jam al-Mufahras ini pertama kali dicetuskan oleh
Wensinck sendiri pada tahun 191620. Ide ini lahir dilatari oleh kendala yang kerap dirasakan oleh pengkaji hadis, di Barat utamanya, yakni sulitnya menemukan atau
mengumpulkan hadis-hadis tentang subyek yang dikaji yang tersebar dalam berbagai
kitab koleksi hadis. Padahal hadis-hadis dalam berbagai koleksi tersebut telah disusun
sedemikian rupa dengan berbagai sudut pandang, prinsip, dan metode. Tetapi semua itu tidak dapat menolong dan memudahkan para peneliti secara efektif21.
Wensinck, melakukan sejumlah langkah strategis untuk merealisasikan mega
proyek penyusunan al-Mu‟jam al-Mufahras:
1. Mensosialisasikan niat dan gagasan tersebut ke publik ilmiah internasional.
2. Mengundang para ilmuwan, khususnya sarjana-sarjana Semitis internasional untuk ikut bergabung dalam proyek tersebut.
3. Mengorganisasi para sarjana partisipan dalam proses pengerjaan proyek tersebut.
4. Menggalang dan dari sejumlah organisasi internasional untuk pembiayaan proyek.
Al-Mu‟jam al-Mufahras merupakan prestasi gemilang dunia kesarjanaan hadis
Barat. Kehadirannya menjadi momentum yang sangat membanggakan dunia Eropa
ketika sumbangan dunia Eropa terhadap kajian ketimuran (oriental studies) mengalami kemunduran yang sangat signifikan akibat berbagai faktor yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I di antaranya: menipisnya dana penelitian, berkurangnya para orientalis dan calon orientalis dan faktor-faktor domestik lain Negara-negara Eropa sendiri22.
F. Motivasi
Pendapat Wensinck tentang urgensi studi hadis, menurut Ipad Badru menunjukkan dua motivasi studinya terhadap hadis, yakni: motivasi politik (kepentingan) dan kesarjanaan ilmiah (akademis). Motivasi politik terlihat dari pendapatnya tentang manfaat studi hadis sebagai alat untuk memudahkan dalam memahami Islam dan kaum Muslim bagi orang non-Muslim (Barat) yang akan tinggal di negara-negara berpenduduk Muslim. Disebut politis karena sebagai negara yang sering melakukan penjelajahan dan penjajahan untuk berbagai kepentingan politik, ekonomi, agama (3G: Glory, Gold, Gospel) ke negara-negara Islam (Timur Tengah, termasuk Indonesia), Belanda, pada waktu itu, sering mengirim wakil-wakilnya untuk tinggal di negara-negara tersebut.
20 Dalam hal ini, Prof. Witkam menyebut Wensinck sebagai “Shahib al-Mubadarah ila Masyru‟ wadh‟ al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis an-Nabawi”. Jan Just Witkam, “Masyru‟ Ta‟lif al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis an-Nabawi: „Ardh Tarikhi‟ dalam pengantar al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis an-Nabawi, (Leiden, E. J. Brill, 1987), vol. VIII, bag ز
21 Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits, hlm. 128. Lihat A. J. Wensinck, “Proposed Alphabetical Index to Arabic Books of Tradition”, Journal of The Royal Asiatic Society (JRAS), 1916, hal. 840.
22 Ibid, Lihat Philip K. Hitti, review “Concordance et Indices de la Tradition Musulmane” Journal of American Oriental Society (JAOS), vol 56, 1936, hal 511.
7
Wakil-wakilnya ini, dalam tugasnya sering kali mendapat kesulitan dalam memahami aspek kehidupan beragama penduduk setempat. Untuk itu, sebelum mereka dikirim, terlebih dahulu diberikan berbagai pemahaman tentang, salah satunya, agama pribumi. Pada masa kolonial ini, pengetahuan tentang Islam diperlukan sebagai „bekal pengetahuan‟ menghadapi aspek kehidupan beragama penduduk pribumi di daerah. Walhasil, studi Wensinck terhadap hadis merupakan bagian dari skenario panjang kolonialisme. Dengan kata lain intelektual Wensinck adalah kepanjangan tangan dari kolonialisme Belanda di negara-negara jajahannya.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa Wensinck adalah murid dan penerus langsung Snouck Hurgronje, yang mana ia adalah seorang yang dapat menyita banyak halaman dalam perbincangan mengenai orientalis berkarakter politis. Pengaruh Hurgronje pada Wensinck, paling tidak, tampak dalam hal ini23.
Menurut Azizatul Iffah dan Nurhayati dikatakan bahwa padahal, jika ditinjau ulang, pendapat Ipad Badru ini terlalu dibuat-buat, karena Wensinck tidak pernah menjadi pejabat pemerintah kolonial seperti halnya Snouck Hurgronje. Sebagaimana nampak dalam biografi Wensinck, ia hanya aktif pada proyek-proyek ilmiah internasional. Jadi, penulis berkesimpulan bahwa motivasi Wensinck dalam pembuatan Concordance murni “ motivasi ilmiah”.
G. Pendapat-pendapat tentang Wensinck Menurut Barat dan Islam
Di kalangan para sarjana Barat, Wensinck adalah ilmuan yang mendapat pujian dan pengakuan luas. Pengakuan ini misalnya Samuel W. Zwemer, koleganya, editor The Moslem World, yang memujinya sebagai sarjana ahli kajian hadis yang tiada tanding. Jacques Wandenburg menulis bahwa signifikasi besar pemikiran Wensink adalah kombinasi berbagai varian dan spesialis ilmu dalam kajian sejarah agama-agama.
Lain halnya dengan pandangan sarjana Barat, dalam pandangan sebagian kalangan sarjana Muslim, Wensinck dikenal sebagai sosok sarjana Barat yang kontroversial. Hal ini tidak terlepas dari hasil-hasil kajian dan pemikirannya yang
dianggap memojokkan dan bahkan menghina kesucian ajaran Islam. Wensinck masuk
dalam daftar orientalis yang dianggap sangat membenci, memusuhi, dan karenanya,
berbahaya24.
Dr. Ahmad „Abd al-Hamid Ghurab dengan sangat keras mengecam Wensinck
sehubungan dengan beberapa pokok pikiran negatif-nya tentang al-Qur‟an, pribadi Nabi Muhammad saw., hadis dan aqidah Islam yang tertuang dalam buku The Muslim Creed. Ghurab menyebutnya sebagai seorang orientalis yang sangat gigih memusuhi Islam dan kaum Muslim. Pendapat-pendapat Wensinck dalam The Muslim Creed disebutnya sebagai dusta, kedengkian dan bukti nyata permusuhan para orientalis terhadap Islam.
Poin-poin pemikiran Wensinck yang dikecam Ghurab antara lain:
1. Pernyataan Wensinck bahwa al-Qur‟an tidak mengandung gambaran dan pengertian yang jelas tentang doktrin aqidah Islam yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk membedakannya dengan doktrin aqidah agama atau kepercayaan lain.
23 Lihat skripsi Ipar Badru, Studi Hadits dalam Kesarjanaan Barat, hlm.73-74
24 Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits: Arent Jan Wensinck dan Studi Hadits, UIN, 2011-2012, pdf, hlm.129. Lihat Ahmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam: Antara yang Menghujat dan yang Memuji, cet.1, Surabaya, PT. Karya Pembina Swajaya, 2004, hlm.35
8
2. Bahwa misi Nabi Muhammad saw., di Madinah bukan lagi misi pembentuk aqidah. Sebagaimana dilakukan di Makkah, melainkan misi pengukuhan kekuasaan lewat pemerintahan teokrasi25.
Dr. Ahmad „Abd al-Hamid Ghurab, menuduh bahwa tujuan Wensinck – juga para orientalis lainnya – menyusun kamus dan indeks hadis adalah untuk memudahkan penemuan hadis yang kemudian digunakan untuk merusak dan menyerang al-Qur‟an, sunnah, aqidah, syariat dan Islam secara keseluruhan. Niat Wensinck ini, demikian lanjutnya, terwujud dalam buku The Muslim Creed tersebut yang memuat pemikiran kontroversial Wensinck tentang hadis-hadis aqidah dan iman. Hal ini berbeda dengan tujuan seorang Muslim, hal mana kamus dan indeks hadis tersebut digunakan untuk memperoleh petunjuk hadis Nabi dan kemudian mengamalkannya. “Kendati kamus atau indeks hadis sangat bermanfaat sebagai rujukan”, demikian lanjut Ghurab, “Ia bisa bermanfaat atau justru menimbulkan petaka”26. Ketika mengomentari fakta kemanfaatan al-Mu‟jam al-Mufahras bagi kaum Muslim dan Islam sekarang, Ghurab, dengan nada apologetik, mengatakan bahwa hal itu hanya merupakan sebuah kebetulan dan bukan tujuan atau maksud utama para orientalis pun lembaga-lembaga yang membiayainya27.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Badawi, Mausu‟ah al-Musytasyriqin, terj: Amroeni Drajat, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, cet. 1, Yogyakarta: LKIS, 2003
Azizatul Iffah dan Ari Nurhayati, Kajian Orientalis Qur‟an dan Hadits: Arent Jan Wensinck dan Studi Hadits, UIN, 2011-2012, pdf, hlm. 123. Berdasarkan tulisan Ipad Badru dalam skripsinya yang berjudul “Studi Hadis dalam Kesarjanaan Barat”
M.M Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, terj: Ali Mushthafa Yaqub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, cet.3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
Departement Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2012
Wahbah Zuhaili, dkk,Maushu‟ah Qur‟aniyyatul Muyassarah, terj: Tim Kuwais, Ensiklopedia al-Qur‟an, cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2007
25 Ibid,hlm.129-130. Lihat Ahmad „Abd al-Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalis,ter: A.M. Basamalah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hlm.140
26 Ibid, hlm.130. Lihat Ahmad „Abd al-Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalis, hlm.133-134
27 Ibid. Lihat Ahmad „Abd al-Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalis, hlm.134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar