Minggu, 10 Januari 2016

Fashl Pertama
Pengaruh Perbedaan Para Mufassir Terhadap Aqidah
Masalah Pertama: Bertambah dan Berkurangnya Iman

Lafadz iman dalam al-Quran:
1.        Syari’at menamakan kata iman dengan “Islam” yang Nabi Muhammad saw. mendatangkannya, sebagaimana firman Allah ta’alaa:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts  
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah: 62).
2.       Ahlu syari’at samawiyyah telah disifati dengan iman sebagaimana terdapat dalam ayat yang telah lalu, hal itu merupakan pembeda bagi mereka yaitu dari orang musyrik penyembah berhala.
3.       Penyebutan kata iman adalah pada cara pujian dan sanjungan dari tiga sifat yang terkumpul padanya; membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan.
Namun orang-orang berbeda pendapat mengenai letak penamaan iman, yang terbagi berdasarkan madzhab-madzhab, diantaranya:
Madzhab pertama: Iman adalah membenarkan dengan hati mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan. Ini adalah madzhab Jumhur umat.
Madzhab kedua: Iman adalah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Ini adalah madzhab Jumhur Hanafiyah dan sebagian ahlul Kalam.
Madzhab yang ketiga: Iman adalah mengikrarkan dengan hati saja. Adapun mengikrarkan dengan lisan, itu adalah sebuah rukun tambahan bukan pokok. Ini adalah madzhab Maturidiyah dan telah meriwayatkannya dari Abi Hanifah sendiri.
Madzhab keempat: Iman adalah mengikrarkan dengan lisan saja. Ini adalah madzhab Karamiyah.
Madzhab keempat: Iman adalah pengetahuan hati saja. Ini adalah madzhab Jahmiyah, Qadariyah Mu’tazilah.
Adapun dua pendapat yang pertama dan kedua maka keduanya adalah pendapat yang seimbang/adil. Dua pendapat diatas menyatakan bahwa perbuatan yang besar tidak akan keluar dari iman tapi dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak ia akan mengampuninya dan jika Allah berkehendak ia akan mengazabnya.
Firman Allah taalaa:
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y $YZ»yJƒÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGtƒ ÇËÈ   šúïÏ%©!$# šcqßJÉ)ムno4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ   !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèd̍»s3s9 ÇÎÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.”. (al-Anfal: 2-4).
Imam-imam Ahlu sunnah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan betambahnya iman  dari ayat-ayat dan perumpamaannnya adalah kuatnya, bertumbuhnya dan mengokohkan iman yaitu dengan bertambahnya perbuatan dan penyempurnanya hal itu seperti apa-apa yang bisa menguatkan keyakinan muslim.
Murji’ah berpendapat mengenai bertambahnya iman dalam ayat diatas adalah bertambahnya keamanan, yaitu apa yang diturunkan dari al-Quran dan suatu hal baru dari perundang-undangan.
Dari sini, berkembanglah perbedaan antara ahlu sunnah dan yang lainnya yaitu Murji’ah dan orang yang sepakat dengannya mengenai bertambah dan berkurangnya iman. Setiap dua golongan tersebut menunjukan dalil yang menopang pendapat masing-masing.
Perbedaan para Mufasir mengenai tambahan dan pengurangan iman terbagi pada dua pendapat:
1.        Iman merupakan sebuah ucapan, perbuatan, yang bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan, ini adalah pendapat Jumhur umat, yaitu Syafi’i dan Ahmad. Mereka menjadikan dalil dari al-Quran dan sunnah.
Pertama; al-Quran:
tûïÏ%©!$ tA$s% ãNßgs9 â¨$¨Z9$# ¨bÎ) }¨$¨Z9$# ôs% (#qãèuKy_ öNä3s9 öNèdöqt±÷z$$sù öNèdyŠ#tsù $Y
Z»yJƒÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$#               
Yaitu orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".
Kedua dari sunnah:
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: (Akan keluar dari neraka orang yang mengatakan dalam hatinya Laa Ilaahaa Illallaah meski seberat cincin dari kebaikan, dan akan keluar dari neraka orang yang mengatakan dalam hatinya Laa Ilaahaa Illallaah meski seberat biji dari kebaikan). (Muslim dalam Shahihnya).

2.       Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Abu Hanifah mengatakan: “Iman adalah mengikrarkan dan membenarkan, dan iman penduduk langit dan bumi tidak bertambah dan berkurang. Dan orang mu’min mereka sama dalam hal iman dan tauhid, mereka mengutamakan  (mutafadhaluuna) dalam perbuatan”
Imam Abi Hanifah mengungkapkan dalm kitab washiyahnya: “Iman itu tidak bertambah dan berkurang karena iman tidak kan terbentuk kecuali dengan berkurangnya kekafiran, dan tidak kan terbentuk kekurangan iman  kecuali dengan bertambahnya kekufuran”. Lalu bagaimana bila keadaan seseorang dalam satu kondisi yaitu ia mu’min sekaligus kafir?. Orang mu’min itu ia akan berada dan kemu’minan yang sebenarnya dan tidaklah pada keimannya itu ada keraguan, sebagaimana orang kafir, maka dalam kekafirannya ia tidaklah ada keraguan padanya. Berdasarkan firman Allah taalaa:
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (al-Anfal: 4).
Dalam ayat lain Allah berfirman:                                                                  
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya”. (an-Nisaa: 151).
                                                     

Masalah Kedua: Hukum Pengecualian dalam Iman dan menggantungkannya terhadap kehendak Allah
Firman Allah ta’alaa:
£`è=äzôtGs9 yÉfó¡yJø9$# tP#tysø9$# bÎ) uä!$x© ª!$# šúüÏZÏB#uä tûüÉ)Ïk=ptèC öNä3yrâäâ z`ƒÎŽÅ_Çs)ãBur Ÿw šcqèù$sƒrB
Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut..(al-Fath: 27).
Ÿwur £`s9qà)s? >äô($t±Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã$sù šÏ9ºsŒ #´xî ÇËÌÈ   HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”. (al-Kahfi: 23-24).
 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$#
“Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (ash-Shafaat: 102).
Sekelompok Ulama berpendapat -ketika menafsirkan ayat ini dan perumpamaanya- pada bolehnya memasukan pengecualian dalam iman dan mengaitkannya terhadap kehendak Allah. Yang lainnya berpendapat bahwa memasukan pengecualian dalam iman adalah terlarang.
Alusi ketika menafsirkan ayat al-fath, ia mengatakan: “adalah menggantungkan ‘iddah terahadap kehendak, sebagai pengajaran bagi hamba”.
Al-Qhadhi ‘Abd al- Jabaari al-Mu’taziliy dalam kitabnya “Tanjzihul Quraniy ‘Anil Mutha’iyni” mengenai surat al-Fath ini ia mengatakan bahwasanya diantara pengetahuan Rasulullah saw. adalah bahwa ia akan mati pada perang di tahun Hudaibiyah sebelum penaklukan/kemenangan,  maka ia tidak memasuki masjidil haram, oleh karena itu datanglah pengecualian.
Aku mengatakan: sesungguhnya kandungan ayat tersebut atas orang yang berada bersama Rasulullah pada saat perang dan bahwasanya ia akan  mati, adalah ucapan yang bathil sebab keamanan dan memasuki masjidil haram keduanya ada merupakan pengetahuan Allah.
Yang benar adalah, bahwa jumlah (insyaallah) dalam ayat al-Fath tidak memiliki faidah pengecualian, dan itu hanya bermaksud membenarkan khabar dan mengokohkannya saja, demikianlah Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir mengatakannya.
Sumber perselisihan:
Adalah pada pembatasan makna iman, apakah iman itu mencakup perbuatan badan ataukah tidak?, disinilah tetapnya perbedaan diantara mereka yaitu mengenai masuknya pengecualian terhadap iman dan menggantungkannya pada kehendak. Ini terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapat madzhab Jahmiyah, Murji’ah dan Karamiyah, mereka melarang terhadap kebolehan adanya pengecualian terhadap iman.
Pendapat kedua yaitu pendapatnya Asy’ariy, mereka mewajibkan adanya pengecualian.
Pendapat ketiga yaitu pendapatnya madzhab Abu Hanifah dan sahabatnya, mereka membolehkan adanya pengecualian terhadap iman.
Adapun orang-orang yang mengharamkan dan melarang pengecualian terhadap iman, mereka itu mengatakan bahwasanya iman itu adalah mengikrarka dengan lisan saja, atau pengetahuan hati saja. Maka menurut mereka iman itu suatu perkara yang manusia mengetahui bahwa iman itu terdapat pada dirinya dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
Alasan pendapat golongan kedua mereka mengatakan:”bahwa iman merupakan kumpulan keyakinan dengan hati, dibincangkan dengan lisan, apabila engkau cenderung ragu terhadap sebagian hakikat, maka batallah seluruh hakikat itu. Iman adalah kalimat saja, ini merupakan pendapat mereka yang mengatakan bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang.
Pendapat ketiga yaitu jumhur ahlu sunnah diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan ahli hadis, mengatakan,: “mereka memperbolehkan adanya pengecualian atas kehendak perbuatan yang merupakan bagian dari iman dan bukan pembenaran yang ia itu adalah termasuk pokok. Tetapnya pendapat mereka yaitu bertambahnya iman itu dengan keta’atan dan berkurangnya adalah dengan kemaksiatan.
Pendapat yang memperbolehkan itu adanya pengecualian dalam iman sesuai kehendak perbuatan adalah pendapat yang tepat, berdasarkan keumuman nash yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah yang menunjukan terjadinya pengecualian, firman Allah ta’alaa:
Ÿwur £`s9qà)s? >äô($t±Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã$sù šÏ9ºsŒ #´xî ÇËÌÈ   HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”. (al-Kahfi: 23-24).
Dan sabda Nabi saw. tentang salam terhadap ahli kubur: “Dan kami, jika Allh menghendaki akan bertemu dengan kalian”.
Imam Ahmad ditanya tentang pengecualian pada iman, apakah boleh? Ia menjawab, ya boleh, iman dikecualikan pada selain makna ragu karena khawatir atau sebagai bentuk penjagaan terhadap iman.
                                                                                                                  
Masalah Ketiga: Baik dan Buruk Secara Syari’at dan Akal

 Baik secara bahasa adalah baik dan jamaknya adalah “mahaasin” kebaikan-kebaikan. Yaitu merupakan tempat kebaikan dari badan. Dan jelek adalah lawan dari baik/hasan. Jamaknya adalah ”a-qhaba’ih”, penyebutan baik dan buruk itu sesuai jumlah penyebutannya, diantaranya:
1.        Menyebutkan baik dan buruk itu berdasarkan apa yang sesuai dengan tujuan pelaku atau menyelisihi dari tujuan tersebut. Apa yang sesuai dengan tujuan pelaku maka itu disebut baik dan apa yang menyelisihinya maka itu disebut dengan buruk. Maka baik dan buruk itu adalah relatif.
2.       Menyebutkan baik itu adalah untuk sifat yang sempurna dan buruk itu adalah untuk sesuatu yang memiliki kekurangan. Seperti ilmu itu baik dan tidak tahu (bodoh) itu buruk.
3.       Menyebutkan baik itu untuk sesuatu yang dianggap baik menurut pembuat syari’at yaitu dengan cara memuji pelakunya. Dan menyebutkan buruk itu untuk sesuatu yang dianggap buruk oleh Allah caranya yaitu dengan mencela pelakunya. Yang dimaksud dengan keterangan diatas adalah adanya akibat dari perbuatan baik dan buruk yaitu dengan ganjaran pahala dan dosa, dengan pemahaman akal bagi keduanya sebelum datangnya syara’.
Dua penyebutan yang pertama dan kedua, tidak ada perselisihan secara akal, adapun yang ketiga maka itu merupakan tempatnya perselisihan. Perselisihan tersebut adalah apakah hukum mengenai baik dan buruk itu telah tetap sebelum datangnya syara’ ataukah tidak?. Perselisihan tersebut terbagi menjadi tiga pendapat:
1.        Madzhab Mu’tazilah, Abu Hanifah, dan sekelompok Ulama dari imam yang empat berpendapat: Telah tetap hukum dengan akal sebelum datangnya syara’.
2.       Asy’ariy dan sebagian pemilik imam yang tiga yaitu Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mereka berendapat bahwa hukum dengan akal itu tidak tetap sebelum datangnya syara’.
3.       Madzhab jumhur ulama dan ahlul hadis mereka berpendapat, harus adanya perincian.

Dalil-dalil bagi setiap pendapat dan pengarahannya:
1.        Mu’tazilah dan orang yang bersama mereka memberikan dalil, bahwa akal sebagai hujjah. Dengan dalil diantaranya;
a.       Kisah Ibrahim as. Ketika ia berkata kepada ayahnya:
                                                                þÎoTÎ) y71ur& y7tBöqs%ur Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."(al-An’am: 74).
Bentuk pengambilan dalil dari ayat tersebut; bahwa ucapan Ibrahim terhadap ayahnya adalah sebelum diwahyukan kepadanya. Maka kalaulah akal tidak menjadi hujjah bagi dirinya sebelum datangnya syari’at pastilah mereka akan berdalih, dan keadaan mereka ketika itu adalah dalam kesesatan yang nyata.

b.      Juga mengambil dalil dari kisah Ibrahim dalam mengetahui Tuhan-Nya dengan bintang-bintang yaitu dari selain wahyu. Dan Allah telah menjadikan kejadian tersebut sebagai hujjah yang tegak bagi kaumnya.
y7ù=Ï?ur !$uZçF¤fãm !$yg»oYøŠs?#uä zOŠÏdºtö/Î) 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% 4
Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (al-‘An’am: 83).
Apa yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah bagi madzhab mereka tidak menjadi dalil bagi mereka, karena yang dihujjahkan Ibrahim terhadap ayahnya dan kaumnya adalah setelah turunnya wahyu kepadanya.
2.       Asy’ariy dan orang yang bersamanya, mereka memberikan dalil yaitu meniadakan baik dan buruk pada perbuatan sebelum datangnya syara’, dengan dalil diantaranya;
a.       Firman Allah ta’alaa:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu     
Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra’: 15)
           Allah swt. telah meniadakan siksa bagi dari mereka sebelum terjadinya bi’tsah (pengutusan seorang rasul). Ketika adzab itu tiada maka tiada pula dari mereka hukum kafir dan mereka dalam keadaan fitrah.
b.      Firman Allah ta’alaa:
öNs9r& öNä3Ï?ù'tƒ ×@ßâ ö/ä3ZÏiB tbqè=÷Gtƒ öNä3øn=tæ ÏM»tƒ#uä öNä3În/u öNä3tRrâÉZãƒur uä!$s)Ï9 öNä3ÏBöqtƒ #x»yd 4 (#qä9$s% 4n?t/ ô`Å3»s9ur ôM¤)ym èpyJÎ=x. É>#xyèø9$# n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$#  
"Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan Pertemuan dengan hari ini?" mereka menjawab: "Benar (telah datang)". tetapi telah pasti Berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir”. (az-Zumar: 71).
                 Bentuk pengambilan dalil dari ayat ini adalah: bahwasanya Allah telah mengabarkan, bahwa penjaga-penjaga neraka mereka menyeru penghuninya, bahwa telah diutus kepada mereka seorang rasul dan telah diketahui oleh mereka adanya berita tersebut dan hujjah telah tetap atas  mereka, maka neraka membenarkan atas kedurhakaan mereka terhadap rasulnya.

c.       Ulama ahlul hadis dan orang yang mengikutinya, yang mengatakan dengan penjelasan alasan: tidak akan terjadi ganjaran pahala juga dosa kecuali setelah diberitakan oleh syara’. Mereka mengajukan dengan dalil:
a.       Firman Allah ta’alaa:
tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) ö/ä3s9 ֍ƒÉtR îûüÎ7B ÇËÈ   Èbr& (#rßç6ôã$# ©!$# çnqà)¨?$#ur ÈbqãèÏÛr&ur ÇÌÈ   öÏÿøótƒ /ä3s9 `ÏiB ö/ä3Î/qçRèŒ
Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaKu, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu”. (Nuh: 2-4)
Bentuk pengambilan dalil:  bahwa diantara pebuatan-perbuatan kaum Nuh, ia melakukan dosa sebelum Nuh memperingatinya, maka akalnya mengetahui bahwa pebuatan tersebut adalah dosa. Bagi mereka tidak ada hukuman kecuali setelah datangnya syara’.
b.      Hadis dari Hudzaifah bin Yamaan: (hadis).
Bentuk pengambilan dalil dari hadis tersebut ialah: bahwa keburukan dan kejelekan pada masa jahiliyah, keduanya telah dikenal sebelum datangnya kebaikan yang merupakan anjuran dari syara’.
Hasil Perselisihan:
Hasil dari perselisihan mengenai pemahaman akal terhadap baik dan buruk sebelum datangnya syara’ adalah datangnya sebuah permasalahan mengenai, bagaimana hukum anak orang musyrik di akhirat?.
Firman Allah ta’alaa:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu     
Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra’: 15)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum anak orang musyrik di akhirat, pendapat tersebut terbagi kepada empat bagian:
1.        Pendapat pertama yaitu pendapatnya Mu’tazilah dan orang yang sepakat dengannya: bahwa anak-anak orang musyrik itu berada di neraka.
2.       Pendapat kedua yaitu pendapatnya sebagian Asy’ariy dan orang yang mengikutinya: bahwa anak orang musyrik itu berada di surga.
3.       Pendapat ketiga yaitu pendapat sebagian Asy’ariy dan ahlul hadis: bahwa anak orang musyrik itu ditangguhkan/digantung antara surga dan neraka.
4.      Pendapat keempat yaitu pendapatnya jumhur ahlul hadis dan ahlul sunnah serta orang yang mengikutinya diantara imam yang empat: bahwa keadaan anak musyrik itu sebagian ada yang ke surga dan sebagian lagi berada di neraka.
Pendapat mengenai baik dan buruk pada perbuatan sebelum datangnya syara’ adalah ucapan yang yang mengada-ngada yang tidak diketahui berasal dari rasulullah saw, tidak juga dari salah seorang sahabatnya. Dan pembahasan mengenai baik dan buruk itu merupakan bagian dari ilmu kalam dan perdebatan, dan setiap ulama ushul yang membahas mengenai hal tersebut dalam kitabnya sesungguhnya mereka membahas melalui metode para mutakallimien.

Fashl Kedua: Perngaruh Iktilaf bagi Hukum-hukum Fiqih yang Terdapat dalam Surat al-Haj

$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# bÎ) óOçFZä. Îû 5=÷ƒu z`ÏiB Ï]÷èt7ø9$# $¯RÎ*sù /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ ¢OèO `ÏB 7ptóôÒB 7ps)¯=sƒC ÎŽöxîur 7ps)¯=sƒèC tûÎiüt7ãYÏj9 öNä3s9 4 É)çRur Îû ÏQ%tnöF{$# $tB âä!$t±nS #n<Î) 9@y_r& wK|¡B §NèO öNä3ã_̍øƒéU WxøÿÏÛ ¢OèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& ( Nà6ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGムNà6ZÏBur `¨B Štãƒ #n<Î) ÉAsŒör& ̍ßJãèø9$# Ÿxøx6Ï9 zNn=÷ètƒ .`ÏB Ï÷èt/ 8Nù=Ïæ $\«øx© 4
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ” terbagi pada dua:
Pertama; bahla lafadz tersebut adalah dua sifat bagi nuthfah. Pada kata “مُخَلَّقَةٍ” bermakna keberadaanya sama, dan kata “وَغَيْرِ مُخَلَّقَة” adalah sesuatu yang menempel pada rahim berupa nuthfah sebelum bergantung pada rahim.
Kedua; bahwa lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ” pendapatnya Mujahid, lafadz tersebut mencakup dua keadaan, yaitu bisa berarti diciptakan dan tidak diciptakan, dan bentuk “perincian” menunjukan atas banyaknya anggota badan yang bagi setiap anggota tersebut ada ciptaan dan bentuknya.
Pendapat yang diambil dari perbedaan tersebut adalah, bahwa lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ” apakah lafadz itu merupakan sifat bagi nuthfah atau mudghah?, -- yang nampak bagi saya, dan Allah maha mengetahui – bahwa lafadz diatas merupakan dua sifat bagi mudhgah bukan bagi nuthfah, sebab lebih dekat penyebutannya.
Ringkasan Pembahasan
Tema yang terdapat dalam “Ikhtilaful Mufassiriin wa Atsaruhu” merupakan tema yang mendalam, berpegang pada kesungguhan dan dalamnya istinbath hukum sebab kebanyakan orang yang berpegang pada seluruh nash, serta pendapat-pendapat yang tersusun secara rapih.
Oleh karena itu pada pembahasan kali ini, akan diterangkan secara ringkas saja mengenai sebab-sebab yang pokok dan mendasar mengenai ikhtilaful mufassiriin ini, dan disertai keterangan dari mereka atas pengaruh dari adanya ikhtilaf ini mengenai aqidah dan hukum-hukum.
Pada mukadimmahnya dijelaskan perkembangan tafsir, sejarah pengkodifikasian, bagaimana cara Rasulullah saw, menjelaskan al-Quran terhadap para sahabat, dan apakah menafsirkan al-Quran terhadap para sahabat itu seluruhnya sempurna atau tidak?.
Dalam pembahasan buku ini juga menjelaskan cara para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan al-Quran, besrta penjelasan mengenai hal tersebut dengan contoh-contoh yang terbilang, dan penjelaasan tentang metode para mufasir serta pengarahan mereka terhadap yang telah terlebih dahulu dan terkini.
Pada bab pertama: “Sebab-sebab umum terhadap ikhtilaf mufassirin”, didalamnya memperbincangkan tentang:
1.        Qira’at Quran, syarat diterimanya, bagaimana sebab ikhtilaf antara mufassir, hasil dari ikhtilaf. Permasalah yang dibahas disini mengupas tentang, apakah mushaf yang ada pada kita ini teringkas pada satu huruf saja, ataukah mencakup pada huruf-huruf yang tujuh?.  Juga mengenai ringkasan pengkodifikasian qira’at, dan apakah pada qira’at itu disyaratkan harus mutawatir ataukah tidak?
2.       Menjelaskan hal yang berkenaan dengan bagaimana terjadinya perubahan kalimat atau yang memiliki lafadz ganda karena disebabkan ikhtilaf antara para Ulama, pengaruh hal itu terhadap tafsir. Juga mengenai kandungan kalimat berdasarkan hakikat sebuah kaum dan majaz para mutaakhirin, yang merupakan salah satu sebab bagi adanya ikhtilaf antara mufassir, penjelasan pengaruh ikhtilaf pada kebanyakan ayat, serta penyebutan taqyiyd, bayan dan ijmalnya.
3.       Kita sering mendengar dari salaf mengenai ayat-ayat yang dimansukh dengan ayat lainnya, kemudian menjelaskan makna nasakhnya, dan hakikat nasakh menurut para salaf, juga orang yang hadir setelah mereka, perkembangan dari khilafnya serta pengaruhnya pada kebanyakan ayat.
4.      Juga menjelaskan hal yang berkenaan dengan makna tasyabuh dalam al-Quran dan hakikatnya, perselisihan mengenainya, sikap para mufassir yang terdahulu dan terkini dari tafsir bi ra’y dan ‘aql, dan pengaruh tafsir ini terhadap ayat-ayat al-Quran pada banyak tempat.
Pada bab kedua: “Sebab-sebab khusus dari ikhtilaf mufassir”. Didalamnya memperbincangkan:
1.        Ketersambungan terhadap sanad riwayat. Khilaf pengkhususan ayat terhadap hadis, apabila rawi mengingkari riwayat darinya, atau dikhususkan ayat itu terhadap amal rawi jika menyelisihi riwayatnya atau keadaan rawi hadis terhalangi kondisinya.
2.       Penjelasan mengenai sebab khusus bagi ikhtilaf mufassiriin, dari ketersambunganya terhadap matan riwayat, seperti: perbedaan antara mufassir mengenai pemahamannya, tinjauan terhadap perbedaan mereka dalam hal penjagaan sunnah Nabi, bahasa arab, dalil-dalil bagi keduanya mengenai hukum syara’, pengaruh hal tersebut terhadap tafsir al-Quran, dan contoh dari adanya ta’arud antara dalil yang terdapat dalam kitab al-Quran dan sunnah.  Telah menjelaskan pada pembahasan tersebut mengenai khilaf Ulama’, perkembangannya, dan pengaruh dari ikhtilaf ini pada ayat-ayat al-Quran.
3.       Penjelasan mengenai ikhtilaf sumber-sumber tasyri’. Sperti Qiyas, mashlahah mursalah, istishan, syari’at sebelum kita, hujah-hujah terhadap pemahaman yang saling berbeda, penjelasan hukum-hukum dan tambahan terhadap nash. Di dalamnya dijelaskan mengenai khilaf para ulama’, perkembangannya, dan hasilnya terhadap tafsir al-quran.
4.      Mengungkapkan ikhtilaf pada akidah yang merupakan tanda yang kuat dalam kitab tafsir. Maka dipilihlah dua tafsir yang keduanya dijadikan contoh bagi penyimpangan terhadap akidah, yaitu tafsir Majma’ul Bayan Li Thibrisi asy-Syi’i, dan Tafsir al-Kasyaf karya az-Zamakhsyari al-Mu’taziliy.
5.       Juga memerlihatkan kitab-kitab tafsir yang keduanya itu menampakan ta’ashub terhadap madzhabnya, dipilihlah dua contoh tafsir al-Qurtubiy al-Maliki, dan tafsir al-Jashash al-Hanafi.
Pada bab ini juga diperkuat dengan adanya pengkhususan terhadap penjelasan atas dampak dari adanya ikhtilaf antara mufassiriin pada hal akidah dan hukum. Pada perkara akidah ada tiga bahasan persoalan:
1.        Pertambahan iman dan berkurangnya.
2.       Hukum mengecualikan terhadap iman dan kaitannya dengan kehendak.
3.       Baik dan buruk menurut dua akal.

Disana dijelaskan perkembangan ikhtilaf para ulama, dalil bagi setiap pendapat, penegasan tempat perselisihan, penjelasan akan hasil perselisihan pada ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran. Adapun dampak ikhtilaf terhadap hukum-hukum fikih maka dipilihlah surat al-Hajj.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar