IGNAZ
GOLDZIHER
PANDANGANNYA
TERHADAP AL-QURAN
Nenden
Sintawati
Biografi
Ignaz Goldziher (selanjutnya
banyak disebut Goldziher) adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan di
Szekesfehervar, Hongaria.[1]
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850.[2]Dia
berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang luas,
tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu.[3]
Nenek moyang keluarga ini adalah tukang emas di Hamburg pada abad ke-16 dan di
sinilah asal dari nama keluarga itu, sebelum ayahnya tinggal di Kopeseny dan
baru pindah ke Szekesfehervar, tempat anaknya lahir sejak tahun 1842.[4]
Dalam kehidupan Goldziher secara fisikal tidak ada
yang istimewa, hidup dalam suasana sejuk dan tenang sehingga dapat
berkonsentrasi dalam kerja ilmiah murni. Dia kurang bayak berhubungan dengan
komunitas umum di lingkungannya, hanya sekadarnya saja. Tetapi dinamika
kehidupan ruhaniah Goldziher sangat dinamis dan subur. Potensi spiritualnya
sudah mulai muncul sejak usianya masih muda, dan terus diasah sampai masa
kematanganya.[5]
Goldziher telah menunjukan bukti intelektualnya yang
tinggi sejak ia masih muda. Dalam usia dua belas tahun ia sudah menulis suatu
risalah mengenai asal-usul waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang
disebut Piyyuts.[6]ketika
usianya enam belas tahun ia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia
itu, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam
bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah.
Sejak tahun 1866, ketikausia goldziher
mencapai usia 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi
ulasan dan krtik-kritik terhdapbuku-buku yang ada. Koleki ulasan yang
dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya adalah Azh-zhahiriyyah:
Madzhabuhum wa tarikhuhum, yang dikerjakan pada tahun 1884.[7] Dalam usia enam belas tahun ia
juga mengikuti kuliah dari Arminius
Vanbeery di Universitas Budapest. Dua tahun kemudian, ia berhasil
dari ujiannya di Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim
ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868 dengan H.L
Fielscher dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Fielscher merupakan
sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi.[8]
Goldziher memperoleh gelar
doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang
berasal dari Tokoh Yahudi Arab Tengah”.[9] Ketika diangkat sebagai pemimpin
Universitas Budapest, dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya
agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di
negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik
Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan
menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[10]
Pada tahun
1894, Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir
tidak kembali ke negerinya, tidak juga
ke Budhapest, kecuali menghadiri konperensi orientalis atau memberi orasi pada
seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Goldziher
meniggal dunia pada 13 November 1921 di Budhapest[11].
Karya-karya Goldziher
Ada beberapa karya ilmiah yang telah ia tulis,
diantaranya :
1. Die
Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte (Leipzig 1884), yang membahas
perkembangan sejarah aliran zahiri.
2. Muhammedanische
Studien tentang sejarah agama Islam secara
khususnya tentang
hadits.
3. Vorlesungen
den Islam Heideberg (1910), yang membahas pengantar untuk memahami teologi
dan hukum Islam.
4. Die
Richtungen Der Islmichen Koran Auslegung (Leiden 1290), yang isinya hampir
sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam.
5. Dirasat
islamiyat ( juz pertama terbit tahun 1889) yang berkaitan dengan kajian
hadits. Dan juz kedua terbit pada tahun berikutnya.
6. Al-mu’amarin-nya
Abi Hatim as-sijistani (1899), dalam tulisannnya itu ia menyinggung beberapa
buku berbahasa Yunani, seperti buku Lucian dan phlegon aus tralles.
7. Ia juga
menulis pendahuluan buku at-tauhid-nya
muhammad ibnu tumart mahdi al-muwahhiddun, buku ini dterbitkan oleh
lucian pada tahun 1903 di Al-jazair.
8. Muhadharat
fi al-islam (Heidelberg,1910) yaitu membahas penilaian umum tentang islam
ditinjau dari berbagai aspek.
9. Ittijahat
tafsir al-Quran inda al-muslimin (Leiden,1920). Goldziher mengulas tentang
langkah-langkah menafsirkan al-Quran, sejarah penulisan Al-Quran, ragam bacaan
(qiraat), latar belakang timbulnya keragaman penafsiran da berbagai hal yang berkaitan
dengan tafsir Al-Quran. Pembahasan diakhiri dengan pembicaraan kitab tafsir
al-kasyaf karya Al-zamakhsyari. Pada bagian akhir dikemukakan metode-metode
tafsir modern yang dipelopori oleh ulama modern yang menyatakan terbukannya
ijtihad.
Goldziher
telah berkecimpung dalam lapangan pengkajian Islam, sejarahnya, tafsir al-Quran
dngan cara yang profesional, hasil kajiannya dipergunakan oleh sebagian orang
sebagai perbandingan[12].
Pandangan Goldziher terhadap
al-Qur’an
Sebagai
kitab suci kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (verbum dei),
Al-Quran secara turun temurun telah diyakini oleh umat Islam sebagai kitab suci
yang otentik sekaligus orisinil. Orisinalitas dan otentisitas tersebut tidak hanya
menyangkut proses pewahyuan namun juga terkait dengan makna serta isinya (Qath’iy
al-dalalah dan qhatiy al wurud). Namun, bagaimanakah otentisitas dan
orisinalitas Al-Quran di mata orientalis?
Dalam kaitannya dengan studi
Al-Quran dan tafsir, Goldziher dapat dikatakan sebagai sosok orientalis yang
pendapatnya banyak dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan
pandangannya tentang Al-Quran setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya
yakni Introduction to Islamic Theology and Law dan Madzahib al-Tafsir
Al-Islamiy.
Dalam karyanya Madzahib al-Tafsir
Al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat karena
pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis
terhadap Al-Quran, ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam
memetakan pemikiran para mufassir khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan
penafsiran yang dilakukan. Dalam karyanya tersebut, Goldziher secara purposif
berhasil menyeleksi para mufassir dari berbagai aliran yang ada secara
ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis,
dogmatis, mistik, sektariana serta modernis. Tiga
aliran pertama senada dengan tipologi kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi-l-riwayah;
tafsir bi-l-dirayah; tafsir bi-l-isyarah. Sementara dua aliran
lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan atau
elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim[13].
Lahirnya
karya Goldziher ini kemudian memacu lahirnya karya lain yang membahas tentang
mazhab atau aliaran tafsir berdasarkan banyak sudut pandang, misalnya saja al-Tafsir
wa Al-Mufassirun karya Muhammad Husein al-Dzahabi (1961)[14].
Selanjutnya, ketika berbicara
tentang Al-Quran, Menurut Goldziher merupakan kitab suci yang berupaya menyerap
ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur Kristen di dalam Al-Quran
diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan tradisi-tradisi apokri dan melalui
bid’ah-bid’ah yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan demikian
tidak sedikit unsur-unsur gnostik Timur mendapatkan tempatnya di dalam pemberitaan suci
Muhammad. Ide-ide tersebut dalam pandangan Goldziher diperoleh Muhammad melalui
hubungan-hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan ketika ia masih belum
diangkat sebagai Rasul.
Pandangannya Tentang Qira’at
Al-Qur’an jelas bukan merupakan
karya tulis, oleh karenanya keinginan Orientalis untuk menerapkan metode-metode
filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible amatlah keliru. Al-Qur’an
merupakan mukjizat Nabi Muhammad untuk seluruh umat, kemudahan membaca
al-Qur’an merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an. Nabi Saw telah
diberi izin untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatnya dengan tujuh huruf.
Mengenai sabda Rasulullah Saw
atas diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, Goldziher berkomentar bahwa, “Dalam maknanya yang shahih
mengenai hadits tersebut- para ulama Islam tidak memiliki kesepakatan yang
jelas – di kalangan ulama, hadits ini terdiri dari 35 bentuk penafsiran, yang
kesemuanya itu sama sekali tidak terkait dengan perbedaan qirâ’at. Hanya saja
banyaknya perubahan dalam teks Al-Qur’an pada masa awal mendorong munculnya
penafsiran bahwa makna huruf dalam konteks ini adalah qirâ’at, dan penggunaan
hadits tersebut menunjukan adanya pembenaran yang terikat dengan sebagian
aturan dan syarat-syarat qirâ’at yang berlaku.
Statemen Goldziher di atas
menunjukan bahwa tidak adanya penafsiran yang pasti mengenai hadits tujuh huruf
menunjukan tidak sepakatnya para ulama[15].
Selanjutnya,
terkait dengan Al-Quran, Goldziher juga memiliki pandangan yang tidak kalah
kontroversial dan mengundang perdebatan. Menurutya, tidak ada kitab
perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok keagamaan—dengan
pengakuan teologis—bahwa ia adalah teks yang
diwahyukan atau diturunkan, dimana pada amasa awal peredaran (transmition)
nya teks tersebut datang dalam bentuk yang kacau dan tidak pasti sebagaimana
Yang ditemukan dalam Al-Quran. Ketidakpastian yang dimaksud oleh Ignaz
Goldziher adalah adanya beragama versi bacaan (qiraa’t).
Menurutnya, perbedaan ragam bacaan dalam
melafalkan Al-Quran (qiraa’at) disebabkan oleh tidak adanya tanda titik
dalam Al-Quran, sehingga setiap pembaca memiliki otoritas untuk menentukan
bacaan sesuai keinginannya.
Dalam
memperkuat anggapannya tersebut, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh
potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok:
a) Perbedaan bacaan karena tidak
ada tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian besar perbedaan versi
bacaan tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu sendiri yang
bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang berbeda,
tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau
dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:
وهوالذى يرسل الرياح نشرا dapat di baca وهوالذى يرسل الرياح بشرا
وما كنتم تستكثرون dapat dibaca وما كنتم تستكبرون
b ) Perbedaan karena tidak adanya
tanda diakritikal atau tanda baca berupa harakat atau syakal memicu perbedaan
posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yyang menyebabkan lahirnya
perbedaan makna. Dengan demikian, Goldziher sampai pada suatu asumsi bahwa
perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) dan perbedaan harakat yang
dhasilkan, disatukan dan dibentuk dari huruf yang diam (tidak dibaca) merupakan
faktor utama lahirnya perbedaan bacaan dalam teks yang tidak memiliki titik
sama sekali atau yang titiknya kurang jelas[16].
Bantahan atas Tudingan Goldziher
Pertama, al-Qur’an pada
dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau
writing) tetapi merupakan ‘bacaan ‘ (qira’ah atau recitation)
dalam arti ucapan dan sebutan. Proses
pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca
al-Qur’an adalah “”membaca” dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin,
yakni to recite from memory)”. Tulisan hanyalah berfungsi sebagai
penunjang semata-mata. Sebabnya karena ayat-ayat al-Qur’an di catat – yakni,
dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, kayu, kertas, daun dan sebagainya.
Berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dan ingatan
sang Qari’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara
mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti menjamin keutuhan dan keaslian
al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi saw, dan
diteruskan kepada para sahabat, demikian hingga hari ini[17].
Kedua,
meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga
dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah
saw, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat
Nabi saw, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.
Kerana untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan
sebagai keterangan atau komentar di
pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis/ baru dikemudian hari,
ketika jumlah penghafal al-Qur’an menyusut karena banyak yang gugur di medan
perang, usaha kodifikasi al-Qur’an mulai dilakukan oleh sebuah tim yang
dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bajar as-Siddiq sehingga al-Qur’an
dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi saw,[18].
Ketiga,
kesalahpahaman sarjana orientalis mengenai rasm dan qira’at.
Sebagimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang
sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda
baca walau sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun
demikian, rasm ‘Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum
muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara
menghafal dan bukan dari tulisan.
Para
orientalis juga salah faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru
mereka, bermacam-macam qira’at bermunculan disebabkan oleh rasm
yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja berimprovisasi,
membaca al-Qur’an mengikuti selera masing-masing. Padahal ragam qira’at
telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm, para orientalis juga tidak
mengerti bahwa rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat mewakili dan menampung berbagai qira’at yang
diterima[19].
DAFTAR
PUSTAKA
Ignaz Goldziher, Madzhab
Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, Dkk, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, cet 1
Syamsuddin ‘Arif, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008
Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah
al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, Yogyakarta: Lkis, 2003, cet.I
Wahyudin Darmalaksana,Hadits
dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,
Bandung:benang Merah Press, 2004, cet.I
[1]Wahyudin Darmalaksana,Hadits
dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,
Bandung:benang Merah Press, 2004, cet.I, hlm.90
[2]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah
al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis,
Yogyakarta:Lkis, 2003, cet.I,hlm.151
[4]Wahyudin Darmalaksana,Hadits
dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,hlm.
91
[5]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah
al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis,hlm.151
[6]Wahyudin Darmalaksana,Hadits
dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,hlm.
91
[7]Abdurrahman Badawi,Mawsu’ah
al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat,Ensiklopedi tokoh Orientalis,hlm.152
[12] Abdurrahman
Badawi,Mawsu’ah al-Mustasyriqin,terj. Amroeni Drajat, Ensiklopedi tokoh Orientalis, Yogyakarta: Lkis, 2003, cet.I
[13] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir
Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, Dkk, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, cet 1
[14] http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/04/studi-al-quran-dan-hadis-orientalis.html, diunggah pada tanggal 15 November 2013
[15] http://inpasonline.com/new/qiraat-dalam-perspektif-orientalis-kajian-kritis/ tgl 18 November 2013
[16] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, Dkk, Yogyakarta:
elSAQ Press, 2003, cet 1, hlm 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar