Minggu, 10 Januari 2016

PANDANGAN IGNAZ GOLDZIHER MENGENAI OTENTISITAS HADIS
Rizki Fatimah

A.    Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber kedua pengambilan hukum dalam Islam. Ia adalah wahyu dari Allah Swt. seperti al-Qur’an. Dan sungguh hadis yang mulia ini sejak kemunculan Islam telah menghadapi bermacam serangan, celaan dan kritikan dari musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya baik dari non-Muslim atau orang munafikin. Mereka ingin memadamkan cahaya Islam dengan bermacam makar dan propaganda, akan tetapi Allah Swt. tetap memelihara agama dan menyempurnakan cahaya-Nya.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (ash-Shaff: 8)
Sejak awal abad 20 Masehi, hadis mulai menghadapi kembali berbagai macam hujatan, celaan dan kritikan dari kaum orientalis.[1] Mereka menebarkan bermacam syubhat tentang hadis dengan tujuan menjauhkan kaum Muslimin dari agama mereka dan menanamkan bermacam keraguan dalam diri kaum Muslimin. Mereka diikuti oleh para neo-orientalis dan kaum munafik yang mengikut kepada mereka. Mereka rela menjual akidah dan prinsip agama mereka kepada non-Muslim untuk menghancurkan Islam dari dalam.[2]
Para orientalis berpendapat bahwa semua hadis itu palsu semua, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi Muhammad Saw. Tidak hanya itu, mereka berpendapat bahwa umat Islam menerima semua hadis. Padahal pendapat ini sungguh amat keliru dan harus ditolak. Karena sesungguhnya umat Islam, khususnya para ulama salaf dan khalaf, tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadis yang ada itu asli atau shahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadis itu palsu belaka.[3]
Para orientalis maupun pengikutnya itu berupaya menggugat otentisitas (keaslian) hadis Rasulullah saw. dan meruntuhkan otoritas (hujjiyah)-nya sebagai salah satu sumber asasi ajaran Islam.[4] Sehingga dari gugatan-gugatan mereka itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Pandangan-pandangan mereka tentang hadis, mereka tulis dalam sebuah artikel ataupun buku. Dan melalui tulisan-tulisan yang diterbikan itu serta telah dibaca luas oleh masyarakat, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat Islam. Sehingga muncul berbagai gerakan anti-hadis atau inkar-sunnah di beberapa negara, seperti India, Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.[5]
Di antara tokoh sentral orientalis yang berada dalam barisan terdepan dalam menghujat Islam dan mengkritisi hadis adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M). Dalam makalah ini, insya Allah penulis akan menerangkan pandangan Goldziher terhadap hadis, terkhusus dalam masalah otentisitasnya.

B.     Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Szekesfehervar, sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memilki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu.[6]
Tak ada istimewa dalam kehidupan Goldziher, ia hidup dalam suasana sejuk dan tenang sehingga dapat berkonsentrasi dalam kerja ilmiah murni. Dia kurang banyak berhubungan dengan komunitas umum di lingkungannya, hanya sekadarnya saja tetapi dinamika kehidupan ruhaniah Goldziher sangat dinamis dan subur. Potensi spiritualnya sudah mulai muncul sejak mudanya, dan terus diasah sampai masa kematangannya.[7] Dalam usia dua belas tahun, dia sudah menulis suatu risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Dalam usia enam belas tahun, dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanbeery di Universitas Budapest. Dua tahun kemudian, ia berhasil dari ujiannya di Calinist Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868, dengan H.L Fielscher[8] dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Di bawah bimbingan Rodiger dia berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun,[9] dengan topik risalah “Penafsiran Taurat yang berasal dari tokoh Yahudi abad tengah”.[10]
Sesudah mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena, pada tahun 1871, Goldziher diangkat menjadi dosen privat di Budapest. Selama tahun akademik 1872-1873, dia adalah lektor dalam matakuliah bahasa Hebrew (Ibrani) pada Callxinist Theological faculty di Budapest.[11] Dia tidak lama mengajar di Budapest sebab dia diutus oleh kementrian Ilmu Pengetahuan keluar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat bertukar pikiran kajian di Universitas al-Azhar.[12]
            Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budapest, dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[13]
            Selain itu, di luar negeri dia menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi, delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana di luar negeri dan ikut pula sebagai anggota di Royal Asiatic Society, Asiatic Society of Bengal,The British Academy dan The American Orienta Society. Dan pada tahun 1904, ia dianugrahi gelar Doktor dalam bidang Kesusastraan oleh universitas Cambridge, dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia.[14]
Bagi Goldziher perjalanan ke dunia Timur dari bulan September 1873-1874 atas biaya pemerintah Hongaria untuk belajar di Universitas Azhar, Kairo, dan Palestina  ini sangat menguntungkan. Pada tahun 1894, ia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit, sejak  saat  itu dia hampir tidak kembali ke negeriya, tidak juga  ke Budapest, kecuali menghadiri konperensi orientalis atau memberi orasi pada  seminar-seminar di berbagai Universitas asing yang mengundangnya.[15]  Dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest sampai akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921. Dia juga pernah  mengajar filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest pada tahun 1900.[16]

C.    Karya-karya Goldziher
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berusia 16 tahun ketika dia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia sanggup menerjemahkan dua kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah. Sejak tahun 1866, ketika usia Goldziher mencapai 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarkhuhum (Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte), (Leipzig, 1884), yang membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri.[17]
Lima tahun kemudian, Goldziher menulis karangan besar yang berkaitan dengan kajian hadis dengan judul Dirasat Islamiyyah, juz pertama terbit tahun 1889, sedangkan juz kedua terit pada tahun berikutnya.[18] Goldziher juga menulis karangan tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang hadis,[19] yaitu Mohammedanische Studien.[20]
Selain itu, Goldziher menunjukkan kemahirannya di bidang perbandingan agama. Dalam konperensi agama-agama pertama yang diadakan di Paris tahun 1900, Goldziher menyampaikan makalahnya, yang kemudian dimuat pada jilid ke-43 dari majalah Sejarah Agama, dengan judul “Islam dan Agama Persia”. Dalam makalah itu Goldziher menyematkan untuk pertama kalinya tentang pengaruh agama terhadap kekuasaan. Buku-buku lain yang dihasilkan Goldziher ialah al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim as-Sijistani pada tahun 1899, dalam tulisan itu Goldziher menyinggung beberapa buku berbahasa Yunani, seperti buku Lucian dan Phlegon aus Tralles. Goldziher juga menulis pendahuluan bagi buku at-Tauhid-nya Muhammad ibn Tumart Mahdi al-Muwahhidun, buku ini diterbitkan oleh Lucian pada tahun 1903 di Aljazair. Terakhir Goldziher menerbitkan sejumlah bagian dari buku al-Mustadhhari, yang berisi penolakan terhadap ajaran kebatinan al-Ghazali, diterbitkan tahun 1916 di Leiden. Dalam pengantarnya Goldziher membahas tentang ijtihad dan taklid.[21] Akan tetapi karangan Goldziher yang paling monumental adalah Muhadharat fi al-Islam (Vorlesungen den Islam), Heidelberg (1910), yang membahas pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam; juga Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Die Richtungen Der Islmichen Koran Auslegung), Leiden (1920), yang hampir sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam. Dan ada juga lainnya tetapi hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari karya-karya tersebut di atas.[22]

D.    Pandangan Ignaz Goldziher tentang Otentisitas Hadis
Pandangan Goldziher tentang hadis ini telah tertuang dalam karyanya Mohammedanische Studien, atau dikenal juga dengan Muslim Studies. Karyanya ini dianggap sebagai “kitab suci” tentang hadis di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadis di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakan dasar kajian skeptik terhadap hadis yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat.[23]
Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadis dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadis yang dalam konsep Islam merupakan corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw., menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyyah; hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadis dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi sahabat Rasul.[24] Menurut dia, hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Ini berarti, menurut dia, hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.[25] Pendapat ini tercantum dalam bukunya, Muslim Studies, bagian pertama ketika membahas makna hadis, sunnah dan perkembangannya, Goldziher menyatakan: bahwa dengan tidak adanya bukti-bukti otentik tentang hadis, sungguh gegabahlah untuk mengemukakan pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadis mana yang merupakan bagian-bagian yang asli yang tertua, atau tentang manakah di antaranya yang berasal dari Muhammad Saw. Selanjutnya dia mengatakan, karena keberadaannya seperti itu, sangat sulit untuk meyakini hadis sebagai dokumen sejarah Islam masa kanak-kanak belaka, melainkan banyak sebagai gambaran kecenderungan perkembangan  masyarakat Islam selama perkembangannya yang telah dewasa pada dua abad pertama.[26]
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan otentisitas hadis, ia juga lihat dari faktor lain yaitu kondisi masyarakat Islam abad pertama Hijriyyah di mana hadis saat itu mulai memasuki perkembangan awal. Ia mengatakan bahwa kesulitan data itu lebih diakibatkan karena kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriyyah sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut. Goldziher menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi, menurutnya, pada saat itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang berpusat pada lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata masih bersifat sekuler dan lepas dari agama.[27] Keadaan ini berlangsung hingga akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus, bahkan hingga pemerintahan beberapa Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad.
Dasar lain dari adanya anggapan tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad kedua Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadis. Sejumlah kecil memang terpelihara teksnya dengan penurunan lisan (oral-transmission) dari guru ke murid secara berantai. Tetapi sebagian besar hadis yang terkumpul dalam corpus hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Muhammad SAW. Karena  sulitnya mencari mana di antara sekian ratus ribu hadis yang benar-benar berasal dari masa kehidupan beliau. Dengan sendirinya hadis secara keseluruhan harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut.[28]
MM. Azami mengemukakan beberapa alasan yang dipakai Goldziher untuk membangun image masyarakat Islam abad pertama, yaitu sebagai berikut:
1)      Orang-orang Islam berperang dengan baju Islam. Mereka membangun mesjid-mesjid. Tetapi di Syam mereka tidak mengetahui shalat lima waktu yang wajib itu sampai untuk mengetahui hal tersebut mereka memeriksakan kembali kepada seorang shahabat Nabi Saw.
2)      Orang-orang Islam itu ternyata tidak mengetahui cara-cara mengerjakan shalat, oleh karena itu tidaklah aneh bila di kalangan suku Bani ‘Abd al-Asyal hanya terdapat seorang budak yang dapat menjadi imam.
3)      Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali, sampai mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan zakat fitrah.
4)      Bangsa Arab pada masa itu belum matang dalam pemikiran Islam, hingga mereka ada keharusan untuk tidak memulai dengan kata ‘assalamu ‘ala Allah’.
5)      Ada orang yang membaca syair di mimbar tetapi ia menyangka dirinya sedang membaca al-Qur’an.
6)      Goldziher menuturkan bahwa bimbingan resmi dan kegiatan penguasa untuk memalsu hadis sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.[29]
Kondisi ini dijadikan alasan Goldziher untuk menyatakan bahwa tidak mungkin pada kondisi tersebut kita akan memercayai data otentik tentang hadis, kalaupun hadis itu memang ada, maka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara keseluruhan berasal dari masa hidup Nabi. Tetapi bisa saja merupakan produk Islam setelah mencapai tahap perkembangan berikutnya, yaitu abad kedua dan ketiga Hijriyyah.[30]

E.     Analisis Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher
Untuk menanggapi beberapa anggapan Ignaz Goldziher di atas, berikut ini dipaparkan catatan-catatan kritis mengenainya.
Adanya anggapan bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi adalah tidak benar. Sebab, kodifikasi hadis pada masa Nabi adalah realitas yang tidak terbantahkan. Para sahabat menulis hadis-hadis ini pada shahifah (lembaran). Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan hadis sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Selain itu, perlu diketahui bahwa Goldziher tidak memahami hakekat al-kitabah yaitu: penulisan, at-tadwin yaitu: pengkodifikasian dan at-tashnif yaitu penyusunan, dia mencampuradukkan antara ketiga hakekat di atas.
Al-kitabah bukanlah at-tadwin dan at-tadwin bukanlah at-tashnif. Al-kitabah adalah hanya sekedar penulisan sesuatu tanpa memperhatikan untuk mengumpulkan lembaran-lembaran yang ditulis dalam sebuah kitab, adapun at-tadwin adalah tahapan yang datang setelah penulisan, yaitu mengkodifikasikan lembaran-lembaran yang telah ditulis dalam sebuah kitab. Adapun at-tashnif (penyusunan) lebih khusus dari pengkodifikasian, karena ia adalah penyusunan hadis-hadis yang telah ditulis dalam lembaran yang telah dikodofikasikan dalam fasal-fasal tertentu dan bab-bab yang terpisah.
Berdasarkan hal ini, maka perkataan para ulama bahwa awal tadwin (pengkodifikasian) hadis adalah pada akhir abad pertama, bukan berarti bahwa hadis tidak ditulis selama masa itu. Namun maksudnya adalah bahwa hadis telah ditulis dalam lembaran-lembaran yang terpisah dan belum sampai kepada tahapan pengkodifikasian (pengumpulan)nya dalam kitab khusus.
Goldziher memahami bahwa penulisan sama dengan pengkodifikasian. Dari sini jelaslah kekeliruan orang yang memahami perkataan, “Orang yang pertama sekali mentadwin ilmu/hadis adalah Imam Ibnu Syihab az-Zuhri” dengan orang yang pertama sekali menulis hadis adalah Imam az-Zuhri. Ini jelas kekeliruan yang nyata, karena penulisan bukan pengumpulan atau pengkodifikasian.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
Orang yang pertama sekali mentadwin (mengodifikasi) hadis adalah Ibnu Syihab az-Zuhri pada awal tahun 100 (awal abad kedua hijriyyah) berdasarkan perintah Umar bin Abdul Aziz, kemudian setelah itu bertambah banyak mengodifikasian kemudian penyusunan, dan dengan demikian berwujudlah kebaikan yang banyak.
Selain itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tatkala memerintahkan untuk mengodifikasikan hadis, bukan berarti beliau memulai dari sesuatu yang tidak ada. Beliau telah berpegang kepada lembaran-lembaran hadis yang telah ditulis sebelumnya di zaman Rasul Saw. yang telah tersebar di deluruh penjuru dunia Islam tatkala itu. Ini adalah kenyataan ilmiah dan bukti historis yang tidak bisa dipungkuri oleh orang-orang yang bersikap ilmiah dan objektif dalam penelitiannya.
Kenyataan ini diperkuat oleh bukti sejarah yang otentik tentang penulisan sunnah dalam lembaran-lembaran yang terpisah yang ada pada zaman para sahabat, berikut beberapa contoh tentang hal itu:
1.      Perkataan Abu Hurairah ra.: tatkala Rasulullah Saw. telah menaklukan kota Makkah, beliau berdiri di hadapan manusia seraya berkhutbah, lalu salah seorang dari penduduk Yaman, namanya Abu Syah bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, tulislah untukku, beliau bersabda: “Tulislah untuk Abu Syah”.
2.      Begitu juga tulisan Nabi Saw. yang memuat tentang sedekah, diyah, kewajiban agama dan sunnahnya yang beliau kirimkan kepada Amru bin Hazm tatkala di utus ke negeri Yaman.
3.      Tulisan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. kepada Anas bin Malik tatkala beliau mengutusnya ke Bahrain, tentang kewajiban-kewajiban sedekah/zakat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
4.      Tulisan Umar bin Khathab ra. yang beliau kirimkan kepada ‘Utbah bin Farqad yang berada di Azerbaijan yang berisi larangan memakai kain sutera bagi lelaki, kecuali seukuran jari telunjuk dan jari tengah.
5.      Ash-Shahifah ash-Shadiqah (lembaran-lembaran hadis yang autentik) ditulis dan dikumpulkan oleh Abdullah bin Amru bin al-‘Ash ra. yang beliau dengar dari Rasulullah Saw. Sekalipun tulisan asli beliau tidak ditemukan, akan tetapi kandungannya tetap terjaga utuh sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad rahimullah. Kendati demikian ini tidak mengurai keabsahan shahifah tersebut karena ia pada dasarnya adalah hasil dari riwayat hadis yang beliau dengar dari Rasulullah Saw., sebagaimana yang terdapat dalam pernyataan beliau, “Awalnya saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah Saw., saya ingin menghafalnya, lalu kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata: Kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah Saw., sementara beliau adalah manusia, berkata dalam keadaan emosi dan ridha, lalu saya tinggalkan menulis hadis, kemudian saya sampaikan hal itu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau menunjuk dengan jari kemulutnya, seraya bersabda: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran.”
6.      Ash-Shahifah ash-shahihah yang ditulis oleh Hammam bin Munabbih, suami anak perempuan Abu Hurairah ra., yang beliau tulis di hadapan Abu Hurairah. Shahifah ini memiliki keistimewaan khusus dalam pengodifikasian hadis, sebab ia –alhamdulillah –masih di temukan dalam keadaan utuh sebagaimana yang diriwayatkan dan ditulis oleh Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah ra. langsung, maka pantaslah ia dinamakan dengan “ash-shahifah ash-Shahihah” sebagaimana halnya dengan “ash-shahifah ash-Shadiqah” yang ditulis oleh Abdullah bin Amru bin Ash.
Itulah sebagian dari lembaran-lembaran yang ditulis di zaman para sahabat yang memuat hadis-hadis Rasulullah Saw., dan masih banyak di lembaran-lembaran yang lain yang ditulis oleh para sahabat ra. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa sudah adanya tradisi tulis menulis di sekitar Nabi Muhammad Saw.[31]
Jadi, anggapan Goldziher bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi semakin tidak relevan dan ilmiah.
Selain itu, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan dan banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab, terutama di kalangan penyair.[32]



F.     Penutup
Goldziher adalah salah seorang orientalis yang meragukan otentisitas (keaslian) hadis. Menurutnya hadis tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya berasal dari Nabi Muhammad Saw. Secara umum pokok pemikiran Goldziher tentang keotentikan hadis adalah sebagai berikut:
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.
Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.
Namun, anggapannya itu jelas sekali keliru. Bantahan atas kedua pemikirannya tersebut, yaitu:
Pertama: Sebab, kodifikasi hadis pada masa Nabi adalah realitas yang tidak terbantahkan. Para sahabat menulis hadis-hadis ini pada shahifah (lembaran). Di antara shahifah-shahifah ini yang paling terkenal adalah shahifah Abdullah bin Amr dan Ali bin Abu Thalib. Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan hadis sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kedua: Otentisitas hadis itu bisa dilacak secara ilmiah dengan adanya manuskrip-manuskrip yang dapat ditelaah. Misalnya, hadis-hadis yang tertulis di dalam Mushannaf Ash-Shadiqah—yang terbukti ditulis pada zaman Rasulullah—itulah yang kemudian banyak dihimpun kembali dalam kumpulan hadis-hadis klasik beserta syawahidnya. Fakta ini saja telah membuktikan bahwa hadis bukanlah seperti yang dituduhkan Goldziher sebagai refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi Muhammad.

 
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani), 2008
Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyriqin, terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKiS), 2003
Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press), 2004
Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. (Bandung: PT Rosdakarya, 2004)

Majalah
Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadis, dalam Majalah as-Sunnah edisi no. 10 thn. XV, Rabi’ul Awwal 1433H/Februari 2012M

Artikel Internet
Ali Ghufron, Studi Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Kodifikasi Hadis, dalam internet website: http://alighufron80.blogspot.com/2010/08/studi-kritis-pemikiran-ignaz-goldziher.html, diakses tanggal 17 Oktober 2013



[1] Orientalis yang dimaksud di sini adalah para sarjana Barat yang notabene non-Muslim (Yahudi, Kristen atau bahkan ateis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk-beluknya.
[2] Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadis, dalam Majalah as-Sunnah edisi no. 10 thn. XV, Rabi’ul Awwal 1433H/Februari 2012M, hlm. 30 (selanjutnya ditulis: Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis,)
[3] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani), 2008, hlm. 27
[4] Ibid, hlm. 28
[5] Ibid, hlm. 37
[6] Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyriqin, terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKiS), 2003, hlm. 151 (selanjutnya ditulis: Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis)
[7] Ibid.
[8] Salah satu guru besar ahli ketimuran di Universitas Leipzig.
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press), 2004, hlm. 91 (selanjutnya ditulis: Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis)
[10] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm. 151
[11] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 91
[12] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.151
[13] Ibid.
[14] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[15] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.152
[16] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[17] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.152
[18] Ibid.
[19] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[20] Diterbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman, kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies (London: George Allen & Unwim, 1971).
[21] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi tokoh Orientalis, hlm.154
[22] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 92
[23] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 88
[24] Ibid.
[25] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 30
[26] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 89
[27] Ibid, hlm. 97-98
[28] Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. (Bandung: PT Rosdakarya, 2004) hlm. 248
[29] M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature,terj. Pent. Ali Mustofa Yakub, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. 94-97
[30] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis, hlm. 99
[31] Muhammad Nur Ihsan, Menyingkap Syubhat Orientalis, hlm. 34-35
[32] Ali Ghufron, Studi Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Kodifikasi Hadits, dalam internet website: http://alighufron80.blogspot.com/2010/08/studi-kritis-pemikiran-ignaz-goldziher.html, diakses tanggal 17 Oktober 2013, 9:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar