PANDANGAN
IGNAZ GOLDZIHER MENGENAI OTENTISITAS HADIS
Rizki
Fatimah
A.
Pendahuluan
Tidak
diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber kedua pengambilan hukum dalam
Islam. Ia adalah wahyu dari Allah Swt. seperti al-Qur’an. Dan sungguh hadis
yang mulia ini sejak kemunculan Islam telah menghadapi bermacam serangan,
celaan dan kritikan dari musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya baik dari non-Muslim
atau orang munafikin. Mereka ingin memadamkan cahaya Islam dengan bermacam
makar dan propaganda, akan tetapi Allah Swt. tetap memelihara agama dan
menyempurnakan cahaya-Nya.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ
مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya)
mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang
kafir membencinya". (ash-Shaff: 8)
Sejak
awal abad 20 Masehi, hadis mulai menghadapi kembali berbagai macam hujatan,
celaan dan kritikan dari kaum orientalis.[1]
Mereka menebarkan bermacam syubhat tentang hadis dengan tujuan menjauhkan kaum
Muslimin dari agama mereka dan menanamkan bermacam keraguan dalam diri kaum
Muslimin. Mereka diikuti oleh para neo-orientalis dan kaum munafik yang mengikut
kepada mereka. Mereka rela menjual akidah dan prinsip agama mereka kepada
non-Muslim untuk menghancurkan Islam dari dalam.[2]
Para
orientalis berpendapat bahwa semua hadis itu palsu semua, tidak otentik karena
bukan berasal dari Nabi Muhammad Saw. Tidak hanya itu, mereka berpendapat bahwa
umat Islam menerima semua hadis. Padahal pendapat ini sungguh amat keliru dan
harus ditolak. Karena sesungguhnya umat Islam, khususnya para ulama salaf dan
khalaf, tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadis
yang ada itu asli atau shahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang
berkeyakinan bahwa semua hadis itu palsu belaka.[3]
Para
orientalis maupun pengikutnya itu berupaya menggugat otentisitas (keaslian)
hadis Rasulullah saw. dan meruntuhkan otoritas (hujjiyah)-nya sebagai
salah satu sumber asasi ajaran Islam.[4] Sehingga
dari gugatan-gugatan mereka itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Pandangan-pandangan
mereka tentang hadis, mereka tulis dalam sebuah artikel ataupun buku. Dan melalui
tulisan-tulisan yang diterbikan itu serta telah dibaca luas oleh masyarakat,
mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan
umat Islam. Sehingga muncul berbagai gerakan anti-hadis atau inkar-sunnah di
beberapa negara, seperti India, Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.[5]
Di
antara tokoh sentral orientalis yang berada dalam barisan terdepan dalam
menghujat Islam dan mengkritisi hadis adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M). Dalam
makalah ini, insya Allah penulis akan menerangkan pandangan Goldziher
terhadap hadis, terkhusus dalam masalah otentisitasnya.
B.
Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz
Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Szekesfehervar, sebuah kota di Hongaria.
Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memilki pengaruh luas, tetapi
tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu.[6]
Tak
ada istimewa dalam kehidupan Goldziher, ia hidup dalam suasana sejuk dan tenang
sehingga dapat berkonsentrasi dalam kerja ilmiah murni. Dia kurang banyak
berhubungan dengan komunitas umum di lingkungannya, hanya sekadarnya saja
tetapi dinamika kehidupan ruhaniah Goldziher sangat dinamis dan subur. Potensi
spiritualnya sudah mulai muncul sejak mudanya, dan terus diasah sampai masa
kematangannya.[7]
Dalam usia dua belas tahun, dia sudah menulis suatu risalah mengenai asal-usul
dan waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts.
Dalam usia enam belas tahun, dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanbeery di
Universitas Budapest. Dua tahun kemudian, ia berhasil dari ujiannya di Calinist
Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk
belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868, dengan H.L Fielscher[8]
dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Di bawah bimbingan Rodiger dia
berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun,[9]
dengan topik risalah “Penafsiran Taurat yang berasal dari tokoh Yahudi abad
tengah”.[10]
Sesudah mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena,
pada tahun 1871, Goldziher diangkat menjadi dosen privat di Budapest. Selama
tahun akademik 1872-1873, dia adalah lektor dalam matakuliah bahasa Hebrew
(Ibrani) pada Callxinist Theological faculty di Budapest.[11]
Dia tidak lama mengajar di Budapest sebab dia diutus oleh kementrian Ilmu
Pengetahuan keluar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden.
Setelah ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di
Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo
dia sempat bertukar pikiran kajian di Universitas al-Azhar.[12]
Ketika diangkat sebagai pemimpin
Universitas Budapest, dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya
agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di
negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik
Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan
menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[13]
Selain itu, di luar negeri dia
menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi, delapan perkumpulan
orientalis, tiga perkumpulan sarjana di luar negeri dan ikut pula sebagai
anggota di Royal Asiatic Society, Asiatic Society of Bengal,The British
Academy dan The American Orienta Society. Dan pada tahun 1904, ia
dianugrahi gelar Doktor dalam bidang Kesusastraan oleh universitas Cambridge,
dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia.[14]
Bagi
Goldziher perjalanan ke dunia Timur dari bulan September 1873-1874 atas biaya
pemerintah Hongaria untuk belajar di Universitas Azhar, Kairo, dan
Palestina ini sangat menguntungkan. Pada
tahun 1894, ia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit, sejak saat
itu dia hampir tidak kembali ke negeriya, tidak juga ke Budapest, kecuali menghadiri konperensi
orientalis atau memberi orasi pada
seminar-seminar di berbagai Universitas asing yang mengundangnya.[15] Dan pada tahun 1904 menjadi guru besar
bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest sampai akhirnya ia meninggal pada
13 November 1921. Dia juga pernah
mengajar filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest pada tahun 1900.[16]
C.
Karya-karya Goldziher
Perjalanan
karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berusia 16 tahun ketika dia mulai tertarik
pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia sanggup menerjemahkan dua kisah
berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah. Sejak
tahun 1866, ketika usia Goldziher mencapai 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan
membahas buku besar, memberi ulasan dan kritik-kritik terhadap buku-buku yang
ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama
yang menjadi sasaran kajiannya ialah azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa
Tarkhuhum (Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte), (Leipzig, 1884),
yang membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri.[17]
Lima
tahun kemudian, Goldziher menulis karangan besar yang berkaitan dengan kajian
hadis dengan judul Dirasat Islamiyyah, juz pertama terbit tahun 1889,
sedangkan juz kedua terit pada tahun berikutnya.[18] Goldziher
juga menulis karangan tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya
tentang hadis,[19]
yaitu Mohammedanische Studien.[20]
Selain
itu, Goldziher menunjukkan kemahirannya di bidang perbandingan agama. Dalam
konperensi agama-agama pertama yang diadakan di Paris tahun 1900, Goldziher
menyampaikan makalahnya, yang kemudian dimuat pada jilid ke-43 dari majalah
Sejarah Agama, dengan judul “Islam dan Agama Persia”. Dalam makalah itu
Goldziher menyematkan untuk pertama kalinya tentang pengaruh agama terhadap
kekuasaan. Buku-buku lain yang dihasilkan Goldziher ialah al-Mu’ammarin-nya
Abi Hatim as-Sijistani pada tahun 1899, dalam tulisan itu Goldziher menyinggung
beberapa buku berbahasa Yunani, seperti buku Lucian dan Phlegon aus Tralles.
Goldziher juga menulis pendahuluan bagi buku at-Tauhid-nya Muhammad ibn
Tumart Mahdi al-Muwahhidun, buku ini diterbitkan oleh Lucian pada tahun 1903 di
Aljazair. Terakhir Goldziher menerbitkan sejumlah bagian dari buku al-Mustadhhari,
yang berisi penolakan terhadap ajaran kebatinan al-Ghazali, diterbitkan
tahun 1916 di Leiden. Dalam pengantarnya Goldziher membahas tentang ijtihad dan
taklid.[21]
Akan tetapi karangan Goldziher yang paling monumental adalah Muhadharat fi
al-Islam (Vorlesungen den Islam), Heidelberg (1910), yang membahas
pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam; juga Ittijahat Tafsir
al-Qur’an inda al-Muslimin (Die Richtungen Der Islmichen Koran Auslegung), Leiden
(1920), yang hampir sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam. Dan ada juga
lainnya tetapi hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari karya-karya
tersebut di atas.[22]
D.
Pandangan Ignaz Goldziher tentang Otentisitas Hadis
Pandangan
Goldziher tentang hadis ini telah tertuang dalam karyanya Mohammedanische
Studien, atau dikenal juga dengan Muslim Studies. Karyanya ini dianggap
sebagai “kitab suci” tentang hadis di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan
bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di
kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadis di mana ia
merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher
dipandang sebagai orang pertama yang meletakan dasar kajian skeptik terhadap
hadis yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat.[23]
Goldziher
telah berhasil meragukan otentisitas hadis dengan dilengkapi studi-studi ilmiah
yang dia lakukan. Hadis yang dalam konsep Islam merupakan corpus yang
berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad Saw., menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan
yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan
kedua Hijriyyah; hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadis dapat
dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi sahabat Rasul.[24] Menurut
dia, hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan
kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode
kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini
berarti, menurut dia, hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa
abad setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, bukan berasal dan tidak asli dari
beliau.[25]
Pendapat ini tercantum dalam bukunya, Muslim Studies, bagian pertama
ketika membahas makna hadis, sunnah dan perkembangannya, Goldziher menyatakan:
bahwa dengan tidak adanya bukti-bukti otentik tentang hadis, sungguh gegabahlah
untuk mengemukakan pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadis mana
yang merupakan bagian-bagian yang asli yang tertua, atau tentang manakah di
antaranya yang berasal dari Muhammad Saw. Selanjutnya dia mengatakan, karena
keberadaannya seperti itu, sangat sulit untuk meyakini hadis sebagai dokumen
sejarah Islam masa kanak-kanak belaka, melainkan banyak sebagai gambaran
kecenderungan perkembangan masyarakat
Islam selama perkembangannya yang telah dewasa pada dua abad pertama.[26]
Keraguan
Goldziher tentang keabsahan dan otentisitas hadis, ia juga lihat dari faktor
lain yaitu kondisi masyarakat Islam abad pertama Hijriyyah di mana hadis saat
itu mulai memasuki perkembangan awal. Ia mengatakan bahwa kesulitan data itu
lebih diakibatkan karena kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriyyah
sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut. Goldziher
menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup
untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus-ritus keagamaan dan
mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi, menurutnya, pada saat
itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang berpusat pada
lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata masih bersifat sekuler
dan lepas dari agama.[27] Keadaan
ini berlangsung hingga akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus,
bahkan hingga pemerintahan beberapa Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad.
Dasar
lain dari adanya anggapan tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan
tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar
secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke generasi, hingga sampai pada
permulaan abad kedua Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan
teks-teks hadis. Sejumlah kecil memang terpelihara teksnya dengan penurunan
lisan (oral-transmission) dari guru ke murid secara berantai. Tetapi sebagian
besar hadis yang terkumpul dalam corpus hadis ternyata tidak dapat
dipastikan benar-benar berasal dari Muhammad SAW. Karena sulitnya mencari mana di antara sekian ratus
ribu hadis yang benar-benar berasal dari masa kehidupan beliau. Dengan
sendirinya hadis secara keseluruhan harus dinyatakan tidak berasal dari masa
tersebut.[28]
MM.
Azami mengemukakan beberapa alasan yang dipakai Goldziher untuk membangun image
masyarakat Islam abad pertama, yaitu sebagai berikut:
1)
Orang-orang
Islam berperang dengan baju Islam. Mereka membangun mesjid-mesjid. Tetapi di
Syam mereka tidak mengetahui shalat lima waktu yang wajib itu sampai untuk
mengetahui hal tersebut mereka memeriksakan kembali kepada seorang shahabat
Nabi Saw.
2)
Orang-orang
Islam itu ternyata tidak mengetahui cara-cara mengerjakan shalat, oleh karena
itu tidaklah aneh bila di kalangan suku Bani ‘Abd al-Asyal hanya terdapat
seorang budak yang dapat menjadi imam.
3)
Masyarakat
Islam ternyata benar-benar bodoh sekali, sampai mereka tidak paham apa yang dimaksud
dengan zakat fitrah.
4)
Bangsa
Arab pada masa itu belum matang dalam pemikiran Islam, hingga mereka ada
keharusan untuk tidak memulai dengan kata ‘assalamu ‘ala Allah’.
5)
Ada
orang yang membaca syair di mimbar tetapi ia menyangka dirinya sedang membaca
al-Qur’an.
6)
Goldziher
menuturkan bahwa bimbingan resmi dan kegiatan penguasa untuk memalsu hadis
sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.[29]
Kondisi
ini dijadikan alasan Goldziher untuk menyatakan bahwa tidak mungkin pada
kondisi tersebut kita akan memercayai data otentik tentang hadis, kalaupun hadis
itu memang ada, maka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara keseluruhan
berasal dari masa hidup Nabi. Tetapi bisa saja
merupakan produk Islam setelah mencapai tahap perkembangan berikutnya,
yaitu abad kedua dan ketiga Hijriyyah.[30]
E.
Analisis Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher
Untuk
menanggapi beberapa anggapan Ignaz Goldziher di atas, berikut ini dipaparkan
catatan-catatan kritis mengenainya.
Adanya
anggapan bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena
kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi adalah
tidak benar. Sebab, kodifikasi hadis pada masa Nabi adalah realitas yang tidak
terbantahkan. Para sahabat menulis hadis-hadis ini pada shahifah (lembaran).
Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan hadis
sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Selain
itu, perlu diketahui bahwa Goldziher tidak memahami hakekat al-kitabah yaitu:
penulisan, at-tadwin yaitu: pengkodifikasian dan at-tashnif yaitu
penyusunan, dia mencampuradukkan antara ketiga hakekat di atas.
Al-kitabah
bukanlah at-tadwin dan at-tadwin bukanlah at-tashnif.
Al-kitabah adalah hanya sekedar penulisan sesuatu tanpa memperhatikan untuk
mengumpulkan lembaran-lembaran yang ditulis dalam sebuah kitab, adapun at-tadwin
adalah tahapan yang datang setelah penulisan, yaitu mengkodifikasikan
lembaran-lembaran yang telah ditulis dalam sebuah kitab. Adapun at-tashnif (penyusunan)
lebih khusus dari pengkodifikasian, karena ia adalah penyusunan hadis-hadis
yang telah ditulis dalam lembaran yang telah dikodofikasikan dalam fasal-fasal
tertentu dan bab-bab yang terpisah.
Berdasarkan
hal ini, maka perkataan para ulama bahwa awal tadwin (pengkodifikasian) hadis
adalah pada akhir abad pertama, bukan berarti bahwa hadis tidak ditulis selama
masa itu. Namun maksudnya adalah bahwa hadis telah ditulis dalam
lembaran-lembaran yang terpisah dan belum sampai kepada tahapan
pengkodifikasian (pengumpulan)nya dalam kitab khusus.
Goldziher
memahami bahwa penulisan sama dengan pengkodifikasian. Dari sini jelaslah
kekeliruan orang yang memahami perkataan, “Orang yang pertama sekali mentadwin
ilmu/hadis adalah Imam Ibnu Syihab az-Zuhri” dengan orang yang pertama
sekali menulis hadis adalah Imam az-Zuhri. Ini jelas kekeliruan yang nyata,
karena penulisan bukan pengumpulan atau pengkodifikasian.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
Orang
yang pertama sekali mentadwin (mengodifikasi) hadis adalah Ibnu Syihab az-Zuhri
pada awal tahun 100 (awal abad kedua hijriyyah) berdasarkan perintah Umar bin
Abdul Aziz, kemudian setelah itu bertambah banyak mengodifikasian kemudian
penyusunan, dan dengan demikian berwujudlah kebaikan yang banyak.
Selain
itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tatkala memerintahkan untuk mengodifikasikan
hadis, bukan berarti beliau memulai dari sesuatu yang tidak ada. Beliau telah
berpegang kepada lembaran-lembaran hadis yang telah ditulis sebelumnya di zaman
Rasul Saw. yang telah tersebar di deluruh penjuru dunia Islam tatkala itu. Ini
adalah kenyataan ilmiah dan bukti historis yang tidak bisa dipungkuri oleh
orang-orang yang bersikap ilmiah dan objektif dalam penelitiannya.
Kenyataan
ini diperkuat oleh bukti sejarah yang otentik tentang penulisan sunnah dalam
lembaran-lembaran yang terpisah yang ada pada zaman para sahabat, berikut
beberapa contoh tentang hal itu:
1.
Perkataan
Abu Hurairah ra.: tatkala Rasulullah Saw. telah menaklukan kota Makkah, beliau
berdiri di hadapan manusia seraya berkhutbah, lalu salah seorang dari penduduk
Yaman, namanya Abu Syah bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, tulislah
untukku, beliau bersabda: “Tulislah untuk Abu Syah”.
2.
Begitu
juga tulisan Nabi Saw. yang memuat tentang sedekah, diyah, kewajiban agama dan
sunnahnya yang beliau kirimkan kepada Amru bin Hazm tatkala di utus ke negeri
Yaman.
3.
Tulisan
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. kepada Anas bin Malik tatkala beliau mengutusnya ke
Bahrain, tentang kewajiban-kewajiban sedekah/zakat yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah Saw.
4.
Tulisan
Umar bin Khathab ra. yang beliau kirimkan kepada ‘Utbah bin Farqad yang berada
di Azerbaijan yang berisi larangan memakai kain sutera bagi lelaki, kecuali
seukuran jari telunjuk dan jari tengah.
5.
Ash-Shahifah
ash-Shadiqah (lembaran-lembaran
hadis yang autentik) ditulis dan dikumpulkan oleh Abdullah bin Amru bin
al-‘Ash ra. yang beliau dengar dari Rasulullah Saw. Sekalipun tulisan asli
beliau tidak ditemukan, akan tetapi kandungannya tetap terjaga utuh sebagaimana
yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad rahimullah. Kendati
demikian ini tidak mengurai keabsahan shahifah tersebut karena ia pada
dasarnya adalah hasil dari riwayat hadis yang beliau dengar dari Rasulullah
Saw., sebagaimana yang terdapat dalam pernyataan beliau, “Awalnya saya menulis
segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah Saw., saya ingin menghafalnya,
lalu kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata: Kamu menulis segala sesuatu
yang kamu dengar dari Rasulullah Saw., sementara beliau adalah manusia, berkata
dalam keadaan emosi dan ridha, lalu saya tinggalkan menulis hadis, kemudian
saya sampaikan hal itu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau menunjuk dengan jari
kemulutnya, seraya bersabda: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran.”
6.
Ash-Shahifah
ash-shahihah yang ditulis
oleh Hammam bin Munabbih, suami anak perempuan Abu Hurairah ra., yang beliau
tulis di hadapan Abu Hurairah. Shahifah ini memiliki keistimewaan khusus
dalam pengodifikasian hadis, sebab ia –alhamdulillah –masih di temukan
dalam keadaan utuh sebagaimana yang diriwayatkan dan ditulis oleh Hammam bin
Munabbih dari Abu Hurairah ra. langsung, maka pantaslah ia dinamakan dengan “ash-shahifah
ash-Shahihah” sebagaimana halnya dengan “ash-shahifah ash-Shadiqah” yang
ditulis oleh Abdullah bin Amru bin Ash.
Itulah
sebagian dari lembaran-lembaran yang ditulis di zaman para sahabat yang memuat
hadis-hadis Rasulullah Saw., dan masih banyak di lembaran-lembaran yang lain yang
ditulis oleh para sahabat ra. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa sudah
adanya tradisi tulis menulis di sekitar Nabi Muhammad Saw.[31]
Jadi,
anggapan Goldziher bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin
belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari
masa hidup Nabi semakin tidak relevan dan ilmiah.
Selain
itu, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan
berkebudayaan dan banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi
tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan
pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab, terutama di kalangan penyair.[32]
F.
Penutup
Goldziher
adalah salah seorang orientalis yang meragukan otentisitas (keaslian) hadis.
Menurutnya hadis tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya berasal dari Nabi
Muhammad Saw. Secara umum pokok pemikiran Goldziher tentang keotentikan hadis
adalah sebagai berikut:
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum
muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad
dari masa hidup Nabi.
Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik
bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari
perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya,
hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian
banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang
benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.
Namun,
anggapannya itu jelas sekali keliru. Bantahan atas kedua pemikirannya tersebut,
yaitu:
Pertama: Sebab, kodifikasi hadis pada masa Nabi adalah realitas yang tidak
terbantahkan. Para sahabat menulis hadis-hadis ini pada shahifah
(lembaran). Di antara shahifah-shahifah ini yang paling terkenal adalah shahifah
Abdullah bin Amr dan Ali bin Abu Thalib. Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi
untuk melakukan kodifikasi dan penulisan hadis sudah ada sejak zaman Rasul,
meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kedua:
Otentisitas hadis itu bisa dilacak secara ilmiah dengan adanya
manuskrip-manuskrip yang dapat ditelaah. Misalnya, hadis-hadis yang tertulis di
dalam Mushannaf Ash-Shadiqah—yang terbukti ditulis pada zaman
Rasulullah—itulah yang kemudian banyak dihimpun kembali dalam kumpulan
hadis-hadis klasik beserta syawahidnya. Fakta ini saja telah membuktikan
bahwa hadis bukanlah seperti yang dituduhkan Goldziher sebagai refleksi
doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi
Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani),
2008
Abdurrahman
Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyriqin, terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi
tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKiS), 2003
Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis; Telaah atas
Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah
Press), 2004
Badri
Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer.
(Bandung: PT Rosdakarya, 2004)
Majalah
Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap
Syubhat Orientalis Tentang Hadis, dalam Majalah as-Sunnah edisi no. 10 thn.
XV, Rabi’ul Awwal 1433H/Februari 2012M
Artikel
Internet
Ali
Ghufron, Studi Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Kodifikasi Hadis, dalam
internet website: http://alighufron80.blogspot.com/2010/08/studi-kritis-pemikiran-ignaz-goldziher.html, diakses tanggal 17 Oktober 2013
[1] Orientalis
yang dimaksud di sini adalah para sarjana Barat yang notabene non-Muslim
(Yahudi, Kristen atau bahkan ateis) namun sibuk mengkaji Islam beserta
seluk-beluknya.
[2] Muhammad Nur
Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadis, dalam Majalah as-Sunnah
edisi no. 10 thn. XV, Rabi’ul Awwal 1433H/Februari 2012M, hlm. 30 (selanjutnya
ditulis: Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis,)
[3] Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani),
2008, hlm. 27
[4] Ibid, hlm.
28
[5] Ibid, hlm.
37
[6] Abdurrahman
Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyriqin, terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi
tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKiS), 2003, hlm. 151 (selanjutnya ditulis:
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis)
[7] Ibid.
[8] Salah satu
guru besar ahli ketimuran di Universitas Leipzig.
[9] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher
dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press), 2004, hlm. 91
(selanjutnya ditulis: Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis)
[10] Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm. 151
[11] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 91
[12] Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.151
[13] Ibid.
[14] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[16] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[17] Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.152
[18] Ibid.
[19] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[20] Diterbit pada
tahun 1890 dalam bahasa Jerman, kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan
S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies (London: George
Allen & Unwim, 1971).
[21] Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.154
[22] Wahyudin Darmalaksana,
Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[23] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 88
[24] Ibid.
[25] Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 30
[26] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 89
[27] Ibid, hlm.
97-98
[28] Badri
Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer.
(Bandung: PT Rosdakarya, 2004) hlm. 248
[29] M. M.
Azami, Studies
in Early Hadith Literature,terj. Pent. Ali Mustofa Yakub, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. 94-97
[30] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 99
[31] Muhammad Nur
Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis, hlm. 34-35
[32] Ali
Ghufron, Studi Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Kodifikasi Hadits, dalam
internet website: http://alighufron80.blogspot.com/2010/08/studi-kritis-pemikiran-ignaz-goldziher.html, diakses
tanggal 17 Oktober 2013, 9:36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar