1
TAFSIR RUHUL MA’ANI KARYA AL-ALUSI1
Oleh: Laila Mumtahanah2
A. Profil Imam al-Alusi
Abu Sana‟ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Bagdadi. Dalam buku Profil para Mufassir al-Qur’an bahwa Ia berjuluk Abu as-sana‟, namun lebih dikenal dengan nama al-Alusi3. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak. Beliau seorang ulama Irak yang pernah menjabat mufti Baghdad, maha guru dalam manqul dan ma’qul yang ia fahami ushul dan furu‟nya, seorang mufassir dan mengambil ilmu-ilmunya dari ulama-ulama besar diantaranya ayahnya yang seorang maha guru (al-„Alamah), Ia memiliki tujuan untuk bersungguh-sungguh menambah dan memperkaya ilmunya4.
Maka tak heran, disebutkan oleh Hafiz Basuki bahwa Ia pemikir, ahli ilmu agama dan ahli berpolemik. Keluarga besarnya, al-Alusi, merupakan keluarga terpelajar di Baghdad pada abad ke-19. Nama al-Alusi berasal dari kata Alus, suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat, yaitu antara kota Abu Kamal dan kota Ramadi5.
B. Perjalanan Mencari Ilmu
Sejak ia muda, ia dibimbing oleh ayahnya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi dalam bidang tafsir, hadits, dan bahasa arab, selain itu ia juga berguru kepada Syaikh al-Naqsabandi. Dari imam al-Naqsabandiah (seorang praktisi tasawuf sekaligus guru besar tarekat Naksabandiyah) beliau belajar tentang ilmu tasawuf. Oleh karena itu, wajar jika dalam penafsirannya ia menggunakan pendekatan sufistik sebagai upaya mengungkapkan makna batin (esoteris). Kepada Abdul Aziz asy-Syawaf dalam bidang adab dan ayahnya Syekh Abdullah Shalahuddin yang menjadi guru besar di perguruan tinggi al-Hadrah al-Azamiyyah. Sehingga Ia tumbuh menjadi ulama yang mumpuni dan disegani6. Pada waktu itu juga, ia sudah rajin mengajar di berbagai perguruan tinggi dan mengarang beberapa buku.
1 Salah satu tugas mata kuliah Membahas Kitab Tafsir
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester VI (enam)
3 Saiful Amin Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hlm.121
4 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, Jilid 1, cet 2, 1972, hlm.352-353
5 http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-ruhul-maani-518380.html, diposting 23 December 2012 | 17:54, Lihat Hafiz Basuki, Ensiklopedi Islam jilid V(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 1993), hlm. 130.
6 Saiful Amin Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, hlm.121
2
Semangat keilmuaannya yang luas berawal ketika Ia berumur 13 tahun, Ia mulai mendapat bimbingan ilmu agama dari para pemuka di daerahnya dan belajar di beberapa madrasah. Ketika Ia mengikuti kelompok Hanafiyyah, Ia memulai aktivitas tulis menulisnya sembari bersekolah di lembaga pendidikan dekat rumahnya, sebuah universitas yang didirikan oleh Abdullah al-Aquli di daerah Rafasah7.
Lambat laun, nama al-Alusi semakin melambung. Ia ditahbiskan sebagai ulama senior. Banyak orang yang bertandang kepadanya unttuk menyerap ilmu. Murid-muridnya dengan jumlah yang tidak terhitung, bukan saja yang berasal dari daerah sekitar universitas, tetapi banyak juga yang berasal dari luar daerah. Dari sentuhan “tangan dinginnya” lahirlah para ilmuwan agama yang berasal dari berbagai Negara.
Kepeduliannya pada dunia pendidikan sangat besar. Kemuliaan sifatnya pun tak diragukan lagi. Para muridnya merasakan segenap kebaikan dan keluhuran budi pekertinya. Kalau biasanya seorang murid melayani guru, ini sebaliknya. Sang guru melayani muridnya. Untuk para murid, ia menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti makanan dan pakaian secukupnya. Bahkan Ia tak segan-segan mempersilahkan mereka untuk singgah dan tinggal dirumahnya.
Akhirnya, al-Alusi dikenal di Irak sebagai ulama yang sangat perhatian pada bergulirnya dinamika ilmu pengetahuan. Jejaknya patut diteladani, terutama kedermawanannya terhadap siapa saja yang haus akan ilmu pengetahuan8.
Dalam bidang teologi, al-Alusi menganut keyakinan salaf (salaf al-I’tiqadhi), sedang untuk fikih, Ia berpijak pada mazhab Hanafi. Hanya saja ia setia mengikuti mazhab Syafi‟I dalam ruang lingkup ibadah. Di Baghdad, Ia membentuk majlis ta‟lim terbesar untuk mewadahi minat besar para penuntut ilmu.
Sungguh tepat bila dikatakan bahwa al-Alusi adalah sosok yang langka pada masanya. Ia ulama, penyair, sekaligus penafsir. Ilmunya sangat luas, baik ilmu-ilmu naqli yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadits, maupun aqli sebagai hasil ijtihad. Ia sangat mencintai al-Qur‟an. Sungguh besar tekadnya untuk mengkaji hadits-hadits Rasul dan al-Qur‟an.
Pengetahuan al-Alusi terpantul pada kemampuannya memadukan dua model penafsiran, yakni tafsir manqul (berdasarkan riwayat) dan tafsir ma’qul (berdasar rasio)9.
7 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.353
8 Ibid
9 Saiful Amin Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, hlm.122
3
Pada usia 31 tahun, tepatnya bulan Syawal 1248 H, Ia menyatakan secara resmi sebagai pengikut fatwa mazhab Hanafi. Sebelumnya, atas rekomendasi Perdana Menteri Ali Ridla Basya, ia dinobatkan sebagai rektor lembaga pendidikan al-Mirjaniyyah10. Persyaratan untuk menduduki jabatan tersebut sangat berat, jabatan itu harus dipangku oleh seorang ulama yang andal ilmunya. Al-Alusi dinilai banyak kalangan telah mumpuni. Karenanya Ia patut mendapat kehormatan itu11.
Sebagai mufassir, ia juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu, seperti ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbabun Nuzul. Ia banyak melihat syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata, dalam menentukan Asbabun Nuzulnya12. Sekitar tahun 1248 H, al-Allusi mengikuti fatwa-fatwa para kalangan Hanafiyah. Ia sudah mendalami dalam perbedaan madzhab-madzhab serta berbagai corak pemikiran dan aliran akidah. Ia beraliran salaf dan bermadzhab Syafii, meskipun ia banyak mengikuti Imam Hanafi dalam banyak hal, namun, ia banyak menggunakan ijtihad.
Hasil karya tulisan beliau antara lain: Hasyiyah „ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika, al-Ajwibah al-„Iraqiyyah Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab‟i al-Masani dan lain-lain. Beliau wafat pada tanggal 25 ZulQa‟dah 1270 H, dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma‟ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Maani disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu‟man al-Alusi13.
C. Latar Belakang Penyusunan Kitab
Imam al-Alusi menyebutkan dalam muqaddimahnya, bahwasanya Ia sejak masih kecil, tidak pernah menghilangkan rasa tuntutan untuk menyingkap rahasia kitab Allah swt. yang tersembunyi. Mendekatkan diri untuk menghormati kemurniaan kitab , Ia membagi rata waktu tidurnya untuk memecahkan masalah-masalah yang menyimpang. Dan masalah perpecahan kaumnya agar disambungkan kembali keindividuannya.
10 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.353
11 Saiful Amin Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, hlm.123
12 http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-ruhul-maani-518380.html, Lihat Hafiz Basuki, Ensiklopedi Islam jilid V, hlm.131
13 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.354
4
Ia tidak memulai waktu-waktu untuk jiwanya dengan kehinaan syahwat sebagaimana yang dilakukan oleh saudara-saudara semuslimnya. Dengan hal itu, Allah memberikan taufiq kepadanya untuk mengetahui banyak kebenaran, dan ditempatkan pada setiap waktunya.
Ia menyebutkan sebelum sempurna umurnya 20 tahun, bahwa Ia mulai menolak kebanyakan kesamaran-kesamaran yang dikembalikan pada dzahir nizham-nizham qur‟an. Dan menyatakan secara terbuka sesuatu hal yang tidak didapat kesamarannya pada waktu menafsirkan14.
Karena itu, pada 1263H, al-alusi mengambil keputusan untuk menarik diri dari jabatan dan berkonsentrasi untuk menyusun kitab tafsir al-Qur‟an. Nama kitab tersebut diberikan oleh Perdana Menteri Rida Pasya. Tafsir tersebut pernah mendapat sanjungan Sultan Abdul Majid Khan ketika ia mengunjungi kota Constantinopel pada tahun 1267 H dan memperkenalkan karyanya. Dan di kota ini ia pernah menetap selama 2 tahun dan kembali lagi pada tahun 1269H15.
Latar belakang penyusunan kitab Ruhul Ma‟ani ini berasal dari mimpi al-Alusi pada suatu malam, yaitu pada malam jum‟at di bulan rajab tahun 1252 H. Di dalam mimpi tersebut ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi lalu disuruh untuk memperbaiki bekas-bekas dari kerusakan yang ada padanya,kemudian ia mengangkat salah satu tangannya ke langit dan meletakkan tangan yang satunya lagi ke tempat air, lalu ia terbangun dari tidurnya. Kemudian ia menemukan ta‟wil dari mimpinya tersebut pada beberapa kitab bahwa hal tersebut adalah suatu isyarat yang menyuruh ia untuk menyusun kitab tafsir16.
Pada bulan sya‟ban tepatnya pada malam jum‟at tanggal 16 sya‟ban tahun 1252 H al-Alusi mulai menyusun sebuah kitab tafsir yakni kitab tafsir al-Alusi ini dan pada saat itu umurnya 34 tahun (pada masa sultan Mahmud Khon Ibn Sulton Abdul Majid Khon), dan ia selesai dari menyusun kitab tersebut pada malam selasa di bulan rabi‟ul akhir tahun 1267 H (disusun dalam kurun waktu 15 tahun)17.
Adapun yang memberikan nama kitab tafsir ini adalah perdana menteri saat itu (wazirul wuzaroi) yang bernama Ridho pasya (basya) setelah lama al-Alusi mempertimbangkan judulnya,
14 Abi al-Fadl Syihabuddin as-Said Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruhul Ma’ani, Beirut:Darul Fikr, 1997, hlm.4
15 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.353
16 Ibid, hlm.355
17 Abi al-Fadl Syihabuddin as-Said Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruhul Ma’ani, hlm. 5
5
dan ketika Ridho Pasya memberi nama tersebut, al-Alusi pun setuju, yakni dengan nama Ruhul Ma‟ani fi Tafsiril Qur‟anil Adzim was Sab‟il Matsani (semangat makna dalam tafsir al-Qur‟an yang agung dan sab‟ul matsani/ al-Fatihah).
Kitab tafsir ini sempat mengundang takjub dan senang sultan Abdul Majid Khon ketika ia mengunjungi kota qistintiniyyah (sekarang kostantinopel atau istanbul, ibukota turkey waktu dulu) pada tahun 1267 H. Al-Alusi menetap di kota ini selama dua tahun (1267 H – 1269 H). Menurut suatu kisah, diceritakan bahwa dalam masa penyusunan kitab ruhul ma‟ani ini terdapat suatu kisah/cerita yang ajaib, yakni bahwa al-Alusi seharian penuh menggunakan waktunya untuk mengajar, sedangkan pada malam hari juga dipergunakan untuk mengajar, jadi kemungkinan al-Alusi hanya menyusun kitab tersebut pada malam hari saja18.
D. Metodologi Tafsir
Menurut Mani‟ Abdul Halim Mahmud bahwa al-Alusi dalam muqaddimah kitabnya dengan frame yang penting, mengenalkan metodologinya, membatasi kronologi penyusunannya, menggambarkan sebagian fenomena hidupnya, dan sisi kepribadiaannya19.
Berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber sumber penafsiran.
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah metode tahlili20. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi berusaha memadukan sumber al-ma‟tsur (riwayat) dan alra‟yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi‟in tentang penafsiran al-Qur‟an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alusi
18 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.355
19 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir), Edisi 1, Jakarta: PT.Raja Gofindo Persada, 2006, hlm.206
20 http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-ruhul-maani-518380.html, Lihat Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 156
6
digolongkankan kepada tafsir bil-Ro‟yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ro‟yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqoddimah kitabnya(pada faedah yang ke-dua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ro‟yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ro‟yi, termasuk kitab tafsir bil-Ro‟yinya tersebut21.
Pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik (Isyary), meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan bahasa, seperti nahwu-.saraf balagah, pendekatan makna dhohir dan batin ayat, dan sebagainya. Bahkan sebagaimana penilaian al-Zahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.
Sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya al-Alusi menempuh langkah-langkah di bawah ini:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
2. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi‟in22.
3. Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).
4. Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.
5. Memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila ada.
6. Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.
E. Kajian Kitab
Ada beberapa topik pembicaraan atau permasalahan yang bisa kita temukan dalam tafsir al-Alusi dan juga beberapa poin penting, antara lain :
1. Tafsiran Tentang Hukum Fiqh.
21 Ibid, Al-Alusi, Ruhul Ma‟ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba‟ah Munirah, 1971), hlm 6
22 Ibid
7
Al-Alusi tidak membahas panjang lebar tentang ayat-ayat ahkam kecuali apabila ada perbedaan hukum antara imam madzhab dan ketika ia menilai tentang penjelasan imam-imam mazdhab, ia tidak fanatik dengan madzhabnya sendiri. Hal ini bisa dibuktikan ketika ia menjelaskan tafsir QS al-Baqoroh ayat 228 tentang penjelasan iddah pada kata tsalatsata quru‟ . Ketika ia selesai menyebutkan tentang pendapat imam hanafi (madzhabnya al-Alusi) bahwa hanafi berpendapat quru‟ itu adalah masa haid dan imam syafi‟i berpendapat quru‟ itu masa suci, ia kemudian menyimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapatnya syafi‟i23.
2. Tafsiran Tentang Cerita Isroiliyyat.
Terhadap riwayat-riwayat isra‟iliyat yang sering disusupkan dalam beberapa literatur hadis dan tafsir, al-Alusi dinilai sangat selektif dan kritis dalam mengambil riwayat-riwayat isra‟iliyat. Hal itu disebabkan karena beliau banyak menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis muta‟akhirin. Kalaupun al-Alusi menyebutkan riwayat-riwayat isra‟iliyat atau hadis maudu‟ hal itu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan untuk menunjukkan kebatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan) kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa. Hal ini bisa dilihat ketika ia menafsirkan QS Hud ayat38, ia menyebutkan beberapa cerita isroiliyyat tentang kayu-kayuan yang djadikan bahan dasar perahu, ukurannya panjangnya,lebarnya, tingginya dan tempat membuat kapal. Kemudian ia mencantumkan pernyataannya bahwa “ cerita tersebut tidak benar dan kapal itu tidak layak dipakai untuk berlayar, dan penjelasan yang aman dalam cerita ini dan tidak berlebih-lebihan adalah bahwa kita meyakini nabi Nuh AS membuat kapal sesuai dengan yang diceritakan Allah SWT dalam kitabnya dan tidak usahlah kita terlalu detail mengatakan tentang panjangnya, lebarnya, tingginya dan dari kayu apa dibuat atau berapa lama diselesaikan perakitannya karena hal ini tidak dijelaskan dalam kitabdan tidak dijelaskan oleh sunnah yang shoheh”24.
3. Tafsiran Tentang Ayat-Ayat Kauniyyah.
23 Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, hlm.358-359
24 Ibid, hlm.359-360
8
Al-Alusi juga menjelaskan tentang pemahaman-pemahaman ahli astronomi dan para peneliti (ilmuan) kemudian ia menjelaskan pendapat/ilmuan mana yang ia setujui pendapatnya dan mana yang tidak (ada yang ia setujui dan ada yang tidak). Hal ini bisa kita lihat ketika ia menafsirkan QS Yasin ayat 39,39,dan 40. Begitu juga pada penafsiran QS ath-tholaq ayat 12. Akantetapi kami tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang hal ini karena cukup panjang sekali untuk dimuat dalam makalah ini25.
4. Posisi Ruhul Ma‟ani Terhadap Pemahaman yang Menyalahi Faham Sunni.
Al-Alusi adalah seorang ulama yang berakidah salaf dan berfaham sunni, inilah sebabnya ia selalu mencoba menjelaskan tentang pemahaman-pemhaman yang keliru dari golongan mu‟tazilah, syi‟ah dan golongan-golongan lain yang menyalahi pemahaman sunni. Hal ini bisa dilihat ketika ia menafsirkan Qs al-Jumuah ayat 11.al-Alusi berkata “ kaum syi‟h mencela para sahabat, mereka lebih memilih dunia daripada akhirat karena mereka berpaling kepada permainan dan tijaroh ketika nabi berkhutbah dalam sholat jum‟at. AL-Alusi menjawab: Abu Bakar, Umar dan sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira karena merupakan penghuni surga masih tinggal bersama rasul(tidak ikut keluar), juga cerita ini terjadi pada awal hijrah yang pada waktu itu kebanyakan mereka tidak tahu dengan baik tentang hal ini. Inilh sebabnya mereka tidak sampai dimurka allAh SWT dengan memasukkan mereka kedalam neraka, bahkan hanya memperingati dan menasehati mereka”26.
5. Posisi Ruhul Ma‟ani Terhadap Kitab-Kitab Sebelumnya.
Dalam menjelaskan makna kandungan ayat yang ditafsirkan, al-Alusi sering mengutip pendapat para mufassir sebelumnya, baik salaf maupun khalaf. Kemudian beliau memilih pendapat yang dianggap paling tepat.Jadi kitab ini adalah gabungan antara kitab-kitab sebelumnya. Bagi para pembaca kitab tafsir Ruh al-Ma‟ani, perlu mengetahui istilah khusus yang dipakai al-Alusi. Misalnya, apabila yang dikutip pendapat Abu Su‟ud, istilah yang dipakai : “qala Syaikh al-Islam”. Jika yang dikutip pendapat Fakhruddin al-Razi, maka digunakan istilah : “qala al-imam”. Dan jika beliau mengutip dari pendapat al-Baidawi, maka dikatakan: “qala al-Qadi”27.
25 Ibid, hlm.358
26 Ibid, hlm.356
27 Ibid, hlm.355-356
9
6. Dalam tafsir ini, al-Alusi juga menjelaskan tentang qiroat-qiroat akan tetapi ia terkadang tidak menjelaskan tentang qiroat mana yang mutawatir. Ia juga mencantumkan munasabat antara surah dengan surah maupun munasabat antara ayat dengan ayat. Tidak lupa juga ia menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat yang punya sabubun nuzul, ia sering meruju‟ pada sya‟i-sya‟ir arab yang mengungkapkan arti suatu kata. Komentar al-Alusi juga terkadang sangat luas tentang tata bahasa (nahwu) sampai-sampai terkadang melampaui kapasitasnya sebagai seorang mufassir28.
7. Al-Alusi juga menjelaskan tafsir al-isyari dalam kitab tafsir ini sesudah selesai menjelaskan tafsir yang berkaitan dengan dzhohir ayat, hal inilah yang menyebabkan sebagian ulama menilai bahwa kitab tafsir ini adalah kitab tafsir isyari (seperti tafsir an-Naisaburi). Akan tetapi adz-Dzahabi menilai kitab ini adalah kitab tafsir bi al-Ro‟yi karena maksud utama al-Alusi bukanlah tafsir isyari, sebab tafsir isyari-nya hanya sebagai tambahan bagi tafsir dzohirya29.
8. Dalam muqoddimah kitabnya ia menyebutkan beberapa catatan faedah30[31[18]], diantaranya tentang :
a. Penjelasan tentang tafsir, ta‟wil dan pentingnya ilmu tafsir.
b. Syarat-syarat seorang mufassir dan penjelasan tafsir bi al-Ro‟yi.
c. Nama nama lain dari al-Qur‟an dan makna al-Qur‟an itu sendiri.
d. Perbedaan pendapat tentang sab‟atu ahruf.
e. Penjelasan tentang adanya makna dzohir dan batin ayat.
F. Komentar Para Ulama terhadap Tafsir Ruhul Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma‟ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Zahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra‟yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji)32.
28 Ibid, hlm.361
29 Ibid
30http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-ruhul-maani-518380.html, Lihat Al-Alusi, Ruhul Ma‟ani Jilid 1(Bairut: Idarah Tiba‟ah Munirah, 1971), hlm 4.
32 Ibid, Lihat Adz-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Darul Hadis, 2005.
10
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah dan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma‟ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta‟akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta‟akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak luput dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya33.
G. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi menggunakan metode tahlili, pendekatan sufistik (menurut adz-Dzahabi ini hanya sedikit) , bahasa serta ilmu-ilmu lainnya. Dengan ijtihadnya dalam penafsirannya berimplikasi pada corak tafsirnya disebut sebagai tafsir bil-ra‟yi. Sumber-sumber yang dipakai, di samping dirayah juga riwayah.
Sistematika isi penafsirannya adalah menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat, dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi‟in, menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu), menafsirkan dengan ayat-ayat lain, memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila ada, mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu. Kandungan isi penafsirannya ada yang
33 Ibid, Lihat Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 159
11
membahas tentang ayat-ayat kauniyah, cerita israiliyat, tentang qiraah, dan pertentangannya dengan aliran yang bukan suni, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al-Fadl Syihabuddin as-Said Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruhul Ma’ani, Beirut:Darul Fikr, 1997
Mani‟ „Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir), Edisi 1, Jakarta: PT.Raja Gofindo Persada, 2006
Muhammad Hinudz Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, Jilid 1, cet 2, 1972,
Saiful Amin Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Website:
http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-ruhul-maani-518380.html, diposting 23 December 2012 | 17:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar