Minggu, 10 Januari 2016

NAZHARAL MUHADDITS ‘INDA NAQDIL HADITS
bi Qalam Muhammad bin Umar bin Salim Bazamul1
(Tinjauan para Muhadditsin dalam Kritik Hadits)
Oleh: Laila Mumtahanah2
Pembahasan ini tidak meneliti Qadiyah Kritik Matan dan Maqayis (Timbangan atau kriterianya) yang dilakukan oleh para Muhadditsin. Disini hanya akan dibahas tema-temanya secara terang dan akan menjelaskan bagaimana tinjauan para Muhadditsin tentang hadits baik sanad maupun matannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut:
1. Apakah para Muhaddits hanya meninjau matan tanpa sanadnya?
2. Apakah yang dilakukan para Muhaddits adalah meneliti sanad atau matan dulu?
3. Bagaimana langkah-langkah sempurna yang dilakukan oleh para Muhaddits dalam meneliti matan hadits ?
4. Ushul (kaidah pokok) apa saja yang diperhatikan para Muhaddits dalam meneliti hadits?
5. Dlawabith yang disebutkan untuk kritik matan, apakah maknanya mengkritik matan tanpa memperhatikan sanadnya?
6. Apa alasan/yang menjadi sebab para Muhaddits mengenai “hadits yang menyendiri (tafarrud)” apa „illat (kecacatan)nya buruk (qadih) secara mutlak?
Ia meringkas pembahasannya kepada kesimpulan-kesimpulan yang paling penting yaitu:
1. Sanad itu bagi para Muhaddits adalah pokok penelitian dalam hadits, penentu hukum hadits baik sanad atau matan. Adapun penelitian matan menurut para Muhaddits ada 2 bentuk:
a. Seputar sejalannya (tidak bertentangan) dan bertentangannya suatu hadits pada hadits yang lainnya dari seorang rawi. Baik ketika terkumpul riwayat asal khabarnya, atau tidak. Hal ini dikarenakan ada Tashhih (Menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad, dan matan berdasarkan kaidah) pada yang dinisbatkan.
b. Seputar sejalannya (tidak bertentangan) dan bertentangannya suatu hadits pada nash syar‟i.
2. Para Muhadditsin memperhatikan tentang selamatnya hadits dan keimanan rawi pada suatu hadits, penolakan terhadap hadits dapat ditinggalkan karena bertentangannya hadits yang paling rendah dengan al-Qur‟an. Dan hal itu menentukan bahwa:
a. Sunnah itu seperti al-Qur‟an
b. Sunnah itu sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayyan)
c. Tidak ada pertentangan (antara hadits dengan al-Qur‟an) secara zhahir (seperti bertentangan yang menyebabkan hadits ditolak) yang tidak menguatkannya sehingga ditolak haditsnya.
d. Para Muhaddits memperhatikan penerapan kaidah-kaidah Mukhtalif hadits dan Musykilah (kejanggalan)nya
3. Dlawabith yang disebutkan Ahli Ilmu untuk menghukumi matan, maksudnya adalah: Untuk menghukumi matan dari satu aspek kepada aspek lainnya bersama sanadnya., karena mereka menjadikan sumber asal dan tidak
1 Salah satu Tugas UAS Probematika Hadits Modern
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
memperhatikan khabar yang tidak ada sanadnya. Yaitu menentukan hukum maudlu’(palsu) meskipun sanadnya secara zhahir shahih. Oleh karena itu, para Muhaddits meneliti kecacatan („Illat) sanad meskipun „illatnya tidak buruk, tapi dla’if yasir (dla‟if yang ringan).
4. Para Muhadditsin memperhatikan kritik matan dengan teliti sesuai batasan syar‟I dan agama. Mereka tidak meneliti kritikan tanpa matan selain dari mengi’tibarkan sanadnya saja.
5. Para Muhaddits menilai cacat suatu hadits dengan ‘illat ghair qadlihah (illat yang tidak buruk). Namun mereka juga memeriksa kecacatan hadits serta pengingkaran matan dan selamatnya hadits secara jelas pada sanad.
Sanad itu Termasuk Bagian dari Agama
Asy-Syathibi berkata dalam al-Ajwabah al-Faadlilah: “Para Muhadditsin menjelaskan bahwa Sanad itu Termasuk Bagian dari Agama, maksudnya: Didalam sanad terdapat pengetahuan tentang rawi-rawi yang meriwayatkan hadits dari mereka, sampai pada tidak boleh menyandarkan sanad pada rawi yang majhul, tidak marjuh (Hadits Maqbul Ghair ma’mul bih: hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits maqbul yang lebih kuat), kecuali rawi-rawi yang tsiqat dalam riwayatnya. Karena inti masalahnya adalah pada umumnya sangkaan terhadap hadits yang tidak diragukan adalah “Bahwa Hadits itu sungguh dikatakan Nabi saw.”, agar kita dapat berpegang pada syari‟at dan hukum-hukum islam”.
Maksud para Muhaddits Melakukan Tashhih pada Penisbatan Matan (tashhih an-Nisbat) dan tidak ada Tashhih pada Makna (matan)nya
Maksud dari para Muhaddits yaitu mereka beranggapan untuk menghukumi hadits-hadits dla’if bahkan maudlu’, serta yang shahih maknanya. Yaitu: Shahih maknanya dan dla’if matannya. Dimana mereka melakukan Tashhih penisbatan matan kepada mereka, tidak mentawaqqufkan dalam menafsirkan, serta tidak sampainya pemahaman mereka terhadap hadits itu.
Seperti hadits-hadits tentang “mutasyabihat” , jika kita berpendapat bahwa hadits-hadits “mutasyabihat” adalah yang janggal maknanya dan tidak ada penjelasan yang tepat akan maknanya, dengan menisbatkan pada nash yang dapat diterima pada hadits yang menyendiri (dalam periwayatannya) tanpa menolak hukumnya.
Para Muhadditsin meneliti matan hadits pada 2 bentuk:
1. Melakukan Tashhih pada Penisbatan Matan (tash-hih an-nisbat) dengan melakukan penelitian pada at-Taufiq (sejalan/tidak bertentangannya) hadits dan menyendiri (tafarrud)nya hadits. Hal ini disempurnakan dengan langkah-langkah lain pada 2 hal:
a. Rawi menyatukan riwayat-riwayatnya, jika sejalan (tidak bertentangan), diterima haditsnya. Namun jika bertentangan maka ditolak haditsnya.
b. Menyendirinya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, terkadang rawinya pada posisi maqbul (diterima) atau radd (ditolak) haditsnya.
- Jika rawinya pada posisi ditolak, maka ditolak haditsnya.
- Dan jika rawinya pada posisi diterima, maka harus diteliti dulu apakah rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri atau tidak? Jika rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri, maka diterima haditsnya.
- Namun, jika diantara yang tidak ada kemungkinan menyendiri, maka diteliti apakah ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu? Jika ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu, maka ditolak haditsnya. Namun jika tidak, maka diterima haditsnya.
2. Melakukan Tashhih pada Makna Hadits dengan melakukan penelitian seputar sejalan ataukah bertentangannya hadits pada nash syar‟I, baik pada al-Qur‟an atau yang datang dari orang tsiqat. Yang kemungkinan dapat dijama‟ atau diselaraskan (dicari hadits yang tidak bertentangan dengannya (taufiq)), maka ia dapat dipakai. Namun, tidak boleh dipakai untuk menghukumi dla’if, tarjih atau nasakh.
- Jika tidak mungkin untuk dijama‟ dan ditaufiq-an namun diketahui tarikh haditsnya, maka para Imam Mutaakhirin menasakh hadits para Imam Mutaqaddimin
- Jika tidak ada pendapat yang dinasakh, maka diajdikan tarjih antara nash-nash dan pilihlah yang paling kuat yang dapat diterima.
- Jika rawinya menyendiri, tsiqat, dan muttaqin (mantap/cermat dalam meriwayatkan hadits) maka dihukumi Shahih Gharib
- Jika rawinya menyendiri, shaduq, dan lain-lain maka dihukumi munkar.
Selanjutnya, para Muhaddits meneliti pemahaman terhadap kandungan haditsnya (faqiih).
Selamatnya Hadits yang Tidak Diketahui Tafsirannya serta Sampainya Pemahaman (terhadap Kandungan Hadits tersebut)
Para Muhadditsin memperhatikan tentang selamatnya hadits dan keimanan rawi pada suatu hadits karena merupakan pertentangan yang paling rendah bagi nash al-Qur‟an (tidak selevel), juga berpengaruh pada penolakan terhadap hadits yang dapat ditinggalkan. Dan hal itu menentukan bahwa Hal-hal pokok yang harus diperhatikan dalam meneliti Matan:
1. Sunnah itu seperti al-Qur‟an
2. Sunnah itu sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayyan)
3. Tidak ada pertentangan (antara hadits dengan al-Qur‟an) secara zhahir (seperti bertentangan yang menyebabkan hadits ditolak) yang tidak menguatkannya sehingga ditolak haditsnya.
4. Para Muhaddits memperhatikan penerapan kaidah-kaidah Mukhtalif hadits dan Musykilah (bertentangannya hadits dengan al-Qur‟an dan akal sehat)nya
Kosongnya suatu Riwayat dari Menghindari Pemahaman dengan Akal Sendiri atau Bertentangannya Hadits yang memungkinkan harus Dijama’ atau Ditaufiq-an, yang kedua cara tersebut tidak dapat Menguatkannya maka mudah untuk Menolak Hadits
Pokok hal ini menentukan selamatnya hadits dan keimanan seorang rawi, serta meninggalkan serangan untuk menolak hadits karena merupakan pertentangan yang paling rendah bagi nash al-Qur‟an (tidak selevel).
Oleh karena itu, seluruh Muhadditsin tidak mengitibarkan (meneliti) Kitab Istidrak ‘Aisyah pada sebagian sahabat dan sebagian apa yang diriwayatkan dari haditsnya. Karena tidak adanya pertentangan yang jelas pada al-Qur‟an sesuai pemahaman Aisyah dan keumuman sangkaannya karena terjadinya waham.
Contohnya: Tidak adanya penetapan untuk mengambil pendapat tentang penolakan Umar bin khattab berdasarkan hadits Fatimah bin Qais yang dijadikan hujjah untuk memahami al-Qur‟an3.
3 HR.Muslim, Kitab ath-Thalaq, Bab al-Muthallaqatu Tsalatsan, Laa Nafaqah lahaa,no.1481
Dan ketika Umar menyampaikan Hadits Fatimah binti Qais: Dari Abu Ishaq, dia berkata, "Aku pernah duduk bersama Al Aswad bin Yazid di masjid yang paling mulia, dan Asy-Sya'bi juga bersama kami, lalu As-Sya'bi menceritakan ucapan Fatimah binti Qais, Bahwasanya suaminya mentalaknya, lalu Rasululah SAW memutuskan dia (Fatimah bin Qais yang dithalak tiga) tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah. Kemudian Al Aswad mengambil segenggam kerikil, lalu dia lemparkan ke Asy-Sya'bi, kemudian dikatakan, 'Celakalah kamu! Mengapa kamu ucapkan hal seperti ini?' Umar RA berkata, 'Janganlah kita meninggalkan kitab Allah dan ajaran Nabi kita hanya karena ucapan seorang perempuan! Kita tidak tahu mungkin Fatimah binti Qais itu hafal atau lupa dengan sabda Nabi. bahwa dia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. karena Allah SAW berfirman, 'Janganlah kamu mengeluarkan istri-istrimu yang kamu ceraikan itu dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar dari rumah-rumah itu kecuali jika mereka nyata berbuat keji".'" (Qs. Ath-Thalaaq(65): 1) (HR.Muslim)4
Hadits ini dishahihkan oleh Ahli hadits, mereka menjama‟ antara ayat yang dijadikan dalil oleh Umar. Sedangkan hadits tersebut dikatakan oleh mereka: “Ayat tersebut untuk wanita yang ditalak raj‟I, dan hadits tersebut telah ditetapkan dengan suatu dalil untuk menyempurnakan ayat : (La’allallaahu yuhditsu ba’da dzaalika amraa) (ath-Thalaq:1)” yaitu Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru yang telah ditetapkan bersama wanita yang ditalak tiga (ba’in). Dan ini adalah jawaban atas hadits Fatimah binti Qais yang termasuk hadits yang ditolak kabarnya.
4141 ( حَدَّرَ اَُ إِظِحَاقُ بِ إِبِسَا ىٍَِْ، وَعَبِدُ بِ حُ دًٍٍَِ، وَانهَّفْظُ نِعَبِدٍ، قَانَا: أَخِبَسَ اََ عَبِدُ انسَّشَّاقِ، - ( 14
أَخِبَسَ اََ يَعِ سًٌَ، عَ انصُّ سِِْيِّ، عَ عُبَ دٍِِ اللهِ بِ عَبِدِ اللهِ بِ عُخِبَتَ، أَ أَبَا عَ سًِِو بِ حَفْصِ بِ انْ غًُِيرَةِ،
خَسَسَ يَعَ عَهِ بِ أَبِ طَانِبٍ إِنَى انْ ،ًٍٍََِ فَؤَزِظَمَ إِنَى ايِسَأَحِ فَاطِ تًََ بِ جُِِ قَ طٍٍِ بِخَطْهِ قٍَتٍ كَا جََِ بَقِ جٍَِ يِ طَهَاقِهَا، وَأَيَسَ نَهَا انْحَازِدَ بِ شَِْاوٍ، وَعَ اٍَّغَ بِ أَبِ زَبِ عٍَتَ بِ فََُقَتٍ، فَقَانَا نَهَا: وَاللهِ يَا نَكِ فَََقَتٌ إِنَّا أَ فَاظِخَؤْذَ خََِ ،» نَا فَََقَتَ نَكِ « : حَكُى حَايِهًا، فَؤَحَجِ ان بَُِّ صَهَّى اللهُ عَهَ وَظَهَّىَ، فَرَكَسَثِ نَ قَىِنَهُ اًَ، فَقَالَ
وَكَا أَعِ ىًَ، حَضَعُ » إِنَى ابِ أُوِّ يَكْخُىوٍ « : فِ انِا خَِِقَالِ، فَؤَذِ نَهَا، فَقَانَجِ: أَ اٌَ زَظُىلَ اللهِ؟ فَقَالَ
رِ اٍَبَهَا عِ دَُِ وَنَا سٌََا اَْ، فَهَ اًَّ يَضَجِ عِدَّحُهَا أَ كََِحَهَا ان بَُِّ صَهَّى اللهُ عَهَ وَظَهَّىَ أُظَايَتَ بِ شَ دٌٍِ، فَؤَزِظَمَ
إِنَ هٍَِا يَسِوَا ،ٌُ قَبِ صٍَتَ بِ ذُإَ بٌٍِ عٌَِؤَنُهَا عَ انْحَدِ ذٌِ، فَحَدَّرَخِ بِ ،ِّ فَقَالَ يَسِوَا :ٌُ نَىِ عََِ عًَِ رََْا انْحَدِ ذٌَ
إِنَّا يِ ايِسَأَةٍ، ظَ ؤَُْخُرُ بِانْعِصِ تًَِ انَّخِ وَجَدِ اََ ان اَُّضَ عَهَ هٍَِا، فَقَانَجِ فَاطِ تًَُ، حِينَ بَهَغَهَا قَىِلُ يَسِوَا :ٌَ فَبَ وَبَ كٍَُُِىُ انْقُسِآ ،ٌُ قَالَ اللهُ عَصَّ وَجَمَّ: }نَا حُخِسِجُى يِ بُ ىٍُحِهِ {ٍَّ ]انطلاق: 4[ انْآ تٌََ، قَانَجِ: " رََْا
نِ كَا جََِ نَ يُسَاجَعَتٌ، فَؤَيُّ أَيِسٍ حٌَِدُدُ بَعِدَ انزَّهَادِ؟ فَكَ فٍَِ حَقُىنُى :ٌَ نَا فَََقَتَ نَهَا إِذَا نَىِ حَكُ حَايِهًا؟
فَعَهَاوَ حَحِبِعُى هَََا؟ "
Dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, bahwa Abi „Amr bin hafs bin al-Mughirah keluar bersama Ali bin Abi Thalib ke Yaman. Lalu ia mentalak istrinya Fatimah binti Qais dengan talah ba’in, ketika ia tidak berada disisnya, maka Amr mengirim utusannya Harits bin Hisyam dan „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah kepada Fatimah dengan membawa nafaqah. Maka keduanya berkata kepada Fatimah: Engkau tidak akan mendapat nafkah kecuali jika engkau tengah hamil. Lalu Fatimah mendatangi Nabi
4 Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan Laa Nafaqatun Lahaa, no.1480
dan menceritakan apa yang dikatakan oleh kedua utusan Amr itu. Maka Nabi bersabda: “Kamu tidak berhak mendapat nafkah darinya”. Lalu Fatimah meminta izin pada Nabi untuk pindah, maka Nabi mengizinkannya. Maka ia berkata: “Kemana Ya Rasul?” maka Nabi menjawab: “Ke rumah Ibnu Ummi Maktum, ia seorang yang tidak bisa melihat. Sehingga kau bisa melepaskan bajumu dihadapannya, dan ia tidak akan bisa melihatmu”. Maka ketika telah lewat masa iddahnya, maka Nabi menikahkannya dengan Usamah bin Zaid…Fatimah berkata ketika sampainya perkataan Marwan: “Antaraku dan kalian ada al-Qur‟an, Allah telah berfirrman: Laa tukhrijuuhunna mimbuyuutihinna… (Qs.ath-Thalaq:1). Fatimah berkata: ayat itu bagi wanita yang ditalak raj‟I. Lalu yang mana untuk yang talak ba’in? ”5.
Makna “Dlawabith Kulliyah” yang Disebutkan Ahli Ilmu untuk Menghukumi Matan
Dlawabith yang disebutkan Ahli Ilmu untuk menghukumi matan, maksudnya adalah: Untuk menghukumi matan dari satu aspek kepada aspek lainnya bersama sanadnya., karena mereka menjadikan sumber asal dan tidak memperhatikan khabar yang tidak ada sanadnya. Yaitu menentukan hukum maudlu’(palsu) meskipun sanadnya secara zhahir shahih. Oleh karena itu, para Muhaddits meneliti kecacatan („Illat) sanad meskipun „illatnya tidak buruk, tapi dla’if yasir (dla‟if yang ringan).
Diantara hadits yang dipertentangkan tersebut yaitu seperti: Ucapan haditsnya seperti bukan ucapan Nabi dan sahabatnya. Contohnya: “Hal yang dapat menambah pahala dalam suatu pandangan yaitu: “Melihat yang hijau-hijau, air yang mengalir dan wajah yang cantik/ganteng”6.
Metode para Muhadditsin dalam Mengi’tibar dengan meneliti Matan
Sesuai pembahasan sebelumnya bahwa penyebutan Dlawabith tujuannya adalah:
1. Menentukan hukum maudlu’ jika terdapat illat pada sanad yang tidak bersambung
2. Menentukan hukum maudlu’, meskipun zhahir sanadnya shahih
3. Menyendirinya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, terkadang rawinya pada posisi dapat diterima atau ditolak haditsnya.
4. Jika rawinya pada posisi ditolak, maka ditolak haditsnya.
5. Dan jika rawinya pada posisi diterima, maka harus diteliti dulu apakah rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri atau tidak? Jika rawi itu diantara yang kemungkinan menyendiri, maka diterima haditsnya.
6. Namun, jika diantara yang tidak ada kemungkinan menyendiri, maka diteliti apakah ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu? Jika ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dan bertentangan dengan rawi itu, maka ditolak haditsnya. Namun jika tidak, maka diterima haditsnya.
7. Jika rawinya menyendiri, tsiqat, dan muttaqin (mantap/cermat dalam meriwayatkan hadits) maka dihukumi Shahih Gharib
8. Jika rawinya menyendiri, shaduq, dan lain-lain maka dihukumi munkar.
9. Selanjutnya, para Muhaddits meneliti pemahaman terhadap kandungan haditsnya (faqiih).
5 HR Muslim, Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan, Laa Nafaqah lahu, no.1480
6 Tartib al-Maudlu’at karya Ibnu al-Jauzi
Hukum Menolak Matan yang Ada sisipan Ijtihadnya (bukan dari Nabi saw)
Ahli hadits meneliti matan beserta sanadnya. Maka jika menentukan kritik matan pada sanad yang tampaknya shahih, maka menilainya illat dengan illat yang paling rendah walaupun tidak buruk. Karena illat itu sesungguhnya keadaannya buruk.
Setelah memperhatikan ungkapan diatas, maka hukum Menolak Matan yang Ada sisipan Ijtihadnya (bukan dari Nabi saw): Sebagian Ahli Hadits menilai illat karena dirasakan pengingkarannya pada matan, dan tidak akan selamat haditsnya. Sebagaimana pendapat mengenai hadits at-Turbah, sesungguhnya sebagian Ahli Hadits telah menolak hadits ini dan sebagiannya menerimanya. Dan tidak beranggapan adanya pertentangan dengan al-Qur‟an. Inilah makna yang dimaksudkan oleh al-„Alamah al-Ma‟lumi.
1
BAB 2
FASAL 1
PERBEDAAN KRITERIA/TIMBANGAN
KRITIK SANAD SUATU RIWAYAT1
Oleh: Laila Mumtahanah2
Apakah kita tahu sebagian sebab-sebab perbedaan para Mufassirin yang berhubungan dengan sanad suatu riwayat?
Disini kita mengembalikan pada kemujmalan dari sebab-sebab perbedaan antara para Ulama dalam menafsirkan kepada hal-hal sebagai berikut:
1. Belum sampainya hadits kepada seorang Mujtahid (para Mufassir) dalam keadaan asli riwayatnya (tidak maudlu‟ haditsnya).
2. Sampainya riwayat hadits pada seorang mujtahid tetapi diragukan tentang ketsubutannya.
3. Penolakan syeikh (guru) kepada muridnya terhadap apa yang ia riwayatkan, mendustakannya, ataupun meragukannya.
4. Perbedaan pendapat seorang rawi hadits terhadap apa yang ia riwayatkan.
5. Perbedaan mengenai diterima atau tidaknya hadits “mastur hal”.
Sampainya Hadits kepada seorang Mujtahid (para Imam Mufassirin) dihadapan Mujtahid lainnya adalah termasuk Sebab-sebab Perbedaan yang paling penting diantara para Ulama dalam Menafsirkan:
Contohnya: Tentang Iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, dimana Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin „Abbas berfatwa bahwasanya Iddahnya selama batas waktunya yaitu mereka mengambil dalil dengan kemujmalan ayat-ayat berikut:










orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari…(Qs.al-Baqarah:234)
…





... dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...(Qs.ath-Thalaq:4)
Sedangkan Hadits Subai‟ah al-Aslamiyah yang ia ditinggal mati oleh suaminya Sa‟ad bin Khaulah dan ia sedang hamil, belum sampai pada Ali dan Ibnu Abbas. Yang mana kemudian setelah nifasnya mengering, ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabik bin Ba‟kak menemuinya dan berkata kepadanya: “Aku melihat engkau berdandan apa mungkin engkau berkeinginan untuk menikah lagi? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum 4 bulan 10 hari berlalu”. Subai‟ah berkata: “Setelah Abu Sanabilah mengatakan hal itu padaku, maka sore harinya aku langsung mengemas pakaianku kemudian pergi menemui Rasulullah saw dan kutanyakan hal itu kepada beliau. Maka beliau
1 Salah satu tugas UAS mata kuliah Membahas Kitab Tafsir II: Menerjemahkan Kitab Ikhtilaf al-Mufassirin Asbaabuhu wa Atsaaruhu karya Su‟ud bin Abdullah al- Faniisan, cet.1, Riyadl: Dar Isybilia, 1997
2 Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 7
2
memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah, jika aku mau”.(HR.Bukhari dan Muslim)3
Maka ketika hadits ini sampai pada Ali dan Ibnu „Abbas, maka keduanya merujuk kembali kepada pendapatnya yang pertama. Ibnu Jarir ath-Thabari menyebutkan dengan sanad dari Mughirah : Ia berkata: Aku berkata kepada asy-Sya‟bi: “Tidaklah aku membenarkan bahwa Ali berpendapat mengenai batas waktu iddah, ingatlah tentang pendapatnya menikahnya wanita yang ditinggal mati suaminya sampai lewat akhir waktu masa iddahnya”. Asy-Sya‟bi berkata: “Tentu saja, dan kebenaran lebih kuat terhadap apa yang dibenarkan mengenai hal tersebut saja.”Ali berkata: Sesungguhnya firmanNya:
…





Adalah bagi wanita yang dicerai.
Lalu asy-Sya‟bi berkata: “Bahwa Ali dan Ibnu Abbas berpendapat mengenai “Talak” dengan kehalalan waktu akhir masa iddah yaitu jika melahirkan kandungannya”. Maka ketika keduanya mendapatkan hadits Subai‟ah al-Aslamiyah, maka keduanya berpendapat dengan membedakan antara iddah wanita yang ditinggal mati dan iddah orang yang hamil.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: “Yang benar dari pendapat tersebut bahwa ayat itu umum mengenai wanita yang ditalak dan para wanita yang ditinggal mati. Sesungguhnya Allah swt berfirman dengan keumuman ayatNya tersebut. Allah tidak mengkhususkan khabar tersebut untuk wanita yang ditalak saja tanpa wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi khabar itu umum untuk seluruh wanita-wanita yang hamil saja”.
Ketsubutan (ketsiqatan) Hadits dari salah satu dari para Mujtahid (para Imam Mufassirin) dihadapan Mujtahid lainnya:
Allah swt befirman:



























































6. tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
3 Kitab al-Maghazi, Bab Fadl-lu man Syahida Badran, no. 3991
3
7. hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(Qs.ath-Thalaq:6-7)
Contohnya: Tentang Tempat tinggal dan Nafkah bagi wanita yang ditalak tiga.
Para Ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut dalam 3 pendapat yaitu:
1. Mazhab Malik dan Syafi‟I: Untuknya Tempat tinggal tanpa nafkah. Keduanya menggunakan dalil keumuman firman Allah swt:
…





… Yaitu ayat ini mencakup wanita yang ditalak ba'in dan ditinggal mati suaminya.
2. Ayat itu menjelaskan tidak mendapatkan nafkah dan juga tidak mendapatkan tempat tinggal, ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsur. Mereka berdalil dengan hadits Fatimah binti Qais dimana Rasulullah memutuskan bahwa Fatimah tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah.
3. Bahwa untuknya mendapatkan nafkah dan tempat tinggal yaitu pendapat Mazhad Abu Hanifah dan pengikutnya, mereka berdalil dengan firman Allah swt:
…












...
Mereka berkata: “Jika meninggalkan untuk memberi nafkah bagi wanita yang ditalak ba‟in termasuk hal yang lebih madharat. Hal ini adalah perkataan Umar bin Khattab, ia berpendapat bahwa wanita yang ditalak untuknya diberikan tempat tinggal dan nafkah, baik talak raj‟i‟ atau ba‟in. berdasarkan keumuman firmanNya:










































Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Qs.ath-Thalaq:1)
Dan ketika Umar menyampaikan Hadits Fatimah binti Qais: Dari Abu Ishaq, dia berkata, "Aku pernah duduk bersama Al Aswad bin Yazid di masjid yang paling
4
mulia, dan Asy-Sya'bi juga bersama kami, lalu As-Sya'bi menceritakan ucapan Fatimah binti Qais, Bahwasanya suaminya mentalaknya, lalu Rasululah SAW memutuskan dia (Fatimah bin Qais yang dithalak tiga) tidak mendapat tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah. Kemudian Al Aswad mengambil segenggam kerikil, lalu dia lemparkan ke Asy-Sya'bi, kemudian dikatakan, 'Celakalah kamu! Mengapa kamu ucapkan hal seperti ini?' Umar RA berkata, 'Janganlah kita meninggalkan kitab Allah dan ajaran Nabi kita hanya karena ucapan seorang perempuan! Kita tidak tahu mungkin Fatimah binti Qais itu hafal atau lupa dengan sabda Nabi. bahwa dia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. karena Allah SAW berfirman, 'Janganlah kamu mengeluarkan istri-istrimu yang kamu ceraikan itu dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar dari rumah-rumah itu kecuali jika mereka nyata berbuat keji".'" (Qs. Ath-Thalaaq(65): 1) (HR.Muslim)4
Dalam riwayat lain, Urwah bin Az Zubair berkata kepada Aisyah, "Tidakkah kamu melihat Fulanah binti Hakam yang telah diceraikan oleh suaminya." Maka Aisyah pun keluar seraya berkata, "Alangkah buruk apa yang telah diperbuatnya." Urwah bin Zubair berkata, "Tidakkah Anda mendengar ungkapan Fathimah?" Ia berkata, "Sesungguhnya dalam ungkapan itu tidak ada kebaikan baginya." Ibnu Abu Zinad menambahkan dari Hisyam, dari bapaknya; Aisyah mencela dengan celaan yang sangat dan berkata, "Sesungguhnya Fathimah saat itu berada di tempat yang tandus, lalu keberadaannya pun dikhawatirkan. Karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan rukhshah padanya." HR.Bukhari5
Maka Umar bin Khattab berkata: Bagi wanita yang ditalak mendapat tempat tinggal dan nafkah. Ia mengambil dalil dari keumuman lafadz “an-Nisa” ( Idzaa Thallaqtumunnisaa-a) (Qs.ath-Thalaq:1) dan tidak berpendapat dengan hadits Fatimah binti Qais karena diragukan ketsubutannya.
Pendapat kuat yang dipilih yaitu wanita yang ditalak ba‟in tidak mendapatkan nafkah dan tidak mendapatkan tempat tinggal, dan wanita tersebut tidak halal menikah dengan mantan suaminya sampai dinikahi oleh laki-laki lain dulu. Sebaliknya wanita yang ditalak raj‟I, ia mendapatkan tempat tinggal dan nafkah karena ia masih istrinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan bagi wanita tersebut masa iddahnya di rumah suami agar menjadi lebih dekat untuk ruju‟ kembali, jika menginginkannya lagi. Inilah makna firmanNya: (La‟allallaahu yuhditsu ba‟da dzaalika amraa) (ath-Thalaq:1).
Maka dijelaskan bahwasanya sebab perbedaan ketsubutan nafaqah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ba‟in yaitu berdasarkan keumuman ayat ath-Thalaq yang tetap dengan hadits Fatimah binti Qais yang ditakhsis ayatnya untuk suatu kaum (suatu daerah) yaitu Perempuan yang Dithalak Keluar dari Rumahnya Karena Takut Keamanan Dirinya dan tidak untuk kaum (daerah) yang lain. Pendapat kuat yang dipilih itu sebagaimana yang telah dijelaskan yaitu pendapat kedua karena shahih haditsnya dan dikuatkan dengan dzahir ayat al-Qur‟an yaitu firman allah: Laa tadri la‟allallaahu yuhditsu ba‟da dzaalika amraa) (ath-Thalaq: 1).
Perbedaan dalam Mengkhususkan Ayat dengan Hadits, jika seorang rawi menolak meriwayatkan hadits kepada muridnya:
Para ulama bersepakat untuk meninggalkan dalam mengamalkan suatu hadits, jika seorang rawi menolak meriwayatkan hadits kepada muridnya dengan pengingkaran yang ditolak (Inkar Juhud), seolah-olah ia berkata: “kepada orang yang
4 Kitab ath-Thalaq, Bab al-Mutallaqatu Tsalatsan Laa Nafaqatun Lahaa, no.1480
5 Kitab ath-Thalaq, Bab Qishah Fatimah binti Qais, no.5325
5
meriwayatkan hadits darinya (Liman rawa „anhu)” : “Engkau mendustakan Ali” atau “Aku tidak meriwayatkan padamu” dan yang semisalnya.
Sedangkan mereka berselisih pendapat dalam pengamalan hadits jika tidak ada pengingkarannya dengan pengingkaran yang ditolak (Inkar Juhud) dan tidak ada yang mendustakannya. Hal tersebut seolah-olah ia berkata: “Aku tidak menyebutkan bahwa Aku meriwayatkan hadits kepadamu” atau “Aku tidak mengetahuinya” dan yang semisalnya.
Maka Malik, Syafi‟I dan Ahmad berpendapat dalam suatu riwayat: Untuk mengamalkan dengan yang semisal haditsnya tersebut. Dimana riwayatnya dapat diterima selama haditsnya tsiqat, walaupun ditolak oleh gurunya. Abu Hanifah dan pengikutnya serta Ahmad berpendapat pada salah satu dari dua riwayat: Untuk menolak hadits yang semisalnya dalam kondisi ini dan tidak mengamalkan haditsnya.
Contohnya: Tentang Perbedaan dalam hukum putusan peradilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah didalam pemahaman firman Allah swt:
…




















… …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya…(Qs.al-Baqarah:282)
Jumhur Ulama diantaranya Malik, Syafi‟I dan Ahmad berpendapat: Untuk putusan pengadilan dengan satu orang saksi dan sumpah. Mereka berdalil dengan hadits Abi Hurairah bahwa: “Nabi saw memutuskan peradilan dengan sumpah beserta satu orang saksi laki-laki6. Sedangkan dalam riwayat Abu Daud: Sulaiman (perawi) berkata, "Aku bertemu dengan Suhail (gurunya), maka aku menanyakan perihal hadits ini (kepada beliau)? Dia lalu menjawab, "Aku tidak mengetahuinya." Kemudian aku berkata, "Sesungguhnya Rabi'ah telah memberitahukan hadits tersebut darimu kepadaku!" Dia berkata, "Kalau memang dia telah memberitahukannya kepadamu dariku, maka ceritakanlah hadits tersebut dengan mengatakan, "Dari Rabi'ah dariku." {Shahih)7
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat: Untuk menolak memutuskan perkara peradilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah. Bentuk tersebut menurut mereka bahwa ayat tersebut (al-baqarah:282) tidak menyebutkan kecuali 2 orang saksi laki-laki atau boleh (jika tidak ada 2 orang laki-laki) satu orang laki-laki serta 2 orang perempuan, yang dijadikan dalil terhadap pendapat tersebut bahwasanya saksi dengan seorang laki-laki dan sumpah tidak cukup dan tidak akan dapat memutuskan perkara pengadilan. Maka mereka berkata: Hadits Suhail bin Abi Shalih ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah, karena rawi (guru)nya mengingkari riwayat (murid)nya dan tidak mengetahui apa yang diceritakan mengenai haditsnya tersebut dari diri (guru)nya. Hal itu dikarenakan ia berpendapat dengan sebagian pemahamannya, lalu ia lupa pada sebagian haditsnya (rawi yang Su’ul Hifzhi: kekeliruannya dalam hafalan lebih banyak daripada kecermatannya).
Maka penyusun kitab Ikhtilaf al-Mufassirin ini berkata: Telah tampak sebab perbedaan para Mufassirin dalam menafsirkan ayat: (Wastasyhiduu syahiidaini mir
6 Kitab al-Aqdiyah, Bab al-Qadlaa-u bil Yamiini wa asy-Syaahid, no. 1712
7Kitab al-Aqdiyah, Bab al-Qadlaa-u bil Yamiini wa asy-Syaahid, no.3611
6
rijaalikum…) (al-Baqarah:282) dibatasi ayat tersebut pada 2 orang laki-laki atau boleh (jika tidak ada 2 orang laki-laki) seorang laki-laki dan 2 orang perempuan tanpa ungkapan hadits: (asy-Syaahid wa al-yamiin ) karena rawinya mengingkari meriwayatkan dari rawi itu (muridnya), dengan persaksian kepada akad-akad bermuamalah dengan berhutang/ tidak tunai, penyampaian saksi kepada hakim serta pengamalan haditsnya terhadap apa yang telah dikomentari didalam al-Qur‟an.
Maka jawaban yang benar adalah bahwa Nabi memutuskan perkara pengadilan dengan satu orang saksi laki-laki dan sumpah berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas: (Bahwasanya Rasul saw memutuskan perkara dengan sumpah dan satu orang saksi laki-laki) (HR.Muslim) dan hadits ini tidak bertentangan dengan dzahir ayat al-qur‟an. Yaitu perintah mempersaksikan dengan 2 orang saksi atau 1 orang saksi dan 2 orang perempuan dalam bermu‟amalah dengan berhutang/ tidak tunai. Oleh karena itu, tidak dilarang dalam memutuskan perkara dengan saksi yang lebih sedikit dari apa yang nash sebutkan dan Rasul pun menghukumi suatu perkara dengannya.
Mengkhususkan Pemahaman al-Qur’an dengan Amalan Seorang Rawi berdasarkan Perbedaan Apa yang diriwayatkan:
Allah swt berfirman:










…
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…(Qs.al-Baqarah:233)
Para ulama berbeda pendapat dalam mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan amalan rawi berdasarkan perbedaaan apa yang diriwayatkannya atas 2 pendapat: maka Jumhur berpendapat untuk mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan riwayat yang tidak diamalkan yang “berdasarkan perbedaan riwayatnya” karena: Suatu hujjah terhadap apa yang diriwayatkan itu bukan terhadap apa yang ia pandang, karena boleh jadi terdapat lupa pada seorang rawi, atau pengamalan haditsnya berbeda dengan ijtihadnya yaitu yang tidak ditetapkan pada yang lainnya.
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat: Untuk mengkhususkan pemahaman al-Qur‟an dengan amalan seorang rawi dihadapan riwayatnya. Mereka berkata: “Menolak haditsnya jika amalan rawinya bertentangan dengan riwayatnya”. Mereka berkata: “Ungkapan yang dipandang rawi yaitu yang aku tahu riwayatnya dari yang lainnya”. Yang benar adalah Pendapat Jumhur berdasarkan hadits: Nabi SAW, beliau bersabda, "Allah akan memperindah wajah seseorang yang mendengar ucapanku kemudian ia menyadari, Banyak penyampai hadits yang lebih sadar (dapat menjaga) daripada orang yang mendengarnya. "(HR.Tirmidzi)8
Contohnya: Menyusui anak yang sudah besar: yaitu anak yang lebih dari 2 tahun berdasarkan dalil firman Allah swt: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…(Qs.al-Baqarah:233).
Jumhur Ulama berpendapat: Bahwa ayat itu tidak menetapkan keharaman untuk menyusui anak yang sudah besar berdasarkan hadits Aisyah: dari Aisyah radliallahu 'anha, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam suatu ketika menemuinya, sementara di tempatnya terdapat seorang laki-laki dan sepertinya rona wajah beliau berubah dan membencinya, maka Aisyah pun berkata, "Sesungguhnya ia adalah saudaraku." Maka beliau bersabda: "Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita)
8Kitab al-„Ilmu, Bab Maa Ja-a fil Hatstsi „ala Tablighi as-Simaa‟
7
saudara-saudara kalian, sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi)."HR.Bukhari9
Dan sungguh kalangan Hanafiyyah menolak riwayat hadits ini kepada pengamalan Aisyah yang bertentangan dengan hadits Muslim (dalam hadits ini dari Aisyah, ia berpendapat bahwasanya penyususan anak yang sudah besar dapat berpengaruh dalam kemahraman). “Aisyah memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal ini, Aisyah berlandaskan pada Hadits Salim, budak Abu Hudzaifah. Dimana Rasullullah saw memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk ke rumah istri Abu Hudzaifah untuk menyusui”. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian.
Kalangan Hanafiyyah yang menolak hadits Aisyah yang pertama, mereka menetapkan bahwa amalan Aisyah sebagaimana hadits Zainab ini berhubungan dengan pengaruh kemahraman dalam menyusui anak yang sudah besar. ”Namun Jumhur Ulama tidak berpendapat pada pengaruh kemahramannya, maka batal klaim mereka: Sesungguhnya ungkapan hadits pertama itu tentang amalan rawi, bukan riwayatnya. Dan apa yang telah dijelaskan bahwa sebab perbedaan antara para Mufassirin: Apakah amalan rawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkannya bias menguatkan dalam mengkhususkan ayat atau tidak?
Yang benar adalah pendapat Jumhur berdasarkan keumuman ayat dan hujjah yang mereka jadikan dalil, serta hadits Ummu Salamah yang dikhususkan pada istri Abu Hudzaifah dan budaknya Salim.
Perbedaan dalam Mengkhususkan Suatu Ayat dengan Hadits Mastur Hal (Majhul Hal):
Allah swt berfirman:

























Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala… (Qs.al-Maidah:3)
Didalam ayat tersebut adalah dalil tentang hewan yang buas dan tidak ditentukan untuk manusia, yang tidak halal kecuali setelah disembelih antara tenggorokan dan leher. Sedangkan Hadits Abi al-„Asyra‟ : “…Kalaulah tertusuk ketika mengambil (hewan buas), maka dibolehkan bagimu” (HR.Khamsah). Hadits ini menunjukkan bahwa hewan jika tertusuk yang tidak sesuai diperkirakan yaitu malah tertusuk pada badannya, maka dibolehkan.
Mastur Hal adalah Rawi yang tidak dikenal haditsnya kecuali dari sisi satu rawi saja. Hadits mastur termasuk jenis Hadits Majhul menurut para Muhadditsin. Sungguh terdapat perselisihan dalam mengamalkan dan mengkhususkan hadits tersebut kepada ayat tersebut, dimana terdapat 2 pendapat:
1. Tidak diterimanya Hadits Mastur adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu dari 2 riwayat dan Mazhab Syafi‟I. riwayatnya tidak diterima karena
9Kitab an-Nikaah, Bab man Qaala: Laa Ridlaa-un ba‟da Haulaini, no. 5102
8
sebagai kehati-hatian dalam menetapkan khabar, begitu juga kesepakatan (Ijma‟) menetapkan untuk menerima riwayat yang „adil dan menolak khabar fasiq. Sedangkan Majhul Hal itu riwayatnya tidak adil dan bukanlah makna adil itu yang menghasilkan ketsiqatan pada perkataannya. Sebagaimana persaksiannya tidak diterima, begitu juga riwayatnya.
2. Diterimanya Hadits Mastur Hal adalah pendapat Mazhab Abi Hanifah dan riwayat kedua menurut Imam Ahmad. Karena menetapkan khabar-khabar dengan berhusnudzan pada seorang rawi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah: Diterima riwayatnya jika termasuk orang-orang yang dimuliakan (orang-orang yang utama) pada Abad ke-3 karena suatu keumuman orang-orang pada masa ini adalah orang yang shaduq, dan „adalah pada zaman tersebut yang langsung menyaksikan Rasul saw. Adapun setelah abad ke-3 ini, maka riwayat Hadits mastur tidak diterima karena telah tampaknya kefasikan dan tersebar luas. Inilah pendapat kuat yang dipilih.
Contohnya: Tentang Perbedaan posisi sembelihan pada firman Allah swt pada surat al-Ma‟idah ayat 3
…





…
Para Ulama berselisih pendapat mengenai ayat ini pada 2 pendapat:
1. Pendapat Imam Malik dan pengikutnya: Bahwa sembelihan hewan yang buas dan terjatuh kedalam sumur termasuk hewan (yang baik dikonsumsi) manusia. Tidak ada sembelihannya yang seperti biasanya kecuali antara leher dan tenggorokan. Abu Hanifah dan Syafi‟I berpendapat: Bahwasanya sembelihan hewan yang tidak sesuai perkiraan tertusuk disalah satu bagian badannya, mereka berdalil dengan Hadits Abi al-„Asyra‟ .
2. Sedangkan Imam Malik dan pengikutnya menolaknya karena Majhul haditsnya. Sungguh telah datang hadits Abi al-„Asyra‟ dari Ayahnya, Ia berkata: Aku berkata Ya Rasulullah saw! Apakah ada sembelihan selain leher dan tenggorokan? Nabi saw bersabda: “…Kalaulah tertusuk ketika mengambil (hewan buas), maka dibolehkan bagimu” (HR.Khamsah).
Abu al‟Asyra‟ berbeda dalam riwayatnya dari Ayahnya sebagaimana berbeda dalam namanya dan nama Ayahnya. Ada yang berkata: Atharid bin Bakrah atau Ibnu Qahthum atau „Atharid bin Malik. Ada juga yang mengatakan: Yasar bin Bakar bin Mas‟ud, ada juga yang mengatakan: Bilal bin Yasar. Ada juga yang berkata: Abdullah.
Imam Ahmad ditanya Hadits Abi al‟-Asyra‟ tentang sembelihan, Ia berkata: “Aku punya kekeliruan, hadits tersebut tidak aneh bagiku. Aku tidak akan berpendapat mengenai hadits tersebut kecuali pada tema yang pentingnya saja. Yaitu mengenai Aku tidak tahu bahwa ia meriwayatkan hadits dari Abi al-„Asyra‟ selain ini”.
Bukhari berkata: “Pada haditsnya, namanya, sima‟ (belajar)nya dari ayahnya harus dipertimbangkan lagi/ diteliti lagi (nazhar)”. Al-Khathabi berkata dengan mengomentari hadits Abi al-„Asyra‟: “Aku tidak tahu adanya perbedaan tentang masalah ini dikalangan ahli ilmu”.
Mereka mendla‟ifkan hadits ini karena rawinya Majhul Hal. Abu al-„Asyra‟ ad-Darimi tidak tahu riwayat lain dari ayahnya selain hadits ini. Begitu juga, para Ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan ayat ini sebagai suatu pandangan yang berbeda-beda dalam menerima sanad hadits Mufassir.
Oleh karena itu, tampak sebab-sebab perbedaan dalam menjealskan posisi sembelihan hewan yang buas yang tidak sesuai perkiraan, lalu tertusuk yaitu dengan
9
mengkhususkan keumuman ayat: ( Illaa maa dzakkaitum…) (al-Ma‟idah:3) dengan hadits Mastur Hal seperti Abi al-„Asyra‟ atau dengan tidak adanya pengkhususannya.
1
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADITS1
Oleh: Laila Mumtahanah2
Pendahuluan
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw dan meneladani beliau. Allah swt berfirman:
…         …
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah…(Qs.al-Hasyr:7)
Jika seorang muslim berhadapan dengan hadits-hadits Rasulullah saw dan ingin beribadah keapda Allah, maka sebelum mengamalkan hadits-hadits tersebut, dia harus memahami beberapa hal yang merupakan kaidah (dalam memahami) hadits itu. Agar pemahamannya benar dan pengamalannya terhadap hadits tersebut mendapat petunjuk.
Ketika Rasul mengucapkan suatu hadits atau beramal dengan suatu amalan, sesungguhnya beliau menghendaki maksud tertentu dari ucapan dan amalan tersebut, sehingga tidak ada perbedaan yang kontradiktif antara lafadz hadits (teksnya) dan maknanya serta keterangan dari hadits tersebut. Karena jika hadits difahami dengan salah atau diamalkan tidak sesuai dengan maksud hadits itu, maka akan turun wahyu untuk meluruskan (amalan yang salah itu) dan mengoreksinya3.
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KAIDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah hadist sebenarnya tidak bertambah lagi setelah wafatnya rasulullah SAW. Sementara permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, untuk memahami hadist secara cepat, diperlukan adanya suatu penelitian baik yang berhubungan dengan sanad hadist maupun matan hadist, dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu dalam mencari kebenaran penafsiran melaui beberapa pendekatan yang komprehensif.
Pendekatan yang Bertumpu pada Teks
Dalam suatu makalah yang berjudul Pendekatan dalam Memahami Hadits karya Maizuddin4 disebutkan bahwa Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi. Karena memahami sebuah teks adalah terlebih dahulu dengan mencoba menangkap makna asalnya, makna yang populer dan mudah ditangkap. Bila tidak dapat dipahami, karena berbagai alasan, baru kemudian digunakan pendekatan lainnya.
Kata teks bermakna “kata kata asli dari pengarangnya” atau “sesuatu yang tertulis”5. Kata tekstual adalah kata sifat dari kata teks sehingga bermakna bersifat teks atau bertumpu pada teks. Dari sini maka secara istilah pendekatan tekstual berkaitan
1 Salah satu tugas mata kuliah Problematika dalam memahami hadits
2 Mahasiswi Tafsir hadits semester 7
3 Anis bin Ahmad bin Thohir, Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟I, 2005, hlm.5-7
4 http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits Maizuddin, Pendekatan dalam Memahami Hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013.
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT>Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm.1422
2
dengan pemahaman hadis adalah memahami makna dan maksud yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi dengan cara bertumpu pada analisis teks hadis.
Dari definisi di atas, maka yang menjadi perhatian pendekatan ini adalah makna-makna kata dan struktur gramatika (tata bahasa) teks. Pendekatan ini tentu menjadikan dominasi teks sangat kuat. Teks menjadi bagian yang paling sentral dalam pemahaman pesan-pesan Nabi, sehingga konteks cenderung terabaikan.
Edi Safri dalam disertasinya yang berjudul Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif6 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan pemahaman hadis, para ulama telah memperagakan berbagai pendekatan dalam karya-karya syarh maupun karya-karya lainnya. Meskipun kebanyakan berbentuk aplikasi tanpa menyebutkan bentuk pendekatan, namun para penulis dapat membuat klasifikasi pendekatan dalam memahami hadis Nabi. Syuhudi Ismail misalnya, dalam karya tulisnya yang berjudul Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, menyiratkan bahwa pendekatan dalam memahami hadis dalam dua bentuk yakni tekstual dan kontekstual7. Edi Safri dalam karyanya yang berjudul Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, membuat klasifikasi pendekatan diperagakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitabnya Ikthtilaf al-Hadits8. Menurutnya, ada empat pendekatan, yakni pendekatan dalam bentuk kompromi yang meliputi: 1) penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah ushul, penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pendekatan tematis-korelatif, penyelesaian dengan cara ta‟wîl, 2) penyelesaikan dalam bentuk nasakh, 3) penyelesaian dalam bentuk tarjîh dan 4) penyelesaian dalam masalah tanawwu‟ al-ibâdah.
Sebagai pendekatan yang bertumpu pada teks, maka ilmu bahasa dan ushul fiqh merupakan bagian yang paling utama sebagai alat analisis utamanya. Para ulama, tetutama Imam al-Syafi‟i dianggap paling berjasa dalam merumuskan metodologi memahami dalil-dalil syara dengan pendekatan tekstual. Dari sini maka pendekatan tekstual dapat dilihat dalam tiga analisis, yakni 1) analisis kebahasaan, yakni analisis di mana makna sebuah kata merupakan fokus utamanya, 2) analisis kaedah ushul fiqh dan 3) analisis dengan metode ta‟wîl yakni analisis yang berusaha memberi makna lain pada kata sebuah kata.
1. Analisis Kebahasaan
Berkaitan dengan analisis kebahasaan, pemaknaan merupakan bagian yang paling penting. Contohnya Sebagai sebuah bahasa agama, terutama dalam menjelaskan hal-hal yang bersifat metafisis seperti tentang Allah, Surga, Neraka, dan lain-lain sebagainya, maka bahasa yang dipakai—agar dapat dipahami oleh pendengar/pembaca—tentu bahasa yang berada dalam jangkauan wilayah pengamalan empiris dan inderawi. Karena itu sering terlihat, beberapa hadis Nabi menjelaskan Allah seperti halnya manusia.
6http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Edi Safri, Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif, Disertasi, Fakultad Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 1994,
7 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 , hlm.6
8Lihat dalam karya Nafid Husein Hamad, al-Mawaazinah baina Manhaji al-Imamin asy-Syafi‟I wa Ibnu Qutaibah min Khilali Kitabihima “Ikhtilaf al-Hadits” wa “Ta‟wil Mukhtalif al-Hadits”, Gaza: al-Jami‟ah al-Islamiyyah, 2001, hlm.9-11 atau dalam asy-Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-„Abbas bin Utsman bin Syafi‟, Ikhtilaf al-Hadits, Beirut: Darul Ma‟rifah
3
ع أبي شٕ شَج سض الله ع أ سسىه الله صي الله عي وسي قاه: ضَْه ست اْ ذثاسك وذعالى مو ى يُح ئلى
اىس اَء اىذ اُّ حين ثَق ثيث اىي وُ ا خِش قَىه ذَعىني فأسرج ةُ ى سَأىني فأعط سَرغفشني
فأغفش ى .ٔ سوا اىثخاسٌ
Hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Tuhan kita Tabaraka wa Ta‟ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir; (Allah berfirman: Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu. Barangsiapa yang meminta (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan barangsiapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya. H. R. Bukhari9.
Menurut Sayyid Shalih Abu Bakar bahwa dalam hadis ini Allah digambarkan seperti manusia turun naik ke langit dunia. Ini berarti bahwa Allah terlihat sama dengan makhluk-Nya. Kesulitan memahami hadis ini membuat sebagian ulama menyatakan hadis ini berkualitas lemah (dha‟if)10.
Menurut an-Nawawi, kata ينزل tidak dapat dipahami dalam makna hakikinya, yakni turun dalam bentuk Zat-Nya. Penggunaan kata ينزل tersebut dipakai dalam kaitan menjelaskan sesuatu dalam batas-batas empiris sehingga dapat dimengerti. Jelas sekali bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan manusia. Makna kata ينزل dipahami dalam makna majazi (metoforis), yakni turunnya rahmat (تنزيل رحمت ) Allah atau “perhatian (الاقبال )” Allah terhadap orang-orang yang berdoa untuk menjawab do‟a mereka11.
Di sisi lain, pemaknaan terkait erat dengan tata bahasa. Di antara persoalan yang berkaitan dengan tata bahasa adalah persoalan mufrad (kata tunggal), jamak (kata yang menunujukan arti banyak), tankîr (indefinitif) dan ta‟rîf (definitif), adat hashr, adat syart, dan lain-lain sebagainya. Sebagai contoh:
ع ع شَ ات الخطاب قاه: قاه سسىه الله صي الله عي وسي :ٌ ئنما الأع اَه تاى اُْخ وئنما لا شٍب اٍ ىّي
ف ما دّ جٕشذ ئلى الله وسسىى فهجشذ ئلى الله وسسىى و ما دّ جٕشذ ىذ اُّ صَ ثُها أو أ شٍأج
رَضوجها فهجشذ ئلى اٍ إجش ئى .ُٔ سوا الج اَعح
Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‟Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya12). H.R. Jamaah
Al-Mubarakfiri berkata bahwa lafadz إنما dalam hadis di atas dalam Bahasa Arab dipahami sebagai adat hashr (kata pembatas) sehingga memberi batas pada lafaz berikutnya, yakni bahwa amal-amal itu hanya dipandang berkaitan dengan niatnya, dan tidak dipandang sebagai perbuatan yang memiliki konsekuensi bila tidak ada niatnya13.
9 Shahih Bukhari, Kitab Tahajud, Bab ad-Du‟a fish Shalah fi Akhiril Lail, Juz 1, hlm.53
10 http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits. Lihat Sayyid Shalih Abu bakar, al-Adhwa‟ al-Qur‟aniyyah fi Iktisah Ahadits al-Israiliyyah wa Tathhir al-Bukhari Minha, terj. Ahmad Wakid, Menyingkap Hadits-hadits Palsu, Surakarta: Mutiara Solo, t.th, Jilid II
11 Abu Zakaria Mahyuddin Yahya bin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajaj, cet.3, Jilid 6, Beirut:Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H, hlm.37
12 Jami‟ ash-Shahih Bukhari, Kitab Bad‟ul Wahyu, Juz 1, hlm.13
13 Abi al-„Ali Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidzi, Juz 5, Darul Fikr,t.th, hlm. 283
4
Menurut al-Mubarakfuri juga, lafaz لامعلاا dalam hadis di atas adalah adalah kata jamak (bentuk banyak) yang di-ma‟rifah-kan (didefinitifkan) karena diberi huruf alif dan lam (ال ). Kata ini memberi pengertian „am (umum) sehingga mencakup setiap perbuatan, baik perbuatan hati, anggota, fardhu, atau nawâfil, sedikit atau juga banyak yang dilakukan oleh mukallaf14.
Sedangkan lafadz النياث juga disebutkan dalam kitab Fathul Baari bahwa lafadz jamak yang memberi pengertian bahwa niat-niat itu juga beragam sebagaimana beragamnya amal perbuatan itu sendiri15. Sedangkan huruf ب pada kata النياث dipahami sebagai sebab dalam artian niat merupakan penyebab adanya amal dari sisi hukumnya. Dari sini, maka para ulama menyimpulkan kaitan niat dan amal dari segi hukumnya secara tekstual dalam dua kesimpulan yang berbeda, yakni 1) sebagai sahnya suatu perbuatan di mana niat menjadi rukun dari perbuatan itu sendiri atau menjadi syarat sahnya, dan 2) sebagai kesempurnaan sebuah perbuatan16.
2. Analisis Kaedah Ushul
Analisis dalam pendekatan tekstual yang dijelaskan yang menggunakan kaedah usul dalam karya-karya ushul fiqh berkaitan dengan persoalan antara lain: 1) persoalan perintah (amr), larangan (nahy), dan (pilihan) takhyîr, 2) persoalan lafaz „âm dan khâsh, 3) lafaz bebas (muthlak) dan terkait (muqayyad), 4) lafaz yang diucapkan (manthûq) dan lafaz yang dipahami (mafhûm), dan 5) kejelasan dan ketidakjelasan maknanya meliputi (muhkam, mufassar, nas, zâhir, khâfi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih). Berkaitan dengan kaedah memahami amr, dan nahy misalnya sebagai berikut:
حذثني أتى أ اٍ حٍ اىثا يٕ قاه: سمعد سسىه الله صي الله عي وسي قَىه اقشؤوا اىقشآ فا أَتي ىَ اىق اُ حٍ شف عُا لأصحات .ٔ سوا سٍي Abu Umamah al-Bahali menceritakan kepadaku katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Bacalah al-Qur‟an karena sesungguhnya pada hari kiamat bacaan itu akan menjadi syafaat bagi pembacanya. H.R. Muslim17
Dalam hadis di atas ada shighat amr (bentuk kata perintah), yakni kata اقرؤوا
(bacalah). Dalam kaedah ushul fiqh, bentuk amr dapat saja menunjukan perintah wajib. Jika ditemukan suatu qarinah yang memalingkan shigat perintah dari makna wajib ke makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti anjuran atau (Ibahah) kebolehan18. Perintah membaca al-Qur‟an dalam ayat tersebut menunjukan anjuran (al-nadab), karena ada qarinah (indikator) yang menunjukan adanya manfaat, tanpa disertai ancaman bagi orang yang tidak membacanya.
حذثني عثذ الله ت تش ذَج ع أت أ ما في مجيس ف سسىه الله صي الله عي وسي فقاه : ئني م دْ
نه رُن أ ذأميىا لحى الأضاح ئلا ثلاثا فنيىا وأطع ىَا وادخشوا. سوا اى سْائً
14 Ibid
15 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Dar ath-Taybah,, hlm.34
16 Ibid, hlm.37
17 Shahih Muslim, Kitab al-Musaffirun wa Qasruuha, Bab Fadl Qira‟ah al- Qur‟an wa Surah al-Baqarah, Juz 2, hlm.866
18 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994, hlm.305-306
5
Abdullah ibn Baridah mengkabarkan kepadaku dari bapaknya, bahwa dia berada dalam majelis Rasul di mana beliau bersabda: Dahulu aku melarangmu memakan daging kurban sampai tiga hari, maka (sekarang) makanlah, berimakanlah dengannya dan simpanlah. H.R. Nasai19
Perintah makan dan menyimpan daging kurban dalam hadis di atas yang merupakan sighat amr yang menunjukan kebolehan (al-ibâhah), karena ada indikasi (qarînah) yang menyatakan dulu Rasulullah melarang. Dalam kaedah ushul, perintah yang terletak setelah larangan menunjukan kebolehan.
3. Analisis dengan Menggunakan Ta’wil
Secara bahasa ta‟wîl berasal dari kata al-awl (الأول ) yang berarti kembali ke asal (الرجوع الى الأصل ). Sedangkan pengertian istilah, ta‟wîl adalah sebagai berikut:
صشف اىيفظ ع عٍ اْ اىظا شٕ ئلى عٍنى يحر يَ ئرا ما المحر وَ اىز شَا ىٍافقا ىينراب واىس حْ
Memalingkan makna kata dari makna dasarnya kepada suatu makna yang dipahami dimana makna yang dipahami itu lebih sesuai dengan al-Qur‟an dan sunnah20.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pemalingan makna disebabkan oleh suatu qarinah yang kuat, yaitu adanya pertentangan atau kesulitan memahami hadis bila dipahami dengan makna dasarnya bila dihadapkan dengan dalil-dalil lain, baik al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi. Sementara makna yang lain dipahami lebih sesuai dengan al-Qur‟an dan hadis.
Tetapi dapat juga qarinah ini bersifat aqliah, tidak dapat ditangkap maknanya karena menyalahi fakta atau realitas yang disimpulkan oleh ilmu pengetahuan modern. Itu sebabnya di dalam beberapa rumusan definisi lain, disebutkan oleh al-Baghawi (al-Burhan) dan al-Kawasyi (Baghiyah al-Wa‟ah) bahwa dalil yang menjadi qarinah pemalingan maknanya sesuai pada hal sebelum dimaknai dan sesudahnya yang memungkinkan ayatnya tidak bertentangan dengan dalil naqli maupun dalil akli21. Dari pengertian ta‟wîl tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa analisis dengan menggunakan ta‟wîl dalam pemahaman hadis adalah memahami makna dan menangkap pesan yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi dengan cara memalingkan makna kata dari makna dasarnya kepada makna lain yang dapat dipahami karena ada indikasi kuat yang mengharuskannya.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kata yang di- ta‟wîl-kan itu adalah kata mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi bahasa seperti makna hakikat dan makna majazi-nya, atau dari segi kebiasaan orang-orang Arab dalam menggunakan kata itu, atau dari segi penggunaan lafaz itu dalam syari‟at. Oleh karena itu ta‟wîl tidak dibolehkan terhadap kata-kata yang jelas dan dapat dipahami maknanya22.
Langkah awal dalam melakukan ta‟wîl adalah menemukan qarînah (indikasi) yang mengharuskan seseorang menarik makna lain di luar makna dasarnya. Bila tidak ada qarinah, maka tidak perlu dilakukan pendekatan ta‟wîl.
Makna kata yang di-ta‟wîl-kan harus berkaitan dengan makna dasar dalam artian dapat berupa makna substansialnya yang kepadanya pembicaraaan dikembalikan23 maupun makna majazinya yang populer dalam masyarakat. Kata kucing besar
19 Sunan an-Nasa-I, Kitab Janaiz, Bab Ziyarah Qubur, Juz 4, hlm.89
20 Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta‟rifat, Jeddah: al-Haramain, 2001, hlm.49
21 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Itqan fi Ulumil Qur‟an, Kairo: Maktabah Darut Turats, 2010, hlm.925
22http: //maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits. Lihat Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 232
23 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi „Ulumil Qur‟an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, cet.13, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009, hlm.309
6
ditakwilkan dengan harimau masih dapat diterima karena kedua kata tersebut berkaitan di mana kucing besar adalah makna majazi dari harimau. Tetapi kata kucing besar diberi takwil sebagai gajah, maka ini sama sekali tidak dapat diterima karena tidak berkaitan dan tak dapat dipahami.
Rasulullah saw misalnya menyatakan bahwa orang yang menyambung silaturrahmi akan diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
ع أ سّ ت اٍىل سض الله ع قاه سمعد سسىه الله صي الله عي وسي قَىه: سش أ ثَسط ى في
سصق أو سَْأ ى في أثش في صُو سحم .ٔ سوا اىثخاسٌ
Dari Anas ibn Malik katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang ingin rizkinya diluaskan dan ajalnya diakhirkan, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi. H.R. Bukhari24.
Sebagian ulama sulit memahami frase ينسأ لو في أثره atau منسأة في الأثر yang bermakna diakhirkan ajalnya. Qarinahnya adalah bila dipahami dalam arti dasarnya, maka akan bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang menjelaskan ajal tidak dapat dimajukan atau ditunda (QS. Al-A‟raf: 34).
Oleh karena itu, frase tersebut harus dipalingkan maknanya kepada makna yang tidak bertentangan atau sesuai dengan ayat-ayat yang menjelaskan ajal tak dapat dimajukan dan ditunda. Tentu saja, makna lain yang dipahami dari frase diakhirkan ajalnya adalah makna yang masih berkaitan dengan frase tersebut. Zuhair berkata dalam Fathul Bari‟ 25bahwa ta‟wîl terhadap frase tersebut dalam dua bentuk, yaitu:
1. Makna frase “mengakhirkan ajal” dalam hadis tersebut dipahami dalam pengertian penambahan keberkatan umur, taufiq untuk taat kepada Allah dan kreatifitasnya yang efektif. Artinya, dalam umurnya yang singkat mampu melahirkan berbagai kreatifitas dan karya.
2. Makna frase “mengakhirkan ajal” dipahami dengan makna kekal namanya dalam keharuman sepertinya dia belum mati karena masing dikenang di dalam ingatan masyarakat.
Pendekatan ta‟wîl dapat pula digunakan dalam rangka menyelesaikan pertentangan dua hadis. Imam al-Syafi‟i memberikan contoh dua hadis dengan pendekatan ta‟wîl tentang waktu shalat Shubuh. Rasulullah saw bersabda:
ع سافع ت خذ جَ أ سسىه الله قاه أسفشوا تاىصثح فا رىل أعظ لأجىسم .ٌ سوا اىشافعٍ
Hadis dari Rafi‟ ibn Khudaij bahwa Rasulullah saw bersabda: Lakukanlah shalat Shubuh pada waktu Shubuh mulai terang, karena demikian kamu akan memperoleh pahala yang besar. HR. Syafi‟i26.
Dalam hadis ini terlihat perintah Rasulullah untuk melaksanakan shalat shubuh pada waktu isfar, yakni jika terang dan memancarkan cahayanya27. Sementara di dalam hadis lain terdapat keterangan bahwa Rasululah melaksanakan pada awal waktu shubuh di mana suasana masih gelap.
ع عائشح قاىد م سّاء الدإ اٍْخ صَيين عٍ اى بْي و رٍيفعاخ بمشوطه ثم شَجع ئلى أ يٕه اٍ
عَشفه أحذ اىغيس. سوا اى سْائ واحمذ واىشافعٍ
24 Shahih Muslim, Kitab al-Birri wash Shillah, Bab Shilah ar-Rahim wa Tahriimi Qathi‟atuha (2/278) no.2557
25 Ahmad bin Ali hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, cet.1, Juz 4, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1997, hlm. 382
26 Musnad asy-Syafi‟I, Bab Min al-Juz ats-Tsani min Ikhtilafil Hadits min al-Ashl al-„Atiq, Juz 1, hlm.175
27 Ibnu al-Atsir Majduddin Abi As-Sa‟adat: al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul karim al-Juzri, asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, cet.1, Jilid 1, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005, hlm.371
7
Hadis dari Aisyah katanya: Wanita-wanita mukmin melaskanakan shalat shubuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorang pun dapat mengenali mereka karena hari masih gelap. HR. Nasai, Ahmad dan al-Syafi‟i.
Dalam hadis ini diinformasikan bahwa Rasulullah melaksanakan pada waktu masih gelap (ghalas). Jadi bertentangan dengan hadis yang pertama. Imam Syafi‟i men- ta‟wîl-kan hadis pertama, yaitu pada kata isfar.
Imam Syafi‟I berkata:” Sebagian manusia mengatakan: Melakukan shalat shubuh (yang mulai terang) adalah hal yang paling disukai orang-orang”, lalu Ia menyebutkan hadits dari Rafi‟ . Kemudian asy-Syafi‟i memilih hadits dari Aisyah tentang al-Ghalas karena sesuai dengan kitab Allah, yaitu: “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`”. (Q.S. Al-Baqarah: 238). Rasulullah pernah ditanya tentang amal apa yang utama? Rasulullah menjawab: Shalat di awal waktunya (HR.Abu Daud28 dan an-Nasa-i). Dengan adanya kedua dalil tersebut, Nabi menyuruh manusia agar memperhatikan shalat shubuh didahulukan (di awal waktunya) dan mengabarkan tentang keutamaannya. Dalil tersebut mengandung motivasi agar mendahulukan shalat di awal waktunya sebelum muncul fajar kedua29.
Menurut Edi Safri bahwa Kedua nash al-Qur‟an dan hadis ini dinyatakan Syafi‟i bertentangan dengan hadis Khudaij (فيخالف حديث رافع بن خديج ) tentang melaksanakan Shubuh pada waktu isfar. Atas dasar ini makna kata isfar yang makna dasarnya adalah waktu Shubuh sudah mulai terang atau mendekati matahari terbit, menjadi makna lain yakni waktu shubuh terbitnya cahaya fajar yang kedua (يتبين الفجر الآخر ). Mengapa makna itu yang dipilih? Tampaknya yang menjadi alasan adalah nash al-Qur‟an tentang memelihara waktu shalat dan penjelasan bahwa amal utama adalah shalat pada awal waktunya, maka ada sebagian sahabat yang melaksanakan shalat Shubuh sebelum jelas munculnya waktu fajar. Karena itu Nabi menjelaskan agar menunggu waktu hingga terbitnya fajar yang terakhir. Dengan pendekatan ta‟wîl tersebut maka kedua hadis tersebut tidak lagi bertentangan maknanya.
Pendekatan yang Bertumpu pada Konteks
Pendekatan ini sering diistilahkan oleh para Ulama Hadits kontemporer dan peneliti Hadits zaman sekarang sebagai “Pendekatan Kontekstual”. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual—sesuai dengan pendapat Said Agil adalah memahami hadith dengan memperhatikan konteks ketika hadits itu muncul. Konteks tersebut meliputi banyak hal di antaranya konteks historis, konteks sosio-antropologi, bahkan—menurut Syuhudi Ismail30—konteks bahasa. Dalam tataran praktisnya, konteks-konteks tersebut sering diistilahkan pendekatan. Sehingga yang sering kita dengar adalah pemahaman hadits dengan pendekatan bahasa, pendekatan historis dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam paparan selanjutnya, penulis tidak menggunakan istilah konteks melainkan dengan istilah pendekatan31.
Hadis bagi umat Islam merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur‟an. oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik dan benar. namun, untuk memahami
28 Sunan Abu Daud, Bab Fi al-Muhafadzah „ala waqtish Shalaah, Juz 1, hlm.115
29 Ibnu al-Atsir Majduddin , asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, hlm.371-372
30 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits.
31http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2249017-cara-memahami-hadist-dengan-pendekatan , di unduh sabtu 26 oktober 2013
8
hadis secara benar relatif tidak “gampang”, khususnya jika kita menemukan hadis-hadis yang tampak bertentangan32.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, diharapkan dapat membantu kita untuk memperoleh pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman33. Pada dasarnya yang dimaksud dengan metode pendekatan menurut Fajrul munawir adalah pola pikir (al-Ittijah al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah34. Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami hadis nabi saw. diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan Bahasa (Linguistik)
Yaitu suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadits Nabi saw35.
Salah satu kekhususan yang dimiliki hadis Nabi saw. adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami‟ al-kalim (ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamstsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda36.
Dalam memahami hadis nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis, jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna dari hadis tersebut. Contohnya, hadis Nabi saw. sebagai berikut :"الصيام جنة ". Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa dalam hadis diatas kita bisa melihat bahwa rasulullah saw. menyamakan puasa dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan pendekatan bahasa. Kata “جنت ” dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedang perisai, yang kita kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi diri. Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari hal-hal yang yang dilarang oleh Allah swt.37 Ketika seseorang berpuasa, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan hal-hal lain yang tidak disukaiAllahswt.(maksiat) Oleh karena itu wajar Rasulullah saw. dalam hadisnya menyamakan puasa dengan perisai. karena puasa merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang diingininya. Dan merupakan pelindung bagi orang tersebut baik dari hal-hal maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.
32 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html, Minggu 22 Maret 2010, di unduh sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Agil Husein Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud:Studi Kritis atas Hadits Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual, cet.1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm.24-25
33 Ibid, hlm.25
34 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html. Lihat Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir dengan kata pengantar oleh Prof. Dr.Abd. Muin Salim, t.t, Teras:t.th, hlm.138
35 Ibid, hlm.143
36 Ibid, Arifuddin ahmad, hlm.3
37 Ibid, Lihat dalam Yusuf Qardhawi, Fiqh ash-Shiyam, terj. Ma‟ruf Abdul Jalil Th.I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqh Puasa, cet.8, Surakarta: Era Intermedia, 2009, hlm.23
9
2.Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis
Pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis Nabi saw. dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis tersebut disampaikan Nabi. Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya38. Pendekatan ini menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya39. Pendekatan model ini sudah ada sejak masa para ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbab wurud, yang menuturkan sebab-sebab mengapa nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis nabi saw. dengan pendekatan historis mencakup, waktu, tempat, latar belakang, pelaku dan objek hadis tersebut. Pendekatan Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku40.
Adapun pendekatan Antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruangdanwaktu41. Dengan pendekatan historis, sosiologi dan Antropologis diharapkan akan memperoleh pemahaman baru yang lebih apresiasip terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang merupakan implikasi dari perkembangan dan kemajuan zaman. Contoh aplikasi pemahaman hadis Nabi saw, dengan pendekatan historis, sosiologis dan antroplogis dapat dilihat dari hadis berikut : Tidak diperbolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya”42.
Jika dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan (safir) sendirian, tanpa disertai mahramnya. Menurut Yusuf Qardhawi bahwa Hadis diatas tidak memiliki asbabul wurud khusus. Dan jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat pada masa itu, sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi kekhawatiran Nabi saw. terhadap keselamatan perempuan jika berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Mengingat kondisi saat itu, seorang yang melakukan perjalanan, biasa menggunakan unta, keledai ataupun sejenisnya. Tidak jarang pula harus melewati gurun pasir yang sangat luas
38 Ibid, Lihat Aqil Husein al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, hlm.26
39 Ibid, hlm.27
40 Ibid
41 Ibid
42 Shahih Bukhari, Kitab Jihad wa as-Sairi, Bab Min Iktataba fi Jaisyi fakharajat imra-atuhu Haajah, Juz 4, hlm.59
10
dan jauh dari keramaian. Ditambah lagi, waktu itu ada anggapan yang negatif dan kurang etis jika perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian. Oleh karena itu, saat sekarang, ketika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana jarak yang jauh sudah tidak menjadi masalah, ditambah dengan system keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam berpergian, maka illah dari larangan tersebut menjadi hilang dan wanita boleh saja melakukan perjalanan sendirian untuk menuanaikan urusannya43. Disini dapat dilihat, konsep “Mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga system keamanan yang dapat menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. pemahaman semacam ini akan lebih apresiasif terhadap perubahan dan perkembangan zaman44.
Penutup
Dari pembahasan diatas, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Dari segi kesahihan sanad. Pendekatan histori, antropologis dan sosiologis dapat dipergunakan untuk mempelajari biografi setiap perawi yang akan diteliti, baik yang berhubungan dengan keadilan, kedabitan maupun hubungan antara perawi yang lebih dekat dalam rangka mengetahui suatu sanad hadis apakah muttasil atau marfu‟. Sedangkan pendekatan kebahasaan dapat digunakan untuk mengetahui simbol-simbol tahammul wa‟Ada al-hadis.
2. Dalam kajian matan hadis semua pendekatan yang telah dikemukakan dalam tulisan ini dapat digunakan dalam pengembangan kajian, jika terdapat pertentangan suatu hadis sahih dengan yang kualitas lainnya, hanya karena dipahami secara tekstual, maka perlu dikaji dengan memperhatikan konteks sejarah antropologi sosiologis, serta hasil temuan-temuan ilmiah (secara kontekstual) dengan maksud untuk mempertahankan kesahihan suatu hadis. 45
3. Istilah pendekatan Tekstual dan Kontekstual adalah istilah yang dibuat oleh para Ulama Hadits kontemporer dan peneliti Hadits sekarang seperti Edi Safri dalam disertasinya yang berjudul Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif46 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan pemahaman hadis, para ulama telah memperagakan berbagai pendekatan dalam karya-karya syarh maupun karya-karya lainnya. Meskipun kebanyakan berbentuk aplikasi tanpa menyebutkan bentuk pendekatan, namun para penulis dapat membuat klasifikasi pendekatan dalam memahami hadis Nabi. Syuhudi Ismail misalnya, dalam karya tulisnya yang berjudul Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, menyiratkan bahwa
43 http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html., Lihat Yusuf Qardhawi, hlm.136
44 Ibid, Lihat Agil Husein Munawwar dan Abdul Mustaqim, hlm.31 45http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20//, Lihat Nasri akib dalam makalahnya yang berjudul PENDEKATAN DALAM KAJIAN PENGEMBANGAN KAEDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST (Ed.21 2009)20 November 2009, diunduh sabtu, 26 oktober 2013
46http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. Lihat Edi Safri, Imam Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif, Disertasi, Fakultad Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 1994,
11
pendekatan dalam memahami hadis dalam dua bentuk yakni tekstual dan kontekstual47. Edi Safri dalam karyanya yang berjudul Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, membuat klasifikasi pendekatan diperagakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitabnya Ikthtilaf al-Hadits48. Menurutnya, ada empat pendekatan, yakni pendekatan dalam bentuk kompromi yang meliputi: 1) penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah ushul, penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pendekatan tematis-korelatif, penyelesaian dengan cara ta‟wîl, 2) penyelesaikan dalam bentuk nasakh, 3) penyelesaian dalam bentuk tarjîh dan 4) penyelesaian dalam masalah tanawwu‟ al-ibâdah49.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al-„Ali Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidzi, Juz 5, Darul Fikr,t.th,
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994
Abu Zakaria Mahyuddin Yahya bin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajaj, cet.3, Jilid 6, Beirut:Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Dar ath-Taybah
Ahmad bin Ali hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, cet.1, Juz 4, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1997
Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta‟rifat, Jeddah: al-Haramain, 2001
Anis bin Ahmad bin Thohir, Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟I, 2005
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Ed.IV, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2012
Ibnu al-Atsir Majduddin Abi As-Sa‟adat: al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul karim al-Juzri, asy-Syaafifi Syarah Musnad asy-Syafi‟I, cet.1, Jilid 1, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Itqan fi Ulumil Qur‟an, Kairo: Maktabah Darut Turats, 2010
47 Lihat dalam M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 , hlm.6
48Lihat dalam karya Nafid Husein Hamad, al-Mawaazinah baina Manhaji al-Imamin asy-Syafi‟I wa Ibnu Qutaibah min Khilali Kitabihima “Ikhtilaf al-Hadits” wa “Ta‟wil Mukhtalif al-Hadits”, Gaza: al-Jami‟ah al-Islamiyyah, 2001, hlm.9-11 atau dalam asy-Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-„Abbas bin Utsman bin Syafi‟, Ikhtilaf al-Hadits, Beirut: Darul Ma‟rifah
49 http://maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013.
12
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi „Ulumil Qur‟an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, cet.13, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Website:
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2249017-cara-memahami-hadist-dengan-pendekatan , di unduh sabtu 26 oktober 2013
http: // maizuddin.wordpress.com/2012/01/13/analisis-dalam-pendekatan-tekstual-dalam-memahami-hadits Maizuddin, Pendekatan dalam Memahami Hadits,13 Januari 2012, diunduh pada hari sabtu, 26 oktober 2013. http://shaututtarbiyah.wordpress.com/2009/11/20//, Nasri akib dalam makalahnya yang berjudul PENDEKATAN DALAM KAJIAN PENGEMBANGAN KAEDAH KESAHIHAN SANAD DAN MATAN HADIST (Ed.21 2009)20 November 2009, diunduh sabtu, 26 oktober 2013
http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadits-nabi.html, Minggu 22 Maret 2010, di unduh sabtu, 26 oktober 2013.