MAKNA
I’JAZUL QUR’AN[1]
Oleh:
Laila Mumtahanah[2]
Pendahuluan
Allah sama sekali tidak akan
menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke
waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk. Sehingga mereka dapat menjalani
lika-liku kehidupan ini dengan pengetahuan dan keterangan. Namun, karena watak
manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia
lainnya. Oleh karena itu, Rasul-rasul Allah disamping diberi wahyu juga
dibekali kekuatan yang luar biasa sehingga dapat menegakkan hujjah dan mengakui
kelemahannya.
Allah memberikan mukjizat-mukjizat hissiyah
yang dapat diindrai langsung oleh kaum dan mukjizat yang dikhususkan pada Nabi
tertentu sesuai yang telah mereka kenal, namun diluar kebiasaan mereka. Dan ketika
akal mereka telah mencapai taraf yang tinggi, maka Allah mendatangkan risalah
Nabi Muhammad yang abadi untuk seluruh zaman dan seluruh manusia.
Pembicaraan tentang kemukjizatan
al-Qur’an oleh para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi sampai ia
mendapatkan dibalik sisi itu sisi-sisi yang lainnya, yang akan disingkap
rahasia kemukjizatannya oleh zaman. Untuk lebih memahami tentang kemukjizatan
al-Qur’an, makadibawah ini akan dibahas sedikitnya mengenai makna mukjizat
al-Qur’an menurut para ulama.
Pengertian I’jazul
Qur’an
Didalam
Kitab I’jaazul Qur’an al-Bayaani disebutkan bahwa Makna Lughawi I’jazul
Qur’an adalah bentuk Murakkab Idlafi yang terdiri dari 2 kalimat yaitu I’jaz
dan al-Qur’an. Bentuk murakkab idlafi ini adalah khabar untuk mubtada’
yang dibuang. Asalnya (taqdiruhu): hadzaa I’jazul Qur’an. Al-Qur’an adalah kalimat kedua pada bentuk murakkab ini,
al-Qur’an adalah isim musytaq dari kata qira’ah yang akarnya dari
3 kata yaitu qa-ra-a’, yaqra-u, waqran, qiraa-atan, qur-aanan. sedangkan
I’jaaz adalah mashdar fi’il madly ruba’I, yaitu: A’jaza, yu’jizu,
I’jaazan. Akarnya dari 3 kata yaitu ‘ajaza, yu’jizu,’ajzan fahuwa
‘aajizun.
Menurut
Ibnu Faris dan ar-Raghib al-Ashfahani, kata al-‘Ajzu artinya dla’fu
‘an asy-Syai-I (lemah dari melakukan sesuatu) atau at-Ta-akhkhara ‘an
asy-Syai-I (lemah atau lambat dari tumbuh, kembang) kebalilkan dari al-Qudrah
dan al-Isthithaa’aat (kuasa, sanggup, bisa melakukan sesuatu).
Sedangkan makna al-I’jaz adalah
hal yang telah lewat (berlalu, ketinggalan, kehilangan) dan telah mendahului.
Dan yang dimutlakan pada “seorang pemenang (al-Faaiz)”. Sebagaimana
halnya Orang yang berlomba dengan musuhnya yaitu menjadikan musuhnya tertinggal
untuk mencapainya. Oleh karena itu dikatakan: “Musuh itu dikalahkan orang yang
mendahuluinya”. Jadi, I’jazul Qur’an adalah al-Qur’an melemahkan atau
melambatkan orang-orang kafir untuk membuat ayat semisal al-Qur’an.
Kita mengetahui bahwa makna I’jazul
Qur’an itu semestinya agar kita dapat memberikan peringatan terhadap sikap
orang kafir kepada al-Qur’an.
Sungguh Rasul saw telah mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an kepada
orang-orang kafir, memberi kabar bahwa Allah lah yang mengutusnya kepada
manusia sebagai Nabi dan Rasul, menurunkan kepadanya al-Qur’an. al-Qur’an yang
diperdengarkan kepada mereka ini bukan ucapan Nabi atau makhluk lainnya.,
melainkan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan menuntut
agar mereka bisa mengimaninya. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang kafir malah
mendustakan rasul saw. Mereka menduga bahwa Nabi Muhammad bukan Rasul dan
al-Qur’an adalah ucapan manusia dari bangsa lain.
Mereka menduga bisa menandingi al-Qur’an, sekalipun mereka hendak
berkata dan mengarang ayat yang semisalnya. Lalu mereka katakan dan
mengarangnya, namun sebenarnya mereka tidak menginginkannya! Disini, Allah
menantang mereka, meminta mereka untuk mengarang ayat yang semisal al-Qur’an,
lalu menyuruh mereka membuat hanya satu huruf saja atau 10 ayat saja sampai
satu surat. Namun, mereka tidak mampu melakukannya. Walaupun telah mencoba
meringkas dari beberapa ayat, namun mereka lemah untuk menandingi al-Qur’an.
Inilah makna I’jazul Qur’an, yaitu al-Qur’an menjadi mukjizat bagi
mereka. Dimana didalam al-Qur’an terdapat al-‘Ajzu, adl-Dla’if, al-Qushur (lemah),
dan at-Ta’akhar yaitu lebih unggul, melewati dan mendahului mereka.
Jadi, makna I’jazul Qur’an adalah Tidak mampunya orang-orang
kafir untuk menandingi al-Qur’an,
melemahkan mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an yang mesti
menyempurnakan bakat kefasihan bahasa mereka, membentuk da’I yang akan terus
menerus menantang mereka dan menetapkan kelemahan mereka untuk menandingi
al-Qur’an.
Apabila orang-orang kafir tidak mampu menandingi al-Qur’an, maka
al-Qur’an itu menjadi mukjizat bagi mereka. Dan hal ini memberikan hakekat
ketidakmampuan mereka menandingi al-Qur’an. Sedangkan I’jazul Qur’an bagi
orang-orang yang mengingkarinya menunjukan bahwa al-Qur’an itu adalah kalam
Allah, bukan kalam makhluk Allah lainnya. Dan juga menunjukan bahwa Nabi
Muhammad itu utusan Allah (Rasul)[3].
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, bahwa
sesungguhnya perkara-perkara yang pada lahirnya terjadi diluar hukum yang
biasa, atau kejadian-kejadian diluar adat yang dikenal, sudah dikabarkan
terjadi pada semua bangsa pada segala zaman. Kabar tentang hal itu tidak bisa
dibantah, karena memang terjadi berulang, meskipun bentuk, orang yang terlibat,
atau tempat kejadiannya tidak sama. Kejadian itu tidak seluruhnya termasuk luar
biasa secara hakiki, sebab diantara ada sebabnya, hanya saja tidak diketahui
banyak orang. Sebagian malah dibuat oleh manusia yang dihasilkan dengan
belajar. Contohnya penyakit buta dan lumpuh. Banyak orang yang tidak bisa
melihat karena terserang penyakit yang merusak syaraf mata, padahal mata itu
sendiri sehat, atau hanya tertutup oleh selaput putih dan bukan buta sehingga
matanya rusak. Kerusakan mata ini seperti yang disembuhkan oleh Nabi Isa dengan
izin Allah swt.
Terdapat juga kejadian luar biasa
karena penglihatan yang tertipu oleh khayal tukang-tukang sulap, seperti yang
dikerjakan tukang-tukang sihir Fir’aun yang diterangkan firman Allah swt:
قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
Berkata
Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali
dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat,
lantaran sihir mereka.(Qs.Thaaha:66)
Atau dikarenakana pendengaran yang
tertipu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku memiliki pembantu
jin, dan mereka bisa bercakap-cakap pada malam hari dengan suara yang aneh. Maka
orang yang mempercayainya menyangka, suara itu adalah suara jin. Ada juga suatu
penipuan yang mengakui bahwa ada seorang wanita yang bisa berbicara jin yang
ada dalam perutnya disiang hari, namun wanita ini telah mengakui penipuan yang
dilakukannya. Berita ini telah dimuat dalam sebuah Koran. Cerita-cerita mereka
jangan sekali-kali dipercaya. Diantara bukti kebohongannya adalah mereka
melakukan penipuan untuk diri mereka sendiri. Sedangkan, jika benar mereka
dapat menciptakan keajaiban maka para pembesar pun akan berebut untuk
memanfaatkan mereka.
Pada
umumnya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mereka tentang sejarah
dan keanehan-keanehan yang terjadi pada suatu bangsa, padahal hal itu telah
diungkap oleh para ulama dan para sahabatnya. Sehingga tidak mudah tertipu dan
tunduk kepada para pendusta yang menggerogoti dan merampas harta, harga diri
dan kehormatan kita.
Adapun
ayat-ayat atau tanda-tanda Allah yang hakiki yaitu yang sering disebut mukjizat
jauh lebih tinggi dan sangat berbeda dengan perbuatan aneh buatan tadi. Tidak
seorang pun dapat megusahakan dan membuat mukjizat. Mukjizat para Rasul itu
Allah yang mengokohkannya, bukan karena hasil amal, usaha, dan pengaruh mereka.
Hal ini seperti yang terjadi pada nabi Musa yang merasa takut ketika tongkatnya
berubah menjadi ular. Ia sangat ketakutan dan lari membelakang, serta tidak
menoleh lagi kearah tongkatnya. Karena Nabi Musa sangat ketakutan, maka Allah
menenangkan jiwanya dan menghilangkan rasa takut itu. Atau seperti yang terjadi
kepada Nabi Muhammad saw yang diperintah Allah untuk menjawab kaum-kaum yang
mendesak beliau agar menunjukan mukjizat, yaitu dengan mengucapkan: “katakanlah,
Maha Suci Tuhanku, Sesungguhnya aku tidak lain hanya manusia biasa yang diutus”
(Qs.al-Isra’: 93)[4].
Pernyataan
mengenai mukjizat pada Nabi terdahulu, semuanya ada dalam al-Qur’an. Jadi,
tidak mungkin menetapkan mukjizat yang tidak akan terbantahkan lagi kecuali
hanya dengan al-Qur’an. Banyak sekali penolakan tentang mukjizat oleh para
cendekiawan yang mencoba melakukan penelitian dengan memahami dan merenungi
kitab-kitab sebelum adanya al-Qur’an (Taurat dan Injil), hal ini dikarenakan
beberapa alasan:
1.
Mengenai
kesinambungan berita yang menceritakan mukjizat, sama sekali tidak meyakinkan,
sehingga tidak bisa diambil suatu kepastian (kemutawatirannya tidak menjamin
kebenaran). Banyak sarjana Barat menuduh bahwa kisah Nabi Isa adalah cerita
yang dibuat-buat.
2.
Adanya
keajaiban pada seseorang tidak secara otomatis ia juga diangkat menjadi Nabi.
Adapun
mukjizat al-Qur’an itu kekal sampai hari kiamat. Dan setiap orang yang mengerti
sejarah Islam akan mengetahui secara pasti dan yakin bahwa al-Qur’an itu
mutawatir, diriwayatkan secara terus menerus bersambung sepanjang masa, sejak
dari masa rasul yang membawa al-Qur’an hingga sekarang. Adapun perkara dalam
al-Qur’an yang masih samar diyakini adanya I’jaz yang menunjukan bahwa
al-Qur’an adalah wahyu Allah[5].
Adapun didalam Kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an bahwa Mukjizat
adalah sesuatu yang diluar kebiasaan dan terjadi ketika ada tantangan dan tak
satu pun bisa mengelak atau membantah keberadaannya baik secara hissiyah
(nyata, kejadian yang dapat ditangkap panca indra) atau ‘aqly (rasio, fenomena
yang tak terduga, didapat setelah melalui proses perenungan dan pemikiran).
Kebanyakan mukjizat Kaum Bani Israil itu secara hissiyah,
dikhususkan untuk negeri mereka saja dan sedikit yang melihat dan
menyaksikannya. Sedangkan mukjizat umat sekarang adalah secara ‘aqliyah,
karena kelebihan kecerdasan dan sempurnanya pemahaman mereka. Syari’at umat
sekarang ini telah ditetapkan pada lembaran-lembaran al-Qur’an sejak masa Nabi
Muhammad sampai hari kiamat kelak.
Ada juga yang mengatakan bahwa I’jaazul Qur’an maknanya yaitu
disaksikan dengan al-Bashirah (akal, kepandaian, hujjah, saksi),
disaksikan terus menerus sampai hari kiamat, sesuatu hal yang diluar kebiasaan
dalam uslub dan balaghahnya, memberi kabar ghaib, tidak melewatkan suatu masa
dari masa-masa setelah Nabi Muhammad saw wafat, tampaknya (terbukti) hal-hal
ghaib yang diberitakan yang menunjukan kebenaran dakwahnya. Berbeda dengan
mukjizat para Nabi sebelumnya yang musnah sesuai dengan musnahnya masa kenabian
para Nabi tertentu.
Pendapat lainnya ayitu bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara
Ahli Akal bahwa Kitab Allah adalah mukjizat, seorangpun tidak ada yang bisa
menandinginya setelah menantang mereka. Ketika Nabi saw membawa al-Qur’an
kepada mereka, dan keadaan orang-orang Arab memiliki kefasihan dalam berbicara.
Maka Allah menantang mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an, namun
dalam waktu yang lama mereka membuatnya, mereka tidak mampu melakukannya.
Sebagaimana yang terdapat dalam surat ath-Thuur:34, Yunus:38, Huud:13,
al-Baqarah:23, al-Isra’:88. Meskipun begitu, Ahli Fashahah tetap mempertahankan
kekeliruannya, mereka bersungguh-sungguh untuk memadamkan cahaya al-Qur’an,
menyembunyikan perkara-perkaranya dengan menyimpangkan isi al-Qur’an untuk
menghilangkan hujjahnya[6].
Begitu juga yang dikatakan Gus AA
dan Ziyad at-Tubani, bahwa Allah
memberikan mukjizat kepada Nabi Muhammad saw berupa al-Qur’an. Berbeda dengan
mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi lainnya yang berakhir ketika
mereka telah tiada. Lain halnya dengan al-Qur’an yang dijaga keasliannya oleh
Allah sampai akhir zaman, secara otomatis nilai kemukjizatannya juga berlaku
sepanjang masa[7].
Quraish Shihab memaknai I‘jazul
Qur’an yaitu mukjizat (bukti kebenaran) yang dimiliki atau yang terdapat
didalam al-Qur’an. Redaksi al-Qur’an menjadi bukti bahwa al-Qur’an bukanlah
susunan Nabi Muhammad saw. Bukti lainnya adalah isyarat ilmiah dan pemberitaan
ghaib. Dan untuk memahami kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan melihat 3 aspek:
Pertama, Kepribadian Nabi Muhammad saw. Kedua, Kondisi sosial
masyarakat Nabi saw. Ketiga, cara dan masa kehadiran al-Qur’an[8].
Aspek-aspek
Kemukjizatan al-Qur’an
Menurut
Manna’ul Qathan pun definisi tentang I’jazul Qur’an sama seperti dalam
Kitab al-Khalidi. Namun pada pembahasan ini, Adanya definisi baru mengenai I’jazul
Qur’an adalah karena lahirnya ilmu kalam dalam Islam yang memiliki
pengaruh. Pemikiran ini menarik pengikutnya masuk kedaalm kerancuan pembicaraan
yang bertumpang tindih. Tragedy tokoh-tokoh
ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan kemakhlukan al-Qur’an.
Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizat al-Qur’an pun berbeda-beda
dan beragam. Diantaranya:
- Abu ishaq Ibrahim an-Nizham dan pengikutnya dari kaum Syi’ah
seperti al-Murtadla berpendapat: Kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara
Shirfah (pemalingan). Arti Shirfah menurut an-Nizam yaitu Allah
memalingkan orang-orang Arab untuk memantang al-Qur’an padahal sebenarnya
mereka mampu menghadapinya. Maka, “pemalingan” inilah yang disebut: mu’jizat.
Adapun menurut al-Murtadla adalah Allah telah mencabut dari mereka
ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar mereka tidak mampu
membuat seperti al-Qur’an. Pendapat ini menunjukan kelemahan pemiliknya
sendiri, sebab tidak akan dikatakan
terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa
sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk
melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi pendapat ini mengatakan yang
melemahkan (mu’jizat) adalah “kekuasaan Allah“, dengan demikian
al-Qur’an bukan mu’jizatnya. Sedangkan pembahasan kita adalah
kemukjizatan al-Qur’an bukan kemukjizatan Allah.
- Pendapat Ahli Bahasa Arab (suka pada bentuk-bentuk makna kata
yang hidup dan retorika yang menarik) berkata: al-Qur’an itu mukjizat
dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada
bandingannya.
- Sebagian mereka berkata: segi kemukjizatan al-Qur’an itu karena
mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan yang telah
dikenal orang Arab seperti fashilah dan maqta’.
- Golongan lain berpendapat: Terletak pada berita tentang hal-hal
ghaib yang akan datang, dan tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu.
Berita itu telah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin
diterangkan oleh manusia yang ummi yang tidak pernah berhubungan
dengan ahli kitab.
Golongan yang
lain juga ada yang berpendapat: al-Qur’an mukjizat karena mengandung banyak
ilmu dan hikmah-hikmah sangat mendalam.
Pada hakikatnya, al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang
dibawakan dan dikandung oleh lafadz-lafadznya, dan perinciannya adalah sebagai
berikut:
1.
Mukjizat
dalam lafadz-lafadz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada
ditempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh yang lainnya dalam ikatan
kata, satu kata yang berada ditempatnya juga adalah mukjizat dalam ikatan
kalimat, dan satu kalimat yang ada ditempatnya pun adalah mukjizat dalam
jalinan surat.
2.
Mukjizat
dalam hal bayan (penjelasan, retorika) dan nazham (jalinan)nya.
Dimana seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup untuk kehidupannya, alam
dan manusia lain. Dan telah menyingkap tabir hakikat kemanusiaan dan misinya
didunia ini.
3.
Mukjizat
dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besarnya berkaitan dengan hal
ghaib, yang telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.
4.
Mukjizat
dalam tasyri dan pemeliharaannya terhadap hak asasi manusia serta
pembentukan masyarakat teladan juga kebahagiaan didunia[9].
Penutup
Jadi
dapat disimpulkan dari beberapa pendapat bahwa makna I’jazul Qur’an
adalah:
- Tidak mampunya
orang-orang kafir untuk menandingi
al-Qur’an, melemahkan mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an
yang mesti menyempurnakan bakat kefasihan bahasa mereka, membentuk da’I
yang akan terus menerus menantang mereka dan menetapkan kelemahan mereka
untuk menandingi al-Qur’an.
- Al-Khathabi
dalam kitabnya Bayan I’jazil Qur’an: al-Qur’an itu mukjizat karena
ia datang lafadz-lafadz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah
dan mengandung makna-makna yang paling valid, shahih, seperti pengesaan
Allah, penyucian sifat-sifatNya, ajakan taat kepadaNya, dan lain-lain. Semua hal diatas ditempatkan
pada tempatnya masing-masing, sehingga tidak tampak ada sesuatu yang lain
yang lebih baik daripadanya. Disamping itu, memuat tentang sejarah manusia
di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang-orang
durhaka dan menentangnya. Menceritakan kejadian-kejadian yang akan
terjadi, mengemukakan alas an, dalil atau bukti agar lebih menguatkan,
mantap dalam melakukan kewajiban dan menjauhi larangan.
Maka,
dengan mendatangkan hal-hal yang berisi seperti itu secara lengkap dengan
berbagai ragamnya hingga tersusun rapid an teratur, adalah sesuatu yang tidak
akan disanggupi kekuatan manusia dan diluar jangkauan kemampuannya. Dengan
demikian, menjadi sia-sialah makhluk dihadapnnya dan menjadi lemah, tidak mampu
untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya[10].
DAFTAR
PUSTAKA
Gus AA dan
Ziyad at-Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an, cet.1,
Jakarta: Indomedia Group, 2006
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa
Tartiib al-Itqaan fi “ulumil Qur’an, cet.1, Riyadl: Darul Hijrah, 1992
Manna’ul Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, cet.11,
Kairo: Maktabah Wahbah,, 2000
Muhammad
Rasyid Ridla, al-Wahyu al-Muhammadiy, terj: Saifuddaulat al-Firdausy, Wahyu Ilahi
kepada Muhammad, cet.2, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an
(ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib),
cet.1, Bandung: Mizan, 1997
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, I’jazul Qur’an
al-Bayaani wa Dalaaili Mashdaruhu ar-Rabaani, cet.1, Amman: Dar Ammar, 2000
[1]
Salah satu tugas mata kuliah I’Jazul Qur’an
[2]
Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 8
[3]
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, I’jazul Qur’an al-Bayaani wa Dalaaili
Mashdaruhu ar-Rabaani, cet.1, Amman: Dar Ammar, 2000, hlm.13-17
[4]
Muhammad Rasyid Ridla, al-Wahyu al-Muhammadiy, terj: Saifuddaulat al-Firdausy, Wahyu Ilahi
kepada Muhammad, cet.2, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, hlm.347-350
[5] Ibid,
hlm. 382-384
[6]
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa Tartiib al-Itqaan fi “ulumil
Qur’an, cet.1, Riyadl: Darul Hijrah, 1992, hlm.49-51
[7]
Gus AA dan Ziyad at-Tubani, Membaca dan
Memahami Konstruksi al-Qur’an, cet.1, Jakarta: Indomedia Group, 2006, hlm.15-16
[8]
M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib), cet.1, Bandung: Mizan, 1997,
hlm.43-88
[9]
Manna’ul Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, cet.11, Kairo: Maktabah
Wahbah,, 2000, hlm.252-255
[10] Ibid,
hlm.255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar