Minggu, 10 Januari 2016

MAKNA I’JAZUL QUR’AN[1]
Oleh: Laila Mumtahanah[2]

Pendahuluan
            Allah sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk. Sehingga mereka dapat menjalani lika-liku kehidupan ini dengan pengetahuan dan keterangan. Namun, karena watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lainnya. Oleh karena itu, Rasul-rasul Allah disamping diberi wahyu juga dibekali kekuatan yang luar biasa sehingga dapat menegakkan hujjah dan mengakui kelemahannya.
            Allah memberikan mukjizat-mukjizat hissiyah yang dapat diindrai langsung oleh kaum dan mukjizat yang dikhususkan pada Nabi tertentu sesuai yang telah mereka kenal, namun diluar kebiasaan mereka. Dan ketika akal mereka telah mencapai taraf yang tinggi, maka Allah mendatangkan risalah Nabi Muhammad yang abadi untuk seluruh zaman dan seluruh manusia.
            Pembicaraan tentang kemukjizatan al-Qur’an oleh para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi sampai ia mendapatkan dibalik sisi itu sisi-sisi yang lainnya, yang akan disingkap rahasia kemukjizatannya oleh zaman. Untuk lebih memahami tentang kemukjizatan al-Qur’an, makadibawah ini akan dibahas sedikitnya mengenai makna mukjizat al-Qur’an menurut para ulama.

Pengertian I’jazul Qur’an
            Didalam Kitab I’jaazul Qur’an al-Bayaani disebutkan bahwa Makna Lughawi I’jazul Qur’an adalah bentuk Murakkab Idlafi yang terdiri dari 2 kalimat yaitu I’jaz dan al-Qur’an. Bentuk murakkab idlafi ini adalah khabar untuk mubtada’ yang dibuang. Asalnya (taqdiruhu): hadzaa I’jazul Qur’an. Al-Qur’an  adalah kalimat kedua pada bentuk murakkab ini, al-Qur’an adalah isim musytaq dari kata qira’ah yang akarnya dari 3 kata yaitu qa-ra-a’, yaqra-u, waqran, qiraa-atan, qur-aanan. sedangkan I’jaaz adalah mashdar fi’il madly ruba’I, yaitu: A’jaza, yu’jizu, I’jaazan. Akarnya dari 3 kata yaitu ‘ajaza, yu’jizu,’ajzan fahuwa ‘aajizun.
            Menurut Ibnu Faris dan ar-Raghib al-Ashfahani, kata al-‘Ajzu artinya dla’fu ‘an asy-Syai-I (lemah dari melakukan sesuatu) atau at-Ta-akhkhara ‘an asy-Syai-I (lemah atau lambat dari tumbuh, kembang) kebalilkan dari al-Qudrah dan al-Isthithaa’aat (kuasa, sanggup, bisa melakukan sesuatu).  
            Sedangkan makna al-I’jaz adalah hal yang telah lewat (berlalu, ketinggalan, kehilangan) dan telah mendahului. Dan yang dimutlakan pada “seorang pemenang (al-Faaiz)”. Sebagaimana halnya Orang yang berlomba dengan musuhnya yaitu menjadikan musuhnya tertinggal untuk mencapainya. Oleh karena itu dikatakan: “Musuh itu dikalahkan orang yang mendahuluinya”. Jadi, I’jazul Qur’an adalah al-Qur’an melemahkan atau melambatkan orang-orang kafir untuk membuat ayat semisal al-Qur’an.
            Kita mengetahui bahwa makna I’jazul Qur’an itu semestinya agar kita dapat memberikan peringatan terhadap sikap orang kafir kepada al-Qur’an.
Sungguh Rasul saw telah mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an kepada orang-orang kafir, memberi kabar bahwa Allah lah yang mengutusnya kepada manusia sebagai Nabi dan Rasul, menurunkan kepadanya al-Qur’an. al-Qur’an yang diperdengarkan kepada mereka ini bukan ucapan Nabi atau makhluk lainnya., melainkan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan menuntut agar mereka bisa mengimaninya. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang kafir malah mendustakan rasul saw. Mereka menduga bahwa Nabi Muhammad bukan Rasul dan al-Qur’an adalah ucapan manusia dari bangsa lain.
Mereka menduga bisa menandingi al-Qur’an, sekalipun mereka hendak berkata dan mengarang ayat yang semisalnya. Lalu mereka katakan dan mengarangnya, namun sebenarnya mereka tidak menginginkannya! Disini, Allah menantang mereka, meminta mereka untuk mengarang ayat yang semisal al-Qur’an, lalu menyuruh mereka membuat hanya satu huruf saja atau 10 ayat saja sampai satu surat. Namun, mereka tidak mampu melakukannya. Walaupun telah mencoba meringkas dari beberapa ayat, namun mereka lemah untuk menandingi al-Qur’an. Inilah makna I’jazul Qur’an, yaitu al-Qur’an menjadi mukjizat bagi mereka. Dimana didalam al-Qur’an terdapat al-‘Ajzu, adl-Dla’if, al-Qushur (lemah), dan at-Ta’akhar yaitu lebih unggul, melewati dan mendahului mereka.
Jadi, makna I’jazul Qur’an adalah Tidak mampunya orang-orang kafir  untuk menandingi al-Qur’an, melemahkan mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an yang mesti menyempurnakan bakat kefasihan bahasa mereka, membentuk da’I yang akan terus menerus menantang mereka dan menetapkan kelemahan mereka untuk menandingi al-Qur’an.
Apabila orang-orang kafir tidak mampu menandingi al-Qur’an, maka al-Qur’an itu menjadi mukjizat bagi mereka. Dan hal ini memberikan hakekat ketidakmampuan mereka menandingi al-Qur’an. Sedangkan I’jazul Qur’an bagi orang-orang yang mengingkarinya menunjukan bahwa al-Qur’an itu adalah kalam Allah, bukan kalam makhluk Allah lainnya. Dan juga menunjukan bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah (Rasul)[3]
            Menurut Muhammad Rasyid Ridla, bahwa sesungguhnya perkara-perkara yang pada lahirnya terjadi diluar hukum yang biasa, atau kejadian-kejadian diluar adat yang dikenal, sudah dikabarkan terjadi pada semua bangsa pada segala zaman. Kabar tentang hal itu tidak bisa dibantah, karena memang terjadi berulang, meskipun bentuk, orang yang terlibat, atau tempat kejadiannya tidak sama. Kejadian itu tidak seluruhnya termasuk luar biasa secara hakiki, sebab diantara ada sebabnya, hanya saja tidak diketahui banyak orang. Sebagian malah dibuat oleh manusia yang dihasilkan dengan belajar. Contohnya penyakit buta dan lumpuh. Banyak orang yang tidak bisa melihat karena terserang penyakit yang merusak syaraf mata, padahal mata itu sendiri sehat, atau hanya tertutup oleh selaput putih dan bukan buta sehingga matanya rusak. Kerusakan mata ini seperti yang disembuhkan oleh Nabi Isa dengan izin Allah swt.
            Terdapat juga kejadian luar biasa karena penglihatan yang tertipu oleh khayal tukang-tukang sulap, seperti yang dikerjakan tukang-tukang sihir Fir’aun yang diterangkan firman Allah swt:
قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
Berkata Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.(Qs.Thaaha:66)
            Atau dikarenakana pendengaran yang tertipu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku memiliki pembantu jin, dan mereka bisa bercakap-cakap pada malam hari dengan suara yang aneh. Maka orang yang mempercayainya menyangka, suara itu adalah suara jin. Ada juga suatu penipuan yang mengakui bahwa ada seorang wanita yang bisa berbicara jin yang ada dalam perutnya disiang hari, namun wanita ini telah mengakui penipuan yang dilakukannya. Berita ini telah dimuat dalam sebuah Koran. Cerita-cerita mereka jangan sekali-kali dipercaya. Diantara bukti kebohongannya adalah mereka melakukan penipuan untuk diri mereka sendiri. Sedangkan, jika benar mereka dapat menciptakan keajaiban maka para pembesar pun akan berebut untuk memanfaatkan mereka.
Pada umumnya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mereka tentang sejarah dan keanehan-keanehan yang terjadi pada suatu bangsa, padahal hal itu telah diungkap oleh para ulama dan para sahabatnya. Sehingga tidak mudah tertipu dan tunduk kepada para pendusta yang menggerogoti dan merampas harta, harga diri dan kehormatan kita.
Adapun ayat-ayat atau tanda-tanda Allah yang hakiki yaitu yang sering disebut mukjizat jauh lebih tinggi dan sangat berbeda dengan perbuatan aneh buatan tadi. Tidak seorang pun dapat megusahakan dan membuat mukjizat. Mukjizat para Rasul itu Allah yang mengokohkannya, bukan karena hasil amal, usaha, dan pengaruh mereka. Hal ini seperti yang terjadi pada nabi Musa yang merasa takut ketika tongkatnya berubah menjadi ular. Ia sangat ketakutan dan lari membelakang, serta tidak menoleh lagi kearah tongkatnya. Karena Nabi Musa sangat ketakutan, maka Allah menenangkan jiwanya dan menghilangkan rasa takut itu. Atau seperti yang terjadi kepada Nabi Muhammad saw yang diperintah Allah untuk menjawab kaum-kaum yang mendesak beliau agar menunjukan mukjizat, yaitu dengan mengucapkan: “katakanlah, Maha Suci Tuhanku, Sesungguhnya aku tidak lain hanya manusia biasa yang diutus” (Qs.al-Isra’: 93)[4].
Pernyataan mengenai mukjizat pada Nabi terdahulu, semuanya ada dalam al-Qur’an. Jadi, tidak mungkin menetapkan mukjizat yang tidak akan terbantahkan lagi kecuali hanya dengan al-Qur’an. Banyak sekali penolakan tentang mukjizat oleh para cendekiawan yang mencoba melakukan penelitian dengan memahami dan merenungi kitab-kitab sebelum adanya al-Qur’an (Taurat dan Injil), hal ini dikarenakan beberapa alasan:
1.        Mengenai kesinambungan berita yang menceritakan mukjizat, sama sekali tidak meyakinkan, sehingga tidak bisa diambil suatu kepastian (kemutawatirannya tidak menjamin kebenaran). Banyak sarjana Barat menuduh bahwa kisah Nabi Isa adalah cerita yang dibuat-buat.
2.        Adanya keajaiban pada seseorang tidak secara otomatis ia juga diangkat menjadi Nabi.
Adapun mukjizat al-Qur’an itu kekal sampai hari kiamat. Dan setiap orang yang mengerti sejarah Islam akan mengetahui secara pasti dan yakin bahwa al-Qur’an itu mutawatir, diriwayatkan secara terus menerus bersambung sepanjang masa, sejak dari masa rasul yang membawa al-Qur’an hingga sekarang. Adapun perkara dalam al-Qur’an yang masih samar diyakini adanya I’jaz yang menunjukan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah[5].
Adapun didalam Kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an bahwa Mukjizat adalah sesuatu yang diluar kebiasaan dan terjadi ketika ada tantangan dan tak satu pun bisa mengelak atau membantah keberadaannya baik secara hissiyah (nyata, kejadian yang dapat ditangkap panca indra) atau ‘aqly (rasio, fenomena yang tak terduga, didapat setelah melalui proses perenungan dan pemikiran).
Kebanyakan mukjizat Kaum Bani Israil itu secara hissiyah, dikhususkan untuk negeri mereka saja dan sedikit yang melihat dan menyaksikannya. Sedangkan mukjizat umat sekarang adalah secara ‘aqliyah, karena kelebihan kecerdasan dan sempurnanya pemahaman mereka. Syari’at umat sekarang ini telah ditetapkan pada lembaran-lembaran al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad sampai hari kiamat kelak.
Ada juga yang mengatakan bahwa I’jaazul Qur’an maknanya yaitu disaksikan dengan al-Bashirah (akal, kepandaian, hujjah, saksi), disaksikan terus menerus sampai hari kiamat, sesuatu hal yang diluar kebiasaan dalam uslub dan balaghahnya, memberi kabar ghaib, tidak melewatkan suatu masa dari masa-masa setelah Nabi Muhammad saw wafat, tampaknya (terbukti) hal-hal ghaib yang diberitakan yang menunjukan kebenaran dakwahnya. Berbeda dengan mukjizat para Nabi sebelumnya yang musnah sesuai dengan musnahnya masa kenabian para Nabi tertentu.
Pendapat lainnya ayitu bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara Ahli Akal bahwa Kitab Allah adalah mukjizat, seorangpun tidak ada yang bisa menandinginya setelah menantang mereka. Ketika Nabi saw membawa al-Qur’an kepada mereka, dan keadaan orang-orang Arab memiliki kefasihan dalam berbicara. Maka Allah menantang mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an, namun dalam waktu yang lama mereka membuatnya, mereka tidak mampu melakukannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat ath-Thuur:34, Yunus:38, Huud:13, al-Baqarah:23, al-Isra’:88. Meskipun begitu, Ahli Fashahah tetap mempertahankan kekeliruannya, mereka bersungguh-sungguh untuk memadamkan cahaya al-Qur’an, menyembunyikan perkara-perkaranya dengan menyimpangkan isi al-Qur’an untuk menghilangkan hujjahnya[6].
            Begitu juga yang dikatakan Gus AA dan  Ziyad at-Tubani, bahwa Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Muhammad saw berupa al-Qur’an. Berbeda dengan mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi lainnya yang berakhir ketika mereka telah tiada. Lain halnya dengan al-Qur’an yang dijaga keasliannya oleh Allah sampai akhir zaman, secara otomatis nilai kemukjizatannya juga berlaku sepanjang masa[7].
            Quraish Shihab memaknai I‘jazul Qur’an yaitu mukjizat (bukti kebenaran) yang dimiliki atau yang terdapat didalam al-Qur’an. Redaksi al-Qur’an menjadi bukti bahwa al-Qur’an bukanlah susunan Nabi Muhammad saw. Bukti lainnya adalah isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib. Dan untuk memahami kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan melihat 3 aspek: Pertama, Kepribadian Nabi Muhammad saw. Kedua, Kondisi sosial masyarakat Nabi saw. Ketiga, cara dan masa kehadiran al-Qur’an[8].

Aspek-aspek Kemukjizatan al-Qur’an
            Menurut Manna’ul Qathan pun definisi tentang I’jazul Qur’an sama seperti dalam Kitab al-Khalidi. Namun pada pembahasan ini, Adanya definisi baru mengenai I’jazul Qur’an adalah karena lahirnya ilmu kalam dalam Islam yang memiliki pengaruh. Pemikiran ini menarik pengikutnya masuk kedaalm kerancuan pembicaraan yang bertumpang tindih. Tragedy tokoh-tokoh  ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan kemakhlukan al-Qur’an. Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizat al-Qur’an pun berbeda-beda dan beragam. Diantaranya:
  1. Abu ishaq Ibrahim an-Nizham dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti al-Murtadla berpendapat: Kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara Shirfah (pemalingan). Arti Shirfah menurut an-Nizam yaitu Allah memalingkan orang-orang Arab untuk memantang al-Qur’an padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka, “pemalingan” inilah yang disebut: mu’jizat.
Adapun menurut al-Murtadla adalah Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat seperti al-Qur’an. Pendapat ini menunjukan kelemahan pemiliknya sendiri, sebab tidak akan dikatakan  terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi pendapat ini mengatakan yang melemahkan (mu’jizat) adalah “kekuasaan Allah“, dengan demikian al-Qur’an bukan mu’jizatnya. Sedangkan pembahasan kita adalah kemukjizatan al-Qur’an bukan kemukjizatan Allah.
  1. Pendapat Ahli Bahasa Arab (suka pada bentuk-bentuk makna kata yang hidup dan retorika yang menarik) berkata: al-Qur’an itu mukjizat dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya.
  2. Sebagian mereka berkata: segi kemukjizatan al-Qur’an itu karena mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan yang telah dikenal orang Arab seperti fashilah dan maqta’.
  3. Golongan lain berpendapat: Terletak pada berita tentang hal-hal ghaib yang akan datang, dan tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu. Berita itu telah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin diterangkan oleh manusia yang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab.
Golongan yang lain juga ada yang berpendapat: al-Qur’an mukjizat karena mengandung banyak ilmu dan hikmah-hikmah sangat mendalam.
Pada hakikatnya, al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan dikandung oleh lafadz-lafadznya, dan perinciannya adalah sebagai berikut:
1.        Mukjizat dalam lafadz-lafadz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada ditempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh yang lainnya dalam ikatan kata, satu kata yang berada ditempatnya juga adalah mukjizat dalam ikatan kalimat, dan satu kalimat yang ada ditempatnya pun adalah mukjizat dalam jalinan surat.
2.        Mukjizat dalam hal bayan (penjelasan, retorika) dan nazham (jalinan)nya. Dimana seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup untuk kehidupannya, alam dan manusia lain. Dan telah menyingkap tabir hakikat kemanusiaan dan misinya didunia ini.
3.        Mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besarnya berkaitan dengan hal ghaib, yang telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.
4.        Mukjizat dalam tasyri dan pemeliharaannya terhadap hak asasi manusia serta pembentukan masyarakat teladan juga kebahagiaan didunia[9].

Penutup
Jadi dapat disimpulkan dari beberapa pendapat bahwa makna I’jazul Qur’an adalah:
  1.  Tidak mampunya orang-orang kafir  untuk menandingi al-Qur’an, melemahkan mereka untuk membuat ayat yang semisal al-Qur’an yang mesti menyempurnakan bakat kefasihan bahasa mereka, membentuk da’I yang akan terus menerus menantang mereka dan menetapkan kelemahan mereka untuk menandingi al-Qur’an.
  2. Al-Khathabi dalam kitabnya Bayan I’jazil Qur’an: al-Qur’an itu mukjizat karena ia datang lafadz-lafadz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah dan mengandung makna-makna yang paling valid, shahih, seperti pengesaan Allah, penyucian sifat-sifatNya, ajakan taat kepadaNya, dan  lain-lain. Semua hal diatas ditempatkan pada tempatnya masing-masing, sehingga tidak tampak ada sesuatu yang lain yang lebih baik daripadanya. Disamping itu, memuat tentang sejarah manusia di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang-orang durhaka dan menentangnya. Menceritakan kejadian-kejadian yang akan terjadi, mengemukakan alas an, dalil atau bukti agar lebih menguatkan, mantap dalam melakukan kewajiban dan menjauhi larangan.
Maka, dengan mendatangkan hal-hal yang berisi seperti itu secara lengkap dengan berbagai ragamnya hingga tersusun rapid an teratur, adalah sesuatu yang tidak akan disanggupi kekuatan manusia dan diluar jangkauan kemampuannya. Dengan demikian, menjadi sia-sialah makhluk dihadapnnya dan menjadi lemah, tidak mampu untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya[10].

DAFTAR PUSTAKA
Gus AA dan  Ziyad at-Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an, cet.1, Jakarta: Indomedia Group, 2006

Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa Tartiib al-Itqaan fi “ulumil Qur’an, cet.1, Riyadl: Darul Hijrah, 1992

Manna’ul Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, cet.11, Kairo: Maktabah Wahbah,, 2000

Muhammad Rasyid Ridla, al-Wahyu al-Muhammadiy,  terj: Saifuddaulat al-Firdausy, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, cet.2, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989

M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib), cet.1, Bandung: Mizan, 1997

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, I’jazul Qur’an al-Bayaani wa Dalaaili Mashdaruhu ar-Rabaani, cet.1, Amman: Dar Ammar, 2000




[1] Salah satu tugas mata kuliah I’Jazul Qur’an
[2] Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 8
[3] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, I’jazul Qur’an al-Bayaani wa Dalaaili Mashdaruhu ar-Rabaani, cet.1, Amman: Dar Ammar, 2000, hlm.13-17
[4] Muhammad Rasyid Ridla, al-Wahyu al-Muhammadiy,  terj: Saifuddaulat al-Firdausy, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, cet.2, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, hlm.347-350
[5] Ibid, hlm. 382-384
[6] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa Tartiib al-Itqaan fi “ulumil Qur’an, cet.1, Riyadl: Darul Hijrah, 1992, hlm.49-51
[7] Gus AA dan  Ziyad at-Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an, cet.1, Jakarta: Indomedia Group, 2006, hlm.15-16
[8] M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib), cet.1, Bandung: Mizan, 1997, hlm.43-88
[9] Manna’ul Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, cet.11, Kairo: Maktabah Wahbah,, 2000, hlm.252-255
[10] Ibid, hlm.255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar