Minggu, 10 Januari 2016

1
BAB 2
FASAL 1
PERBEDAAN KRITERIA/TIMBANGAN
KRITIK SANAD SUATU RIWAYAT1
Oleh: Laila Mumtahanah2
Apakah kita tahu sebagian sebab-sebab perbedaan para Mufassirin yang berhubungan dengan sanad suatu riwayat?
Disini kita mengembalikan pada kemujmalan dari sebab-sebab perbedaan antara para Ulama dalam menafsirkan kepada hal-hal sebagai berikut:
1. Belum sampainya hadits kepada seorang Mujtahid (para Mufassir) dalam keadaan asli riwayatnya (tidak maudlu‟ haditsnya).
2. Sampainya riwayat hadits pada seorang mujtahid tetapi diragukan tentang ketsubutannya.
3. Penolakan syeikh (guru) kepada muridnya terhadap apa yang ia riwayatkan, mendustakannya, ataupun meragukannya.
4. Perbedaan pendapat seorang rawi hadits terhadap apa yang ia riwayatkan.
5. Perbedaan mengenai diterima atau tidaknya hadits “mastur hal”.
Sampainya Hadits kepada seorang Mujtahid (para Imam Mufassirin) dihadapan Mujtahid lainnya adalah termasuk Sebab-sebab Perbedaan yang paling penting diantara para Ulama dalam Menafsirkan:
Contohnya: Tentang Iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, dimana Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin „Abbas berfatwa bahwasanya Iddahnya selama batas waktunya yaitu mereka mengambil dalil dengan kemujmalan ayat-ayat berikut:










orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari…(Qs.al-Baqarah:234)
…





... dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...(Qs.ath-Thalaq:4)
Sedangkan Hadits Subai‟ah al-Aslamiyah yang ia ditinggal mati oleh suaminya Sa‟ad bin Khaulah dan ia sedang hamil, belum sampai pada Ali dan Ibnu Abbas. Yang mana kemudian setelah nifasnya mengering, ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabik bin Ba‟kak menemuinya dan berkata kepadanya: “Aku melihat engkau berdandan apa mungkin engkau berkeinginan untuk menikah lagi? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum 4 bulan 10 hari berlalu”. Subai‟ah berkata: “Setelah Abu Sanabilah mengatakan hal itu padaku, maka sore harinya aku langsung mengemas pakaianku kemudian pergi menemui Rasulullah saw dan kutanyakan hal itu kepada beliau. Maka beliau
1 Salah satu tugas UAS mata kuliah Membahas Kitab Tafsir II: Menerjemahkan Kitab Ikhtilaf al-Mufassirin Asbaabuhu wa Atsaaruhu karya Su‟ud bin Abdullah al- Faniisan, cet.1, Riyadl: Dar Isybilia, 1997
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
2
memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah, jika aku mau”.(HR.Bukhari dan Muslim)3
Maka ketika hadits ini sampai pada Ali dan Ibnu „Abbas, maka keduanya merujuk kembali kepada pendapatnya yang pertama. Ibnu Jarir ath-Thabari menyebutkan dengan sanad dari Mughirah : Ia berkata: Aku berkata kepada asy-Sya‟bi: “Tidaklah aku membenarkan bahwa Ali berpendapat mengenai batas waktu iddah, ingatlah tentang pendapatnya menikahnya wanita yang ditinggal mati suaminya sampai lewat akhir waktu masa iddahnya”. Asy-Sya‟bi berkata: “Tentu saja, dan kebenaran lebih kuat terhadap apa yang dibenarkan mengenai hal tersebut saja.”Ali berkata: Sesungguhnya firmanNya:
…





Adalah bagi wanita yang dicerai.
Lalu asy-Sya‟bi berkata: “Bahwa Ali dan Ibnu Abbas berpendapat mengenai “Talak” dengan kehalalan waktu akhir masa iddah yaitu jika melahirkan kandungannya”. Maka ketika keduanya mendapatkan hadits Subai‟ah al-Aslamiyah, maka keduanya berpendapat dengan membedakan antara iddah wanita yang ditinggal mati dan iddah orang yang hamil.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: “Yang benar dari pendapat tersebut bahwa ayat itu umum mengenai wanita yang ditalak dan para wanita yang ditinggal mati. Sesungguhnya Allah swt berfirman dengan keumuman ayatNya tersebut. Allah tidak mengkhususkan khabar tersebut untuk wanita yang ditalak saja tanpa wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi khabar itu umum untuk seluruh wanita-wanita yang hamil saja”.
Ketsubutan (ketsiqatan) Hadits dari salah satu dari para Mujtahid (para Imam Mufassirin) dihadapan Mujtahid lainnya:
Allah swt befirman:



























































6. tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
3 Kitab al-Maghazi, Bab Fadl-lu man Syahida Badran, no. 3991
3
7. hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(Qs.ath-Thalaq:6-7)
Contohnya: Tentang Tempat tinggal dan Nafkah bagi wanita yang ditalak tiga.
Para Ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut dalam 3 pendapat yaitu:
1. Mazhab Malik dan Syafi‟I: Untuknya Tempat tinggal tanpa nafkah. Keduanya menggunakan dalil keumuman firman Allah swt:
…





… Yaitu ayat ini mencakup wanita yang ditalak ba'in dan ditinggal mati suaminya.
2. Ayat itu menjelaskan tidak mendapatkan nafkah dan juga tidak mendapatkan tempat tinggal, ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsur. Mereka berdalil dengan hadits Fatimah binti Qais dimana Rasulullah memutuskan bahwa Fatimah tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah.
3. Bahwa untuknya mendapatkan nafkah dan tempat tinggal yaitu pendapat Mazhad Abu Hanifah dan pengikutnya, mereka berdalil dengan firman Allah swt:
…












...
Mereka berkata: “Jika meninggalkan untuk memberi nafkah bagi wanita yang ditalak ba‟in termasuk hal yang lebih madharat. Hal ini adalah perkataan Umar bin Khattab, ia berpendapat bahwa wanita yang ditalak untuknya diberikan tempat tinggal dan nafkah, baik talak raj‟i‟ atau ba‟in. berdasarkan keumuman firmanNya:










































Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Qs.ath-Thalaq:1)
Dan ketika Umar menyampaikan Hadits Fatimah binti Qais: Dari Abu Ishaq, dia berkata, "Aku pernah duduk bersama Al Aswad bin Yazid di masjid yang paling
4
mulia, dan Asy-Sya'bi juga bersama kami, lalu As-Sya'bi menceritakan ucapan Fatimah binti Qais, Bahwasanya suaminya mentalaknya, lalu Rasululah SAW memutuskan dia (Fatimah bin Qais yang dithalak tiga) tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah. Kemudian Al Aswad mengambil segenggam kerikil, lalu dia lemparkan ke Asy-Sya'bi, kemudian dikatakan, 'Celakalah kamu! Mengapa kamu ucapkan hal seperti ini?' Umar RA berkata, 'Janganlah kita meninggalkan kitab Allah dan ajaran Nabi kita hanya karena ucapan seorang perempuan! Kita tidak tahu mungkin Fatimah binti Qais itu hafal atau lupa dengan sabda Nabi. bahwa dia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. karena Allah SAW berfirman, 'Janganlah kamu mengeluarkan istri-istrimu yang kamu ceraikan itu dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar dari rumah-rumah itu kecuali jika mereka nyata berbuat keji".'" (Qs. Ath-Thalaaq(65): 1) (HR.Muslim)4
Dalam riwayat lain, Urwah bin Az Zubair berkata kepada Aisyah, "Tidakkah kamu melihat Fulanah binti Hakam yang telah diceraikan oleh suaminya." Maka Aisyah pun keluar seraya berkata, "Alangkah buruk apa yang telah diperbuatnya." Urwah bin Zubair berkata, "Tidakkah Anda mendengar ungkapan Fathimah?" Ia berkata, "Sesungguhnya dalam ungkapan itu tidak ada kebaikan baginya." Ibnu Abu Zinad menambahkan dari Hisyam, dari bapaknya; Aisyah mencela dengan celaan yang sangat dan berkata, "Sesungguhnya Fathimah saat itu berada di tempat yang tandus, lalu keberadaannya pun dikhawatirkan. Karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan rukhshah padanya." HR.Bukhari5
Maka Umar bin Khattab berkata: Bagi wanita yang ditalak mendapat tempat tinggal dan nafkah. Ia mengambil dalil dari keumuman lafadz “an-Nisa” ( Idzaa Thallaqtumunnisaa-a) (Qs.ath-Thalaq:1) dan tidak berpendapat dengan hadits Fatimah binti Qais karena diragukan ketsubutannya.
Pendapat kuat yang dipilih yaitu wanita yang ditalak ba‟in tidak mendapatkan nafkah dan tidak mendapatkan tempat tinggal, dan wanita tersebut tidak halal menikah dengan mantan suaminya sampai dinikahi oleh laki-laki lain dulu. Sebaliknya wanita yang ditalak raj‟I, ia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah karena ia masih istrinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan bagi wanita tersebut masa iddahnya di rumah suami agar menjadi lebih dekat untuk ruju‟ kembali, jika menginginkannya lagi. Inilah makna firmanNya: (La‟allallaahu yuhditsu ba‟da dzaalika amraa) (ath-Thalaq:1).
Maka dijelaskan bahwasanya sebab perbedaan ketsubutan nafaqah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ba‟in yaitu berdasarkan keumuman ayat ath-Thalaq yang tetap dengan hadits Fatimah binti Qais yang ditakhsis ayatnya untuk suatu kaum (suatu daerah) yaitu Perempuan yang Dithalak Keluar dari Rumahnya Karena Takut Keamanan Dirinya dan tidak untuk kaum (daerah) yang lain. Pendapat kuat yang dipilih itu sebagaimana yang telah dijelaskan yaitu pendapat kedua karena shahih haditsnya dan dikuatkan dengan dzahir ayat al-Qur‟an yaitu firman allah: Laa tadri la‟allallaahu yuhditsu ba‟da dzaalika amraa) (ath-Thalaq: 1).
Perbedaan dalam Mengkhususkan Ayat dengan Hadits, jika seorang rawi menolak meriwayatkan hadits kepada muridnya:
Para ulama bersepakat untuk meninggalkan dalam mengamalkan suatu hadits, jika seorang rawi menolak meriwayatkan hadits kepada muridnya dengan pengingkaran yang ditolak (Inkar Juhud), seolah-olah ia berkata: “kepada orang yang
4 Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan Laa Nafaqatun Lahaa, no.1480
5 Kitab ath-Thalaq, Bab Qishah Fatimah binti Qais, no.5325
5
meriwayatkan hadits darinya (Liman rawa „anhu)” : “Engkau mendustakan Ali” atau “Aku tidak meriwayatkan padamu” dan yang semisalnya.
Sedangkan mereka berselisih pendapat dalam pengamalan hadits jika tidak ada pengingkarannya dengan pengingkaran yang ditolak (Inkar Juhud) dan tidak ada yang mendustakannya. Hal tersebut seolah-olah ia berkata: “Aku tidak menyebutkan bahwa Aku meriwayatkan hadits kepadamu” atau “Aku tidak mengetahuinya” dan yang semisalnya.
Maka Malik, Syafi‟I dan Ahmad berpendapat dalam suatu riwayat: Untuk mengamalkan dengan yang semisal haditsnya tersebut. Dimana riwayatnya dapat diterima selama haditsnya tsiqat, walaupun ditolak oleh gurunya. Abu Hanifah dan pengikutnya serta Ahmad berpendapat pada salah satu dari dua riwayat: Untuk menolak hadits yang semisalnya dalam kondisi ini dan tidak mengamalkan haditsnya.
Contohnya: Tentang Perbedaan dalam hukum putusan peradilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah didalam pemahaman firman Allah swt:
…




















… …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya…(Qs.al-Baqarah:282)
Jumhur Ulama diantaranya Malik, Syafi‟I dan Ahmad berpendapat: Untuk putusan pengadilan dengan satu orang saksi dan sumpah. Mereka berdalil dengan hadits Abi Hurairah bahwa: “Nabi saw memutuskan peradilan dengan sumpah beserta satu orang saksi laki-laki6. Sedangkan dalam riwayat Abu Daud: Sulaiman (perawi) berkata, "Aku bertemu dengan Suhail (gurunya), maka aku menanyakan perihal hadits ini (kepada beliau)? Dia lalu menjawab, "Aku tidak mengetahuinya." Kemudian aku berkata, "Sesungguhnya Rabi'ah telah memberitahukan hadits tersebut darimu kepadaku!" Dia berkata, "Kalau memang dia telah memberitahukannya kepadamu dariku, maka ceritakanlah hadits tersebut dengan mengatakan, "Dari Rabi'ah dariku." {Shahih)7
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat: Untuk menolak memutuskan perkara peradilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah. Bentuk tersebut menurut mereka bahwa ayat tersebut (al-baqarah:282) tidak menyebutkan kecuali 2 orang saksi laki-laki atau boleh (jika tidak ada 2 orang laki-laki) satu orang laki-laki serta 2 orang perempuan, yang dijadikan dalil terhadap pendapat tersebut bahwasanya saksi dengan seorang laki-laki dan sumpah tidak cukup dan tidak akan dapat memutuskan perkara pengadilan. Maka mereka berkata: Hadits Suhail bin Abi Shalih ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah, karena rawi (guru)nya mengingkari riwayat (murid)nya dan tidak mengetahui apa yang diceritakan mengenai haditsnya tersebut dari diri (guru)nya. Hal itu dikarenakan ia berpendapat dengan sebagian pemahamannya, lalu ia lupa pada sebagian haditsnya (rawi yang Su’ul Hifzhi: kekeliruannya dalam hafalan lebih banyak daripada kecermatannya).
Maka penyusun kitab Ikhtilaf al-Mufassirin ini berkata: Telah tampak sebab perbedaan para Mufassirin dalam menafsirkan ayat: (Wastasyhiduu syahiidaini mir
6 Kitab al-Aqdiyah, Bab al-Qadlaa-u bil Yamiini wa asy-Syaahid, no. 1712
7Kitab al-Aqdiyah, Bab al-Qadlaa-u bil Yamiini wa asy-Syaahid, no.3611
6
rijaalikum…) (al-Baqarah:282) dibatasi ayat tersebut pada 2 orang laki-laki atau boleh (jika tidak ada 2 orang laki-laki) seorang laki-laki dan 2 orang perempuan tanpa ungkapan hadits: (asy-Syaahid wa al-yamiin ) karena rawinya mengingkari meriwayatkan dari rawi itu (muridnya), dengan persaksian kepada akad-akad bermuamalah dengan berhutang/ tidak tunai, penyampaian saksi kepada hakim serta pengamalan haditsnya terhadap apa yang telah dikomentari didalam al-Qur‟an.
Maka jawaban yang benar adalah bahwa Nabi memutuskan perkara pengadilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas: (Bahwasanya Rasul saw memutuskan perkara dengan sumpah dan satu orang saksi laki-laki) (HR.Muslim) dan hadits ini tidak bertentangan dengan dzahir ayat al-qur‟an. Yaitu perintah mempersaksikan dengan 2 orang saksi atau 1 orang saksi dan 2 orang perempuan dalam bermu‟amalah dengan berhutang/ tidak tunai. Oleh karena itu, tidak dilarang dalam memutuskan perkara dengan saksi yang lebih sedikit dari apa yang nash sebutkan dan Rasul pun menghukumi suatu perkara dengannya.
Mengkhususkan Pemahaman al-Qur’an dengan Amalan Seorang Rawi berdasarkan Perbedaan Apa yang diriwayatkan:
Allah swt berfirman:










…
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…(Qs.al-Baqarah:233)
Para ulama berbeda pendapat dalam mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan amalan rawi berdasarkan perbedaaan apa yang diriwayatkannya atas 2 pendapat: maka Jumhur berpendapat untuk mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan riwayat yang tidak diamalkan yang “berdasarkan perbedaan riwayatnya” karena: Suatu hujjah terhadap apa yang diriwayatkan itu bukan terhadap apa yang ia pandang, karena boleh jadi terdapat lupa pada seorang rawi, atau pengamalan haditsnya berbeda dengan ijtihadnya yaitu yang tidak ditetapkan pada yang lainnya.
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat: Untuk mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan amalan seorang rawi dihadapan riwayatnya. Mereka berkata: “Menolak haditsnya jika amalan rawinya bertentangan dengan riwayatnya”. Mereka berkata: “Ungkapan yang dipandang rawi yaitu yang aku tahu riwayatnya dari yang lainnya”. Yang benar adalah Pendapat Jumhur berdasarkan hadits: Nabi SAW, beliau bersabda, "Allah akan memperindah wajah seseorang yang mendengar ucapanku kemudian ia menyadari, Banyak penyampai hadits yang lebih sadar (dapat menjaga) daripada orang yang mendengarnya. "(HR.Tirmidzi)8
Contohnya: Menyusui anak yang sudah besar: yaitu anak yang lebih dari 2 tahun berdasarkan dalil firman Allah swt: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…(Qs.al-Baqarah:233).
Jumhur Ulama berpendapat: Bahwa ayat itu tidak menetapkan keharaman untuk menyusui anak yang sudah besar berdasarkan hadits Aisyah: dari Aisyah radliallahu 'anha, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam suatu ketika menemuinya, sementara di tempatnya terdapat seorang laki-laki dan sepertinya rona wajah beliau berubah dan membencinya, maka Aisyah pun berkata, "Sesungguhnya ia adalah saudaraku." Maka beliau bersabda: "Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita)
8Kitab al-„Ilmu, Bab Maa Ja-a fil Hatstsi „ala Tablighi as-Simaa‟
7
saudara-saudara kalian, sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi)."HR.Bukhari9
Dan sungguh kalangan Hanafiyyah menolak riwayat hadits ini kepada pengamalan Aisyah yang bertentangan dengan hadits Muslim (dalam hadits ini dari Aisyah, ia berpendapat bahwasanya penyususan anak yang sudah besar dapat berpengaruh dalam kemahraman). “Aisyah memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal ini, Aisyah berlandaskan pada Hadits Salim, budak Abu Hudzaifah. Dimana Rasullullah saw memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk ke rumah istri Abu Hudzaifah untuk menyusui”. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian.
Kalangan Hanafiyyah yang menolak hadits Aisyah yang pertama, mereka menetapkan bahwa amalan Aisyah sebagaimana hadits Zainab ini berhubungan dengan pengaruh kemahraman dalam menyusui anak yang sudah besar. ”Namun Jumhur Ulama tidak berpendapat pada pengaruh kemahramannya, maka batal klaim mereka: Sesungguhnya ungkapan hadits pertama itu tentang amalan rawi, bukan riwayatnya. Dan apa yang telah dijelaskan bahwa sebab perbedaan antara para Mufassirin: Apakah amalan rawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkannya bias menguatkan dalam mengkhususkan ayat atau tidak?
Yang benar adalah pendapat Jumhur berdasarkan keumuman ayat dan hujjah yang mereka jadikan dalil, serta hadits Ummu Salamah yang dikhususkan pada istri Abu Hudzaifah dan budaknya Salim.
Perbedaan dalam Mengkhususkan Suatu Ayat dengan Hadits Mastur Hal (Majhul Hal):
Allah swt berfirman:

























Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala… (Qs.al-Maidah:3)
Didalam ayat tersebut adalah dalil tentang hewan yang buas dan tidak ditentukan untuk manusia, yang tidak halal kecuali setelah disembelih antara tenggorokan dan leher. Sedangkan Hadits Abi al-„Asyra‟ : “…Kalaulah tertusuk ketika mengambil (hewan buas), maka dibolehkan bagimu” (HR.Khamsah). Hadits ini menunjukkan bahwa hewan jika tertusuk yang tidak sesuai diperkirakan yaitu malah tertusuk pada badannya, maka dibolehkan.
Mastur Hal adalah Rawi yang tidak dikenal haditsnya kecuali dari sisi satu rawi saja. Hadits mastur termasuk jenis Hadits Majhul menurut para Muhadditsin. Sungguh terdapat perselisihan dalam mengamalkan dan mengkhususkan hadits tersebut kepada ayat tersebut, dimana terdapat 2 pendapat:
1. Tidak diterimanya Hadits Mastur adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu dari 2 riwayat dan Mazhab Syafi‟I. riwayatnya tidak diterima karena
9Kitab an-Nikaah, Bab man Qaala: Laa Ridlaa-un ba‟da Haulaini, no. 5102
8
sebagai kehati-hatian dalam menetapkan khabar, begitu juga kesepakatan (Ijma‟) menetapkan untuk menerima riwayat yang „adil dan menolak khabar fasiq. Sedangkan Majhul Hal itu riwayatnya tidak adil dan bukanlah makna adil itu yang menghasilkan ketsiqatan pada perkataannya. Sebagaimana persaksiannya tidak diterima, begitu juga riwayatnya.
2. Diterimanya Hadits Mastur Hal adalah pendapat Mazhab Abi Hanifah dan riwayat kedua menurut Imam Ahmad. Karena menetapkan khabar-khabar dengan berhusnudzan pada seorang rawi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah: Diterima riwayatnya jika termasuk orang-orang yang dimuliakan (orang-orang yang utama) pada Abad ke-3 karena suatu keumuman orang-orang pada masa ini adalah orang yang shaduq, dan „adalah pada zaman tersebut yang langsung menyaksikan Rasul saw. Adapun setelah abad ke-3 ini, maka riwayat Hadits mastur tidak diterima karena telah tampaknya kefasikan dan tersebar luas. Inilah pendapat kuat yang dipilih.
Contohnya: Tentang Perbedaan posisi sembelihan pada firman Allah swt pada surat al-Ma‟idah ayat 3
…





…
Para Ulama berselisih pendapat mengenai ayat ini pada 2 pendapat:
1. Pendapat Imam Malik dan pengikutnya: Bahwa sembelihan hewan yang buas dan terjatuh kedalam sumur termasuk hewan (yang baik dikonsumsi) manusia. Tidak ada sembelihannya yang seperti biasanya kecuali antara leher dan tenggorokan. Abu Hanifah dan Syafi‟I berpendapat: Bahwasanya sembelihan hewan yang tidak sesuai perkiraan tertusuk disalah satu bagian badannya, mereka berdalil dengan Hadits Abi al-„Asyra‟ .
2. Sedangkan Imam Malik dan pengikutnya menolaknya karena Majhul haditsnya. Sungguh telah datang hadits Abi al-„Asyra‟ dari Ayahnya, Ia berkata: Aku berkata Ya Rasulullah saw! Apakah ada sembelihan selain leher dan tenggorokan? Nabi saw bersabda: “…Kalaulah tertusuk ketika mengambil (hewan buas), maka dibolehkan bagimu” (HR.Khamsah).
Abu al‟Asyra‟ berbeda dalam riwayatnya dari Ayahnya sebagaimana berbeda dalam namanya dan nama Ayahnya. Ada yang berkata: Atharid bin Bakrah atau Ibnu Qahthum atau „Atharid bin Malik. Ada juga yang mengatakan: Yasar bin Bakar bin Mas‟ud, ada juga yang mengatakan: Bilal bin Yasar. Ada juga yang berkata: Abdullah.
Imam Ahmad ditanya Hadits Abi al‟-Asyra‟ tentang sembelihan, Ia berkata: “Aku punya kekeliruan, hadits tersebut tidak aneh bagiku. Aku tidak akan berpendapat mengenai hadits tersebut kecuali pada tema yang pentingnya saja. Yaitu mengenai Aku tidak tahu bahwa ia meriwayatkan hadits dari Abi al-„Asyra‟ selain ini”.
Bukhari berkata: “Pada haditsnya, namanya, sima‟ (belajar)nya dari ayahnya harus dipertimbangkan lagi/ diteliti lagi (nazhar)”. Al-Khathabi berkata dengan mengomentari hadits Abi al-„Asyra‟: “Aku tidak tahu adanya perbedaan tentang masalah ini dikalangan ahli ilmu”.
Mereka mendla‟ifkan hadits ini karena rawinya Majhul Hal. Abu al-„Asyra‟ ad-Darimi tidak tahu riwayat lain dari ayahnya selain hadits ini. Begitu juga, para Ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan ayat ini sebagai suatu pandangan yang berbeda-beda dalam menerima sanad hadits Mufassir.
Oleh karena itu, tampak sebab-sebab perbedaan dalam menjealskan posisi sembelihan hewan yang buas yang tidak sesuai perkiraan, lalu tertusuk yaitu dengan
9
mengkhususkan keumuman ayat: ( Illaa maa dzakkaitum…) (al-Ma‟idah:3) dengan hadits Mastur Hal seperti Abi al-„Asyra‟ atau dengan tidak adanya pengkhususannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar