Minggu, 10 Januari 2016

JOHN WANSBROUGH DAN
METODOLOGI PENAFSIRAN KITAB SUCI1
Oleh: Laila Mumtahanah2
Karya-karya kontemporer menonjol yang ditulis oleh sarjana Yahudi, setelah Abraham Geiger dan Hirschfeld, diwakili oleh karya-karya Alfred Guillaume (dalam The Influence of Judaism on Islam), Katsch (dala Judaism in Islam), Gerhardsson (dalam Memory and Manuscript: Oral Tradition and Written Transmission in Rabbinic Judaism and Early Christianity, 1964), C.C. Torrey dan John Wansbrough.
Guillaume menolak pandangan beberapa sarjana Kristen dan mengasalkan sumber Islam dari Kristen dan sumber al-Qur‟an dari Bibel. Baginya, Islam dan Kristen sama-sama mengambil ajaran, ritus, doktrin, dan tradisi keagamaan lainnya dari Yahudi. Dimana ajaran tentang monoteisme, eskatologi, malaikat, serta ajaran syurga dan neraka yang terdapat dalam al-Qur‟an itu adalah bersumber dari Perjanjian Lama.
Adapun sarjana kontemporer yang mencari asal usul dari tradisi Talmudik Yahudi adalah John Wansbrough. Pada paparan berikut ini, beberapa pandangannya akan ditulis secara rinci dengan asumsi bahwa pandangannya merupakan perwakilan dari para sarjana Yahudi kontemporer dan kumpulan dari pandangan-pandangan sebelumnya3.
Tapi, sebelumnya agar kita dapat lebih mengenal lagi tentang Wansbrough. Maka disini akan dibahas terlebih dahulu mengenai biografinya.
A. Biografi John Wansbrough
John Edward Wansbrough ( 19 Februari 1928 - 10 Juni 2002 ) adalah seorang sejarawan Amerika yang mengajar di University of London School tentang Studi Oriental dan Afrika ( SOAS ) . Lahir di Peoria , Illinois , Wansbrough menyelesaikan studinya di Harvard University , dan menghabiskan sisa karir akademisnya di SOAS . Ia meninggal di Montaigu - de - Quercy, Prancis 4.
John Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karir akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departement Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London). Kemudian ia menjadi dosen bahasa Arab yang berada di naungan Departement Sastra Timur Dekat. Ia sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja5.
Adapun karya-karyanya yang menyangkut tentang tradisi polemis “analisis obyektif” terhadap sumber-sumber al-Qur‟an. Dimana, ia menulis 3 artikel dan 2 karya utuh.artikel-artikel yang ditulisnya yaitu: A Note on Arabic Rhetoric (dalam Lebende Antike: Symposion fur Rudolf Suhnel), Arabic Rhetoric and Qur‟anic Exegesis, dan Majdz al-Qur‟an : Periphrastic Exegesis. Melalui ketiga artikel ini , Wansbrough mencoba menganalisis dan menguji keoriginalitasan bahasa Arab klasik, melalui pendekatan sastra dan linguistik.
Ketiga artikel ini merupakan dasar bagi penulisan karya utuhnya: Qur‟anic Studies: Source of Methodes of Spiritual Interpretation dan The Sectarian Milieu:
1 Salah satu tugas mata kuliah Studi Tafsir di Barat
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
3 Dadan Rusmana, al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat (Peta Islamologi Barat dalam Studi al-Qur‟an), cet.1, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm.191-192
4 Wikipedia.org
5 Zulfa, John Wansbrough dan Metodologi Penafsiran Kitab Suci, UIN, 2011-2012, pdf, hlm.91. Lihat di Syarif Hidayat, Studi Qur‟an ala Wansbrough, dalam Orientalisme al-Qur‟an dan hadits, hlm.146
Content and Composition of Islamic Salvation History. Dua karya utuh ini berusaha menampilkan sikap kritis melalui pisau “analisis sastra”, serta menghindari kajian doktrin teologi (Islam).
Wansbrough tergolong orang yang cukup produktif, terbukti banyak literature yang ditulisnya. Salah satunya adalah Qur‟anic Studies: Source of Methodes of Spiritual Interpretation. Buku ini ditulis oleh John Wansbrough antara kurun 1968 dan tahun 1972, tetapi baru diterbitkan tahun 1977 oleh Oxford University Press. Karya pertama ini menjelaskan asal usul (sumber-sumber) dan komposisi al-Qur‟an, usaha pengkodifikasian al-Qur;an dan tafsir yang dilakukan oleh orang muslim, serta prinsip-prinsip penafsiran al-Qur‟an.
Adapun tulisan keduanya yaitu The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, yang ditulis sekitar tahun 1973 dan tahun 1977, tetapi baru diterbitkan tahun 1978. Karya keduanya ini berusaha menggambarkan perkembangan evolusi tema-tema doktrin Islam melalui kajian biografi tradisional Nabi Muhammad saw serta melalui kajian doktrin teologi kaum Muslimin sebagai komunitas sosial6.
B. Pemikiran John Wansbrough tentang al-Qur’an
Mengenai karya-karyanya ini, ia memfokuskan penelitiannya itu berkisar pada 3 pusaran utama, yaitu scriptural canon (naskah al-Qur‟an). Prophetology (kenabian Islam), dan sacred language (bahasa agama). Melalui pendekatan objektif terhadap al-Qur‟an dalam mengkaji 3 pusaran diatas, Wansbrough dalam Qur‟anic Studies, menyajikan tesis-tesis kontroversialnya, yakni:
1. Al-Qur‟an berada sepenuhnya dalam tradisi Yahudi (dan hingga taraf tertentu berada dalam tradisi Kristen)
2. Al-Qur‟an yang ada dewasa ini adalah konspirasi dan perpaduan dari berbagai tradisi kaum Muslim pada 2 Abad pertama Islam.
3. Redaksi final al-Qur‟an tidaklah ditetapkan secara pasti sebelum abad ke-3 H/ 9 M, sehingga kisah mengenai resensi Utsmani hanyalah fiktif belaka.
Al-Qur’an berada sepenuhnya dalam Tradisi Yahudi (dan Hingga Taraf tertentu Berada dalam Tradisi Kristen)
Wansbrough mengikuti kecenderungan-kecenderungan karya-karya sarjana Barat Yahudi sebelumnya yang berupaya membuktikan bahwa Muhammad terpengaruh “tradisi Yudeo-Kristiani”. Al-Qur‟an, menurutnya berisi penjejeran-penjejeran tradisi Yahudi (dan dalam tahapan tertentu berisi pula tradisi Kristen). Oleh karena itu, al-Qur‟an merupakan penjiplakan (mimesis) atas kitab suci Yahudi dan Kristen.
Ada 4 tema yang dikemukakan Wansbrough dan dipandang sebagai “karakteristik literature kenabian” yang juga harus menerangi karakteristik-karakteristik pokok al-Qur‟an, yakni: balas jasa (retribution), tanda (sign), pengasingan (exile), dan perjanjian (covenant).
Contohnya: dalam kaitan dengan “teodicy” (pertanyaan psikologi), misalnya, jika memang al-Qur‟an itu kalam Allah, apakah jaminannya bahwa Nabi Muhammad saw tidak salah tangkap dan salah ingat padahal Muhammad kadangkala merasa ketakutan dan bagaikan menahan berat ketika menerima wahyu? Wansbrough berpendapat bahwa kenabian Muhammad saw hanyalah mimesis (imitasi) dari kenabian Musa.
6 Dadan Rusmana, al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana, hlm.194-195
Demikian pula, ajaran tentang “kemukjizatan al-Qur‟an” dipandang sebagai imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga kumpulan ucapan dalam al-Qur‟an dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang mutlak kebenarannya. Walaupun kemudian, Wansbrough mengelak dengan tidak memberikan petunjuk secara empiris tentang bagaimana para sahabat dan tabi‟in menokohkan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul serta bagaimana mereka mengangkat derajat al-Qur‟an sebagai firman Tuhan sebagaimana terjadi terhadapa Taurat dan Injil.
Menurut Wansbrough, dibanding Nabi-nabi lainnya, terutama Nab-nabi dalam tradisi Biblical, wahyu atau ucapan Muhammad sendiri amat rendah derajatnya, meskipun al-Qur‟an menyebut Muhammad sebagai Nabi. Al-Qur‟an menyebutkan kelebihan nabi lain yang tidak dimiliki oleh Muhammad. Misalnya, Nabi Adam menerima beberapa kalimat (Qs.al-Baqarah: 37), dimana Tuhan mengajarkan kepadanya nama-nama benda (Qs.al-Baqarah: 31). Tuhan mengangkat Nabi Ibrahim sebagai imam bagi manusia dan mengujinya dengan beberapa kalimat (Qs.al-Baqarah:124), dan lain-lain.
Untuk membuktikan tesis-tesisnya, Wansbrough menganalisis permulaan surat al-Isra‟ dan menunjukan permasalahan utamanya, yaitu “adanya pengaruh doktrin Yahudi” dalam Perjanjian Lama dan tradisi Biblikal “Pemilihan” dan “Yang tersisa” yang terdapat didalam al-Qur‟an. Menurutnya, di ayat pertama surat al-Isra tidaklah berkaitan dengan peristiwa Isra‟ Nabi Muhammad, sebagaimana dipropagandakan Nabi dan diyakini oleh umat Islam. Menurutnya, ayat ini berkaitan dengan peristiwa bagian kedua dari alkitab (eksodus) Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir ke Israel. Dengan analisis komparatif (berdasarkan perbandingan) terhadap ayat-ayat serupa, Wansbrough berargumentasi bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur‟an lainnya yang menggunakan kalimat “Asra bi „Abdihi Layla” atau yang mirip dengannya, semuanya mengisahkan peristiwa eksodus Nabi Musa tersebut (seperti yang terdapat dalam Qs. Thaha:77, Asy-Syu‟ara:52, ad-Dukhan: 23). Terlebih lagi, ayat-ayat selanjutnya (Qs.al-Isra:101) dikemukakan secara panjang lebat tentang kisah Musa dan kaumnya.
Lalu mengenai ungkapan “Min al-masjid al-Haram ila al-Masjid al-Aqsha” dalam Qs.al-Isra:1, yang memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah pelaku perjalanan malam tersebut. Namun, dipandang Wansbrough sebagai tambahan dari masa belakangan dengan tujuan sebagai tambahan episode Islam di dalam teks resmi (al-Qur‟an). Tambahan ini, jelas bagi Wansbrough berada di bawah pengaruh Taurat (Perjanjian Lama).
Bantahan: Menurut Taufik Adnan Amal, sikap skeptis (kurang percaya/ragu-ragu) Wansbrough terhadap Qs.al-Isra: 1 diatas menunjukan adanya kesamaan atau pengaruh sarjana belakangan yaitu Gustave Weil. Dimana Weil berpendapat bahwa tidak terdapat rujukan lainnya dalam al-Qur‟an mengenai “Perjalanan Malam” (Isra‟ dan Mi‟raj) Nabi Muhammad. Weil mengklaim bahwa Nabi Muhammad sekedar seorang Rasul bukan pembuat mukjizat. Ayat ini dijadikan basis untuk legenda orang terdahulu dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Jadi menurutnya,Qs.al-Isra‟:1 ini tidak berhubungan dengan ayat-ayat selanjutnya.
Menurut Watt, argumentasi Weil dan Wansbrough, hampir-hampir tidak menopang kesimpulan yang didasarkan padanya. Jika hanya dilihat dari ayat itu sendiri, tanpa memasukkan struktur legenda belakangan yang dibangun atasnya, tidak ada sesuatu pun yang aneh didalam ayat ini. Menurut Watt: Banyak terdapat redaksi ayat yang secara sepintas tidak berhubungan di dalam al-Qur‟an, sehingga hampir
tidak dapat dijadikan sebagai argumen, khususnya terhadap ketiadaan kolerasi Qs.al-Isra‟:1 dengan ayat selanjutnya7.
Selanjutnya, dalam kata “Pemilihan”, Wansbrough menganalisis kata “Bala‟”dan “Fatana” dengan Tuhan sebagai subjeknya (Qs.al-Baqarah: 49, al-Fajr:15, al-Ankabut: 3, al-Anbiya‟: 251). Berdasarkan analisisnya, ia mengemukakan:”Di sini keadilan Tuhan menjadi berkurang oleh hal yang jelas sekali merupakan suatu cerminan tradisi „Pemilihan Biblikal‟, yang terbukti didalam ayat tentang Nabi Ibrahim [Qs.al-Baqarah: 124] , Nabi Daud [ Shad: 241, atau Nabi Sulaiman [Qs.Shad:34] merupakan objek pengujian”.
Dan kata Baqiya, Baqiyah dan Baqiyun yang terdapat didalam Qs.Huud:116, asy-Syu‟ara: 120, ash-Shaffat:77,, 43:28, 2: 248, 69:8, 53:51, dipandang Wansbrough sebagai “tradisi yang tersisa” yang selaras dengan Perjanjian Lama.
Bantahan: Fazlur Rahman melontarkan kritikan pedas dalam bukunya Tema-tema Pokok al-Qur‟an bahwa Menurutnya, Wansbrough telah melakukan kesalahan ketika menulusuri makna etimologis dan terminologis dari kata-kata diatas. Al-Qur‟an secara tegas menolak gagasan “yang tersisa” ketika mengatakan kepada kaum muslim bahwa jika mereka tidak mau berjuang di jalan Allah, maka Allah akan mengangkat kaum lainnya untuk menggantikan mereka8.
Rahman mengemukakan kata terakhir (baqiyun) tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur‟an dan secara gramatikal tidak tepat. Kata ini seharusnya Baqun. Menurut Rahman, pengertian ketiga kata itu sebagai “yang tersisa” adalah tidak tepat. Hanya satu ayat yang terdapat arti semacam itu di dalam al-Qur‟an Qs. Ash-Shaffat: 77. Akan tetapi, maksud ayat itu bukanlah makna turunannya. Selain itu, dalam al-Qur‟an tidak terdapat kata turunan b-q-y yang berarti: “sisa-sisa yang masih hidup”. Kata jamak Baqiyat di dalam Qs.al-Kahfi:46 dan Maryam:76 bermaka: “Perbuatan-perbuatan baik yang tetap bertahan walaupun pelakunya sendiri sudah meninggal”
Adapun Baqiyah dalam bentuk tunggal bermakna: “Ajaran Ibrahim yang tetap hidup di dalam diri keturunannya (Qs. Az-Zukhruf:28)” atau “Setiap sesuatu yang tertinggal” (Qs.al-Haqqah:8). Kata baqiyah di dalam ketiga penggunaan al-Qur‟an (Qs.al-Baqarah: 248, Huud:86 dan 116) tidak ada yang berarti: yang tersisa.
Kata terakhir (Baqun), yang dikemukakan Wansbrough untuk membuktikan konsep “yang tersisa” Yahudi, sangat tidak tepat untuk diartikan demikian. Kata ini lebih tepat diterjemahkan sebagai: “Orang-orang yang memiliki keunggulan dan kebajikan”. Sebab, bila diterjemahkan dengan “Orang-orang yang memiliki yang tersisa” terjemahan itu jelas terlihat tidak masuk akal.
Bagi Rahman juga, “Pemilihan” di dalam al-Qur‟an adalah kata lain untuk proses-proses yang terjadi secara alamiah (Qs.al-Baqarah: 124, al-An‟am:83-87, 124, az-Zukhruf: 32).
Sementara itu, sehubungan dengan kritik Wansbrough terhadap beberapa sarjana yang menekankan latar belakang Arab dari al-Qur‟an dan pada saat yang sama mengabaikan latar belakang Yahudi atau Yudeo-Kristiani, tampak bagi Rahman bahwa Wansbrough telah terperosok ke dalam pandangan dan kesimpulan-kesimpulan yang jauh melampaui batas-batas yang bisa diterima akal sehat. Ketika menyatakan bahwa al-Qur‟an sepenuhnya merupakan “perwujudan sektarian (pendukung suatu sekte atau mazhab) dari tradisi-tradisi Yahudi (dan Kristiani)”.
Menurut Watt dalam bukunya Muhammad at Medina, yang terjadi sesungguhnya adalah Di Jazirah Arab, gagasan Yudeo-Kristiani memang luas
7 Ibid, hlm.196-200.
8 Ibid, hlm.201
disebarluaskan, namun tampaknya usaha pencarian penganut baru yang dilakukan tidak membawa hasil. Bahkan, banyak orang Yahudi yang kehilangan identitas dan banyak pula kebiasaan orang Yahudi itu identik dengan kebiasaan orang Arab, yang disebabkan perkawinan campuran antara orang Yahudi dan orang Arab. Orang Yahudi tidak memiliki posisi penting dihadapan orang Arab, bahkan secara klan (kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua keturunan seorang nenek moyang) masuk pada kelompok suku-suku Arab.
Dimana secara religious, mereka kurang dapat menyumbangkan pikiran-pikiran teologis religious, sebagaiman dikatakan Charles Issawi dan Phillip K.Hitti. al-Qur‟an sendiri menyebutkan tentang ketidakberhasilan upaya-upaya mencari penganut baru ini.
Fazlur Rahman mengingatkan bahwa jika berpendapat bahwa al-Qur‟an sepenuhnya atau bahkan terutamanya adalah suatu hasil yang dilatarbelakangi tradisi Yudeo-Kristiani, itu berarti tak lain sebuah ejekan kepada sebuah kebenaran yang jelas. Sebab, kitab suci itu pada intinya tetap berlatarbelakang Arab.
Merupakan suatu kewajaran sebuah tradisi baru terdiri dari inovasi struktur tradisi sebelumnya yang muncul. Hal itu disebutnya oleh Cliford Geertz adalah stratigrafic (heterogenitas hasil interaksi sintesis-dialektis). Terlebih lagi, salah satu fungsi al-Qur‟an adalah timbangan dan penyempurna dari risalah-risalah nabi-nabi sebelumnya. Dalam al-Qur‟an, misalnya sering terdapat kata yang serupa dengan ajaran tradisi Yahudi dan Kristen, namun kata tersebut telah menjadi bahas Arab atau sudah termasyhur di kalangan masyarakat Arab 9.
Pendekatan Historisme tidak Dapat Digunakan untuk Menelusuri Islam, Karena Ketidakpercayaannya terhadap Bukti-bukti pada Masa Pewahyuan dan Kodifikasi al-Qur’an
Dalam Qur‟anic studies, Wansbrough berusaha memperlihatkan keingintahuannya dalam studi Islam, khususnya studi al-Qur‟an dengan mengajukan berbagai pertanyaan historis-analisis. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengantarkannya pada beberapa hal:
1. Ia meragukan bahkan tidak mempercayai bukti-bukti tertulis dan tidak tertulis yang dimiliki oleh Muslim dan Islamolog Barat mengenai sejarah sejarah Islam klasik, terutama masa pewahyuan dan kodifikasi al-Qur‟an. Dimana tidak adanya bukti literal (berupa naskah, manuskrip, atau lainnya) dalam bentuk naskah-naskah sederhana, sekalipun yang menunjukan adanya tradisi penulisan al-Qur‟an pada masa Nabi.
Selain itu, terdapat perbedaan versi antara para pencatat al-Qur‟an di masa Nabi dengan yang dibukukan oleh Khalifah Utsman.
2. Ia memandang bahwa satu-satunya bukti literal yang valid dan akurat tentang Islam klasik hanyalah al-Qur‟an. Dalam hal ini, ia mengadopsi asumsi dari Regis Blachere. Sebagai konsekuensinya, ia hanya mengukur dan membuktikan Islam hanya dari al-Qur‟an melalui pendekatan obyektif.
3. Ia menyamakan kedudukan proses kodifikasi al-Qur‟an dengan proses kodifikasi Taurat atau Injil. Bahkan ia mengukur orisinalitaas al-Qur‟an dengan timbangan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Jadi, sikap ragu Wansbrough ini mendorongnya untuk memosisikan Islam (terutama Islam Klasik) sebagai agama yang ahistoris (suatu fiksi) dengan menekankan tidak adanya dukungan berupa bukti literal dalam hal data arkeolog
9 Ibid, hlm. 223-226
(tidak ada peninggalan-peninggalan sejarah). Oleh karena itu, Wansbrough menawarkan “metode analisis sastra” dalam mengkaji al-Qur‟an dengan titik fokus pada kajian sastra dan linguistik (ilmu tata bahasa). Yaitu pendekatan obyektif yang menjadikan al-Qur‟an sebagai fokus kajiannya tanpa harus mengaitkan dengan penciptanya atau pembacanya.
Fakta bahwa pembentukan literal (penulisan sejarah Islam) secara kolektif dalam tradisi Islam mungkin merupakan proses yang berjalan lebih lama, daripada pembentukan doktrin secatra lisan ke lisan. Maka Wansbrough beranggapan bahwa kondisi seperti itu mengharuskan bagi para pemerhati al-Qur‟an untuk melakukan penelitian serius untuk menghasilkan sumber-sumber yang relevan dengan sejarahnya dan dapat menerima dengan berbentuk sebuah dokumen-dokumen sebagai: “Sejarah penyelamatan” (Salvation History).
Istilah “Sejarah penyelamatan” dalam kajian kitab suci (Bibel) banyak dipergunakan oleh sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen. Dalam konteks pengadopsian istilah ini pada studi al-Qur‟an, Wansbrough dianggap sebagai pelopor orientasi baru oleh para sarjana Barat dan Muslim.
“Sejarah penyelamatan” adalah terjemahan dari istilah Heilsgeschischte (bahasa Jerman) yang pertama kali digunakan oleh J.C. von Hofman (1810-1877) dan Martin Buber (1818-1877) untuk menunjukan kejadian-kejadian yang diceritakan oleh Bibel sebagai perwujudan tindakan-tindakan Tuhan bagi penyelamatan dunia. Sejarahnya mencakup: Penciptaan (kosmologi), eksodus, perjanjian, Israel kuno, para Nabi, dan kedatangan Perjanjian Baru. Istilah lainnya yaitu: “Sejarah Penebusan Dosa” dan “Sejarah Suci”. Dalam bahas Prancis disebut: Histoire de Salut10.
Selanjutnya, dengan mendasarkan diri pada teori yang diajukan Joseph Schact dalam bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudence bahwa hukum Islam yang awal tidaklah didedukasi dari al-Qur‟an. Wansbrough mengemukakan bahwa redaksi final al-Qur‟an barulah disusun paada permulaan abad ke-3 H/ 9 M. karena penyimpulan hukum dari al-Qur‟an merupakan fenomena abad tersebut. Dalam Fiqh Akbar I pun yang disusun sekitar pertengahana abad ke 2 H/8M , sama sekali tidak terdapat rujukan pada al-Qur‟an. Jadi, pada penghujung abad ke-2 H/8 M, mungkin terjaadi semacam gerakan historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama, yang pada gilirannya mengarah pada munculnya “mushaf baku al-Qur‟an” awal abad ke-3H/9 M.
Bantahan: menurut Taufik Adnan Amal, tesis Wansbrough memang baru dan orisinil. Para sarjana Barat yang menggeluti sejarah naskah al-Qur‟an, meskipun dengan kritik-kritik tertentu, pada umumnya menerima teori pengkodifikasian al-Qur‟an di masa kekhalifahan Utsman dan menegaskan bahwa al-Qur‟an yang ada sekarang ini—setidaknya dari segi jumlah dan aransemen surat-surat serta struktur dasar teksnya—berasal dari masa tersebut. Begitu juga, sebagian besar mereka menerima suatu elemen lainnya dari kisah pengumpulan di masa Utsman, bahwa Zaid bin Tsabit memainkan peranan tertentu dalam memapankan teks Utsman11.
Banyak bukti arkeologis berbentuk prasasti, pergamen, graffiti, qirtas (chartes: Bahasa Yunani)dan shuhuf yang menunjukan bahwa orang Aran sudah mengenal tradisi literal. Dengan demikian, menurut Watt dalam Bell‟s Introduction disebutkan bahwa bukan tidak mungkin kalau sebagian besar ayat al-Qur‟an telah dituliskan dalam suatu format selama masa Nabi. Tulisan yang ada pada masa Nabi,
10 Ibid, hlm.201-204
11 Ibid, hlm.238-239
Abu Bakar, dan Utsman berupa naskah awal sederhana merupakna fondasi bagi naskah sempurna.
W.C. Smith berpendapat dalam bukunya What is Scripture? bahwa dari berbagai kitab suci yang ada, termasuk Bibel, al-Qur‟an lah yang mempunyai karakteristik al-Kitab, dilihat dari berbagai aspeknya yang memiliki sifat dan kedudukan paling unggul sebagai sebuai kitab suci.
Pendapat Wansbrough yang mengatakan al-Qur‟an merupakan suatu reaksi pasca kenabian yang redaksi finalnya baru muncul pada permulaan abad ke 3 H/9M, masa ini pun telah terjadinya perkembangan sectarian Islam. Seperti Syi‟ah yang sama sekali tidak menerima periwayatan kalangan Sunni, dan Sunni pun menyeleksi periwayatan dari syi‟ah. Pemahaman Sunni dan Syi‟ah pun tentang al-Qur‟an berbeda, yang seharusnya tidak ada yang berbeda. Namun, dapat dijumpai ayat-ayat duplikat yang identik antar keduanya. Dengan demikian, tesis-tesis Wansbrough itu dalam kenyataannya ahistoris. Paling tidak, naskah final al-Qur‟an telah eksis sebelum munculnya aliran-aliran dalam Islam.
Kenyataan ini menunjukan bahwa penyalinan al-Qur‟an dan pembakuannya telah dilakukan lebih awal sebelum masa perpecahan dan mengkristalnya sekte-sekte dalam Islam. Dapat disimpulkan, teori tentang penyalinan al-Qur‟an dan pembakuannya, setidak-tidaknya pada masa khalifah Utman, lebih dapat diterima ketimbang teori Wansbrough. Argumentasi ini dapat menjelaskan mengapa tidak terdapat perbedaan antara al-Qur‟an yang ada di tangan Syi‟ah dan Sunni maupun sekte-sekte lain yang bersebrangan dengan Sunni12 begitu juga teori Wansbrough.
Komposisi al-Qur’an sebagai Perpaduan berbagai Tradisi
Untuk membuktikan tesisnya bahwa al-Qur‟an merupakan perpaduan berbagai tradisi kaum Muslim awal, Wansbrough menganalisis berbagai kisah al-Qur‟an dan ayat-ayat duplikat didalamnya. Contohnya: Wansbrough berupaya mengkritisi ayat-ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan kisah Nabi Syu‟aib yang terdapat dalam Qs.al-A‟raf:85-93, Huud: 84-95, dan asy-Syu‟ara: 176-190. Dalam ketiga surat tersebut terdapat adanya perbedaan-perbedaan dalam penyajian ceritanya. Hanya pada surat al-A‟raf yang dianggap lengkap oleh Wansbrough. Sebaliknya, dalam surat asy-Syu‟ara didapati cerita yang kurang lengkap. Adanya perbedaan yang demikian, menurutnya berarti ada campur tangan dari tradisi sebelumnya dimana al-Qur‟an menjiplak tradisi dan motif yang ada didalam Bibel13. Dan menurutnya peristiwa dan kronologi kisah pertama tidak sama dengan peristiwa dan kronologi kedua14.
Ia juga menilai bahwa tradisi-tradisi Syu‟aib merupakan bukti yang memadai tentang keindahan sastra, yang terambil dari wacana-wacana kenabian yang hidup, dikenal luas dan telah mapan dalam pengkodifikasian al-Qur‟an.
Bantahan: Menurut Taufik Adnan dalam al-Qur‟an di Mata Barat: Kajian Baru Wansbrough dalama Ulumul Qur‟an, bahwa Bahasan Wansbrough tentang ketiga versi kisah Syu‟aib diatas memang sangat menyimpang dari tradisi umum kajian-kajian umum al-Qur‟an di Barat. Para sarjana Barat memiliki otoritas dalam studi-studi Qur‟an misalnya- Noldeke, Schwally, dan Ricard Bell- selalu menempatkan bahasan mereka tentang al-Qur‟an dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad untuk memahami perkembangan misi kenabiannya atau tema-tema al-Qur‟an.
12 Ibid, hlm.242-245
13 Zulfa, John Wansbrough dan Metodologi Penafsiran Kitab Suci, hlm.93
14 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur‟an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), cet.1, Yogyakarta: LKIS, 2009, hlm.153
Berbeda dengan Wansbrough, maka konsekuensinya duplikasi atau repetisi ayat-ayat al-Qur‟an dipandangnya sebagai hasil karya kaum Muslim dalam setiap state perkembangan mereka, yang belakangan dikumpulkan begitu saja dalam naskah final al-Qur‟an15.
Dalam menyikapi dan menjelaskan perbedaan-perbedaan redaksional ayat-ayat repetitive yang terdapat dalam al-Qur‟an, Fazlur Rahman mengatakan dalam Approaches of Islam in Religion Studies bahwa Wansbrough menekankan adanya tradisi-tradisi lain ketimbang adanya latar belakang kronologi periode-periode Mekkah dan Madinah dan mengabaikan sejumlah fakta psiko-sosiolinguistik.
Dalam psiko-sosiolinguistik dukatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk lisan maupun tulisan kadangkala kebenarannya serta maksudnya berada jauh didepan, bukan berhenti pada waktu itu. Yaitu kandungan dan kebenarannya bersifat intensional dan teleologis. Setiap pengarang (Allah), al-Qur‟an dan pembacanya (kaum Muslim) tidak bias lepas dari konteks social, politis, psikologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu (tidak bias lepas dari sifat local-kulturalnya).
Contohnya: ketika menceritakan kisah percekcokan Ibrahim dengan Ayahnya missal dalam konteks Makkah (Qs.Maryam: 47”ayat Makiyyah”) menyatakan bahwa Ibrahim, meskipun melepaskan diiri dari persekutuan dengan ayahnya, ia berkata bahwa ia akan terus berdo‟a agar ayahnya dapat dimaafkan. Akan tetapi ketika di Madinah, ketikka sudah menjaadi keharusan untuk memisahkan kaum Muslim Imigran asal makkah dari anggota keluarga terdekatnya di Mekkah yang maasih menyembah berhala. Al-Qur‟a berkata kepada mereka: Ibrahim memintakan ampun pada ayahnya hanyalah karena dia sudah mengikrarkan janji(Qs.at-Taubah: 114) (maksudnya, dia sudah sepenuhnya memutuskan hubungan dengan ayahnya)16.
Adapun penjelasan dalam buku Stilistika al-Qur‟an, bahwa penyebutan rangkaian peristiwa pada kisah Nabi syu‟aib ini tidak sama, karena mereka memahami alat kohesi (harf al-„Athaf) pada huruf wau‟sebagai kata penghung tersebut sebagai huruf yang ada konsekuensi pada kronologi peristiwa. Padahal, sesuai dengan karakternya, kisah itu dimaksudkan untuk menerangkan bahwa kisah-kisah tersebut benar-benar terjadi. Dan kata penghubung ini tidak untuk menjelaskan mana yang dahulu dan kemudian17.
C. Pendapat Para Pendukung dan Pengkritik Wansbrough
Diantara pendapat-pendapat dari sarjana Barat dan Muslim mengenainya:
Issa J. Boullata, ketika meresensi karya kontroversial Wansbrough, ia menganggap bahwa pemikirannya hanya merupakan dugaan (hipotesis) yang belum dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Meskipun begitu, ia menilai karyanya sejajar dengan studi-studi kesarjanaan Barat yang berpengaruh seperti Ignaz mengenai haditsnya, Muhammadanische Studien.
Josep van Ess memandang bahwa metodenya itu tidak mungkin bermanfaat, walaupun ia teta tidak menerima kesimpulan-kesimpulan Wansbrough. Sementara, W.Montgomery Watt memandang karya Wansbrough, Qur‟anic Studies, memperlihatkan keilmiahan yang tinggi, namun didasarkan atas asumsi-asumsi yang meragukan.
Dipihak berlawanan, sezaman dengan dengan Wansbrough adalah John Burton dengan karyanya The Collection of the Qur‟an. Ia berpegang kepada doktrin “nasakh” sehingga ia mengatakan keseluruhan teks al-Qur‟an itu di edit, dicek, dan
15 Dadan Rusmana, al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana, hlm.250
16 Ibid, hlm.254-256
17 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur‟an, hlm.153
disebarluaskan oleh Nabi Muhammad. Walaupun begitu, ia menerapkan metodologi Wansbrough dalam karyanya yang lain, The Source of Islamic Law: Islamic Theoris Abrogation.
Agar tidak membawa pengaruh skeptisisme tentang karya John Wansbrough ini, maka Fazlur Rahman menyerang dengan bertubi-tubi pada wansbrough, setidak-tidaknya tertuang dalam 4 karyanya, terutamanya buku The Major Themes of The Qur‟an. Ia berkata: “Ketidaksetujuan saya terhadap wansbrough sedemikian banyaknya, sehingga mungkin hanya dapat dipahai secara tepat dengan membaca buku saya ini dan buku Wansbrough”. Ia menganggap kajian Wansbrough sebagai masalah yang serius dan merupakan ancaman terhadap masa depan islamologi Barat dan prasangka dogmatik (kepercayaan yang harus diyakini) kaum Muslim18. Adapun tokoh lainnya adalah Muhammad Arkoun19.
D. Latar belakang Pemikiran Wansbrough
Hal-hal yang melatarbelakanginya adalah:
1. Prasangka dogmatis: Nampak ketika ia memasuki pergumulan wacana Barat tentang asal-usul Qur‟an. Dimana terdapat “peperangan wacana” antara sarjana Yahudi, Kristen, dan Muslim. Ketika ada yang mengasalkan Kristen sebagai sumber zislam. Maka kata Rahman: Wansbrough muncul untuk membela Yahudi.dan pada satu sisi, ia berusaha mendekontruksi keyakinan umat Islam mengenai ketaqdisan al-Qur‟an. Akhirnya, dengan hal tersebut ia terjebak dalam kekangan teologis Yahudi dan menggunakan pemikiran teologisnya untuk memasukkan al-Qur‟an kedalam lingkaran hermeneutik Yahudi.
2. Erosentrisme (Ajaran yang berpusat pada ke Eropa): yaitu berprasangka rasionalisme-positivisine, dengan alasan tidak adanya dukungan bukti-bukti literal bagi naskah awal penulisan al-Qur‟an pada masa kenabian Islam.
3. Strukturalisme linguistik dan Hermeneutika transedentalis: terlihat ketika ia menerapkan metode analisis sastra dan pendekatan obyektif yang menekankan analisis struktur linguistik dalam mengkaji al-Qur‟an, menolak pendekatan lain terutama historisisme dan fenomenologi dengan mengabaikan pemilik dan pengguna al-Qur‟an20.
E. Motivasi John Wansbrough
Karya kontemporer Yehude Nevo dan J.Koren yang menerapkan pendekatan revisionis dalam studi Islam dengan hasil yang mengejutkan. Menurut Azami, pendekatan seperti ini tidak lain bertujuan agar menghapuskan sejarah Islam secara menyeluruh, dan mengadakan pemalsuan terhadap sejarah Islam yang lainnya. Seperti peristiwa munculnya berhala di kota Makkah sebelum Islam, pemukiman Yahudi di Madinah, dan kemenangan umat Islam terhadap Bzantyum di Syiria semuanya ditolak. Atau seperti bukti arkeolog yang menunjukan bahwa tempat-tempat suci berhala seperti ditegaskan dalam sumber-sumber umat Islam tidak terdapat pada masa Jahiliyyah di Hijaz, namun tempat suci yang benar-benar menyerupainya ada di Najaf tengah seketika setelah dinasti Abbasyiah berkuasa.
Begitu juga tentang pernyataan mereka, bahwa tidak ada bukti permukiman Yahudi di Hijaz di zaman Nabi Muhammad, hasilnya kita harus menafikkan semua ayat-ayat mengenai Yahudi, karena hal itu tidak mungkin dikarang Nabi Muhammad
18 Ibid, hlm.205-209
19 Ibid, hlm.246
20 Ibid, hlm.209-211
saw. Jadi, masyarakat Islam telah menambah pada masa berikutnya pernyataan-pernyataan yang tidak terdapat buktinya dan dinamakan al-Qur‟an. Dan tentang masalah memproyeksikan (memperkirakan keadaan masa mendatang dengan menggunakan data sekarang) kembali tentang ada tidaknya peninggalan kuno adanya keberadaan pendeta Yahudi di palestin yang menjadikan ulasan Koren dan Nevo persis dengan teori Wansbrough21.
Dengan demikian, benar apa yang dikatakan dalam buku encyclopedia of The Qur‟an bahwa Wansbrough merupakan salah satu penganut aliran revisionis sebagaimana kebanyakan para orientalis. Mereka sangat monolitik tetapi bersatu untuk menolak validitas sejarah pada sejumlah masalah yang berdasarkan fakta-fakta yang diserap dari sumber-sumber literature muslim yang diteliti dengan bukti dari luar, dan jika terdapat silang diantara keduanya maka yang kedua harus diberi prioritas lebih22.
Dari sisi subjektifitas dapat diketahui motif dari Wansbrough, ia menilai bahwa Islam Ia nilai sebagai agama jiplakan atau percampuradukkan agama-agama Yahudi-Kristen. Pandangan ini tidak dijadikannya sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya seca ilmiah adan objektif. Tetapi dijadikannya sebagai dasar titik tolak yang pasti. Sehingga dari segi metodologis dapat juga dipaastikan bahwa penemuannya yang berdasar pada pandangan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan23.
Dari pemaparan diataas, sedikitnya penulis menyimpulkan mengenai pemikiran John Wansbrough menurut M.M. AZami bahwa: dalam hal ini, Wansbrough memperagakan “bukti” bahwa al-Qur‟an yang ada sekarang ini bukan lagi semata-mata “karya tulis Muhammad” tetapi karya banyak komunitas yang terpencar-pencar di seluruh dunia Islam yang membangun teks itu sekitar 200 tahun lebih24. Mengutip Humphreys: wansbrough berharap bias menetapkan 2 poin utama yaitu:
- Kitab suci Islam-bukan hanya hadits, bahkan al-Qur‟an sendiri- dihasilkan oleh sebab kontroversi mazhab yang memakan waktu lebih dari 2 abad, yang kemudian secara fiktif ditarik pada satu titik asal penciptaan oleh orang Arab.
- Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, dibentuk atas prototype kependetaan Yahudi25.
21 M. M. Azami, The History of The Qur‟anic Text (From Revelation to Compilation), terj: Sohirin Solihin, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm.376-378
22 Zulfa, John Wansbrough dan Metodologi Penafsiran Kitab Suci, hlm.98
23 Ibid
24 Prof. Norman Calder kemudian bergabung dalam kelompok ini, menunjukan bahwa karya-karya pada periode itu bukan saja al-Qur‟an yang telah ditulis oleh komunitas Islam secara keseluruhan. Ia membuat teori bahwa setiap karya yang terkenal yang ditulis oleh para ilmuwan abad 2 dan 3 seperti Muwatta‟ Imam Malik, al-Umm karya asy-Syafi‟I , al-Kharaj karya Abu Yusuf, dan lain-lain adalah teks ilmiah yang tidak ditulis secara individual. (Norman Chalder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, Universitas Oxford Press, 1993)
25 M. M. Azami, The History of The Qur‟anic Text, hlm. 376
DAFTAR PUSTAKA
Dadan Rusmana, al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat (Peta Islamologi Barat dalam Studi al-Qur‟an), cet.1, Bandung: Pustaka Setia, 2006
M. M. Azami, The History of The Qur‟anic Text (From Revelation to Compilation), terj: Sohirin Solihin, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2005
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur‟an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), cet.1, Yogyakarta: LKIS, 2009
Zulfa, John Wansbrough dan Metodologi Penafsiran Kitab Suci, UIN, 2011-2012, pdf,
Website:
Wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar