Minggu, 10 Januari 2016

Al-Qasimi dan Makna yang Dinukilnya
bahwasanya al-Qur’an Dapat Ditafsirkan Secara Dzahir dan Batin
            al-Qasimi menukil dari asy-Syathibi dalam kitab Muwafaqatnya, bahwa: “Diantara manusia ada yang mengira bahwa al-Qur’an itu memiliki makna dzahir dan batin. Terkadang mereka menukil tentang hal itu pada sebagian Hadits-hadits dan Atsar-atsar”.
Dari Hasan terhadap apa yang diterima dari nabi saw bahwa Ia berkata: “Allah swt menurunkan suatu ayat kecuali secara dzahir dan batin. Ia menafsirkan bahwa adz-Dzahir itu Dzahirnya bacaan, dan al-Batin adalah memahami maksud pembicaraan Allah swt”. karena sesungguhnya Allah swt berfirman: 
$yJoY÷ƒr& (#qçRqä3s? ãNœ3.ÍôムÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3 bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×puZ|¡ym (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×py¥ÍhŠy (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB x8ÏZÏã 4 ö@è% @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã «!$# ( ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn ÇÐÑÈ  
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?(Qs.an-Nisa’:78). Maknanya: Mereka tidak memahami maksud pembicaraan Allah.
            Penjelasan tentang hal itu, jika mereka memperhatikan makna adz-Dzahir dan al-Batin, bahwa maksud adz-Dzahir adalh memahami (kaidah-kaidah) bahasa arab, sedangkan makna al-Batin adalah maksud Allah dari kalam dan khitabNya. Jadi, jika diantara yang memutlakkan makna ini, maka apa yang Ia tafsirkan menjadi shahih tidak ada yang dipertentangkan.
            Tapi sesungguhnya, mereka bermaksud membuat makna lain selain makna diatas. Yaitu mereka ingin menetapkan suatu tambahan yang tidak diketahui oleh para sahabat dan orang-orang yang setelah mereka. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu dalil yang qath’i untuk menetapkan dakwaan ini. Sedangkan “tuntutan agar menafsirkan harus dengan dalil yang qath’i”  itu berangkat dari argumen orang-orang sebelum asy-Syathibi, dimana dikatakan oleh mereka:”Dalil Qath’i merupakan asal menghukumkan tafsir Qur’an”.
            Suatu ketika asy-Syathibi meriwayatkan: Bahwasanya dalil yang mereka berikan, jika tujuannya sanadnya benar sampai Nabi saw. terhadap riwayat ini, terdapat contoh riwayat yang menjelaskan maknanya secara mutlak.
            Telah menceritakan kepada kami Musa bi Ismail, telah menceritaka kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas Ia berkata: Suatu ketika Umar mengajakku masuk berkumpul bersama para Syaikh pemuka-pemuka Badar, dan sepertinya. Sebagian dari mereka memendam sesuatu pada dirinya. Maka salah seorang dari mereka pun bertanya, “Kenapa anda mengikutsertakan anak ini bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak sebaya dengannya? Maka Umar pun berkata: Sesungguhnya anak itu memiliki kecerdasan tersendiri seperti yang telah kalian kenal”. Kemudian pada suatu hari, Umar memanggilnya dan mengikutsertakannya bersama mereka. Ibnu Abbas berkata: Aku tahu, bahwa tidak ada maksud lain Umar memanggilku, kecuali untuk memperlihatkan aku pada mereka. Umar berkata: “Bagaimanakah pendapat kalian berkenaan dengan ayat ini: “IDZAA JAA-A NASHRULLAHI WAL FATH “ Maka sebagian dari mereka berkata: “Kita diperintahkan memuji Allah dan meminta maghfirahNya yakni ketika kita diberi pertolongan dan kekuatan untuk menaklukan suatu negeri”. Lalu sebagian lainnya diam tak berkata sepatah kata pun. Setelah itu, Umar bertanya padaku: “Apakah seperti juga pendapatmu wahai Ibnu abbas?” Aku menjawab: “Tidak”. Umar bertanya lagi: “Lalu bagaimanakah pendapatmu?” Aku menjawab: “Hal itu terkait dengan ajal Rasul saw, Allah telah memberitahukan padanya. Firman Allah: IDZAA JAA-A NASHRULLAHI WAL FATH, Itu adalah tanda akan ajalmu. FASABBIH BIHAMDI RABBIKA WASTAGHFIRHU, INNAAHU KAANA TAWWAABA. (Karena itu, sucika lah Rabbmu dengan memujiNya. Dan mintalah ampun dariNya. Sesungguhnya Dia Maha Menerima Taubat). Umar berkata: “Tidak ada jawaban yang lebih tepat, kecuali apa yang kamu telah katakan”.
            Dari hadits diatas, Dzahir ayat tersebut adalah bahwa allah memerintahkan NabiNya agar bertashbih memuji Allah swt dan meminta ampun kepadaNya. Sedangkan, makna batinnya bahwa Allah memberitahu kepada diri Rasul saw.
Apa yang dimaksudkan al-Batin itu?
Al-Batin  adalah maksud dari suatu pembicaraan yang harus memiliki dua syarat:
1.      Benar sesuai ketentuan kata yang dzahir yang ditetapkan pada bahasa arab dan menggunakan kaidah-kaidah bahasa arab
2.      Harus memiliki nash yang telah disaksikan (para sahabat) atau dzahir ayat pada tempat yang lain yang menyaksikan kebenaran riwayat tanpa dipertentangkan.
Jika tidak memilik kedua syarat ini, maka kalimat tafsiran yang dibuat adalah sebuah dakwaan yang kosong yaitu yang mendakwakan kepada al-Qur’an dan tidak akan diterima oleh kesepakatan ulama. Asy-Syathibi memberi isyarat bahwa persyaratan ini didapatkan dalam al-Qur’an.
            Kemungkinan bagi kita untuk mengumpamakan contohnya yang diambil dari Kitab al-Muwafaqat karya asy-Syathibi yang disebutkan oleh al-Qasimi: contoh ini didalamnya terdapat Tafsir Batini yang dimaksud. Riwayat ini adalah yang disebutkan Sahl bin Abdullah, Ia menghitung tentang Tafsir Batin dalam al-Qur’an atau pada pandangan al-Isyari. Allah berfirman: 
( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
…karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui. (Qs.al-Baqarah:22).
            Sahl berkata: #YŠ#yRr& yaitu أضدادا (artinya: lawan, yang serupa). Ia berkata: al-Andad yang paling besar adalah an-Nafsu al-Amarah berupa ketaatan buruk pada apa yang telah ditentukan dan yang dilarang dari sekutuannya yang bukan dengan petunjuk Allah. Hal ini memberikan isyarat bahwa  an-Nafsu al-Amarah itu dibawah keumuman lafadz al-Andad.  Namun, jika kita perinci dari al-Qur’an, makna ayat FALAA TAJ’ALU ANDAADAN WA ANTUM TA’LAMUUN yaitu bukan berhala, bukan syetan, bukan nafsu, dan bukan hal lain yang sepertinya. Ungkapan ini adalah masalah yang dzahir sekali. Ketika pembicaan ayat ini menunjukan bahwa kata al-Andad al-Ashnam dan yang lainnya yang mereka sembah, sedangkan mereka tidak menyembah berhala itu, tidak menjadikannya Tuhan. Namun, ungkapan ayat ini adalah suatu bentuk penyimpangan dari kebenaran. Oleh karena itu, al-Qasimi tidak mengatakan ungkapannya sebagai “Tafsir ayat”, tapi kata nidd (sekutuan) itu jika ditinjau secara syar’I dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk (tafsiran):
1.      Peninjau terkadang mengambil makna ayat dari kata yang ditemukannya tersebut  disimpangkan pada makna yang tidak sesuai yang ada didalam Qur’an.  Bahwasanya Ia mengumpulkan suatu maksud yang mendekati makna lafadz itu. Sesungguhnya kata nidd adalah sekutuannya yang menyimpang dari apa yang dipalingkan. Sedangkan an-Nafsu al-Amarah ini urusannya menyuruh pelakunya bermuru’ah pada ketentuan-ketentuan yang ditentukan sekutuannya. Dimana ketentuannya mendekati ketentuannya kepada Allah. Maka dalam hal ini, cukup hanya dengan lafadz an-Nidd saja. Karena “jika menyembah pada berhala” ketentuannya pada makna ini harus melihat langsung dengan matanya dan menyaksikan kebenaran (manusia menyembah berhala pada waktu itu). FirmanNya:
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Qs.at-Taubah:31). Ayat ini menandakan bahwa mereka tidak menyembah selain Allah, tetapi mereka menuruti perintah dan larangan segala hal yang diharamkan keharamannya dan kehalalannya oleh mereka.
2.       Suatu ayat yang diturunkan pada ahli penyembah berhala dinisbatkan pula pada orang-orang Islam. Tidaklah kamu ingat, bahwa Umar bi Khaththab berkata kepada sebagian orang yang bersenang-senang dikehidupan dunia diantara kalangan orang Islam. “Bagaimana pendapat kalian tentang ayat ini:
tPöqtƒur ÞÚt÷èムtûïÏ%©!$# (#rãxÿx. n?tã Í$¨Z9$# ÷Läêö7ydøŒr& óOä3ÏG»t6ÍhsÛ Îû â/ä3Ï?$uŠym $u÷R9$# Läê÷ètFôJtFó$#ur $pkÍ5 tPöquø9$$sù tb÷rtøgéB z>#xtã Èbqßgø9$# $yJÎ/ ÷LäêZä. tbrçŽÉ9õ3tGó¡n@ Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ptø:$# $oÿÏ3ur óOçFZä. tbqà)Ý¡øÿs? ÇËÉÈ  
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".(Qs.al-Ahqaf:20). Ayat ini diibaratkan pada diri-dirinya (mereka yang musyrik, baik orang kafir atu muslim).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar