Pemikiran Andrew Rippin
Dalam Studi al-Qur’an
Rizki Fatimah
A. Sekilas tentang Andrew Rippin
Nama lengkapnya adalah Andrew Lawrence Rippin, ia lahir di London, Inggris, pada
tanggal 16 Mei 1950. Ia adalah seorang
spesialis studi islam dalam bidang al-Qur’ân dan sejarah tafsir.
Andrew Rippin sejak awal studinya di perguruan tinggi telah
mengambil konsentrasi pada studi agama (religious studies). Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto, di
sana ia mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia
berhasil menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi
dengan judul "The
Qur’ânic asbâb al-nuzul material:
an examination of its use and development in exegesis," (Bahan asbabun
nuzul al-Qur’ân: sebuah pembahasan tentang kegunaan dan perkembangannya
dalam tafsir), Rippin berhasil memperoleh gelar PhD. dalam bidang kajian tafsir
di Universitas McGill pada tahun 1981.
Sejak tahun terakhir kuliah doktoralnya, Rippin sudah mengajar di
Michigan State university, pada jurusan studi-studi agama 1979-1980, dan
setelah itu dia diangkat menjadi Professor Muda (Assistant Professor) pada
University of Calgary hingga tahun 1984. Pada tahun inilah dia dianugerahi
jabatan sebagai Professor Tetap (Assosiate Professor) di
universitas yang sama. Pada tahun 1991 selama dua semester ganjil (Fall)
dan genap (Winter), dia menjadi Professor Tamu di McGill University di
Institute of Islamic Studies. Dia kemudian kembali ke Universitas of Calgary
dan dia berhasil mendapatkan jabatan tertinggi dalam dunia akademik, yaitu
Professor Penuh (Full Professor) pada tahun 1992. Namun, dia hanya jalani
hingga tahun 2000, sebab dia dipercayakan menjadi dekan Faculty of Humanities
di University of Victoria.
Dalam banyak pertemuan ilmiah di luar kampus tempat kerjanya,
Rippin cukup aktif baik sebagai anggota ataupun sebagai pengurus berbagai
organisasi professional dan keilmuan (Learned and Professional Societies). Selain
itu, Rippin juga aktif di forum Canadian Society for the Study of Religion, yang
biasanya diadakan dalam Congress of Learned Societies, yang kemudian
berganti nama dengan Congress of Social Sciences and Humanities Research
Council of Canada. Pada Kongres ini pernah juga ICMI Orsat Montreal Ottawa,
Kanada, diikutkan sebagai organisasi yang diberikan wewenang mengorganisir
kegiatan seminarnya secara independent.
Rippin banyak menerima award dari Social Sciences and Humanities
Research Council of Canada (SSHRC) ini, baik sebagai conference grant,
maupun sebagai fellowship, atau travel grant. Dia juga telah
menerima penghargaan sebagai staf pengajar excellent dari University of
Calgary pada tahun 1991.
B.
Karya-karyanya
Sejak Rippin menulis desertasinya tentang asbabun nuzul al-Qur’an, ia
menjadi amat produktif dalam bidang studi Islam serta al-Qur’an dan sejarah
penafsirannya. Dia telah menulis di berbagai jurnal yang diakui dalam dunia
akademis (refereed journals), seperti BOAS, Arabica, Muslim World,
Journal of Semitic Studies, dll. Artikel-artikel tersebut yang berjumlah 22
itu kemudian dia rangkum dalam sebuah bunga rampai atau edited work,
dengan judul The Qur’ân and its interpretative tradition. Kendati dia
hanya mengedit dua buah karya yang masing-masing bertajuk Approaches to the
history of the interpretation of the Qur’ân (1988) dan The Qur’ân:
formative interpretation (2000), dia ternyata bersama dengan editor
lainnya. berkali-kali menerbitkan karya-karya sarjana tafsir Barat (1983, 1986
reprinted I990, 1990. 2003). Dan karyanya yang amat monumental yang telah
diterbitkan adalah Muslims, their religious beliefs and practices, vol 1:
the formative period (1990), dan volume 2: The contemporary period (1993).
Kedua volume tersebut, kemudian dia jadikan satu monograph, yang ditambah
dengan materi dan dokumen lain yang baru (2001). Dengan demikian, dia sudah
menerbitkan kurang lebih 32 karya, baik dalam bentuk jurnal, bab dalam buku,
maupun dalam bentuk buku monograph, dan buku editan, baik secara perorangan
maupun secara kolektif dengan pengarang lainnya (co-authored). Buku-buku
tersebut diterbitkan oleh penerbit yang bergengsi dan bertaraf internasional.
seperti Oxford University Press. Routledge, University of Chicago, University
of Manchester, Ashgate/Variorum, dan lain-lain.
C. Metodologi dan Pendekatan Andrew Rippin
Orientalis pada lazimnya menelusuri tafsir dengan pendekatan kritis
(critical analysis). Namun berbeda dari Orientalis pada awal-awal studi
Barat atas al-Qur’ân, seperti Wansbrough dan Smith, yang cenderung menggunakan
tradisi Islam dalam kajian mereka, serta menggunakan rujukan sekunder (secondary
resources), Rippin lebih terlatih menggunakan rujukan utama (primary
resources) khazanah intelektual Muslim zaman klasik, dengan mengaplikasikan
metodologi literary and historical analysis atas asbâbun nuzûl. Selain
itu. berbeda dari orientalis lainnya, Rippin telah mengunjungi wilayah Islam
seperti Mesir dan Turki, dan dia menguasai bahasa Arab dan Hebrew dengan
baik. Dia amat kritis, bukan hanya
terhadap penafsir Muslim, tetapi juga terhadap "penafsir" Orientalis.
Dia senang mendekati ayat berdasarkan konsep atau istilah tertentu
(terminologis) dan kata per kata, ketimbang dengan cara surah per surah.
Seperti dengan gurunya, Charles Adams (murid Smith), Rippin juga berusaha untuk
bebas dari doktrin dan dogma yang sudah mengakar dalam tradisi Muslim.
Analisis literer Rippin diadopsi dari Wansbrough, tetapi analysis
hisiorisnya dari Adams. Wansbrough menafikan sumber original zaman klasik
Muslim. Baginya, studi ini memiliki dua kelemahan, yaitu: philologi-historical,
dan irenic, yang cenderung melakukan rekonsiliasi dalam interpretasi.
Sehingga ia mengusulkan pendekatan literer. Berbeda dari Wansbrough, Smith dan
murid-muridnya, seperti Charles Adams, lebih menekankan pendekatan kesejarahan
dalam melihat Islam dan ummatnya. Sedangkan Rippin mengedepankan pendekatan
literer bibliografis dan terminologis.
Namun, sekalipun keduanya berpengaruh atas perkembangan
intelektualnya, Rippin mampu menganalis secara literer ayat-ayat Qur’ân. Dengan
bantuan bahan-bahan dari zaman klasik, sambil meniliknya dengan kacamata kritis
dengan bantuan analisis orientalis.
Berdasarkan penjelasan
di atas, sangat jelas bahwa Rippin menggunakan metodologi analisis literer
sebagaimana Wansbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu
konsep atau tema tertentu. Umpamanya kata نحن atau
kami atau وجه الله dalam al-Quran.
Namun demikian, berbeda dari analisis maudlu’i, Rippin mendekati suatu kata
atau istilah berdasarkan karya historisitas penulis muslim awal. Kendati hanya
pada literature yang hanya dia dapat akses (maksudnya tentu masih banyak karya
yang belum tersingkap atau terakses olehnya). Dia juga membatasi dirinya pada
karya-karya Arab, kalaupun ada dari Persia hanya segelintir saja, bahasa Turki
dan bahasa muslim lainnya belum sempat ia gunakan.
Selain meneliti tentang suatu tema tertentu, Rippin juga meneliti
tentang berbagai hal yang berkaitan dalam al-Qur’an, dengan menggunakan metodologi
dan pendekatan yang ia kedepankan.
1.
Asbabun Nuzul al-Qur’an
Pada penulisan disertasinya tentang asbabun nuzul al-Qur’ân,
Rippin (1985) menggunakan survei bibliografis dan terminologis (bibliographical
and terminological survey). Dia memulal diskusinya dengan karya Hajji
Khalifa, seorang bibliografer Muslim abad 11 H/I7 M dari masa Turki Usmani,
yang memperkenalkan corak literatur tafsir (genre of exegetical literature),
yang salah satu daftar (entry)nya menyebutkan asbâb al-nuzûl, Dia
mengutip Goldziher yang meyakini bahwa hanya ada satu karya klasik semacam ini
yang dapat kita sebutkan. yaitu al-Wahidi (w. 468 H/1075 M). Menurut Rippin,
penulis lain yang menyebutkan karya klasik ini adalah Theodor Noldeke dan
Friedrick Schwally. Keduanya menyebutkan karya al-Nadim, al-Fihrist.
Rippin dengan cermat mendaftarkan 19 nama penulis awal yang
berkaitan dengan asbâbun nuzûl, dengan judul kitab yang bervariasi. Ada
yang khusus menulis dengan topik asbabun nuzul atau nuzûl al-Qur'ân,
atau dengan judul kitab asbâb al-nuzûl. Ada juga yang mengambil
tajuk yang Iebih panjang, namun tetap memberi indikasi bahwa kitab tersebut menyangkut
cerita tentang latar belakang peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat
al-Qur’ân kepada Nabi Muhammad. Rippin berkesimpulan bahwa karya al-Wahidilah
yang barangkali merupakan karya terawal dan luas yang berhasil mengumpulkan
kitab-kitab tersebut dalam satu karya bibliografis. Bagi Rippin, hanya satu abad
sebelum (yakni abad ke-4) al-wahidi istilah asbabun nuzul menjadi fiks
yang sekaligus menandai lahirnya informasi exegetis yang punya
distingsi.
Salah satu artikel lain Rippin. yang juga perlu disebutkan di sini
adalah tentang fungsi asbabun nuzul dalam tafsir al-Qur’ân (1988).
Tetapi kali ini pendekatannya sedikit simplistik kendati melahirkan kesimpulan
yang menarik. Dalam hal ini, dia memakai pendekatan yang digunakan oleh
Wansbrough.
Dalam karya John Wansbrough yang berjudul “Qur’anic Studies: Sorces
And Methods Of Scriptural Interpretation”, sejumlah tesis dicetuskan
mengenai asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan
pandangan Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi
asbab merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk
mengambil hukum dari teks al-Qur’an, yaitu, karya halakhic. Dia mengemukakan
bahwa keberadaan materi asbab sebagaimana ditemukan dalam haggadic atau tafsir
naratif, seperti dalam karya Muqatil adalah “kebetulan’, karena, ketika
laporan-laporan naratif asbab menjadi anekdot. Mereka tidak bisa memenuhi apa
yang Wansbrough pandang sebagai “fungsi esensial’, yang membentuk ‘sebuah
kronologi pewahyuan’.
Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan
investigasi khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk
mengajukan pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab?
Apakah mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam
karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan
tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga
dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran. Pertanyaan
yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa di dalam
konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab nuzul
dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia harap untuk
selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap materi tersebut
setelah dia mengemukakannya.
Dalam penelitiannya, Rippin menggunakan metode kritik sastra dan
kritik histories, seperti yang digunakan oleh Wansbrough. Andrew Rippin membuat
frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang
dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu, sebelum
abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benar-benar
tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang disurvey
meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w. 150/767),
al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777), Mujahid (w.104/772), Abd
al-Razzaq (211/826), al-Thabari (w.310/922), dan al-Wahidi (468/1075). Dan yang
menjadi fokus Rippin dalam penggunaan teks-teks yang para penafsir adalah
memfokuskan pada pertanyaan literatur esensial: Kenapa asbab an-nuzul
dikemukakan dalam karya-karya ini? Hasilnya akan memberikan sebuah pandangan
mengenai teknik penafsiran atau metode penafsiran literal yang digunakan oleh
para penafsir ini.
Setelah melakukan investigasi, Rippin menyimpulkan bahwa fungsi utama asbabun nuzul itu
dalam teks tafsir bukanlah bentuk halakhik. Namun, peran utama bahan-bahan
tersebut ditemukan dalam bentuk haggadik, yaitu asbabun nuzul berfungsi
untuk menyediakan interpretasi tentang satu ayat dalam sebuah kerangka naratif. Jadi menurutnya, asbabun nuzul mendapat perhatian karena
didasari dari keinginan Umat Islam untuk men’sejarah’kan teks al-Qur’an agar
dapat dikatakan bahwa Tuhan benar-benar mewahyukan kitab-Nya pada manusia di
dunia ini merupakan bukti perhatian Tuhan pada makhluk-Nya. Hanya saja menurut
penelitiannya, Andrew Rippin menyatakan bahwa bidang ini belum mendapat
perhatian serius menjadi kajian sejarah dan kontekstual teks dari kalangan umat
Islam sendiri. Asbabun nuzul hanya dicatat dan lalu dibiarkan tanpa ada
penjelasan kausalitas. Kesimpulan yang lainnya juga adalah bahwa asbabun
nuzul tidak berada pada zaman nabi, tapi hanya hasil rekonstruksi setelah
masa Nabi Saw, dimana salah satunya adalah melalui sunnah maupun hadis, padahal
keduanya dalam periwayatannya belum tentu benar dan jujur, ketika seseorang
meriwayatkannya, apalagi jika mengingat rentang waktu yang berpuluhan tahun.
Namun, Rippin tidak menyadari tentang teori periwayan yang dikenal dalam dunia
islam. Bahwa proses periwayatan bukan hanya saja secara lafdzi akan tetapi juga
secara maknawi.
2.
Lafadz al-Qur’an
Dalam salah satu karya Rippin (1994), yaitu The poetic of Qur’ânic punning (Nilai
Puisi Permainan kata-kata dalam al-Qur’ân). Dalam karyanya ini juga, ia menggunakan analisis literer, tapi kali ini lebih
kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca
al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara musik yang bercampur dengan
suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan kata-kata
itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam tulisan
ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya makna
ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة (QS. 30:55), yang bisa bermakna waktu biasa tetapi juga
bisa bermakna hari kiamat. Rippin berkesimpulan bahwa kata-kata dalam al-Quran
itu tentu saja sebuah fenomena yang merupakan bagian dari proses temuan pembaca
terhadap al-Quran dan contoh-contoh yang dikemukakan tersebut merupakan suatu
tekanan retorika dalam teks. Jadi retorikal analisis juga digunakan. Bagaimana
cara sebuah kata dianalisis merupakan bagian dari makna yang disampaikannya serta
pesan ditekankan melalui vokabolari yang digunakannya, hal ini menggaris bawahi
bahwa kata-kata itu pada kenyataanya dapat menghantarkan makna hanya melalui
konteks. Sebaliknya kesederhanaan pertanyaan sebuah permainan kata-kata
tersebut dalam al-Quran sering dibutuhkan ketika menanyakan soal
produktifitasnya. Permainan kata bukanlah landasan utama bagi elaborasi negative
yang Qurani.
Salah satu karyanya juga, yaitu pembahasan tentang wajah Allah.
Dalam artikel (2000) ini, Rippin mencoba
menghubungkannya dengan simbol Qur’ân tentang pertanggungjawaban perseorangan.
Dengan menggunakan pendekatan analisis literer, Rippin mendiskusikan bagaimana
ide pertanggungjawaban perseorangan ditekankan dalam berbagai variasi ekspresi
simbol. Lalu bagaimana mengeksplorasi simbolisme yang digunakan dalam
mendiskusikan ide tertentu dalam rangka melihat bagaimana bahasa memediasi pengalaman
tertentu manusia, termasuk idenya serta idealnya yang mungkin tak dapat
diekspresikan. Rippin menyimpulkan bahwa penggunaan simbolisme dalam al- Qur’ân
bukan hanya cerminan dari imaginasi Bible, tetapi juga merupakan visi
teologis yang koheren satu sama lainnya. yang penekanannya terletak pada
pertanggungjawaban perseorangan manusia terhadap Tuhan. Al- Qur’ân menekankan
pentingnya tanggungjawab manusia atas perbuatannya sendiri dalam rangka
menemukan kehidupan sebagai wujud pengabdiannya pada Tuhan. Hal ini lazim diekspresikan
dalam simbol Timur Dekat (Dunia Arab dan sekitarnya), melalui pembicaraan
tentang "wajah Tuhan" disediakan bagi mereka yang mencarinya.
D. Kritik Kodifikasi al-Quran Andrew
Rippin
Andrew Rippin mengamini
pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad
ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan
al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara
historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud
tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk
menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau
mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci
Ibrani.
Masih menurut keduanya,
untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum
Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum
Muslimin. Teks al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi
Rippin mengatakan, Al-Quran tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi
merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad.
Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad
ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.
Akibatnya tahap
pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama
200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat
sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum
750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode
pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari
sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang
cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat
tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.
Menurut Rippin, muslim
ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril
selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya
membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7,
Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang dibentuk dalam
sebuah budaya terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah
Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap
sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki
budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan
yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan
serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.
E. Kesimpulan
Dari pemaran di atas,
dapat disimpulkan bahwa pemikirin Rippin ini kebanyakan dipengaruhi oleh
Wansbrough. Meskipun ia termasuk salah satu murid dari Charles Adams, yang
cenderung historikal dalam pendekatannya, tetapi pada kenyataannya ia cenderung
memakai pendekatan Wansbrough, yaitu analisis literer. Tetapi dia juga berbeda
dari cara penulisan para penulis Muslim yang cenderung normatif, atau paling
tidak menggunakan pendekatan teologis-historis, karena Rippin ternyata lebih
senang dengan analisis literer dalam wujud terminologis dan bibliografis.
Sama seperti
para orientalis lainnya, Rippin juga meragukan keotientikan al-Qur’an.
Alasannya pun sama dengan yang lainnya, yaitu karena pengkodifikasian al-Qur’an
dilakukan jauh setelah Nabi Muhammad Saw. wafat.
Itulah Andrew Rippin, seorang orientalis yang mempunyai pandangan miring tentang Islam
akan tetapi terlepas dari semua itu bahwa ia juga mengajarkan kepada kita
bagaimana menggunakan khazanah peninggalan intelektual muslim secara kritis
sambil mengaplikasikan dan mengkritisi analisis orientalis yang lain.
Wallahu a’lam..
Sumber Rujukan
Ø Andi Faisal Bakti, “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal
Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar