1
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADITS1
Oleh: Laila Mumtahanah2
Pendahuluan
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw dan meneladani beliau. Allah swt berfirman:
… …
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah…(Qs.al-Hasyr:7)
Jika seorang muslim berhadapan dengan hadits-hadits Rasulullah saw dan ingin beribadah keapda Allah, maka sebelum mengamalkan hadits-hadits tersebut, dia harus memahami beberapa hal yang merupakan kaidah (dalam memahami) hadits itu. Agar pemahamannya benar dan pengamalannya terhadap hadits tersebut mendapat petunjuk.
Ketika Rasul mengucapkan suatu hadits atau beramal dengan suatu amalan, sesungguhnya beliau menghendaki maksud tertentu dari ucapan dan amalan tersebut, sehingga tidak ada perbedaan yang kontradiktif antara lafadz hadits (teksnya) dan maknanya serta keterangan dari hadits tersebut. Karena jika hadits difahami dengan salah atau diamalkan tidak sesuai dengan maksud hadits itu, maka akan turun wahyu untuk meluruskan (amalan yang salah itu) dan mengoreksinya3.
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KAIDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah hadist sebenarnya tidak bertambah lagi setelah wafatnya rasulullah SAW. Sementara permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, untuk memahami hadist secara cepat, diperlukan adanya suatu penelitian baik yang berhubungan dengan sanad hadist maupun matan hadist, dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu dalam mencari kebenaran penafsiran melaui beberapa pendekatan yang komprehensif.
Pendekatan yang Bertumpu pada Teks
Dalam suatu makalah yang berjudul Pendekatan dalam Memahami Hadits karya Maizuddin4 disebutkan bahwa Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi. Karena memahami sebuah teks adalah terlebih dahulu dengan mencoba menangkap makna asalnya, makna yang populer dan mudah ditangkap. Bila tidak dapat dipahami, karena berbagai alasan, baru kemudian digunakan pendekatan lainnya.
Kata teks bermakna “kata kata asli dari pengarangnya” atau “sesuatu yang tertulis”5. Kata tekstual adalah kata sifat dari kata teks sehingga bermakna bersifat teks atau bertumpu pada teks. Dari sini maka secara istilah pendekatan tekstual berkaitan
1 Salah satu tugas mata kuliah Problematika dalam memahami hadits
2 Mahasiswi Tafsir hadits semester 7
3 Anis bin Ahmad bin Thohir, Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟I, 2005, hlm.5-7
4 http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits Maizuddin, Pendekatan dalam Memahami Hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013.
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT>Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm.1422
2
dengan pemahaman hadis adalah memahami makna dan maksud yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi dengan cara bertumpu pada analisis teks hadis.
Dari definisi di atas, maka yang menjadi perhatian pendekatan ini adalah makna-makna kata dan struktur gramatika (tata bahasa) teks. Pendekatan ini tentu menjadikan dominasi teks sangat kuat. Teks menjadi bagian yang paling sentral dalam pemahaman pesan-pesan Nabi, sehingga konteks cenderung terabaikan.
Edi Safri dalam disertasinya yang berjudul Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif6 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan pemahaman hadis, para ulama telah memperagakan berbagai pendekatan dalam karya-karya syarh maupun karya-karya lainnya. Meskipun kebanyakan berbentuk aplikasi tanpa menyebutkan bentuk pendekatan, namun para penulis dapat membuat klasifikasi pendekatan dalam memahami hadis Nabi. Syuhudi Ismail misalnya, dalam karya tulisnya yang berjudul Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, menyiratkan bahwa pendekatan dalam memahami hadis dalam dua bentuk yakni tekstual dan kontekstual7. Edi Safri dalam karyanya yang berjudul Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, membuat klasifikasi pendekatan diperagakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitabnya Ikthtilaf al-Hadits8. Menurutnya, ada empat pendekatan, yakni pendekatan dalam bentuk kompromi yang meliputi: 1) penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah ushul, penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pendekatan tematis-korelatif, penyelesaian dengan cara ta‟wîl, 2) penyelesaikan dalam bentuk nasakh, 3) penyelesaian dalam bentuk tarjîh dan 4) penyelesaian dalam masalah tanawwu‟ al-ibâdah.
Sebagai pendekatan yang bertumpu pada teks, maka ilmu bahasa dan ushul fiqh merupakan bagian yang paling utama sebagai alat analisis utamanya. Para ulama, tetutama Imam al-Syafi‟i dianggap paling berjasa dalam merumuskan metodologi memahami dalil-dalil syara dengan pendekatan tekstual. Dari sini maka pendekatan tekstual dapat dilihat dalam tiga analisis, yakni 1) analisis kebahasaan, yakni analisis di mana makna sebuah kata merupakan fokus utamanya, 2) analisis kaedah ushul fiqh dan 3) analisis dengan metode ta‟wîl yakni analisis yang berusaha memberi makna lain pada kata sebuah kata.
1. Analisis Kebahasaan
Berkaitan dengan analisis kebahasaan, pemaknaan merupakan bagian yang paling penting. Contohnya Sebagai sebuah bahasa agama, terutama dalam menjelaskan hal-hal yang bersifat metafisis seperti tentang Allah, Surga, Neraka, dan lain-lain sebagainya, maka bahasa yang dipakai—agar dapat dipahami oleh pendengar/pembaca—tentu bahasa yang berada dalam jangkauan wilayah pengamalan empiris dan inderawi. Karena itu sering terlihat, beberapa hadis Nabi menjelaskan Allah seperti halnya manusia.
6http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Edi Safri, Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif, Disertasi, Fakultad Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 1994,
7 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 , hlm.6
8Lihat dalam karya Nafid Husein Hamad, al-Mawaazinah baina Manhaji al-Imamin asy-Syafi‟I wa Ibnu Qutaibah min Khilali Kitabihima “Ikhtilaf al-Hadits” wa “Ta‟wil Mukhtalif al-Hadits”, Gaza: al-Jami‟ah al-Islamiyyah, 2001, hlm.9-11 atau dalam asy-Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-„Abbas bin Utsman bin Syafi‟, Ikhtilaf al-Hadits, Beirut: Darul Ma‟rifah
3
ع أبي شٕ شَج سض الله ع أ سسىه الله صي الله عي وسي قاه: ضَْه ست اْ ذثاسك وذعالى مو ى يُح ئلى
اىس اَء اىذ اُّ حين ثَق ثيث اىي وُ ا خِش قَىه ذَعىني فأسرج ةُ ى سَأىني فأعط سَرغفشني
فأغفش ى .ٔ سوا اىثخاسٌ
Hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Tuhan kita Tabaraka wa Ta‟ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir; (Allah berfirman: Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu. Barangsiapa yang meminta (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan barangsiapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya. H. R. Bukhari9.
Menurut Sayyid Shalih Abu Bakar bahwa dalam hadis ini Allah digambarkan seperti manusia turun naik ke langit dunia. Ini berarti bahwa Allah terlihat sama dengan makhluk-Nya. Kesulitan memahami hadis ini membuat sebagian ulama menyatakan hadis ini berkualitas lemah (dha‟if)10.
Menurut an-Nawawi, kata ينزل tidak dapat dipahami dalam makna hakikinya, yakni turun dalam bentuk Zat-Nya. Penggunaan kata ينزل tersebut dipakai dalam kaitan menjelaskan sesuatu dalam batas-batas empiris sehingga dapat dimengerti. Jelas sekali bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan manusia. Makna kata ينزل dipahami dalam makna majazi (metoforis), yakni turunnya rahmat (تنزيل رحمت ) Allah atau “perhatian (الاقبال )” Allah terhadap orang-orang yang berdoa untuk menjawab do‟a mereka11.
Di sisi lain, pemaknaan terkait erat dengan tata bahasa. Di antara persoalan yang berkaitan dengan tata bahasa adalah persoalan mufrad (kata tunggal), jamak (kata yang menunujukan arti banyak), tankîr (indefinitif) dan ta‟rîf (definitif), adat hashr, adat syart, dan lain-lain sebagainya. Sebagai contoh:
ع ع شَ ات الخطاب قاه: قاه سسىه الله صي الله عي وسي :ٌ ئنما الأع اَه تاى اُْخ وئنما لا شٍب اٍ ىّي
ف ما دّ جٕشذ ئلى الله وسسىى فهجشذ ئلى الله وسسىى و ما دّ جٕشذ ىذ اُّ صَ ثُها أو أ شٍأج
رَضوجها فهجشذ ئلى اٍ إجش ئى .ُٔ سوا الج اَعح
Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‟Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya12). H.R. Jamaah
Al-Mubarakfiri berkata bahwa lafadz إنما dalam hadis di atas dalam Bahasa Arab dipahami sebagai adat hashr (kata pembatas) sehingga memberi batas pada lafaz berikutnya, yakni bahwa amal-amal itu hanya dipandang berkaitan dengan niatnya, dan tidak dipandang sebagai perbuatan yang memiliki konsekuensi bila tidak ada niatnya13.
9 Shahih Bukhari, Kitab Tahajud, Bab ad-Du‟a fish Shalah fi Akhiril Lail, Juz 1, hlm.53
10 http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits. Lihat Sayyid Shalih Abu bakar, al-Adhwa‟ al-Qur‟aniyyah fi Iktisah Ahadits al-Israiliyyah wa Tathhir al-Bukhari Minha, terj. Ahmad Wakid, Menyingkap Hadits-hadits Palsu, Surakarta: Mutiara Solo, t.th, Jilid II
11 Abu Zakaria Mahyuddin Yahya bin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajaj, cet.3, Jilid 6, Beirut:Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H, hlm.37
12 Jami‟ ash-Shahih Bukhari, Kitab Bad‟ul Wahyu, Juz 1, hlm.13
13 Abi al-„Ali Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidzi, Juz 5, Darul Fikr,t.th, hlm. 283
4
Menurut al-Mubarakfuri juga, lafaz لامعلاا dalam hadis di atas adalah adalah kata jamak (bentuk banyak) yang di-ma‟rifah-kan (didefinitifkan) karena diberi huruf alif dan lam (ال ). Kata ini memberi pengertian „am (umum) sehingga mencakup setiap perbuatan, baik perbuatan hati, anggota, fardhu, atau nawâfil, sedikit atau juga banyak yang dilakukan oleh mukallaf14.
Sedangkan lafadz النياث juga disebutkan dalam kitab Fathul Baari bahwa lafadz jamak yang memberi pengertian bahwa niat-niat itu juga beragam sebagaimana beragamnya amal perbuatan itu sendiri15. Sedangkan huruf ب pada kata النياث dipahami sebagai sebab dalam artian niat merupakan penyebab adanya amal dari sisi hukumnya. Dari sini, maka para ulama menyimpulkan kaitan niat dan amal dari segi hukumnya secara tekstual dalam dua kesimpulan yang berbeda, yakni 1) sebagai sahnya suatu perbuatan di mana niat menjadi rukun dari perbuatan itu sendiri atau menjadi syarat sahnya, dan 2) sebagai kesempurnaan sebuah perbuatan16.
2. Analisis Kaedah Ushul
Analisis dalam pendekatan tekstual yang dijelaskan yang menggunakan kaedah usul dalam karya-karya ushul fiqh berkaitan dengan persoalan antara lain: 1) persoalan perintah (amr), larangan (nahy), dan (pilihan) takhyîr, 2) persoalan lafaz „âm dan khâsh, 3) lafaz bebas (muthlak) dan terkait (muqayyad), 4) lafaz yang diucapkan (manthûq) dan lafaz yang dipahami (mafhûm), dan 5) kejelasan dan ketidakjelasan maknanya meliputi (muhkam, mufassar, nas, zâhir, khâfi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih). Berkaitan dengan kaedah memahami amr, dan nahy misalnya sebagai berikut:
حذثني أتى أ اٍ حٍ اىثا يٕ قاه: سمعد سسىه الله صي الله عي وسي قَىه اقشؤوا اىقشآ فا أَتي ىَ اىق اُ حٍ شف عُا لأصحات .ٔ سوا سٍي Abu Umamah al-Bahali menceritakan kepadaku katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Bacalah al-Qur‟an karena sesungguhnya pada hari kiamat bacaan itu akan menjadi syafaat bagi pembacanya. H.R. Muslim17
Dalam hadis di atas ada shighat amr (bentuk kata perintah), yakni kata اقرؤوا
(bacalah). Dalam kaedah ushul fiqh, bentuk amr dapat saja menunjukan perintah wajib. Jika ditemukan suatu qarinah yang memalingkan shigat perintah dari makna wajib ke makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti anjuran atau (Ibahah) kebolehan18. Perintah membaca al-Qur‟an dalam ayat tersebut menunjukan anjuran (al-nadab), karena ada qarinah (indikator) yang menunjukan adanya manfaat, tanpa disertai ancaman bagi orang yang tidak membacanya.
حذثني عثذ الله ت تش ذَج ع أت أ ما في مجيس ف سسىه الله صي الله عي وسي فقاه : ئني م دْ
نه رُن أ ذأميىا لحى الأضاح ئلا ثلاثا فنيىا وأطع ىَا وادخشوا. سوا اى سْائً
14 Ibid
15 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Dar ath-Taybah,, hlm.34
16 Ibid, hlm.37
17 Shahih Muslim, Kitab al-Musaffirun wa Qasruuha, Bab Fadl Qira‟ah al- Qur‟an wa Surah al-Baqarah, Juz 2, hlm.866
18 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994, hlm.305-306
5
Abdullah ibn Baridah mengkabarkan kepadaku dari bapaknya, bahwa dia berada dalam majelis Rasul di mana beliau bersabda: Dahulu aku melarangmu memakan daging kurban sampai tiga hari, maka (sekarang) makanlah, berimakanlah dengannya dan simpanlah. H.R. Nasai19
Perintah makan dan menyimpan daging kurban dalam hadis di atas yang merupakan sighat amr yang menunjukan kebolehan (al-ibâhah), karena ada indikasi (qarînah) yang menyatakan dulu Rasulullah melarang. Dalam kaedah ushul, perintah yang terletak setelah larangan menunjukan kebolehan.
3. Analisis dengan Menggunakan Ta’wil
Secara bahasa ta‟wîl berasal dari kata al-awl (الأول ) yang berarti kembali ke asal (الرجوع الى الأصل ). Sedangkan pengertian istilah, ta‟wîl adalah sebagai berikut:
صشف اىيفظ ع عٍ اْ اىظا شٕ ئلى عٍنى يحر يَ ئرا ما المحر وَ اىز شَا ىٍافقا ىينراب واىس حْ
Memalingkan makna kata dari makna dasarnya kepada suatu makna yang dipahami dimana makna yang dipahami itu lebih sesuai dengan al-Qur‟an dan sunnah20.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pemalingan makna disebabkan oleh suatu qarinah yang kuat, yaitu adanya pertentangan atau kesulitan memahami hadis bila dipahami dengan makna dasarnya bila dihadapkan dengan dalil-dalil lain, baik al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi. Sementara makna yang lain dipahami lebih sesuai dengan al-Qur‟an dan hadis.
Tetapi dapat juga qarinah ini bersifat aqliah, tidak dapat ditangkap maknanya karena menyalahi fakta atau realitas yang disimpulkan oleh ilmu pengetahuan modern. Itu sebabnya di dalam beberapa rumusan definisi lain, disebutkan oleh al-Baghawi (al-Burhan) dan al-Kawasyi (Baghiyah al-Wa‟ah) bahwa dalil yang menjadi qarinah pemalingan maknanya sesuai pada hal sebelum dimaknai dan sesudahnya yang memungkinkan ayatnya tidak bertentangan dengan dalil naqli maupun dalil akli21. Dari pengertian ta‟wîl tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa analisis dengan menggunakan ta‟wîl dalam pemahaman hadis adalah memahami makna dan menangkap pesan yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi dengan cara memalingkan makna kata dari makna dasarnya kepada makna lain yang dapat dipahami karena ada indikasi kuat yang mengharuskannya.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kata yang di- ta‟wîl-kan itu adalah kata mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi bahasa seperti makna hakikat dan makna majazi-nya, atau dari segi kebiasaan orang-orang Arab dalam menggunakan kata itu, atau dari segi penggunaan lafaz itu dalam syari‟at. Oleh karena itu ta‟wîl tidak dibolehkan terhadap kata-kata yang jelas dan dapat dipahami maknanya22.
Langkah awal dalam melakukan ta‟wîl adalah menemukan qarînah (indikasi) yang mengharuskan seseorang menarik makna lain di luar makna dasarnya. Bila tidak ada qarinah, maka tidak perlu dilakukan pendekatan ta‟wîl.
Makna kata yang di-ta‟wîl-kan harus berkaitan dengan makna dasar dalam artian dapat berupa makna substansialnya yang kepadanya pembicaraaan dikembalikan23 maupun makna majazinya yang populer dalam masyarakat. Kata kucing besar
19 Sunan an-Nasa-I, Kitab Janaiz, Bab Ziyarah Qubur, Juz 4, hlm.89
20 Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta‟rifat, Jeddah: al-Haramain, 2001, hlm.49
21 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Itqan fi Ulumil Qur‟an, Kairo: Maktabah Darut Turats, 2010, hlm.925
22http: //maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits. Lihat Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 232
23 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi „Ulumil Qur‟an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, cet.13, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009, hlm.309
6
ditakwilkan dengan harimau masih dapat diterima karena kedua kata tersebut berkaitan di mana kucing besar adalah makna majazi dari harimau. Tetapi kata kucing besar diberi takwil sebagai gajah, maka ini sama sekali tidak dapat diterima karena tidak berkaitan dan tak dapat dipahami.
Rasulullah saw misalnya menyatakan bahwa orang yang menyambung silaturrahmi akan diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
ع أ سّ ت اٍىل سض الله ع قاه سمعد سسىه الله صي الله عي وسي قَىه: سش أ ثَسط ى في
سصق أو سَْأ ى في أثش في صُو سحم .ٔ سوا اىثخاسٌ
Dari Anas ibn Malik katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang ingin rizkinya diluaskan dan ajalnya diakhirkan, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi. H.R. Bukhari24.
Sebagian ulama sulit memahami frase ينسأ لو في أثره atau منسأة في الأثر yang bermakna diakhirkan ajalnya. Qarinahnya adalah bila dipahami dalam arti dasarnya, maka akan bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang menjelaskan ajal tidak dapat dimajukan atau ditunda (QS. Al-A‟raf: 34).
Oleh karena itu, frase tersebut harus dipalingkan maknanya kepada makna yang tidak bertentangan atau sesuai dengan ayat-ayat yang menjelaskan ajal tak dapat dimajukan dan ditunda. Tentu saja, makna lain yang dipahami dari frase diakhirkan ajalnya adalah makna yang masih berkaitan dengan frase tersebut. Zuhair berkata dalam Fathul Bari‟ 25bahwa ta‟wîl terhadap frase tersebut dalam dua bentuk, yaitu:
1. Makna frase “mengakhirkan ajal” dalam hadis tersebut dipahami dalam pengertian penambahan keberkatan umur, taufiq untuk taat kepada Allah dan kreatifitasnya yang efektif. Artinya, dalam umurnya yang singkat mampu melahirkan berbagai kreatifitas dan karya.
2. Makna frase “mengakhirkan ajal” dipahami dengan makna kekal namanya dalam keharuman sepertinya dia belum mati karena masing dikenang di dalam ingatan masyarakat.
Pendekatan ta‟wîl dapat pula digunakan dalam rangka menyelesaikan pertentangan dua hadis. Imam al-Syafi‟i memberikan contoh dua hadis dengan pendekatan ta‟wîl tentang waktu shalat Shubuh. Rasulullah saw bersabda:
ع سافع ت خذ جَ أ سسىه الله قاه أسفشوا تاىصثح فا رىل أعظ لأجىسم .ٌ سوا اىشافعٍ
Hadis dari Rafi‟ ibn Khudaij bahwa Rasulullah saw bersabda: Lakukanlah shalat Shubuh pada waktu Shubuh mulai terang, karena demikian kamu akan memperoleh pahala yang besar. HR. Syafi‟i26.
Dalam hadis ini terlihat perintah Rasulullah untuk melaksanakan shalat shubuh pada waktu isfar, yakni jika terang dan memancarkan cahayanya27. Sementara di dalam hadis lain terdapat keterangan bahwa Rasululah melaksanakan pada awal waktu shubuh di mana suasana masih gelap.
ع عائشح قاىد م سّاء الدإ اٍْخ صَيين عٍ اى بْي و رٍيفعاخ بمشوطه ثم شَجع ئلى أ يٕه اٍ
عَشفه أحذ اىغيس. سوا اى سْائ واحمذ واىشافعٍ
24 Shahih Muslim, Kitab al-Birri wash Shillah, Bab Shilah ar-Rahim wa Tahriimi Qathi‟atuha (2/278) no.2557
25 Ahmad bin Ali hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, cet.1, Juz 4, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1997, hlm. 382
26 Musnad asy-Syafi‟I, Bab Min al-Juz ats-Tsani min Ikhtilafil Hadits min al-Ashl al-„Atiq, Juz 1, hlm.175
27 Ibnu al-Atsir Majduddin Abi As-Sa‟adat: al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul karim al-Juzri, asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, cet.1, Jilid 1, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005, hlm.371
7
Hadis dari Aisyah katanya: Wanita-wanita mukmin melaskanakan shalat shubuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorang pun dapat mengenali mereka karena hari masih gelap. HR. Nasai, Ahmad dan al-Syafi‟i.
Dalam hadis ini diinformasikan bahwa Rasulullah melaksanakan pada waktu masih gelap (ghalas). Jadi bertentangan dengan hadis yang pertama. Imam Syafi‟i men- ta‟wîl-kan hadis pertama, yaitu pada kata isfar.
Imam Syafi‟I berkata:” Sebagian manusia mengatakan: Melakukan shalat shubuh (yang mulai terang) adalah hal yang paling disukai orang-orang”, lalu Ia menyebutkan hadits dari Rafi‟ . Kemudian asy-Syafi‟i memilih hadits dari Aisyah tentang al-Ghalas karena sesuai dengan kitab Allah, yaitu: “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`”. (Q.S. Al-Baqarah: 238). Rasulullah pernah ditanya tentang amal apa yang utama? Rasulullah menjawab: Shalat di awal waktunya (HR.Abu Daud28 dan an-Nasa-i). Dengan adanya kedua dalil tersebut, Nabi menyuruh manusia agar memperhatikan shalat shubuh didahulukan (di awal waktunya) dan mengabarkan tentang keutamaannya. Dalil tersebut mengandung motivasi agar mendahulukan shalat di awal waktunya sebelum muncul fajar kedua29.
Menurut Edi Safri bahwa Kedua nash al-Qur‟an dan hadis ini dinyatakan Syafi‟i bertentangan dengan hadis Khudaij (فيخالف حديث رافع بن خديج ) tentang melaksanakan Shubuh pada waktu isfar. Atas dasar ini makna kata isfar yang makna dasarnya adalah waktu Shubuh sudah mulai terang atau mendekati matahari terbit, menjadi makna lain yakni waktu shubuh terbitnya cahaya fajar yang kedua (يتبين الفجر الآخر ). Mengapa makna itu yang dipilih? Tampaknya yang menjadi alasan adalah nash al-Qur‟an tentang memelihara waktu shalat dan penjelasan bahwa amal utama adalah shalat pada awal waktunya, maka ada sebagian sahabat yang melaksanakan shalat Shubuh sebelum jelas munculnya waktu fajar. Karena itu Nabi menjelaskan agar menunggu waktu hingga terbitnya fajar yang terakhir. Dengan pendekatan ta‟wîl tersebut maka kedua hadis tersebut tidak lagi bertentangan maknanya.
Pendekatan yang Bertumpu pada Konteks
Pendekatan ini sering diistilahkan oleh para Ulama Hadits kontemporer dan peneliti Hadits zaman sekarang sebagai “Pendekatan Kontekstual”. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual—sesuai dengan pendapat Said Agil adalah memahami hadith dengan memperhatikan konteks ketika hadits itu muncul. Konteks tersebut meliputi banyak hal di antaranya konteks historis, konteks sosio-antropologi, bahkan—menurut Syuhudi Ismail30—konteks bahasa. Dalam tataran praktisnya, konteks-konteks tersebut sering diistilahkan pendekatan. Sehingga yang sering kita dengar adalah pemahaman hadits dengan pendekatan bahasa, pendekatan historis dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam paparan selanjutnya, penulis tidak menggunakan istilah konteks melainkan dengan istilah pendekatan31.
Hadis bagi umat Islam merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur‟an. oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik dan benar. namun, untuk memahami
28 Sunan Abu Daud, Bab Fi al-Muhafadzah „ala waqtish Shalaah, Juz 1, hlm.115
29 Ibnu al-Atsir Majduddin , asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, hlm.371-372
30 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits.
31http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2249017-cara-memahami-hadist-dengan-pendekatan , di unduh sabtu 26 oktober 2013
8
hadis secara benar relatif tidak “gampang”, khususnya jika kita menemukan hadis-hadis yang tampak bertentangan32.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, diharapkan dapat membantu kita untuk memperoleh pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman33. Pada dasarnya yang dimaksud dengan metode pendekatan menurut Fajrul munawir adalah pola pikir (al-Ittijah al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah34. Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami hadis nabi saw. diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan Bahasa (Linguistik)
Yaitu suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadits Nabi saw35.
Salah satu kekhususan yang dimiliki hadis Nabi saw. adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami‟ al-kalim (ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamstsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda36.
Dalam memahami hadis nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis, jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna dari hadis tersebut. Contohnya, hadis Nabi saw. sebagai berikut :"الصيام جنة ". Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa dalam hadis diatas kita bisa melihat bahwa rasulullah saw. menyamakan puasa dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan pendekatan bahasa. Kata “جنت ” dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedang perisai, yang kita kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi diri. Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari hal-hal yang yang dilarang oleh Allah swt.37 Ketika seseorang berpuasa, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan hal-hal lain yang tidak disukaiAllahswt.(maksiat) Oleh karena itu wajar Rasulullah saw. dalam hadisnya menyamakan puasa dengan perisai. karena puasa merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang diingininya. Dan merupakan pelindung bagi orang tersebut baik dari hal-hal maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.
32 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html, Minggu 22 Maret 2010, di unduh sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Agil Husein Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud:Studi Kritis atas Hadits Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual, cet.1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm.24-25
33 Ibid, hlm.25
34 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html. Lihat Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir dengan kata pengantar oleh Prof. Dr.Abd. Muin Salim, t.t, Teras:t.th, hlm.138
35 Ibid, hlm.143
36 Ibid, Arifuddin ahmad, hlm.3
37 Ibid, Lihat dalam Yusuf Qardhawi, Fiqh ash-Shiyam, terj. Ma‟ruf Abdul Jalil Th.I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqh Puasa, cet.8, Surakarta: Era Intermedia, 2009, hlm.23
9
2.Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis
Pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis Nabi saw. dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis tersebut disampaikan Nabi. Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya38. Pendekatan ini menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya39. Pendekatan model ini sudah ada sejak masa para ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbab wurud, yang menuturkan sebab-sebab mengapa nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis nabi saw. dengan pendekatan historis mencakup, waktu, tempat, latar belakang, pelaku dan objek hadis tersebut. Pendekatan Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku40.
Adapun pendekatan Antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruangdanwaktu41. Dengan pendekatan historis, sosiologi dan Antropologis diharapkan akan memperoleh pemahaman baru yang lebih apresiasip terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang merupakan implikasi dari perkembangan dan kemajuan zaman. Contoh aplikasi pemahaman hadis Nabi saw, dengan pendekatan historis, sosiologis dan antroplogis dapat dilihat dari hadis berikut : Tidak diperbolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya”42.
Jika dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan (safir) sendirian, tanpa disertai mahramnya. Menurut Yusuf Qardhawi bahwa Hadis diatas tidak memiliki asbabul wurud khusus. Dan jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat pada masa itu, sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi kekhawatiran Nabi saw. terhadap keselamatan perempuan jika berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Mengingat kondisi saat itu, seorang yang melakukan perjalanan, biasa menggunakan unta, keledai ataupun sejenisnya. Tidak jarang pula harus melewati gurun pasir yang sangat luas
38 Ibid, Lihat Aqil Husein al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, hlm.26
39 Ibid, hlm.27
40 Ibid
41 Ibid
42 Shahih Bukhari, Kitab Jihad wa as-Sairi, Bab Min Iktataba fi Jaisyi fakharajat imra-atuhu Haajah, Juz 4, hlm.59
10
dan jauh dari keramaian. Ditambah lagi, waktu itu ada anggapan yang negatif dan kurang etis jika perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian. Oleh karena itu, saat sekarang, ketika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana jarak yang jauh sudah tidak menjadi masalah, ditambah dengan system keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam berpergian, maka illah dari larangan tersebut menjadi hilang dan wanita boleh saja melakukan perjalanan sendirian untuk menuanaikan urusannya43. Disini dapat dilihat, konsep “Mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga system keamanan yang dapat menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. pemahaman semacam ini akan lebih apresiasif terhadap perubahan dan perkembangan zaman44.
Penutup
Dari pembahasan diatas, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Dari segi kesahihan sanad. Pendekatan histori, antropologis dan sosiologis dapat dipergunakan untuk mempelajari biografi setiap perawi yang akan diteliti, baik yang berhubungan dengan keadilan, kedabitan maupun hubungan antara perawi yang lebih dekat dalam rangka mengetahui suatu sanad hadis apakah muttasil atau marfu‟. Sedangkan pendekatan kebahasaan dapat digunakan untuk mengetahui simbol-simbol tahammul wa‟Ada al-hadis.
2. Dalam kajian matan hadis semua pendekatan yang telah dikemukakan dalam tulisan ini dapat digunakan dalam pengembangan kajian, jika terdapat pertentangan suatu hadis sahih dengan yang kualitas lainnya, hanya karena dipahami secara tekstual, maka perlu dikaji dengan memperhatikan konteks sejarah antropologi sosiologis, serta hasil temuan-temuan ilmiah (secara kontekstual) dengan maksud untuk mempertahankan kesahihan suatu hadis. 45
3. Istilah pendekatan Tekstual dan Kontekstual adalah istilah yang dibuat oleh para Ulama Hadits kontemporer dan peneliti Hadits sekarang seperti Edi Safri dalam disertasinya yang berjudul Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif46 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan pemahaman hadis, para ulama telah memperagakan berbagai pendekatan dalam karya-karya syarh maupun karya-karya lainnya. Meskipun kebanyakan berbentuk aplikasi tanpa menyebutkan bentuk pendekatan, namun para penulis dapat membuat klasifikasi pendekatan dalam memahami hadis Nabi. Syuhudi Ismail misalnya, dalam karya tulisnya yang berjudul Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, menyiratkan bahwa
43 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html., Lihat Yusuf Qardhawi, hlm.136
44 Ibid, Lihat Agil Husein Munawwar dan Abdul Mustaqim, hlm.31 45http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20//, Lihat Nasri akib dalam makalahnya yang berjudul PENDEKATAN DALAM KAJIAN PENGEMBANGAN KAEDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST (Ed.21 2009)20 November 2009, diunduh sabtu, 26 oktober 2013
46http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Edi Safri, Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif, Disertasi, Fakultad Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 1994,
11
pendekatan dalam memahami hadis dalam dua bentuk yakni tekstual dan kontekstual47. Edi Safri dalam karyanya yang berjudul Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, membuat klasifikasi pendekatan diperagakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitabnya Ikthtilaf al-Hadits48. Menurutnya, ada empat pendekatan, yakni pendekatan dalam bentuk kompromi yang meliputi: 1) penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah ushul, penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pendekatan tematis-korelatif, penyelesaian dengan cara ta‟wîl, 2) penyelesaikan dalam bentuk nasakh, 3) penyelesaian dalam bentuk tarjîh dan 4) penyelesaian dalam masalah tanawwu‟ al-ibâdah49.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al-„Ali Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidzi, Juz 5, Darul Fikr,t.th,
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994
Abu Zakaria Mahyuddin Yahya bin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajaj, cet.3, Jilid 6, Beirut:Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Dar ath-Taybah
Ahmad bin Ali hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, cet.1, Juz 4, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1997
Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta‟rifat, Jeddah: al-Haramain, 2001
Anis bin Ahmad bin Thohir, Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟I, 2005
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2012
Ibnu al-Atsir Majduddin Abi As-Sa‟adat: al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul karim al-Juzri, asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, cet.1, Jilid 1, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Itqan fi Ulumil Qur‟an, Kairo: Maktabah Darut Turats, 2010
47 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 , hlm.6
48Lihat dalam karya Nafid Husein Hamad, al-Mawaazinah baina Manhaji al-Imamin asy-Syafi‟I wa Ibnu Qutaibah min Khilali Kitabihima “Ikhtilaf al-Hadits” wa “Ta‟wil Mukhtalif al-Hadits”, Gaza: al-Jami‟ah al-Islamiyyah, 2001, hlm.9-11 atau dalam asy-Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-„Abbas bin Utsman bin Syafi‟, Ikhtilaf al-Hadits, Beirut: Darul Ma‟rifah
49 http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013.
12
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi „Ulumil Qur‟an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, cet.13, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Website:
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2249017-cara-memahami-hadist-dengan-pendekatan , di unduh sabtu 26 oktober 2013
http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits Maizuddin, Pendekatan dalam Memahami Hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20//, Nasri akib dalam makalahnya yang berjudul PENDEKATAN DALAM KAJIAN PENGEMBANGAN KAEDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST (Ed.21 2009)20 November 2009, diunduh sabtu, 26 oktober 2013
http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html, Minggu 22 Maret 2010, di unduh sabtu, 26 oktober 2013.