Minggu, 10 Januari 2016

NAZHARAL MUHADDITS ‘INDA NAQDIL HADITS
bi Qalam Muhammad bin Umar bin Salim Bazamul1
(Tinjauan para Muhadditsin dalam Kritik Hadits)
Oleh: Laila Mumtahanah2
Pembahasan ini tidak meneliti Qadiyah Kritik Matan dan Maqayis (Timbangan atau kriterianya) yang dilakukan oleh para Muhadditsin. Disini hanya akan dibahas tema-temanya secara terang dan akan menjelaskan bagaimana tinjauan para Muhadditsin tentang hadits baik sanad maupun matannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut:
1. Apakah para Muhaddits hanya meninjau matan tanpa sanadnya?
2. Apakah yang dilakukan para Muhaddits adalah meneliti sanad atau matan dulu?
3. Bagaimana langkah-langkah sempurna yang dilakukan oleh para Muhaddits dalam meneliti matan hadits ?
4. Ushul (kaidah pokok) apa saja yang diperhatikan para Muhaddits dalam meneliti hadits?
5. Dlawabith yang disebutkan untuk kritik matan, apakah maknanya mengkritik matan tanpa memperhatikan sanadnya?
6. Apa alasan/yang menjadi sebab para Muhaddits mengenai “hadits yang menyendiri (tafarrud)” apa „illat (kecacatan)nya buruk (qadih) secara mutlak?
Ia meringkas pembahasannya kepada kesimpulan-kesimpulan yang paling penting yaitu:
1. Sanad itu bagi para Muhaddits adalah pokok penelitian dalam hadits, penentu hukum hadits baik sanad atau matan. Adapun penelitian matan menurut para Muhaddits ada 2 bentuk:
a. Seputar sejalannya (tidak bertentangan) dan bertentangannya suatu hadits pada hadits yang lainnya dari seorang rawi. Baik ketika terkumpul riwayat asal khabarnya, atau tidak. Hal ini dikarenakan ada Tashhih (Menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad, dan matan berdasarkan kaidah) pada yang dinisbatkan.
b. Seputar sejalannya (tidak bertentangan) dan bertentangannya suatu hadits pada nash syar‟i.
2. Para Muhadditsin memperhatikan tentang selamatnya hadits dan keimanan rawi pada suatu hadits, penolakan terhadap hadits dapat ditinggalkan karena bertentangannya hadits yang paling rendah dengan al-Qur‟an. Dan hal itu menentukan bahwa:
a. Sunnah itu seperti al-Qur‟an
b. Sunnah itu sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayyan)
c. Tidak ada pertentangan (antara hadits dengan al-Qur‟an) secara zhahir (seperti bertentangan yang menyebabkan hadits ditolak) yang tidak menguatkannya sehingga ditolak haditsnya.
d. Para Muhaddits memperhatikan penerapan kaidah-kaidah Mukhtalif hadits dan Musykilah (kejanggalan)nya
3. Dlawabith yang disebutkan Ahli Ilmu untuk menghukumi matan, maksudnya adalah: Untuk menghukumi matan dari satu aspek kepada aspek lainnya bersama sanadnya., karena mereka menjadikan sumber asal dan tidak
1 Salah satu Tugas UAS Probematika Hadits Modern
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
memperhatikan khabar yang tidak ada sanadnya. Yaitu menentukan hukum maudlu’(palsu) meskipun sanadnya secara zhahir shahih. Oleh karena itu, para Muhaddits meneliti kecacatan („Illat) sanad meskipun „illatnya tidak buruk, tapi dla’if yasir (dla‟if yang ringan).
4. Para Muhadditsin memperhatikan kritik matan dengan teliti sesuai batasan syar‟I dan agama. Mereka tidak meneliti kritikan tanpa matan selain dari mengi’tibarkan sanadnya saja.
5. Para Muhaddits menilai cacat suatu hadits dengan ‘illat ghair qadlihah (illat yang tidak buruk). Namun mereka juga memeriksa kecacatan hadits serta pengingkaran matan dan selamatnya hadits secara jelas pada sanad.
Sanad itu Termasuk Bagian dari Agama
Asy-Syathibi berkata dalam al-Ajwabah al-Faadlilah: “Para Muhadditsin menjelaskan bahwa Sanad itu Termasuk Bagian dari Agama, maksudnya: Didalam sanad terdapat pengetahuan tentang rawi-rawi yang meriwayatkan hadits dari mereka, sampai pada tidak boleh menyandarkan sanad pada rawi yang majhul, tidak marjuh (Hadits Maqbul Ghair ma’mul bih: hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits maqbul yang lebih kuat), kecuali rawi-rawi yang tsiqat dalam riwayatnya. Karena inti masalahnya adalah pada umumnya sangkaan terhadap hadits yang tidak diragukan adalah “Bahwa Hadits itu sungguh dikatakan Nabi saw.”, agar kita dapat berpegang pada syari‟at dan hukum-hukum islam”.
Maksud para Muhaddits Melakukan Tashhih pada Penisbatan Matan (tashhih an-Nisbat) dan tidak ada Tashhih pada Makna (matan)nya
Maksud dari para Muhaddits yaitu mereka beranggapan untuk menghukumi hadits-hadits dla’if bahkan maudlu’, serta yang shahih maknanya. Yaitu: Shahih maknanya dan dla’if matannya. Dimana mereka melakukan Tashhih penisbatan matan kepada mereka, tidak mentawaqqufkan dalam menafsirkan, serta tidak sampainya pemahaman mereka terhadap hadits itu.
Seperti hadits-hadits tentang “mutasyabihat” , jika kita berpendapat bahwa hadits-hadits “mutasyabihat” adalah yang janggal maknanya dan tidak ada penjelasan yang tepat akan maknanya, dengan menisbatkan pada nash yang dapat diterima pada hadits yang menyendiri (dalam periwayatannya) tanpa menolak hukumnya.
Para Muhadditsin meneliti matan hadits pada 2 bentuk:
1. Melakukan Tashhih pada Penisbatan Matan (tash-hih an-nisbat) dengan melakukan penelitian pada at-Taufiq (sejalan/tidak bertentangannya) hadits dan menyendiri (tafarrud)nya hadits. Hal ini disempurnakan dengan langkah-langkah lain pada 2 hal:
a. Rawi menyatukan riwayat-riwayatnya, jika sejalan (tidak bertentangan), diterima haditsnya. Namun jika bertentangan maka ditolak haditsnya.
b. Menyendirinya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, terkadang rawinya pada posisi maqbul (diterima) atau radd (ditolak) haditsnya.
- Jika rawinya pada posisi ditolak, maka ditolak haditsnya.
- Dan jika rawinya pada posisi diterima, maka harus diteliti dulu apakah rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri atau tidak? Jika rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri, maka diterima haditsnya.
- Namun, jika diantara yang tidak ada kemungkinan menyendiri, maka diteliti apakah ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu? Jika ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu, maka ditolak haditsnya. Namun jika tidak, maka diterima haditsnya.
2. Melakukan Tashhih pada Makna Hadits dengan melakukan penelitian seputar sejalan ataukah bertentangannya hadits pada nash syar‟I, baik pada al-Qur‟an atau yang datang dari orang tsiqat. Yang kemungkinan dapat dijama‟ atau diselaraskan (dicari hadits yang tidak bertentangan dengannya (taufiq)), maka ia dapat dipakai. Namun, tidak boleh dipakai untuk menghukumi dla’if, tarjih atau nasakh.
- Jika tidak mungkin untuk dijama‟ dan ditaufiq-an namun diketahui tarikh haditsnya, maka para Imam Mutaakhirin menasakh hadits para Imam Mutaqaddimin
- Jika tidak ada pendapat yang dinasakh, maka diajdikan tarjih antara nash-nash dan pilihlah yang paling kuat yang dapat diterima.
- Jika rawinya menyendiri, tsiqat, dan muttaqin (mantap/cermat dalam meriwayatkan hadits) maka dihukumi Shahih Gharib
- Jika rawinya menyendiri, shaduq, dan lain-lain maka dihukumi munkar.
Selanjutnya, para Muhaddits meneliti pemahaman terhadap kandungan haditsnya (faqiih).
Selamatnya Hadits yang Tidak Diketahui Tafsirannya serta Sampainya Pemahaman (terhadap Kandungan Hadits tersebut)
Para Muhadditsin memperhatikan tentang selamatnya hadits dan keimanan rawi pada suatu hadits karena merupakan pertentangan yang paling rendah bagi nash al-Qur‟an (tidak selevel), juga berpengaruh pada penolakan terhadap hadits yang dapat ditinggalkan. Dan hal itu menentukan bahwa Hal-hal pokok yang harus diperhatikan dalam meneliti Matan:
1. Sunnah itu seperti al-Qur‟an
2. Sunnah itu sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayyan)
3. Tidak ada pertentangan (antara hadits dengan al-Qur‟an) secara zhahir (seperti bertentangan yang menyebabkan hadits ditolak) yang tidak menguatkannya sehingga ditolak haditsnya.
4. Para Muhaddits memperhatikan penerapan kaidah-kaidah Mukhtalif hadits dan Musykilah (bertentangannya hadits dengan al-Qur‟an dan akal sehat)nya
Kosongnya suatu Riwayat dari Menghindari Pemahaman dengan Akal Sendiri atau Bertentangannya Hadits yang memungkinkan harus Dijama’ atau Ditaufiq-an, yang kedua cara tersebut tidak dapat Menguatkannya maka mudah untuk Menolak Hadits
Pokok hal ini menentukan selamatnya hadits dan keimanan seorang rawi, serta meninggalkan serangan untuk menolak hadits karena merupakan pertentangan yang paling rendah bagi nash al-Qur‟an (tidak selevel).
Oleh karena itu, seluruh Muhadditsin tidak mengitibarkan (meneliti) Kitab Istidrak ‘Aisyah pada sebagian sahabat dan sebagian apa yang diriwayatkan dari haditsnya. Karena tidak adanya pertentangan yang jelas pada al-Qur‟an sesuai pemahaman Aisyah dan keumuman sangkaannya karena terjadinya waham.
Contohnya: Tidak adanya penetapan untuk mengambil pendapat tentang penolakan Umar bin khattab berdasarkan hadits Fatimah bin Qais yang dijadikan hujjah untuk memahami al-Qur‟an3.
3 HR.Muslim, Kitab ath-Thalaq, Bab al-Muthallaqatu Tsalatsan, Laa Nafaqah lahaa,no.1481
Dan ketika Umar menyampaikan Hadits Fatimah binti Qais: Dari Abu Ishaq, dia berkata, "Aku pernah duduk bersama Al Aswad bin Yazid di masjid yang paling mulia, dan Asy-Sya'bi juga bersama kami, lalu As-Sya'bi menceritakan ucapan Fatimah binti Qais, Bahwasanya suaminya mentalaknya, lalu Rasululah SAW memutuskan dia (Fatimah bin Qais yang dithalak tiga) tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah. Kemudian Al Aswad mengambil segenggam kerikil, lalu dia lemparkan ke Asy-Sya'bi, kemudian dikatakan, 'Celakalah kamu! Mengapa kamu ucapkan hal seperti ini?' Umar RA berkata, 'Janganlah kita meninggalkan kitab Allah dan ajaran Nabi kita hanya karena ucapan seorang perempuan! Kita tidak tahu mungkin Fatimah binti Qais itu hafal atau lupa dengan sabda Nabi. bahwa dia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. karena Allah SAW berfirman, 'Janganlah kamu mengeluarkan istri-istrimu yang kamu ceraikan itu dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar dari rumah-rumah itu kecuali jika mereka nyata berbuat keji".'" (Qs. Ath-Thalaaq(65): 1) (HR.Muslim)4
Hadits ini dishahihkan oleh Ahli hadits, mereka menjama‟ antara ayat yang dijadikan dalil oleh Umar. Sedangkan hadits tersebut dikatakan oleh mereka: “Ayat tersebut untuk wanita yang ditalak raj‟I, dan hadits tersebut telah ditetapkan dengan suatu dalil untuk menyempurnakan ayat : (La’allallaahu yuhditsu ba’da dzaalika amraa) (ath-Thalaq:1)” yaitu Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru yang telah ditetapkan bersama wanita yang ditalak tiga (ba’in). Dan ini adalah jawaban atas hadits Fatimah binti Qais yang termasuk hadits yang ditolak kabarnya.
4141 ( حَدَّرَ اَُ إِظِحَاقُ بِ إِبِسَا ىٍَِْ، وَعَبِدُ بِ حُ دًٍٍَِ، وَانهَّفْظُ نِعَبِدٍ، قَانَا: أَخِبَسَ اََ عَبِدُ انسَّشَّاقِ، - ( 14
أَخِبَسَ اََ يَعِ سًٌَ، عَ انصُّ سِِْيِّ، عَ عُبَ دٍِِ اللهِ بِ عَبِدِ اللهِ بِ عُخِبَتَ، أَ أَبَا عَ سًِِو بِ حَفْصِ بِ انْ غًُِيرَةِ،
خَسَسَ يَعَ عَهِ بِ أَبِ طَانِبٍ إِنَى انْ ،ًٍٍََِ فَؤَزِظَمَ إِنَى ايِسَأَحِ فَاطِ تًََ بِ جُِِ قَ طٍٍِ بِخَطْهِ قٍَتٍ كَا جََِ بَقِ جٍَِ يِ طَهَاقِهَا، وَأَيَسَ نَهَا انْحَازِدَ بِ شَِْاوٍ، وَعَ اٍَّغَ بِ أَبِ زَبِ عٍَتَ بِ فََُقَتٍ، فَقَانَا نَهَا: وَاللهِ يَا نَكِ فَََقَتٌ إِنَّا أَ فَاظِخَؤْذَ خََِ ،» نَا فَََقَتَ نَكِ « : حَكُى حَايِهًا، فَؤَحَجِ ان بَُِّ صَهَّى اللهُ عَهَ وَظَهَّىَ، فَرَكَسَثِ نَ قَىِنَهُ اًَ، فَقَالَ
وَكَا أَعِ ىًَ، حَضَعُ » إِنَى ابِ أُوِّ يَكْخُىوٍ « : فِ انِا خَِِقَالِ، فَؤَذِ نَهَا، فَقَانَجِ: أَ اٌَ زَظُىلَ اللهِ؟ فَقَالَ
رِ اٍَبَهَا عِ دَُِ وَنَا سٌََا اَْ، فَهَ اًَّ يَضَجِ عِدَّحُهَا أَ كََِحَهَا ان بَُِّ صَهَّى اللهُ عَهَ وَظَهَّىَ أُظَايَتَ بِ شَ دٌٍِ، فَؤَزِظَمَ
إِنَ هٍَِا يَسِوَا ،ٌُ قَبِ صٍَتَ بِ ذُإَ بٌٍِ عٌَِؤَنُهَا عَ انْحَدِ ذٌِ، فَحَدَّرَخِ بِ ،ِّ فَقَالَ يَسِوَا :ٌُ نَىِ عََِ عًَِ رََْا انْحَدِ ذٌَ
إِنَّا يِ ايِسَأَةٍ، ظَ ؤَُْخُرُ بِانْعِصِ تًَِ انَّخِ وَجَدِ اََ ان اَُّضَ عَهَ هٍَِا، فَقَانَجِ فَاطِ تًَُ، حِينَ بَهَغَهَا قَىِلُ يَسِوَا :ٌَ فَبَ وَبَ كٍَُُِىُ انْقُسِآ ،ٌُ قَالَ اللهُ عَصَّ وَجَمَّ: }نَا حُخِسِجُى يِ بُ ىٍُحِهِ {ٍَّ ]انطلاق: 4[ انْآ تٌََ، قَانَجِ: " رََْا
نِ كَا جََِ نَ يُسَاجَعَتٌ، فَؤَيُّ أَيِسٍ حٌَِدُدُ بَعِدَ انزَّهَادِ؟ فَكَ فٍَِ حَقُىنُى :ٌَ نَا فَََقَتَ نَهَا إِذَا نَىِ حَكُ حَايِهًا؟
فَعَهَاوَ حَحِبِعُى هَََا؟ "
Dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, bahwa Abi „Amr bin hafs bin al-Mughirah keluar bersama Ali bin Abi Thalib ke Yaman. Lalu ia mentalak istrinya Fatimah binti Qais dengan talah ba’in, ketika ia tidak berada disisnya, maka Amr mengirim utusannya Harits bin Hisyam dan „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah kepada Fatimah dengan membawa nafaqah. Maka keduanya berkata kepada Fatimah: Engkau tidak akan mendapat nafkah kecuali jika engkau tengah hamil. Lalu Fatimah mendatangi Nabi
4 Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan Laa Nafaqatun Lahaa, no.1480
dan menceritakan apa yang dikatakan oleh kedua utusan Amr itu. Maka Nabi bersabda: “Kamu tidak berhak mendapat nafkah darinya”. Lalu Fatimah meminta izin pada Nabi untuk pindah, maka Nabi mengizinkannya. Maka ia berkata: “Kemana Ya Rasul?” maka Nabi menjawab: “Ke rumah Ibnu Ummi Maktum, ia seorang yang tidak bisa melihat. Sehingga kau bisa melepaskan bajumu dihadapannya, dan ia tidak akan bisa melihatmu”. Maka ketika telah lewat masa iddahnya, maka Nabi menikahkannya dengan Usamah bin Zaid…Fatimah berkata ketika sampainya perkataan Marwan: “Antaraku dan kalian ada al-Qur‟an, Allah telah berfirrman: Laa tukhrijuuhunna mimbuyuutihinna… (Qs.ath-Thalaq:1). Fatimah berkata: ayat itu bagi wanita yang ditalak raj‟I. Lalu yang mana untuk yang talak ba’in? ”5.
Makna “Dlawabith Kulliyah” yang Disebutkan Ahli Ilmu untuk Menghukumi Matan
Dlawabith yang disebutkan Ahli Ilmu untuk menghukumi matan, maksudnya adalah: Untuk menghukumi matan dari satu aspek kepada aspek lainnya bersama sanadnya., karena mereka menjadikan sumber asal dan tidak memperhatikan khabar yang tidak ada sanadnya. Yaitu menentukan hukum maudlu’(palsu) meskipun sanadnya secara zhahir shahih. Oleh karena itu, para Muhaddits meneliti kecacatan („Illat) sanad meskipun „illatnya tidak buruk, tapi dla’if yasir (dla‟if yang ringan).
Diantara hadits yang dipertentangkan tersebut yaitu seperti: Ucapan haditsnya seperti bukan ucapan Nabi dan sahabatnya. Contohnya: “Hal yang dapat menambah pahala dalam suatu pandangan yaitu: “Melihat yang hijau-hijau, air yang mengalir dan wajah yang cantik/ganteng”6.
Metode para Muhadditsin dalam Mengi’tibar dengan meneliti Matan
Sesuai pembahasan sebelumnya bahwa penyebutan Dlawabith tujuannya adalah:
1. Menentukan hukum maudlu’ jika terdapat illat pada sanad yang tidak bersambung
2. Menentukan hukum maudlu’, meskipun zhahir sanadnya shahih
3. Menyendirinya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, terkadang rawinya pada posisi dapat diterima atau ditolak haditsnya.
4. Jika rawinya pada posisi ditolak, maka ditolak haditsnya.
5. Dan jika rawinya pada posisi diterima, maka harus diteliti dulu apakah rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri atau tidak? Jika rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri, maka diterima haditsnya.
6. Namun, jika diantara yang tidak ada kemungkinan menyendiri, maka diteliti apakah ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu? Jika ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu, maka ditolak haditsnya. Namun jika tidak, maka diterima haditsnya.
7. Jika rawinya menyendiri, tsiqat, dan muttaqin (mantap/cermat dalam meriwayatkan hadits) maka dihukumi Shahih Gharib
8. Jika rawinya menyendiri, shaduq, dan lain-lain maka dihukumi munkar.
9. Selanjutnya, para Muhaddits meneliti pemahaman terhadap kandungan haditsnya (faqiih).
5 HR Muslim, Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan, Laa Nafaqah lahu, no.1480
6 Tartib al-Maudlu’at karya Ibnu al-Jauzi
Hukum Menolak Matan yang Ada sisipan Ijtihadnya (bukan dari Nabi saw)
Ahli hadits meneliti matan beserta sanadnya. Maka jika menentukan kritik matan pada sanad yang tampaknya shahih, maka menilainya illat dengan illat yang paling rendah walaupun tidak buruk. Karena illat itu sesungguhnya keadaannya buruk.
Setelah memperhatikan ungkapan diatas, maka hukum Menolak Matan yang Ada sisipan Ijtihadnya (bukan dari Nabi saw): Sebagian Ahli Hadits menilai illat karena dirasakan pengingkarannya pada matan, dan tidak akan selamat haditsnya. Sebagaimana pendapat mengenai hadits at-Turbah, sesungguhnya sebagian Ahli Hadits telah menolak hadits ini dan sebagiannya menerimanya. Dan tidak beranggapan adanya pertentangan dengan al-Qur‟an. Inilah makna yang dimaksudkan oleh al-„Alamah al-Ma‟lumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar