Minggu, 10 Januari 2016

                                                     IGNAZ GOLDZIHER                                       
PANDANGANNYA TERHADAP AL-QURAN
Nenden Sintawati
Biografi
Ignaz Goldziher (selanjutnya banyak disebut Goldziher) adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan di Szekesfehervar, Hongaria.[1] Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850.[2]Dia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu.[3] Nenek moyang keluarga ini adalah tukang emas di Hamburg pada abad ke-16 dan di sinilah asal dari nama keluarga itu, sebelum ayahnya tinggal di Kopeseny dan baru pindah ke Szekesfehervar, tempat anaknya lahir sejak tahun 1842.[4]
Dalam kehidupan Goldziher secara fisikal tidak ada yang istimewa, hidup dalam suasana sejuk dan tenang sehingga dapat berkonsentrasi dalam kerja ilmiah murni. Dia kurang bayak berhubungan dengan komunitas umum di lingkungannya, hanya sekadarnya saja. Tetapi dinamika kehidupan ruhaniah Goldziher sangat dinamis dan subur. Potensi spiritualnya sudah mulai muncul sejak usianya masih muda, dan terus diasah sampai masa kematanganya.[5]

Goldziher telah menunjukan bukti intelektualnya yang tinggi sejak ia masih muda. Dalam usia dua belas tahun ia sudah menulis suatu risalah mengenai asal-usul waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts.[6]ketika usianya enam belas tahun ia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah.  Sejak  tahun 1866, ketikausia goldziher mencapai usia 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan krtik-kritik terhdapbuku-buku yang ada. Koleki ulasan yang dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama  yang menjadi sasaran kajiannya adalah Azh-zhahiriyyah: Madzhabuhum wa tarikhuhum, yang dikerjakan pada tahun 1884.[7] Dalam usia enam belas tahun ia juga  mengikuti kuliah dari Arminius Vanbeery di Universitas Budapest. Dua tahun kemudian, ia berhasil dari ujiannya di Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868 dengan H.L Fielscher dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Fielscher merupakan sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi.[8]
Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Arab Tengah”.[9] Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budapest, dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[10]
Pada tahun 1894, Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke  negerinya, tidak juga ke Budhapest, kecuali menghadiri konperensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Goldziher meniggal dunia pada 13 November 1921 di Budhapest[11].
Karya-karya Goldziher
Ada beberapa karya ilmiah yang telah ia tulis, diantaranya :
1.             Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte (Leipzig 1884), yang membahas perkembangan sejarah aliran zahiri.
2.            Muhammedanische Studien tentang sejarah agama Islam secara 
 khususnya tentang hadits.
3.             Vorlesungen den Islam Heideberg (1910), yang membahas pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam.
4.            Die Richtungen Der Islmichen Koran Auslegung (Leiden 1290), yang isinya hampir sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam.
5.            Dirasat islamiyat ( juz pertama terbit tahun 1889) yang berkaitan dengan kajian hadits. Dan juz kedua terbit pada tahun berikutnya.
6.            Al-mu’amarin-nya Abi Hatim as-sijistani (1899), dalam tulisannnya itu ia menyinggung beberapa buku berbahasa Yunani, seperti buku Lucian dan phlegon aus tralles.
7.             Ia juga menulis pendahuluan buku at-tauhid-nya  muhammad ibnu tumart mahdi al-muwahhiddun, buku ini dterbitkan oleh lucian pada tahun 1903 di Al-jazair.
8.            Muhadharat fi al-islam (Heidelberg,1910) yaitu membahas penilaian umum tentang islam ditinjau dari berbagai aspek.
9.            Ittijahat tafsir al-Quran inda al-muslimin (Leiden,1920). Goldziher mengulas tentang langkah-langkah menafsirkan al-Quran, sejarah penulisan Al-Quran, ragam bacaan (qiraat), latar belakang timbulnya keragaman penafsiran da berbagai hal yang berkaitan dengan tafsir Al-Quran. Pembahasan diakhiri dengan pembicaraan kitab tafsir al-kasyaf karya Al-zamakhsyari. Pada bagian akhir dikemukakan metode-metode tafsir modern yang dipelopori oleh ulama modern yang menyatakan terbukannya ijtihad.    
Goldziher telah berkecimpung dalam lapangan pengkajian Islam, sejarahnya, tafsir al-Quran dngan cara yang profesional, hasil kajiannya dipergunakan oleh sebagian orang sebagai perbandingan[12].
Pandangan Goldziher terhadap al-Qur’an
Sebagai kitab suci kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (verbum dei), Al-Quran secara turun temurun telah diyakini oleh umat Islam sebagai kitab suci yang otentik sekaligus orisinil. Orisinalitas dan otentisitas tersebut tidak hanya menyangkut proses pewahyuan namun juga terkait dengan makna serta isinya (Qath’iy al-dalalah dan qhatiy al wurud). Namun, bagaimanakah otentisitas dan orisinalitas Al-Quran di mata orientalis?
Dalam kaitannya dengan studi Al-Quran dan tafsir, Goldziher dapat dikatakan sebagai sosok orientalis yang pendapatnya banyak dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan pandangannya tentang Al-Quran setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya yakni Introduction to Islamic Theology and Law dan Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy.
Dalam karyanya Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat karena pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis terhadap Al-Quran, ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam memetakan pemikiran para mufassir khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan penafsiran yang dilakukan. Dalam karyanya tersebut, Goldziher secara purposif berhasil menyeleksi para mufassir dari berbagai aliran yang ada secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis, dogmatis, mistik, sektariana serta modernis. Tiga aliran pertama senada dengan tipologi kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi-l-riwayah; tafsir bi-l-dirayah; tafsir bi-l-isyarah. Sementara dua aliran lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan atau elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim[13].
                Lahirnya karya Goldziher ini kemudian memacu lahirnya karya lain yang membahas tentang mazhab atau aliaran tafsir berdasarkan banyak sudut pandang, misalnya saja al-Tafsir wa Al-Mufassirun karya Muhammad Husein al-Dzahabi (1961)[14].
Selanjutnya, ketika berbicara tentang Al-Quran, Menurut Goldziher merupakan kitab suci yang berupaya menyerap ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur Kristen di dalam Al-Quran diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan tradisi-tradisi apokri dan melalui bid’ah-bid’ah yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan demikian tidak sedikit unsur-unsur gnostik Timur mendapatkan tempatnya di dalam pemberitaan suci Muhammad. Ide-ide tersebut dalam pandangan Goldziher diperoleh Muhammad melalui hubungan-hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan ketika ia masih belum diangkat sebagai Rasul.
Pandangannya Tentang Qira’at
Al-Qur’an jelas bukan merupakan karya tulis, oleh karenanya keinginan Orientalis untuk menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible amatlah keliru. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad untuk seluruh umat, kemudahan membaca al-Qur’an merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an. Nabi Saw telah diberi izin untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatnya dengan tujuh huruf.
Mengenai sabda Rasulullah Saw atas diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, Goldziher berkomentar bahwa, “Dalam maknanya yang shahih mengenai hadits tersebut- para ulama Islam tidak memiliki kesepakatan yang jelas – di kalangan ulama, hadits ini terdiri dari 35 bentuk penafsiran, yang kesemuanya itu sama sekali tidak terkait dengan perbedaan qirâ’at. Hanya saja banyaknya perubahan dalam teks Al-Qur’an pada masa awal mendorong munculnya penafsiran bahwa makna huruf dalam konteks ini adalah qirâ’at, dan penggunaan hadits tersebut menunjukan adanya pembenaran yang terikat dengan sebagian aturan dan syarat-syarat qirâ’at yang berlaku.
Statemen Goldziher di atas menunjukan bahwa tidak adanya penafsiran yang pasti mengenai hadits tujuh huruf menunjukan tidak sepakatnya para ulama[15].
Selanjutnya, terkait dengan Al-Quran, Goldziher juga memiliki pandangan yang tidak kalah kontroversial dan mengundang perdebatan. Menurutya, tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok keagamaan—dengan pengakuan teologis—bahwa ia adalah teks yang  diwahyukan atau diturunkan, dimana pada amasa awal peredaran (transmition) nya teks tersebut datang dalam bentuk yang kacau dan tidak pasti sebagaimana Yang ditemukan dalam Al-Quran. Ketidakpastian yang dimaksud oleh Ignaz Goldziher adalah adanya beragama versi bacaan (qiraa’t). Menurutnya,  perbedaan ragam bacaan dalam melafalkan Al-Quran (qiraa’at) disebabkan oleh tidak adanya tanda titik dalam Al-Quran, sehingga setiap pembaca memiliki otoritas untuk menentukan bacaan sesuai keinginannya.
                Dalam memperkuat anggapannya tersebut, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok:
a) Perbedaan bacaan karena tidak ada tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian besar perbedaan versi bacaan tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:
وهوالذى يرسل الرياح نشرا dapat di baca وهوالذى يرسل الرياح بشرا
وما كنتم تستكثرون dapat dibaca  وما كنتم تستكبرون
b ) Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal atau tanda baca berupa harakat atau syakal memicu perbedaan posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yyang menyebabkan lahirnya perbedaan makna. Dengan demikian, Goldziher sampai pada suatu asumsi bahwa perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) dan perbedaan harakat yang dhasilkan, disatukan dan dibentuk dari huruf yang diam (tidak dibaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan bacaan dalam teks yang tidak memiliki titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas[16].
Bantahan atas Tudingan Goldziher
Pertama, al-Qur’an pada dasarnya  bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan ‘ (qira’ah atau recitation) dalam arti  ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan  periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca al-Qur’an adalah “”membaca” dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin, yakni to recite from memory)”. Tulisan hanyalah berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebabnya karena ayat-ayat al-Qur’an di catat – yakni, dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, kayu, kertas, daun dan sebagainya. Berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dan ingatan sang Qari’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi saw, dan diteruskan kepada para sahabat, demikian hingga hari ini[17].
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi saw, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Kerana untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai  keterangan atau komentar di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis/ baru dikemudian hari, ketika jumlah penghafal al-Qur’an menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi al-Qur’an mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bajar as-Siddiq sehingga al-Qur’an dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung  dan mutawatir dari Nabi saw,[18].
Ketiga, kesalahpahaman sarjana orientalis mengenai rasm dan qira’at. Sebagimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca walau sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‘Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal dan bukan dari tulisan.
Para orientalis juga salah faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru mereka, bermacam-macam qira’at bermunculan disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja berimprovisasi, membaca al-Qur’an mengikuti selera masing-masing. Padahal ragam qira’at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm, para orientalis juga tidak mengerti bahwa rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung berbagai qira’at yang diterima[19].



















DAFTAR PUSTAKA
Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, Dkk, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, cet 1
Syamsuddin ‘Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008
Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, Yogyakarta: Lkis, 2003, cet.I
Wahyudin Darmalaksana,Hadits dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung:benang Merah Press, 2004, cet.I





[1]Wahyudin Darmalaksana,Hadits dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung:benang Merah Press, 2004, cet.I, hlm.90
[2]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis, Yogyakarta:Lkis, 2003, cet.I,hlm.151
[3]Ibid
[4]Wahyudin Darmalaksana,Hadits dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,hlm. 91
[5]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis,hlm.151
[6]Wahyudin Darmalaksana,Hadits dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,hlm. 91
[7]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis,hlm.152
[8]Ibid, hlm.151
[9] Ibid, hlm151
[10]Ibid, hlm.151
[11] Ibid, hlm 152
[12] Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, Yogyakarta: Lkis, 2003, cet.I
[13] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, Dkk, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, cet 1
[16] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, Dkk, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, cet 1, hlm 9
[17] Syamsuddin ‘Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm 10
[18] Ibid, hlm 12
[19] Ibid, hlm 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar