Al-Qasimi dan Makna yang Dinukilnya
bahwasanya al-Qur’an Dapat Ditafsirkan Secara Dzahir dan Batin
al-Qasimi menukil dari asy-Syathibi
dalam kitab Muwafaqatnya, bahwa: “Diantara manusia ada yang mengira
bahwa al-Qur’an itu memiliki makna dzahir dan batin. Terkadang mereka menukil
tentang hal itu pada sebagian Hadits-hadits dan Atsar-atsar”.
Dari Hasan terhadap apa yang diterima dari nabi saw bahwa Ia
berkata: “Allah swt menurunkan suatu ayat kecuali secara dzahir dan batin. Ia
menafsirkan bahwa adz-Dzahir itu Dzahirnya bacaan, dan al-Batin adalah
memahami maksud pembicaraan Allah swt”. karena sesungguhnya Allah swt berfirman:
$yJoY÷r& (#qçRqä3s? ãN3.Íôã ÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3
bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×puZ|¡ym (#qä9qà)t ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB ÏZÏã «!$# (
bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×py¥Íhy (#qä9qà)t ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB x8ÏZÏã 4
ö@è% @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã «!$# (
ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# w tbrß%s3t tbqßgs)øÿt $ZVÏtn ÇÐÑÈ
Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam
benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa
sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?(Qs.an-Nisa’:78).
Maknanya: Mereka tidak memahami maksud pembicaraan Allah.
Penjelasan tentang hal itu, jika
mereka memperhatikan makna adz-Dzahir dan al-Batin, bahwa maksud adz-Dzahir
adalh memahami (kaidah-kaidah) bahasa arab, sedangkan makna al-Batin
adalah maksud Allah dari kalam dan khitabNya. Jadi, jika diantara yang
memutlakkan makna ini, maka apa yang Ia tafsirkan menjadi shahih tidak ada yang
dipertentangkan.
Tapi sesungguhnya,
mereka bermaksud membuat makna lain selain makna diatas. Yaitu mereka ingin
menetapkan suatu tambahan yang tidak diketahui oleh para sahabat dan
orang-orang yang setelah mereka. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu dalil yang
qath’i untuk menetapkan dakwaan ini. Sedangkan “tuntutan agar menafsirkan harus
dengan dalil yang qath’i” itu berangkat
dari argumen orang-orang sebelum asy-Syathibi, dimana dikatakan oleh mereka:”Dalil
Qath’i merupakan asal menghukumkan tafsir Qur’an”.
Suatu ketika asy-Syathibi
meriwayatkan: Bahwasanya dalil yang mereka berikan, jika tujuannya sanadnya
benar sampai Nabi saw. terhadap riwayat ini, terdapat contoh riwayat yang
menjelaskan maknanya secara mutlak.
Telah
menceritakan kepada kami Musa bi Ismail, telah menceritaka kepada kami Abu
‘Awanah dari Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas Ia berkata: Suatu
ketika Umar mengajakku masuk berkumpul bersama para Syaikh pemuka-pemuka Badar,
dan sepertinya. Sebagian dari mereka memendam sesuatu pada dirinya. Maka salah
seorang dari mereka pun bertanya, “Kenapa anda mengikutsertakan anak ini
bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak sebaya dengannya? Maka Umar
pun berkata: Sesungguhnya anak itu memiliki kecerdasan tersendiri seperti yang
telah kalian kenal”. Kemudian pada suatu hari, Umar memanggilnya dan
mengikutsertakannya bersama mereka. Ibnu Abbas berkata: Aku tahu, bahwa tidak
ada maksud lain Umar memanggilku, kecuali untuk memperlihatkan aku pada mereka.
Umar berkata: “Bagaimanakah pendapat kalian berkenaan dengan ayat ini: “IDZAA
JAA-A NASHRULLAHI WAL FATH “ Maka sebagian dari mereka berkata: “Kita
diperintahkan memuji Allah dan meminta maghfirahNya yakni ketika kita diberi
pertolongan dan kekuatan untuk menaklukan suatu negeri”. Lalu sebagian lainnya
diam tak berkata sepatah kata pun. Setelah itu, Umar bertanya padaku: “Apakah
seperti juga pendapatmu wahai Ibnu abbas?” Aku menjawab: “Tidak”. Umar bertanya
lagi: “Lalu bagaimanakah pendapatmu?” Aku menjawab: “Hal itu terkait dengan
ajal Rasul saw, Allah telah memberitahukan padanya. Firman Allah: IDZAA JAA-A
NASHRULLAHI WAL FATH, Itu adalah tanda akan ajalmu. FASABBIH BIHAMDI RABBIKA
WASTAGHFIRHU, INNAAHU KAANA TAWWAABA. (Karena itu, sucika lah Rabbmu dengan
memujiNya. Dan mintalah ampun dariNya. Sesungguhnya Dia Maha Menerima Taubat).
Umar berkata: “Tidak ada jawaban yang lebih tepat, kecuali apa yang kamu telah
katakan”.
Dari hadits diatas, Dzahir ayat tersebut
adalah bahwa allah memerintahkan NabiNya agar bertashbih memuji Allah swt dan
meminta ampun kepadaNya. Sedangkan, makna batinnya bahwa Allah memberitahu
kepada diri Rasul saw.
Apa yang dimaksudkan al-Batin itu?
Al-Batin adalah maksud dari suatu pembicaraan yang
harus memiliki dua syarat:
1.
Benar
sesuai ketentuan kata yang dzahir yang ditetapkan pada bahasa arab dan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa arab
2.
Harus
memiliki nash yang telah disaksikan (para sahabat) atau dzahir ayat pada tempat
yang lain yang menyaksikan kebenaran riwayat tanpa dipertentangkan.
Jika tidak
memilik kedua syarat ini, maka kalimat tafsiran yang dibuat adalah sebuah
dakwaan yang kosong yaitu yang mendakwakan kepada al-Qur’an dan tidak akan
diterima oleh kesepakatan ulama. Asy-Syathibi memberi isyarat bahwa persyaratan
ini didapatkan dalam al-Qur’an.
Kemungkinan bagi kita untuk
mengumpamakan contohnya yang diambil dari Kitab al-Muwafaqat karya
asy-Syathibi yang disebutkan oleh al-Qasimi: contoh ini didalamnya terdapat
Tafsir Batini yang dimaksud. Riwayat ini adalah yang disebutkan Sahl bin
Abdullah, Ia menghitung tentang Tafsir Batin dalam al-Qur’an atau pada
pandangan al-Isyari. Allah berfirman:
…(
xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
…karena itu janganlah kamu
Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui. (Qs.al-Baqarah:22).
Sahl
berkata: #Y#yRr& yaitu أضدادا (artinya: lawan, yang serupa). Ia berkata: al-Andad
yang paling besar adalah an-Nafsu al-Amarah berupa ketaatan buruk
pada apa yang telah ditentukan dan yang dilarang dari sekutuannya yang bukan
dengan petunjuk Allah. Hal ini memberikan isyarat bahwa an-Nafsu al-Amarah itu dibawah keumuman
lafadz al-Andad. Namun, jika kita
perinci dari al-Qur’an, makna ayat FALAA TAJ’ALU ANDAADAN WA ANTUM TA’LAMUUN
yaitu bukan berhala, bukan syetan, bukan nafsu, dan bukan hal lain yang
sepertinya. Ungkapan ini adalah masalah yang dzahir sekali. Ketika pembicaan
ayat ini menunjukan bahwa kata al-Andad al-Ashnam dan yang lainnya yang
mereka sembah, sedangkan mereka tidak menyembah berhala itu, tidak
menjadikannya Tuhan. Namun, ungkapan ayat ini adalah suatu bentuk penyimpangan
dari kebenaran. Oleh karena itu, al-Qasimi tidak mengatakan ungkapannya sebagai
“Tafsir ayat”, tapi kata nidd (sekutuan) itu jika ditinjau secara syar’I
dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk (tafsiran):
1. Peninjau terkadang mengambil makna ayat dari kata yang ditemukannya
tersebut disimpangkan pada makna yang
tidak sesuai yang ada didalam Qur’an. Bahwasanya
Ia mengumpulkan suatu maksud yang mendekati makna lafadz itu. Sesungguhnya kata
nidd adalah sekutuannya yang menyimpang dari apa yang dipalingkan.
Sedangkan an-Nafsu al-Amarah ini urusannya menyuruh pelakunya bermuru’ah
pada ketentuan-ketentuan yang ditentukan sekutuannya. Dimana ketentuannya
mendekati ketentuannya kepada Allah. Maka dalam hal ini, cukup hanya dengan
lafadz an-Nidd saja. Karena “jika menyembah pada berhala” ketentuannya
pada makna ini harus melihat langsung dengan matanya dan menyaksikan kebenaran
(manusia menyembah berhala pada waktu itu). FirmanNya:
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur (
Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4
¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka
mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Qs.at-Taubah:31). Ayat ini menandakan
bahwa mereka tidak menyembah selain Allah, tetapi mereka menuruti perintah dan
larangan segala hal yang diharamkan keharamannya dan kehalalannya oleh mereka.
2. Suatu ayat yang diturunkan pada
ahli penyembah berhala dinisbatkan pula pada orang-orang Islam. Tidaklah kamu
ingat, bahwa Umar bi Khaththab berkata kepada sebagian orang yang bersenang-senang
dikehidupan dunia diantara kalangan orang Islam. “Bagaimana pendapat kalian tentang
ayat ini:
tPöqtur ÞÚt÷èã tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. n?tã Í$¨Z9$# ÷Läêö7ydør& óOä3ÏG»t6ÍhsÛ Îû â/ä3Ï?$uym $u÷R9$# Läê÷ètFôJtFó$#ur $pkÍ5 tPöquø9$$sù tb÷rtøgéB z>#xtã Èbqßgø9$# $yJÎ/ ÷LäêZä. tbrçÉ9õ3tGó¡n@ Îû ÇÚöF{$# ÎötóÎ/ Èd,ptø:$# $oÿÏ3ur óOçFZä. tbqà)Ý¡øÿs? ÇËÉÈ
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang
kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah
menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
karena kamu telah fasik".(Qs.al-Ahqaf:20). Ayat ini diibaratkan pada
diri-dirinya (mereka yang musyrik, baik orang kafir atu muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar