Fashl Pertama
Pengaruh
Perbedaan Para Mufassir Terhadap Aqidah
Masalah
Pertama: Bertambah dan Berkurangnya Iman
Lafadz iman dalam al-Quran:
1.
Syari’at menamakan kata iman
dengan “Islam” yang Nabi Muhammad saw. mendatangkannya, sebagaimana firman
Allah ta’alaa:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts
Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah:
62).
2.
Ahlu syari’at samawiyyah telah
disifati dengan iman sebagaimana terdapat dalam ayat yang telah lalu, hal itu
merupakan pembeda bagi mereka yaitu dari orang musyrik penyembah berhala.
3.
Penyebutan kata iman adalah pada
cara pujian dan sanjungan dari tiga sifat yang terkumpul padanya; membenarkan
dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan.
Namun
orang-orang berbeda pendapat mengenai letak penamaan iman, yang terbagi
berdasarkan madzhab-madzhab, diantaranya:
Madzhab
pertama: Iman adalah membenarkan dengan hati mengikrarkan dengan lisan dan
beramal dengan anggota badan. Ini adalah madzhab Jumhur umat.
Madzhab
kedua: Iman adalah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Ini
adalah madzhab Jumhur Hanafiyah dan sebagian ahlul Kalam.
Madzhab yang
ketiga: Iman adalah mengikrarkan dengan hati saja. Adapun mengikrarkan dengan
lisan, itu adalah sebuah rukun tambahan bukan pokok. Ini adalah madzhab
Maturidiyah dan telah meriwayatkannya dari Abi Hanifah sendiri.
Madzhab
keempat: Iman adalah mengikrarkan dengan lisan saja. Ini adalah madzhab
Karamiyah.
Madzhab
keempat: Iman adalah pengetahuan hati saja. Ini adalah madzhab Jahmiyah,
Qadariyah Mu’tazilah.
Adapun dua
pendapat yang pertama dan kedua maka keduanya adalah pendapat yang
seimbang/adil. Dua pendapat diatas menyatakan bahwa perbuatan yang besar tidak
akan keluar dari iman tapi dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak ia
akan mengampuninya dan jika Allah berkehendak ia akan mengazabnya.
Firman Allah taalaa:
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGt ÇËÈ úïÏ%©!$# cqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4
öNçl°; ìM»y_uy yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOÌ2 ÇÍÈ !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)Ìsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèdÌ»s3s9 ÇÎÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia.”. (al-Anfal: 2-4).
Imam-imam
Ahlu sunnah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan betambahnya iman dari ayat-ayat dan perumpamaannnya adalah
kuatnya, bertumbuhnya dan mengokohkan iman yaitu dengan bertambahnya perbuatan
dan penyempurnanya hal itu seperti apa-apa yang bisa menguatkan keyakinan
muslim.
Murji’ah
berpendapat mengenai bertambahnya iman dalam ayat diatas adalah bertambahnya
keamanan, yaitu apa yang diturunkan dari al-Quran dan suatu hal baru dari
perundang-undangan.
Dari sini,
berkembanglah perbedaan antara ahlu sunnah dan yang lainnya yaitu Murji’ah dan
orang yang sepakat dengannya mengenai bertambah dan berkurangnya iman. Setiap
dua golongan tersebut menunjukan dalil yang menopang pendapat masing-masing.
Perbedaan
para Mufasir mengenai tambahan dan pengurangan iman terbagi pada dua pendapat:
1.
Iman merupakan sebuah ucapan,
perbuatan, yang bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan,
ini adalah pendapat Jumhur umat, yaitu Syafi’i dan Ahmad. Mereka menjadikan
dalil dari al-Quran dan sunnah.
Pertama; al-Quran:
tûïÏ%©!$ tA$s% ãNßgs9 â¨$¨Z9$# ¨bÎ) }¨$¨Z9$# ôs% (#qãèuKy_ öNä3s9 öNèdöqt±÷z$$sù öNèdy#tsù $Y
Z»yJÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$#
Yaitu
orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".
Kedua dari
sunnah:
Dari Anas bin
Malik bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: (Akan keluar dari neraka orang
yang mengatakan dalam hatinya Laa Ilaahaa Illallaah meski seberat cincin dari
kebaikan, dan akan keluar dari neraka orang yang mengatakan dalam hatinya Laa
Ilaahaa Illallaah meski seberat biji dari kebaikan). (Muslim dalam
Shahihnya).
2.
Iman adalah meyakini dengan
hati, mengucapkan dengan lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Abu Hanifah
mengatakan: “Iman adalah mengikrarkan dan membenarkan, dan iman penduduk langit
dan bumi tidak bertambah dan berkurang. Dan orang mu’min mereka sama dalam hal
iman dan tauhid, mereka mengutamakan
(mutafadhaluuna) dalam perbuatan”
Imam Abi
Hanifah mengungkapkan dalm kitab washiyahnya: “Iman itu tidak
bertambah dan berkurang karena iman tidak kan terbentuk kecuali dengan
berkurangnya kekafiran, dan tidak kan terbentuk kekurangan iman kecuali dengan bertambahnya kekufuran”.
Lalu bagaimana bila keadaan seseorang dalam satu kondisi yaitu ia mu’min
sekaligus kafir?. Orang mu’min itu ia akan berada dan kemu’minan yang
sebenarnya dan tidaklah pada keimannya itu ada keraguan, sebagaimana orang
kafir, maka dalam kekafirannya ia tidaklah ada keraguan padanya. Berdasarkan
firman Allah taalaa:
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4
“Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (al-Anfal:
4).
Dalam ayat
lain Allah berfirman:
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4
“merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya”. (an-Nisaa: 151).
Masalah Kedua:
Hukum Pengecualian dalam Iman dan menggantungkannya terhadap kehendak Allah
Firman Allah ta’alaa:
£`è=äzôtGs9 yÉfó¡yJø9$# tP#tysø9$# bÎ) uä!$x© ª!$# úüÏZÏB#uä tûüÉ)Ïk=ptèC öNä3yrâäâ z`ÎÅ_Çs)ãBur w cqèù$srB
“Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram,
insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut..(al-Fath: 27).
wur £`s9qà)s? >äô($t±Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã$sù Ï9ºs #´xî ÇËÌÈ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
“Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok
pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”. (al-Kahfi: 23-24).
tA$s% ÏMt/r'¯»t ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? (
þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎÉ9»¢Á9$#
“Ibrahim berkata: "Hai
anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar". (ash-Shafaat: 102).
Sekelompok
Ulama berpendapat -ketika menafsirkan ayat ini dan perumpamaanya- pada bolehnya
memasukan pengecualian dalam iman dan mengaitkannya terhadap kehendak Allah.
Yang lainnya berpendapat bahwa memasukan pengecualian dalam iman adalah
terlarang.
Alusi ketika
menafsirkan ayat al-fath, ia mengatakan: “adalah menggantungkan ‘iddah
terahadap kehendak, sebagai pengajaran bagi hamba”.
Al-Qhadhi
‘Abd al- Jabaari al-Mu’taziliy dalam kitabnya “Tanjzihul Quraniy ‘Anil
Mutha’iyni” mengenai surat al-Fath ini ia mengatakan bahwasanya diantara
pengetahuan Rasulullah saw. adalah bahwa ia akan mati pada perang di tahun
Hudaibiyah sebelum penaklukan/kemenangan, maka ia tidak memasuki masjidil haram, oleh
karena itu datanglah pengecualian.
Aku
mengatakan: sesungguhnya kandungan ayat tersebut atas orang yang berada bersama
Rasulullah pada saat perang dan bahwasanya ia akan mati, adalah ucapan yang bathil sebab
keamanan dan memasuki masjidil haram keduanya ada merupakan pengetahuan Allah.
Yang benar
adalah, bahwa jumlah (insyaallah) dalam ayat al-Fath tidak memiliki faidah
pengecualian, dan itu hanya bermaksud membenarkan khabar dan mengokohkannya
saja, demikianlah Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir mengatakannya.
Sumber perselisihan:
Adalah pada
pembatasan makna iman, apakah iman itu mencakup perbuatan badan ataukah tidak?,
disinilah tetapnya perbedaan diantara mereka yaitu mengenai masuknya
pengecualian terhadap iman dan menggantungkannya pada kehendak. Ini terdapat
tiga pendapat:
Pendapat
pertama, yaitu pendapat madzhab Jahmiyah, Murji’ah dan Karamiyah, mereka
melarang terhadap kebolehan adanya pengecualian terhadap iman.
Pendapat
kedua yaitu pendapatnya Asy’ariy, mereka mewajibkan adanya pengecualian.
Pendapat
ketiga yaitu pendapatnya madzhab Abu Hanifah dan sahabatnya, mereka membolehkan
adanya pengecualian terhadap iman.
Adapun
orang-orang yang mengharamkan dan melarang pengecualian terhadap iman, mereka
itu mengatakan bahwasanya iman itu adalah mengikrarka dengan lisan saja, atau
pengetahuan hati saja. Maka menurut mereka iman itu suatu perkara yang manusia
mengetahui bahwa iman itu terdapat pada dirinya dan tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya.
Alasan
pendapat golongan kedua mereka mengatakan:”bahwa iman merupakan kumpulan
keyakinan dengan hati, dibincangkan dengan lisan, apabila engkau cenderung ragu
terhadap sebagian hakikat, maka batallah seluruh hakikat itu. Iman adalah
kalimat saja, ini merupakan pendapat mereka yang mengatakan bahwa iman itu
tidak bertambah dan berkurang.
Pendapat
ketiga yaitu jumhur ahlu sunnah diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad
dan ahli hadis, mengatakan,: “mereka memperbolehkan adanya pengecualian atas
kehendak perbuatan yang merupakan bagian dari iman dan bukan pembenaran yang ia
itu adalah termasuk pokok. Tetapnya pendapat mereka yaitu bertambahnya iman itu
dengan keta’atan dan berkurangnya adalah dengan kemaksiatan.
Pendapat yang
memperbolehkan itu adanya pengecualian dalam iman sesuai kehendak perbuatan
adalah pendapat yang tepat, berdasarkan keumuman nash yang terdapat dalam
al-Quran dan sunnah yang menunjukan terjadinya pengecualian, firman Allah
ta’alaa:
wur £`s9qà)s? >äô($t±Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã$sù Ï9ºs #´xî ÇËÌÈ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
“Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok
pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”. (al-Kahfi: 23-24).
Dan sabda
Nabi saw. tentang salam terhadap ahli kubur: “Dan kami, jika Allh menghendaki
akan bertemu dengan kalian”.
Imam Ahmad
ditanya tentang pengecualian pada iman, apakah boleh? Ia menjawab, ya boleh, iman
dikecualikan pada selain makna ragu karena khawatir atau sebagai bentuk
penjagaan terhadap iman.
Masalah
Ketiga: Baik dan Buruk Secara Syari’at dan Akal
Baik secara bahasa adalah baik dan jamaknya
adalah “mahaasin” kebaikan-kebaikan. Yaitu merupakan tempat kebaikan dari
badan. Dan jelek adalah lawan dari baik/hasan. Jamaknya adalah ”a-qhaba’ih”,
penyebutan baik dan buruk itu sesuai jumlah penyebutannya, diantaranya:
1.
Menyebutkan baik dan buruk itu
berdasarkan apa yang sesuai dengan tujuan pelaku atau menyelisihi dari tujuan
tersebut. Apa yang sesuai dengan tujuan pelaku maka itu disebut baik dan apa
yang menyelisihinya maka itu disebut dengan buruk. Maka baik dan buruk itu
adalah relatif.
2. Menyebutkan baik itu adalah untuk sifat yang sempurna dan buruk itu adalah
untuk sesuatu yang memiliki kekurangan. Seperti ilmu itu baik dan tidak tahu
(bodoh) itu buruk.
3. Menyebutkan baik itu untuk sesuatu yang dianggap baik menurut pembuat
syari’at yaitu dengan cara memuji pelakunya. Dan menyebutkan buruk itu untuk
sesuatu yang dianggap buruk oleh Allah caranya yaitu dengan mencela pelakunya.
Yang dimaksud dengan keterangan diatas adalah adanya akibat dari perbuatan baik
dan buruk yaitu dengan ganjaran pahala dan dosa, dengan pemahaman akal bagi
keduanya sebelum datangnya syara’.
Dua
penyebutan yang pertama dan kedua, tidak ada perselisihan secara akal, adapun
yang ketiga maka itu merupakan tempatnya perselisihan. Perselisihan tersebut
adalah apakah hukum mengenai baik dan buruk itu telah tetap sebelum datangnya
syara’ ataukah tidak?. Perselisihan tersebut terbagi menjadi tiga pendapat:
1.
Madzhab Mu’tazilah, Abu Hanifah,
dan sekelompok Ulama dari imam yang empat berpendapat: Telah tetap hukum dengan
akal sebelum datangnya syara’.
2.
Asy’ariy dan sebagian pemilik
imam yang tiga yaitu Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mereka berendapat bahwa hukum
dengan akal itu tidak tetap sebelum datangnya syara’.
3.
Madzhab jumhur ulama dan ahlul
hadis mereka berpendapat, harus adanya perincian.
Dalil-dalil bagi setiap pendapat dan pengarahannya:
1.
Mu’tazilah dan orang yang
bersama mereka memberikan dalil, bahwa akal sebagai hujjah. Dengan dalil
diantaranya;
a.
Kisah Ibrahim as. Ketika ia
berkata kepada ayahnya:
þÎoTÎ) y71ur& y7tBöqs%ur Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B
Sesungguhnya
aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."(al-An’am:
74).
Bentuk
pengambilan dalil dari ayat tersebut; bahwa ucapan Ibrahim terhadap ayahnya
adalah sebelum diwahyukan kepadanya. Maka kalaulah akal tidak menjadi hujjah
bagi dirinya sebelum datangnya syari’at pastilah mereka akan berdalih, dan
keadaan mereka ketika itu adalah dalam kesesatan yang nyata.
b.
Juga mengambil dalil dari kisah
Ibrahim dalam mengetahui Tuhan-Nya dengan bintang-bintang yaitu dari selain
wahyu. Dan Allah telah menjadikan kejadian tersebut sebagai hujjah yang tegak
bagi kaumnya.
y7ù=Ï?ur !$uZçF¤fãm !$yg»oYøs?#uä zOÏdºtö/Î) 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% 4
Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim
untuk menghadapi kaumnya. (al-‘An’am: 83).
Apa yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah bagi madzhab
mereka tidak menjadi dalil bagi mereka, karena yang dihujjahkan Ibrahim
terhadap ayahnya dan kaumnya adalah setelah turunnya wahyu kepadanya.
2.
Asy’ariy dan orang yang
bersamanya, mereka memberikan dalil yaitu meniadakan baik dan buruk pada
perbuatan sebelum datangnya syara’, dengan dalil diantaranya;
a.
Firman Allah ta’alaa:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu
“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.” (al-Isra’: 15)
Allah
swt. telah meniadakan siksa bagi dari mereka sebelum terjadinya bi’tsah
(pengutusan seorang rasul). Ketika adzab itu tiada maka tiada pula dari mereka
hukum kafir dan mereka dalam keadaan fitrah.
b.
Firman Allah ta’alaa:
öNs9r& öNä3Ï?ù't ×@ßâ ö/ä3ZÏiB tbqè=÷Gt öNä3øn=tæ ÏM»t#uä öNä3În/u öNä3tRrâÉZãur uä!$s)Ï9 öNä3ÏBöqt #x»yd 4
(#qä9$s% 4n?t/ ô`Å3»s9ur ôM¤)ym èpyJÎ=x. É>#xyèø9$# n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$#
"Apakah belum pernah datang kepadamu
Rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan
memperingatkan kepadamu akan Pertemuan dengan hari ini?" mereka menjawab:
"Benar (telah datang)". tetapi telah pasti Berlaku ketetapan azab terhadap
orang-orang yang kafir”. (az-Zumar: 71).
Bentuk
pengambilan dalil dari ayat ini adalah: bahwasanya Allah telah mengabarkan,
bahwa penjaga-penjaga neraka mereka menyeru penghuninya, bahwa telah diutus
kepada mereka seorang rasul dan telah diketahui oleh mereka adanya berita
tersebut dan hujjah telah tetap atas
mereka, maka neraka membenarkan atas kedurhakaan mereka terhadap
rasulnya.
c.
Ulama ahlul hadis dan orang yang
mengikutinya, yang mengatakan dengan penjelasan alasan: tidak akan terjadi
ganjaran pahala juga dosa kecuali setelah diberitakan oleh syara’. Mereka mengajukan
dengan dalil:
a.
Firman Allah ta’alaa:
tA$s% ÉQöqs)»t ÎoTÎ) ö/ä3s9 ÖÉtR îûüÎ7B ÇËÈ Èbr& (#rßç6ôã$# ©!$# çnqà)¨?$#ur ÈbqãèÏÛr&ur ÇÌÈ öÏÿøót /ä3s9 `ÏiB ö/ä3Î/qçRè
Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu
Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaKu, niscaya Allah akan
mengampuni sebagian dosa-dosamu”. (Nuh: 2-4)
Bentuk pengambilan dalil:
bahwa diantara pebuatan-perbuatan kaum Nuh, ia melakukan dosa sebelum
Nuh memperingatinya, maka akalnya mengetahui bahwa pebuatan tersebut adalah
dosa. Bagi mereka tidak ada hukuman kecuali setelah datangnya syara’.
b.
Hadis dari Hudzaifah bin Yamaan:
(hadis).
Bentuk pengambilan dalil dari hadis tersebut ialah: bahwa
keburukan dan kejelekan pada masa jahiliyah, keduanya telah dikenal sebelum
datangnya kebaikan yang merupakan anjuran dari syara’.
Hasil Perselisihan:
Hasil dari perselisihan mengenai pemahaman akal terhadap
baik dan buruk sebelum datangnya syara’ adalah datangnya sebuah permasalahan
mengenai, bagaimana hukum anak orang musyrik di akhirat?.
Firman Allah ta’alaa:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu
“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.” (al-Isra’: 15)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum anak orang
musyrik di akhirat, pendapat tersebut terbagi kepada empat bagian:
1.
Pendapat pertama yaitu
pendapatnya Mu’tazilah dan orang yang sepakat dengannya: bahwa anak-anak orang
musyrik itu berada di neraka.
2.
Pendapat kedua yaitu pendapatnya
sebagian Asy’ariy dan orang yang mengikutinya: bahwa anak orang musyrik itu
berada di surga.
3.
Pendapat ketiga yaitu pendapat
sebagian Asy’ariy dan ahlul hadis: bahwa anak orang musyrik itu
ditangguhkan/digantung antara surga dan neraka.
4.
Pendapat keempat yaitu
pendapatnya jumhur ahlul hadis dan ahlul sunnah serta orang yang mengikutinya
diantara imam yang empat: bahwa keadaan anak musyrik itu sebagian ada yang ke surga
dan sebagian lagi berada di neraka.
Pendapat mengenai baik dan buruk pada perbuatan sebelum
datangnya syara’ adalah ucapan yang yang mengada-ngada yang tidak diketahui
berasal dari rasulullah saw, tidak juga dari salah seorang sahabatnya. Dan
pembahasan mengenai baik dan buruk itu merupakan bagian dari ilmu kalam dan
perdebatan, dan setiap ulama ushul yang membahas mengenai hal tersebut dalam
kitabnya sesungguhnya mereka membahas melalui metode para mutakallimien.
Fashl Kedua:
Perngaruh Iktilaf bagi Hukum-hukum Fiqih yang Terdapat dalam Surat al-Haj
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# bÎ) óOçFZä. Îû 5=÷u z`ÏiB Ï]÷èt7ø9$# $¯RÎ*sù /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ ¢OèO `ÏB 7ptóôÒB 7ps)¯=sC Îöxîur 7ps)¯=sèC tûÎiüt7ãYÏj9 öNä3s9 4
É)çRur Îû ÏQ%tnöF{$# $tB âä!$t±nS #n<Î) 9@y_r& wK|¡B §NèO öNä3ã_ÌøéU WxøÿÏÛ ¢OèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& (
Nà6ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGã Nà6ZÏBur `¨B tã #n<Î) ÉAsör& ÌßJãèø9$# xøx6Ï9 zNn=÷èt .`ÏB Ï÷èt/ 8Nù=Ïæ $\«øx© 4
“Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
Para ulama
telah berbeda pendapat mengenai lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ” terbagi pada dua:
Pertama;
bahla lafadz tersebut adalah dua sifat bagi nuthfah. Pada kata “مُخَلَّقَةٍ” bermakna keberadaanya sama, dan kata “وَغَيْرِ مُخَلَّقَة” adalah sesuatu yang menempel pada rahim
berupa nuthfah sebelum bergantung pada rahim.
Kedua; bahwa
lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ
مُخَلَّقَةٍ” pendapatnya Mujahid, lafadz tersebut
mencakup dua keadaan, yaitu bisa berarti diciptakan dan tidak diciptakan, dan
bentuk “perincian” menunjukan atas banyaknya anggota badan yang bagi setiap
anggota tersebut ada ciptaan dan bentuknya.
Pendapat yang
diambil dari perbedaan tersebut adalah, bahwa lafadz “مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ” apakah lafadz
itu merupakan sifat bagi nuthfah atau mudghah?, -- yang nampak bagi saya, dan
Allah maha mengetahui – bahwa lafadz diatas merupakan dua sifat bagi mudhgah
bukan bagi nuthfah, sebab lebih dekat penyebutannya.
Ringkasan
Pembahasan
Tema yang
terdapat dalam “Ikhtilaful Mufassiriin wa Atsaruhu” merupakan tema yang
mendalam, berpegang pada kesungguhan dan dalamnya istinbath hukum sebab
kebanyakan orang yang berpegang pada seluruh nash, serta pendapat-pendapat yang
tersusun secara rapih.
Oleh karena
itu pada pembahasan kali ini, akan diterangkan secara ringkas saja mengenai
sebab-sebab yang pokok dan mendasar mengenai ikhtilaful mufassiriin ini, dan
disertai keterangan dari mereka atas pengaruh dari adanya ikhtilaf ini mengenai
aqidah dan hukum-hukum.
Pada
mukadimmahnya dijelaskan perkembangan tafsir, sejarah pengkodifikasian,
bagaimana cara Rasulullah saw, menjelaskan al-Quran terhadap para sahabat, dan
apakah menafsirkan al-Quran terhadap para sahabat itu seluruhnya sempurna atau
tidak?.
Dalam
pembahasan buku ini juga menjelaskan cara para sahabat dan tabi’in dalam
menafsirkan al-Quran, besrta penjelasan mengenai hal tersebut dengan
contoh-contoh yang terbilang, dan penjelaasan tentang metode para mufasir serta
pengarahan mereka terhadap yang telah terlebih dahulu dan terkini.
Pada bab
pertama: “Sebab-sebab umum terhadap ikhtilaf mufassirin”, didalamnya
memperbincangkan tentang:
1.
Qira’at Quran, syarat
diterimanya, bagaimana sebab ikhtilaf antara mufassir, hasil dari ikhtilaf.
Permasalah yang dibahas disini mengupas tentang, apakah mushaf yang ada pada
kita ini teringkas pada satu huruf saja, ataukah mencakup pada huruf-huruf yang
tujuh?. Juga mengenai ringkasan
pengkodifikasian qira’at, dan apakah pada qira’at itu disyaratkan harus
mutawatir ataukah tidak?
2.
Menjelaskan hal yang berkenaan
dengan bagaimana terjadinya perubahan kalimat atau yang memiliki lafadz ganda
karena disebabkan ikhtilaf antara para Ulama, pengaruh hal itu terhadap tafsir.
Juga mengenai kandungan kalimat berdasarkan hakikat sebuah kaum dan majaz para
mutaakhirin, yang merupakan salah satu sebab bagi adanya ikhtilaf antara mufassir,
penjelasan pengaruh ikhtilaf pada kebanyakan ayat, serta penyebutan taqyiyd,
bayan dan ijmalnya.
3.
Kita sering mendengar dari salaf
mengenai ayat-ayat yang dimansukh dengan ayat lainnya, kemudian menjelaskan
makna nasakhnya, dan hakikat nasakh menurut para salaf, juga orang yang hadir
setelah mereka, perkembangan dari khilafnya serta pengaruhnya pada kebanyakan
ayat.
4.
Juga menjelaskan hal yang
berkenaan dengan makna tasyabuh dalam al-Quran dan hakikatnya, perselisihan
mengenainya, sikap para mufassir yang terdahulu dan terkini dari tafsir bi ra’y
dan ‘aql, dan pengaruh tafsir ini terhadap ayat-ayat al-Quran pada banyak
tempat.
Pada bab
kedua: “Sebab-sebab khusus dari ikhtilaf mufassir”. Didalamnya
memperbincangkan:
1.
Ketersambungan terhadap sanad
riwayat. Khilaf pengkhususan ayat terhadap hadis, apabila rawi mengingkari
riwayat darinya, atau dikhususkan ayat itu terhadap amal rawi jika menyelisihi
riwayatnya atau keadaan rawi hadis terhalangi kondisinya.
2.
Penjelasan mengenai sebab khusus
bagi ikhtilaf mufassiriin, dari ketersambunganya terhadap matan riwayat,
seperti: perbedaan antara mufassir mengenai pemahamannya, tinjauan terhadap
perbedaan mereka dalam hal penjagaan sunnah Nabi, bahasa arab, dalil-dalil bagi
keduanya mengenai hukum syara’, pengaruh hal tersebut terhadap tafsir al-Quran,
dan contoh dari adanya ta’arud antara dalil yang terdapat dalam kitab al-Quran
dan sunnah. Telah menjelaskan pada
pembahasan tersebut mengenai khilaf Ulama’, perkembangannya, dan pengaruh dari
ikhtilaf ini pada ayat-ayat al-Quran.
3.
Penjelasan mengenai ikhtilaf
sumber-sumber tasyri’. Sperti Qiyas, mashlahah mursalah, istishan, syari’at
sebelum kita, hujah-hujah terhadap pemahaman yang saling berbeda, penjelasan
hukum-hukum dan tambahan terhadap nash. Di dalamnya dijelaskan mengenai khilaf
para ulama’, perkembangannya, dan hasilnya terhadap tafsir al-quran.
4.
Mengungkapkan ikhtilaf pada
akidah yang merupakan tanda yang kuat dalam kitab tafsir. Maka dipilihlah dua
tafsir yang keduanya dijadikan contoh bagi penyimpangan terhadap akidah, yaitu
tafsir Majma’ul Bayan Li Thibrisi asy-Syi’i, dan Tafsir al-Kasyaf karya
az-Zamakhsyari al-Mu’taziliy.
5.
Juga memerlihatkan kitab-kitab
tafsir yang keduanya itu menampakan ta’ashub terhadap madzhabnya, dipilihlah
dua contoh tafsir al-Qurtubiy al-Maliki, dan tafsir al-Jashash al-Hanafi.
Pada bab ini
juga diperkuat dengan adanya pengkhususan terhadap penjelasan atas dampak dari
adanya ikhtilaf antara mufassiriin pada hal akidah dan hukum. Pada perkara
akidah ada tiga bahasan persoalan:
1.
Pertambahan iman dan
berkurangnya.
2.
Hukum mengecualikan terhadap
iman dan kaitannya dengan kehendak.
3.
Baik dan buruk menurut dua akal.
Disana
dijelaskan perkembangan ikhtilaf para ulama, dalil bagi setiap pendapat,
penegasan tempat perselisihan, penjelasan akan hasil perselisihan pada
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran. Adapun dampak ikhtilaf terhadap
hukum-hukum fikih maka dipilihlah surat al-Hajj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar