Minggu, 10 Januari 2016

Pemikiran Andrew Rippin Dalam Studi al-Qur’an
Rizki Fatimah

A.    Sekilas tentang Andrew Rippin
Nama lengkapnya adalah Andrew Lawrence Rippin, ia lahir di London, Inggris, pada tanggal 16 Mei 1950. Ia adalah seorang spesialis studi islam dalam bidang al-Qur’ân dan sejarah tafsir.
Andrew Rippin sejak awal studinya di perguruan tinggi telah mengambil konsentrasi pada studi agama (religious studies). Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto, di sana  ia mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi dengan judul "The Qur’ânic asbâb al-nuzul material: an examination of its use and development in exegesis," (Bahan asbabun nuzul al-Qur’ân: sebuah pembahasan tentang kegunaan dan perkembangannya dalam tafsir), Rippin berhasil memperoleh gelar PhD. dalam bidang kajian tafsir di Universitas McGill pada tahun 1981.
Sejak tahun terakhir kuliah doktoralnya, Rippin sudah mengajar di Michigan State university, pada jurusan studi-studi agama 1979-1980, dan setelah itu dia diangkat menjadi Professor Muda (Assistant Professor) pada University of Calgary hingga tahun 1984. Pada tahun inilah dia dianugerahi jabatan sebagai Professor Tetap (Assosiate Professor) di universitas yang sama. Pada tahun 1991 selama dua semester ganjil (Fall) dan genap (Winter), dia menjadi Professor Tamu di McGill University di Institute of Islamic Studies. Dia kemudian kembali ke Universitas of Calgary dan dia berhasil mendapatkan jabatan tertinggi dalam dunia akademik, yaitu Professor Penuh (Full Professor) pada tahun 1992. Namun, dia hanya jalani hingga tahun 2000, sebab dia dipercayakan menjadi dekan Faculty of Humanities di University of Victoria.
Dalam banyak pertemuan ilmiah di luar kampus tempat kerjanya, Rippin cukup aktif baik sebagai anggota ataupun sebagai pengurus berbagai organisasi professional dan keilmuan (Learned and Professional Societies). Selain itu, Rippin juga aktif di forum Canadian Society for the Study of Religion, yang biasanya diadakan dalam Congress of Learned Societies, yang kemudian berganti nama dengan Congress of Social Sciences and Humanities Research Council of Canada. Pada Kongres ini pernah juga ICMI Orsat Montreal Ottawa, Kanada, diikutkan sebagai organisasi yang diberikan wewenang mengorganisir kegiatan seminarnya secara independent.
Rippin banyak menerima award dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada (SSHRC) ini, baik sebagai conference grant, maupun sebagai fellowship, atau travel grant. Dia juga telah menerima penghargaan sebagai staf pengajar excellent dari University of Calgary pada tahun 1991.

B.     Karya-karyanya
Sejak Rippin menulis desertasinya tentang asbabun nuzul al-Qur’an, ia menjadi amat produktif dalam bidang studi Islam serta al-Qur’an dan sejarah penafsirannya. Dia telah menulis di berbagai jurnal yang diakui dalam dunia akademis (refereed journals), seperti BOAS, Arabica, Muslim World, Journal of Semitic Studies, dll. Artikel-artikel tersebut yang berjumlah 22 itu kemudian dia rangkum dalam sebuah bunga rampai atau edited work, dengan judul The Qur’ân and its interpretative tradition. Kendati dia hanya mengedit dua buah karya yang masing-masing bertajuk Approaches to the history of the interpretation of the Qur’ân (1988) dan The Qur’ân: formative interpretation (2000), dia ternyata bersama dengan editor lainnya. berkali-kali menerbitkan karya-karya sarjana tafsir Barat (1983, 1986 reprinted I990, 1990. 2003). Dan karyanya yang amat monumental yang telah diterbitkan adalah Muslims, their religious beliefs and practices, vol 1: the formative period (1990), dan volume 2: The contemporary period (1993). Kedua volume tersebut, kemudian dia jadikan satu monograph, yang ditambah dengan materi dan dokumen lain yang baru (2001). Dengan demikian, dia sudah menerbitkan kurang lebih 32 karya, baik dalam bentuk jurnal, bab dalam buku, maupun dalam bentuk buku monograph, dan buku editan, baik secara perorangan maupun secara kolektif dengan pengarang lainnya (co-authored). Buku-buku tersebut diterbitkan oleh penerbit yang bergengsi dan bertaraf internasional. seperti Oxford University Press. Routledge, University of Chicago, University of Manchester, Ashgate/Variorum, dan lain-lain.

C.    Metodologi dan Pendekatan Andrew Rippin
Orientalis pada lazimnya menelusuri tafsir dengan pendekatan kritis (critical analysis). Namun berbeda dari Orientalis pada awal-awal studi Barat atas al-Qur’ân, seperti Wansbrough dan Smith, yang cenderung menggunakan tradisi Islam dalam kajian mereka, serta menggunakan rujukan sekunder (secondary resources), Rippin lebih terlatih menggunakan rujukan utama (primary resources) khazanah intelektual Muslim zaman klasik, dengan mengaplikasikan metodologi literary and historical analysis atas asbâbun nuzûl. Selain itu. berbeda dari orientalis lainnya, Rippin telah mengunjungi wilayah Islam seperti Mesir dan Turki, dan dia menguasai bahasa Arab dan Hebrew dengan baik.  Dia amat kritis, bukan hanya terhadap penafsir Muslim, tetapi juga terhadap "penafsir" Orientalis. Dia senang mendekati ayat berdasarkan konsep atau istilah tertentu (terminologis) dan kata per kata, ketimbang dengan cara surah per surah. Seperti dengan gurunya, Charles Adams (murid Smith), Rippin juga berusaha untuk bebas dari doktrin dan dogma yang sudah mengakar dalam tradisi Muslim.
Analisis literer Rippin diadopsi dari Wansbrough, tetapi analysis hisiorisnya dari Adams. Wansbrough menafikan sumber original zaman klasik Muslim. Baginya, studi ini memiliki dua kelemahan, yaitu: philologi-historical, dan irenic, yang cenderung melakukan rekonsiliasi dalam interpretasi. Sehingga ia mengusulkan pendekatan literer. Berbeda dari Wansbrough, Smith dan murid-muridnya, seperti Charles Adams, lebih menekankan pendekatan kesejarahan dalam melihat Islam dan ummatnya. Sedangkan Rippin mengedepankan pendekatan literer bibliografis dan terminologis.
Namun, sekalipun keduanya berpengaruh atas perkembangan intelektualnya, Rippin mampu menganalis secara literer ayat-ayat Qur’ân. Dengan bantuan bahan-bahan dari zaman klasik, sambil meniliknya dengan kacamata kritis dengan bantuan analisis orientalis.
Berdasarkan penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Rippin menggunakan metodologi analisis literer sebagaimana Wansbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu konsep atau tema tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami atau وجه الله  dalam al-Quran. Namun demikian, berbeda dari analisis maudlu’i, Rippin mendekati suatu kata atau istilah berdasarkan karya historisitas penulis muslim awal. Kendati hanya pada literature yang hanya dia dapat akses (maksudnya tentu masih banyak karya yang belum tersingkap atau terakses olehnya). Dia juga membatasi dirinya pada karya-karya Arab, kalaupun ada dari Persia hanya segelintir saja, bahasa Turki dan bahasa muslim lainnya belum sempat ia gunakan.
Selain meneliti tentang suatu tema tertentu, Rippin juga meneliti tentang berbagai hal yang berkaitan dalam al-Qur’an, dengan menggunakan metodologi dan pendekatan yang ia kedepankan.

1.      Asbabun Nuzul al-Qur’an
Pada penulisan disertasinya tentang asbabun nuzul al-Qur’ân, Rippin (1985) menggunakan survei bibliografis dan terminologis (bibliographical and terminological survey). Dia memulal diskusinya dengan karya Hajji Khalifa, seorang bibliografer Muslim abad 11 H/I7 M dari masa Turki Usmani, yang memperkenalkan corak literatur tafsir (genre of exegetical literature), yang salah satu daftar (entry)nya menyebutkan asbâb al-nuzûl, Dia mengutip Goldziher yang meyakini bahwa hanya ada satu karya klasik semacam ini yang dapat kita sebutkan. yaitu al-Wahidi (w. 468 H/1075 M). Menurut Rippin, penulis lain yang menyebutkan karya klasik ini adalah Theodor Noldeke dan Friedrick Schwally. Keduanya menyebutkan karya al-Nadim, al-Fihrist.
Rippin dengan cermat mendaftarkan 19 nama penulis awal yang berkaitan dengan asbâbun nuzûl, dengan judul kitab yang bervariasi. Ada yang khusus menulis dengan topik asbabun nuzul atau nuzûl al-Qur'ân, atau dengan judul kitab asbâb al-nuzûl. Ada juga yang mengambil tajuk yang Iebih panjang, namun tetap memberi indikasi bahwa kitab tersebut menyangkut cerita tentang latar belakang peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’ân kepada Nabi Muhammad. Rippin berkesimpulan bahwa karya al-Wahidilah yang barangkali merupakan karya terawal dan luas yang berhasil mengumpulkan kitab-kitab tersebut dalam satu karya bibliografis. Bagi Rippin, hanya satu abad sebelum (yakni abad ke-4) al-wahidi istilah asbabun nuzul menjadi fiks yang sekaligus menandai lahirnya informasi exegetis yang punya distingsi.
Salah satu artikel lain Rippin. yang juga perlu disebutkan di sini adalah tentang fungsi asbabun nuzul dalam tafsir al-Qur’ân (1988). Tetapi kali ini pendekatannya sedikit simplistik kendati melahirkan kesimpulan yang menarik. Dalam hal ini, dia memakai pendekatan yang digunakan oleh Wansbrough.
Dalam karya John Wansbrough yang berjudul “Qur’anic Studies: Sorces And Methods Of Scriptural Interpretation”, sejumlah tesis dicetuskan mengenai asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan pandangan Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi asbab merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk mengambil hukum dari teks al-Qur’an, yaitu, karya halakhic. Dia mengemukakan bahwa keberadaan materi asbab sebagaimana ditemukan dalam haggadic atau tafsir naratif, seperti dalam karya Muqatil adalah “kebetulan’, karena, ketika laporan-laporan naratif asbab menjadi anekdot. Mereka tidak bisa memenuhi apa yang Wansbrough pandang sebagai “fungsi esensial’, yang membentuk ‘sebuah kronologi pewahyuan’.
Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan investigasi khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk mengajukan pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab? Apakah mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran. Pertanyaan yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa di dalam konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab nuzul dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia harap untuk selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap materi tersebut setelah dia mengemukakannya.
Dalam penelitiannya, Rippin menggunakan metode kritik sastra dan kritik histories, seperti yang digunakan oleh Wansbrough. Andrew Rippin membuat frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu, sebelum abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benar-benar tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang disurvey meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w. 150/767), al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777), Mujahid (w.104/772), Abd al-Razzaq (211/826), al-Thabari (w.310/922), dan al-Wahidi (468/1075). Dan yang menjadi fokus Rippin dalam penggunaan teks-teks yang para penafsir adalah memfokuskan pada pertanyaan literatur esensial: Kenapa asbab an-nuzul dikemukakan dalam karya-karya ini? Hasilnya akan memberikan sebuah pandangan mengenai teknik penafsiran atau metode penafsiran literal yang digunakan oleh para penafsir ini.
Setelah melakukan investigasi, Rippin menyimpulkan bahwa fungsi utama asbabun nuzul itu dalam teks tafsir bukanlah bentuk halakhik. Namun, peran utama bahan-bahan tersebut ditemukan dalam bentuk haggadik, yaitu asbabun nuzul berfungsi untuk menyediakan interpretasi tentang satu ayat dalam sebuah kerangka naratif. Jadi menurutnya, asbabun nuzul mendapat perhatian karena didasari dari keinginan Umat Islam untuk men’sejarah’kan teks al-Qur’an agar dapat dikatakan bahwa Tuhan benar-benar mewahyukan kitab-Nya pada manusia di dunia ini merupakan bukti perhatian Tuhan pada makhluk-Nya. Hanya saja menurut penelitiannya, Andrew Rippin menyatakan bahwa bidang ini belum mendapat perhatian serius menjadi kajian sejarah dan kontekstual teks dari kalangan umat Islam sendiri. Asbabun nuzul hanya dicatat dan lalu dibiarkan tanpa ada penjelasan kausalitas. Kesimpulan yang lainnya juga adalah bahwa asbabun nuzul tidak berada pada zaman nabi, tapi hanya hasil rekonstruksi setelah masa Nabi Saw, dimana salah satunya adalah melalui sunnah maupun hadis, padahal keduanya dalam periwayatannya belum tentu benar dan jujur, ketika seseorang meriwayatkannya, apalagi jika mengingat rentang waktu yang berpuluhan tahun. Namun, Rippin tidak menyadari tentang teori periwayan yang dikenal dalam dunia islam. Bahwa proses periwayatan bukan hanya saja secara lafdzi akan tetapi juga secara maknawi.

2.      Lafadz al-Qur’an
Dalam salah satu karya Rippin (1994), yaitu The poetic of Qur’ânic punning (Nilai Puisi Permainan kata-kata dalam al-Qur’ân). Dalam karyanya ini juga, ia menggunakan analisis literer, tapi kali ini lebih kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara musik yang bercampur dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة (QS. 30:55), yang bisa bermakna waktu biasa tetapi juga bisa bermakna hari kiamat. Rippin berkesimpulan bahwa kata-kata dalam al-Quran itu tentu saja sebuah fenomena yang merupakan bagian dari proses temuan pembaca terhadap al-Quran dan contoh-contoh yang dikemukakan tersebut merupakan suatu tekanan retorika dalam teks. Jadi retorikal analisis juga digunakan. Bagaimana cara sebuah kata dianalisis merupakan bagian dari makna yang disampaikannya serta pesan ditekankan melalui vokabolari yang digunakannya, hal ini menggaris bawahi bahwa kata-kata itu pada kenyataanya dapat menghantarkan makna hanya melalui konteks. Sebaliknya kesederhanaan pertanyaan sebuah permainan kata-kata tersebut dalam al-Quran sering dibutuhkan ketika menanyakan soal produktifitasnya. Permainan kata bukanlah landasan utama bagi elaborasi negative yang Qurani.
Salah satu karyanya juga, yaitu pembahasan tentang wajah Allah. Dalam artikel (2000) ini, Rippin  mencoba menghubungkannya dengan simbol Qur’ân tentang pertanggungjawaban perseorangan. Dengan menggunakan pendekatan analisis literer, Rippin mendiskusikan bagaimana ide pertanggungjawaban perseorangan ditekankan dalam berbagai variasi ekspresi simbol. Lalu bagaimana mengeksplorasi simbolisme yang digunakan dalam mendiskusikan ide tertentu dalam rangka melihat bagaimana bahasa memediasi pengalaman tertentu manusia, termasuk idenya serta idealnya yang mungkin tak dapat diekspresikan. Rippin menyimpulkan bahwa penggunaan simbolisme dalam al- Qur’ân bukan hanya cerminan dari imaginasi Bible, tetapi juga merupakan visi teologis yang koheren satu sama lainnya. yang penekanannya terletak pada pertanggungjawaban perseorangan manusia terhadap Tuhan. Al- Qur’ân menekankan pentingnya tanggungjawab manusia atas perbuatannya sendiri dalam rangka menemukan kehidupan sebagai wujud pengabdiannya pada Tuhan. Hal ini lazim diekspresikan dalam simbol Timur Dekat (Dunia Arab dan sekitarnya), melalui pembicaraan tentang "wajah Tuhan" disediakan bagi mereka yang mencarinya.

D.     Kritik Kodifikasi al-Quran Andrew Rippin 
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Quran tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad. Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.
Akibatnya tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang dibentuk dalam sebuah budaya terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.

E.     Kesimpulan
Dari pemaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikirin Rippin ini kebanyakan dipengaruhi oleh Wansbrough. Meskipun ia termasuk salah satu murid dari Charles Adams, yang cenderung historikal dalam pendekatannya, tetapi pada kenyataannya ia cenderung memakai pendekatan Wansbrough, yaitu analisis literer. Tetapi dia juga berbeda dari cara penulisan para penulis Muslim yang cenderung normatif, atau paling tidak menggunakan pendekatan teologis-historis, karena Rippin ternyata lebih senang dengan analisis literer dalam wujud terminologis dan bibliografis.
Sama seperti para orientalis lainnya, Rippin juga meragukan keotientikan al-Qur’an. Alasannya pun sama dengan yang lainnya, yaitu karena pengkodifikasian al-Qur’an dilakukan jauh setelah Nabi Muhammad Saw. wafat.
Itulah Andrew Rippin, seorang orientalis yang mempunyai pandangan miring tentang Islam akan tetapi terlepas dari semua itu bahwa ia juga mengajarkan kepada kita bagaimana menggunakan khazanah peninggalan intelektual muslim secara kritis sambil mengaplikasikan dan mengkritisi analisis orientalis yang lain.
Wallahu a’lam..

Sumber Rujukan
Ø  Andi Faisal Bakti, “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar