Selasa, 17 November 2015

BAB II
TINJAUAN TEORITIK
TENTANG METODOLOGI KRITIK HADITS

A.      Pengertian Kritik Hadits
Untuk mengetahui kualifikasi dan kehujjahan sebuah Hadits dapat dilakukan suatu Kritik Hadits atau Naqd Al-Hadits. Kata “kritik” dalam bahasa Indonesia memiliki arti, “Berusaha menemukan kekeliruan atau kesalahan“, identik dengan kata “menyeleksi” yang secara kosakata memeiliki arti “menyaring atau memilih”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia sendiri, kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya[27].
     Sedangkan kata “kritik” dalam bahasa inggris yaitu “critic yang memiliki arti:
1.         Someone who makes judgments of people or things based on certain standards (Orang yang membuat penilaian pada seseorang atau benda berdasarkan pada standar tertentu)
2.         Such a person whose occupation is to write or broadcast such judgments of books, music, paintings, etc (. Seperti orang yang pekerjaannya adalah untuk menulis atau broadcast yaitu membuat penilaian (terhadap pekerjaannya) seperti buku, musik, lukisan, dan lain lain)
3.         A person who indulges in finding fault with everything (Orang yang sekehendak hatinya mencari kesalahan dengan segala macam cara atau hal)[28].

Adapun kata “kritik” dalam bahasa Arab biasa digunakan dengan istilah “naqd”. Dalam Lisanul ‘Arab, kata Al-Naqd adalah mashdar dari akar kata naqada, yanqudu, naqdan, intaqada, tanaqqada yaitu kebalikan dari Al-Sayyi-ah (kesalahan, dosa, kejahatan, jelek). Sedangkan Al-Naqd wa Al-Tanqâd artinya “Ia memisahkan uang yang baik dari yang buruk (palsu)”.[29]. Sedangkan dalam Kamus Munawwir, kata naqd yang bermakna “kritik” itu adalah intaqada (Fi’il Tsulatsi Mazid), Al-Naqd wa Al-Intiqâd. Seperti: “Intaqada Al-Kalâm aw Al-Kitâb (Dia telah mengkritik/ memberi ulasan pada ucapan atau tulisannya)”[30].
            Dalam Al-Qur’an dan Hadits sendiri tidak ditemukan kata “Al-Naqd” yang digunakan dalam arti “kritik”, namun hal ini tidak berarti bahwa konsep kritik tidak dikenal dalam Al-Qur’an. Sebab pada kenyataannya, Al-Qur’an menggunakan kata “yamiz” (QS.3:179) yang merupakan bentuk Fi’il Mudhari dari kata “maza” maksudnya yaitu, “Memisahkan dan membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain”. Kemungkinan berangkat dari konsep inilah Muslim bin Al-Hajjaj pada abad ke-3 Hijriah memberi judul bukunya yang membahas kritik Hadits dengan kitab “Tamyiz”.
            Dalam praktiknya, kata Al-Naqd jarang digunakan untuk pengertian “kritik” dikalangan Ulama Hadits terdahulu. Istilah yang populer untuk kritik Hadits adalah “Al-Jarh wa Al-Ta’dil” yaitu kritik negatif dan positif terhadap Hadits atau periwayatannya. Bila dicermati, definisi kata Al-Naqd menurut Abu Hatim Al-Razi sebagaimana dikutip oleh A’zhami yaitu “Sebagai upaya menyeleksi (membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha’if, serta menetapkan status rawi-rawinya dari segi kepercayaan atau cacat”. Maka melihat definisi ini, istilah “Al-Jarh wa Al-Ta’dil” bersangkut paut dengan “Naqd Al-Hadits.[31] 
            Istilah “Kritik Hadits” atau Al-Naqd Al-Hadits dikalangan ulama kontemporer sering dinamakan dengan “Penelitian Hadits”. Kemungkinan istilah ini untuk menghindari orang dari kesalahpahaman, karena studi kritik yang dimaksud tidak lain adalah penelitian secara cermat terhadap validitas dan otentisitas suatu Hadits. Yakni apakah suatu Hadits benar-benar bersumber dari Nabi atau tidak[32]. Jadi, secara singkat “Kritik Hadits” adalah sebagai upaya untuk membedakan antara Hadits yang benar (Shahih) dan Hadits yang salah (tidak Shahih).
Adapun definisi “Kritik” yang dikemukakan Al-Jawabi dalam kitabnya:
     Menetapkan kualitas rawi dengan nilai cacat atau ‘adil, lewat penggunaan lafazh tertentu dan menggunakan alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh para Ahli Hadits, serta dengan meneliti matan-matan Hadits yang sanadnya Shahih dalam rangka menetapkan keshahihan atau kelemahan matan tersebut, dan untuk menghilangkan kemusykilan pada Hadits Shahih yang tampak musykil maknanya serta menghapus pertentangan kandungannya melalui penerapan standar yang mendalam atau akurat[33].
            Pengertian lain tentang “Kritik Hadits” yang dinamai dengan “Kritik terhadap pola periwayatan Hadits”.
     Erfan Soebahar mengemukakan maksud dari “Kritik terhadap pola periwayatan Hadits” yaitu Suatu bentuk kritik yang pembahasannya mengkaji dan menjernihkan disekitar aktivitas periwayatan Hadits dalam bentuk atau pola tertentu. Seperti dimaklumi bahwa Hadits Nabi SAW yang sekarang terhimpun dalam kitab-kitab Hadits atau periwayatan (Riwayat Al-Hadits atau Al-Riwayah), maksudnya: “Kegiatan penerimaan, penyampaian dan penyandaran Hadits kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk atau pola tertentu”.
            Dengan arti ini, orang yang telah menerima Hadits dari seorang periwayat, tapi tidak menyampaikan haditsnya kepada orang lain, tidak dapat disebut sebagai: “Orang yang meriwayatkan Hadits”.
            Kalaupun menyampaikan Hadits yang telah diterimanya kepada orang lain, tapi ketika menyampaikan Hadits itu tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadits.
            Dengan keadaan diatas, Hadits asli dan bukan asli (buatan atau karangan), yaitu Hadits Maudhu’, menjadi obyek pembahasan. Darinya, banyak peristilahan yang muncul seperti: Shahih, Hasan, Dha’if atau Maudhu’[34].
B.       Pengertian Hadits
Menurut bahasa, “Hadits” memiliki tiga arti yaitu:
1. Baru (Jadid sebagai lawan dari qadim), yakni bentuk kalimat mufrad yang jamaknya hudatsa atau huduts. Kalimat hadatsa, yahdutsu, hudutsan berarti baru terjadi atau baru berlaku. Sedangkan ahdatsa atau Istahdatsa artinya membuat atau mengadakan sesuatu yang baru. Kalimat hadatsun jamaknya ahdatsun, dan hadîtsun jamaknya hudatsa. Dalam bahasa arab, bisa diartikan juga: “yang baru, yang muda atau pemuda”, sehingga ungkapan هذا الطالب الحديث السين diartikan: “Mahasiswa ini berumur muda”.
2. Dekat atau yang belum lama terjadi (qarib), seperti أخبرني به حديث (Orang yang baru saja masuk Kampus). Hadits dalam arti tersebut memperoleh bentuk jamak yang sama seperti diatas.
3. Berita (Khabar); dalam arti ini sering didengar kata uhdutsan yang jamaknya Ahâditsi, artinya untuk segala sesuatu yang dibicarakan dan diartikan. Dari kata itu diperoleh bentuk kata kerja haddatsa, tahdits artinya menceritakan atau memberitakan. Seperti حدثني بحديث(Dia telah mengabarkan suatu berita kepadaku) sama artinya dengan kalimat أخبرني به حديث [35].
Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata hadits daalm arti: “berita” dalam firmanNya:
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS.Al-Thûr[52]:34).
            Sedangkan hadits menurut istilah para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Hadits, hal ini dikarenakan sudut pandang dan kajian yang berbeda dari mereka. Ulama Hadits pada umumnya berpendapat bahwa hadits adalah
     Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, atau perjalanan hidup (sirah)nya. Baik sebelum diutus menjadi Nabi seperti tahannus nya Nabi di Gua Hira ataupun setelahnya”.
Adapun Ulama Ushuliyyin meringkas definisi hadits hanya kepada ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW saja[36].
Ada juga yang mengartikan hadits dalam arti luas sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Ulama Hadits:
     Hadits bukan hanya dimarfu’kan kepada Nabi SAW saja, melainkan dapat pula disebutkan pada mauquf (dihubungkan dengan perkataan dan selainnya dari sahabat) dan maqthu’ (dihubungkan dengan perkataan dan selainnya dari tabi’in)[37].
            Melihat pengertian Hadits di atas, kata Hadits disinonimkan dengan kata Sunnah. Walau pada awalnya memiliki makna tersendiri, namun pada akhirnya kata hadits dan sunnah adalah sama. Kata sunnah dalam kamus Lisan Al-‘Arab artinya jalan yang diikuti atau cara yang sudah biasa, baik tradisi itu baik atau jelek[38].
            Umat Islam memahami “sunnah” dengan cara praktis seperti yang dilakukan Rasul dan Sahabatnya dalam mengamalkan agama dan menerapkan hukum-hukumnya, Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي "[39]39
Siapa yang membenci SunnahKu, maka ia bukan dari golonganKu (HR.Shahih Ibnu Khuzaimah)
Disebutkan juga bahwa para Ahli Hadits telah mengategorikan semua yang dinisbatkan kepada Rasul SAW baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir kedalam istilah sunnah[40]
Selain kata Sunnah, padanan kata hadits juga dikenal Atsar dan Khabar. Namun penggunaan dua kata ini tidak sepopuler istilah Hadits atau Sunnah. Sebagian Ulama juga secara halus membedakan makna dua kata ini namun bukan pada tempatnya di sini kami menjelaskannya lebih terinci.
C.      Obyek, Tujuan, dan Kemungkinan Hasil Penelitian Hadits
Bagian-bagian Hadits yang menjadi obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat Hadits, yang dikenal dengan istilah sanad dan matan (materi) Hadits[41].
Sanad secara bahasa artinya bagian tertinggi di permukaan gunung atau segala sesuatu yang disandarkan ditembok. Sedangkan secara istilah adalah khabar-khabar melalui jalan matan[42] atau jalan yang menyampaikan pada matan Hadits yaitu berupa rentetan rawi-rawi yang meriwayatkan dari Rasul SAW yang dijadikan sandaran periwayatan[43].
 Matan secara bahasa adalah membuat kandang hewan yang kuat seperti benda keras yang muncul di atas tanah, dan secara istilah adalah lafazh-lafazh Hadits yang membentuk makna-makna[44] atau materi Hadits yang berada diujung sanad[45].
Tujuan pokok penelitian Hadits baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas Hadits yang diteliti yaitu kualitas Hadits berkaitan dengan kehujjahan. Sedangkan Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi standar tidak dapat dijadikan hujjah. Pemenuhan syarat ini diperlukan karena otoritas Hadits sebagai sumber hukum Islam. Penggunaan Hadits di bawah standar akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan cita-citanya.
Dari penelitian ini kita mengenal beberapa macam istilah mengenai Hadits yang dapat dijadikan hujjah atau tidak, seperti istilah Shahih, Hasan dan Dhaif. Hadits Shahih dan Hasan dapat dijadikan hujjah, sedangkan Hadits Dhaif tidak. Dalam kitab-kitab yang telah beredar, hasil dari penelitian Hadits disertakan di bagian akhir, setelah matan. Dengan diketahuinya kualitas Hadits yang bersangkutan, maka selesailah penelitian Hadits dilihat dari keadaan sanad dan matannya itu[46].
D.      Takhrij Hadits
Mahmud Thahhan menjelaskan bahwa kata takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian yaitu istinbath (hal mengeluarkan), Al-tadrib (melatih atau membiasakan), taujih (menghadapkan). Menurut istilah Ulama Hadits, takhrij diartikan “Penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari Hadits yang bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Hadits yang bersangkutan”.
Tujuan diperlukannya takhrij karena untuk mengetahui asal-usul riwayat Hadits yang akan diteliti, mengetahui seluruh riwayat bagi Hadits yang akan diteliti, dan ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’. Metode yang dipakai untuk melakukan takhrij adalah sebagai berikut:
1.         Takhrij dengan melihat sanad (rawi awal) yaitu mengenal perawi Hadits dari kalangan para Sahabat, dengan bantuan kitab Al-Athraf, kitab Al-Masanid wa Al-Ma’âjid, kitab Rijal Al-Hadits. Seperti kitab Tuhfah Al-Asyraf bi Ma’rifah Al-Athraf[47]
2.         Takhrij dengan melihat matan, ada 3 metode yaitu:
a.                   Metode Takhrij Al-Hadits bi Al-Lafzhi (takhrij yang penelusurannya melalui lafal matan “awal lafaz”), dengan bantuan kitab-kitab kamus Hadits (Kutub Al-Tis’ah dan kitab lainnya) seperti Al-Jami’ Al-Shagir karya Al-Suyuthi.
b.                   Metode Takhrij Al-Hadits bi Al-Maudhu’’ (takhrij berdasarkan topik masalah) dengan bantuan kitab kamus Hadits seperti Miftah Al-Kunuz Al-Sunnah karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (kutub Al-Tis’ah ditambah dengan Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abi Daud Al-Tayalisi, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirah Ibn Hisyam, dan Maghazi Al-Waqidi)[48].
c.                   Melihat kalimat yang penting/asing (kalimah muhimmah/gharib) contoh kitabnya adalah Mu’jam Al-Fahras li Alfâzh Al-Hadîts Al-Nabawi karya A.J.Wensink[49].
3.         Hal-hal yang berkaitan dengan Sanad dan Matan (Hal Al-Sanad wa Al-Matn) yaitu dengan metode Takhrij berdasarkan Status Hadits, seperti: ingin mencari Hadits Qudsi maka dicari di kumpulan Hadits Qudsi, ada juga kumpulan Hadits Maudhu’, Maqthu’, Mursal, Hadits-hadits yang sudah Masyur, dan lain-lain[50].
Adapun masa kini telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan modern, sehingga dalam pencarian lafazh matan Hadits bisa lebih mudah dengan menggunakan sistem Takhrij Komputerisasi untuk mencari sanad dan matan secara sekaligus seperti CD Kutub Al-Tis’ah, CD Maktabah Syamilah dan CD Jawami’ Al-Kalim.
E.       Langkah-langkah Penelitian Sanad Hadits
Setelah dilakukan kegiatan takhrij, selanjutnya dilakukan penelitian terhadap sanad. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1.    Langkah awal yang mesti dilakukan adalah seluruh hadits dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar.
a.                   I’tibar menurut bahasa adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang sejenis”, menurut istilah ilmu Hadits, i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu Hadits tertentu, dimana Hadits tersebut pada bagian sanadnya hanya tampak seorang periwayat saja. Dengan menyertakan sanad-sanad lain akan diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak.
b.                   Pembuatan Skema Sanad: Untuk mempermudah proses kegiatan i’tibar diperlukan pembuatan skema. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dari pembuatan skema yaitu jalur seluruh sanad, nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
2.    Meneliti pribadi periwayat: para ulama Hadits memfokuskan pada 5 syarat untuk meneliti sanad Hadits yaitu: a. Sanad bersambung b. Perawi bersifat ‘adil c. Perawi bersifat dhabith d. Terhindar dari kejanggalan (syudzudz) e. Terhindar dari cacat (‘illat)[51].
a. Kebersambungan Sanad
Sanad yang bersambung-sambung adalah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang menyampaikannya[52]. Sanad Hadits selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat lambang-lambang atau lafazh-lafazh yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Dari lambang-lambang itu dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat yang termuat namanya dalam sanad.
            Periwayatan Hadits yakni kegatan menerima dan menyampaikan riwayat Hadits secara lengkap, baik sanad maupun matannya yang disebut dengan Tahammul wa Al-‘adâ Al-Hadits. Tahammul adalah kegiatan menerima riwayat Hadits, sedang ‘adâ adalah kegiatan menyampaikan Hadits. Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan seperi sami’tu, sami’na, haddatsanî, haddatsana, ‘an, akhbaranâ.qâla, lanâ.
            Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti juga, karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh perawi yang tsiqah, maka ketsiqatan periwayat dalam menggunakan lambang metode periwayatan perlu dilakukan penelitian secara cermat[53].
b. Perawi bersifat ‘Adil
            Kata ‘adil dalam istilah Hadits tidak sepenuhnya sama artinya dengan kata adil dalam bahasa indonesia. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa kata adil berarti, “(1) Sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak (2) Berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. (3) Sepatutnya, tidak sewenang-wenang[54]” .
            Kata ‘adil sendiri berasal dari bahasa arab yang menurut bahasa artinya pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan ‘adil dalam istilah Ilmu Hadits adalah Orang yang muslim, baligh, berakal, selamat dari hal-hal yang menyebabkan kefasikan dan merusak muru-ah. Adapun ‘adalah adalah suatu sifat yang sudah menjadi karakter yang membawa seseorang tetap taqwa dan menjaga muru-ah.
Dengan demikian, sifat yang dapat merusak/keluar dari sifat ‘adil dan termasuk berat yaitu seperti:kafir, anak kecil, orang gila, orang ahli bid’ah, suka berdusta (kadzab), tertuduh dusta (A--Muttaham bi Al-Kadzab), berbuat atau berkata fasik (Al-Fisq), rusaknya muru-ah[55].
c. Perawi bersifat Dhabth
            Dhabth dibagi menjadi 2 macam, yaitu Dhabth Al-Shadr dan Dhabth Al-Kitab. Dhabth Al-Shadr yatu seorang rawi yang bersemangat (matanya terbuka segar semangat melihat gurunya mengajar) , tidak lalai, bahkan menghafal apa yang ia dengar dan menempelkannya dalam ingatan, sehingga memungkinkan untuk disampaikan hafalan tersebut kapanpun ia mau, serta mengetahui kandungaan makna riwayatnya. Sedangkan Dhabth Al-Kitab adalah menjaga catatannya sejak ia mendengar dari gurunya dan mengoreksi tulisannya sebelum disampaikan pada orang lain.
            Jadi yang keluar dari sifat dhabth adalah (1) Banyak wahm (banyak kelirunya). (2) Banyak berbeda dengan rawi yang lebih tsiqat. (3) Su-ul hifzhi (jelek hafalan: kemungkinan benar dan salahnya sama). (4) Syiddatu ghaflah (sangat lalai: rawi yang tidak semangat belajar dan tidak mantap/tidak teliti, serta tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah dalam periwayatan). (5) Fahsy Al-Ghalath (banyak salah: rawi yang lebih banyak salahnya daripada benarnya dalam periwayatan Hadits karena perbuatan Fahisyah yang dilakukannya). (6) Rawi yang tidak tahu lafazh-lafazh dan maksud-maksud suatu riwayat yang olehnya dijadikan dalil, tidak tahu kandungan makna riwayatnya. Maka perlu ditentukan siapa yang menyampaikan lafazh riwayat itu, agar tidak terjadi penyimpangan makna[56].
d. Terhindar dari Kejanggalan (syudzudz)
            Hadits yang syadz adalah Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqat, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang banyak dari orang yang tsiqat juga[57]. Atau dengan kata lain, kejanggalan suatu Hadits terletak karena adanya perlawanan antara suatu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima periwayatannya) dengan rawi yang lebih rajih (lebih kuat)[58]. Lawan Hadits Syadz adalah Hadits Mahfuzh. Dengan demikian Hadits yang hanya memiliki satu sanad tidak mungkin diketahui kesaydzannya.
e.  Terhindar dari Cacat (‘Illat)
Secara bahasa illat berarti penyakit, sebab, alasan atau halangan[59]. Para Ulama Hadits mengakui untuk mengetahui illat Hadits sangat sulit, bahkan ada sebagian Ulama mengatakan untuk mengetahuinya diperlukan ilham. Sebagian lagi menyatakan, mereka yang mampu melihat illat adalah mereka yang cerdas, memiliki hafalan Hadits yang banyak, faham akan Hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat kedhabithan periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan Hadits.
Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk mendeteksi illat. Yang pertama semua sanad yang berkaitan dengan objek Hadits dikumpulkan. Setelah itu, seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat dan illat Hadits[60].
3. Jarh wa Al-Ta’dil
Kata jarh secara bahasa berasal dari kata Al-Jarhu yaitu:
     Luka yang terkena pada tubuh karena pedang, atau pun berkaitan dengan nonfisik misalnya luka hati karena kata-kata yang kasar yang dilontarkan oleh seseorang, seperti mencaci, menghina[61].
Sedangkan jarh menurut istilah adalah:
Sifat seorang rawi yang dinilai buruk dalam hal ‘adalah dan dhabithnya karena
a.                   Talyin riwâyatihi (lemah riwayatnya karena rawinya shaduq, su-ul hifzi bisa naik derajatnya jika ada qarinah yang memperkuat dari segi dhabthnya oleh Hadits tertentu).
b.                   Tadh’îfihâ (Lemah karena:
1). Tadh’if Mutlaqan: Menyendiri dalam periwayatannya, bisa naik derajatnya jika ada mutabi’ yang sama-sama dha’if, maka derajatnya jadi hasan lighairi.
2). Tadh’if Muqayyadan: dha’if yang dibatasi riwayatnya oleh sebagian gurunya, negeri/kampung halamannya, atau waktu-waktu.
3). Tadh’if Nisbiyan: yang terjadi ketika diantara 2 rawi atau lebih dibandingkan. Maka hal ini tidak menetapkan derajatnya dha’if mutlaq, tetapi diperselisihkan hukumnya tergantung qarinah dengan siapa dibandingkannya)
c.  Radduha (Ditolak Riwayatnya) yaitu Dhaif sekali, tidak bisa menguatkan dan dikuatkan [62].
Sedangkan Ta’dil secara bahasa adalah:
Menyamaratakan atau menilai sesuatu dan menimbangnya dengan yang lainnya. Sedangkan ta’dil menurut istilah adalah sifat seorang rawi dalam hal diterima riwayatnya (yang dihukumi dengan Shahih lidzatihi dan Shahih lighairi)[63].
       Adapun Kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadits dikenal dalam ilmu hadits dengan istilah Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Syarat-syarat untuk mengkritik hadits adalah yang berkenaan dengan sikap pribadi yaitu: ‘Adil, tidak fanatik terhadap mazhab yang dianut, tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya termasuk yang berbeda mazhab dengannya. Sedangkan yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan: Harus memiliki pengetahuan tentang ajaran islam, Bahasa Arab, Hadits dan Ilmu Hadits, pribadi periwayat yang dikritiknya, adat yang berlaku, dan sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat utama dan tercela yang dimiliki periwayat.
Dalam mengemukakan kritik, sikap Ahli Kritik Hadits ada yang ketat (tasyadud), longgar (tasahul), dan ada yang berada diantara kedua sikap itu “pertengahan” (mutawassith). Dalam ilmu Jarh wa Al-Ta’dil pun memiliki lafazh-lafazh/bentuk-bentuknya sesuai dengan keadaan para periwayat, maka para Ulama menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka[64]. Untuk mengetahui ketiga sikap para ulama dan bentuk-bentuk Jarh wa Al-Ta’dil, dapat dilihat lebih mendalam di Dlawabith Al-Jarh wa Al-Ta’dil karya Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Abdul Latif.
4. Menyimpulkan hasil penelitian Sanad Hadits: Hasil penelitian harus berupa natijah yang disertai alasan-alasan yang jelas. Isi natijahnya mungkin berupa pernyataan bahwa Hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak, maka Hadits itu berstatus Ahad. Sedangkan untuk penelitian Hadits Ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa Hadits yang bersangkutan berkualitas Shahih, Hasan, atau Dha’if yang disertai macamnya sesuai apa yang telah diteliti.
F.       Langkah-langkah Penelitian Matan Hadits
Kajian tentang matan Hadits biasanya bertumpu pada kriteria keshahihan atau kedhaifan suatu matan dalam sebuah Hadits dan langkah-langkah metodologis mengenai penelitian matan ini dapat dikatakan relatif baru. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Syuhudi Ismail menawarkan suatu langkah metodologis sebagai berikut: (a) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya. (b) Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna. (c) Meneliti kandungan matan[65]
Langkah pertama, penelitian matan adalah dengan melihat kualitas sanadnya. para Ulama Hadits mendahulukan penelitian sanad daripada matan bukan berarti sanad lebih penting, melainkan karena penelitian matan barulah berarti jika sanad matan yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Seperti di jelaskan di muka, rangkaian sanad ini menjadi mata rantai yang menghubungkan matan dengan Nabi. Apabila ada satu ungkapan yang oleh pihak-pihak tertentu dinyatakan sebagai Hadits Nabi, padahal ungkapan tersebut sama sekali tidak memiliki sanad, maka dapat dipastikan ungkapan itu Hadits Palsu.
Dengan demikian kita dapat memahami para Ulama Hadits, mengapa mereka baru melakukan kajian tentang matan setelah melihat kualitas sanadnya. Hadits yang kualitas sanadnya Dhaif tak perlu diteliti lagi matannya karena tidak akan memberi manfaat bagi kehujjahan Hadits yang bersangkutan.
Secara sepintas, apabila ada sebuah Hadits yang sanadnya Shahih, berarti benarlah matannya berasal dari Nabi, tapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Terkadang kualitas sanad tidak sejalan dengan matannya, kerap kali kita menemukan terdapat Hadits yang kualitas sanadnya Dhoif tapi matannya sejalan dengan Al-Quran atau Hadits senada yang sanadnya Shohih. Adakalanya juga terdapat Hadits yang sanadnya Shahih tetapi matannya Dhoif. Hal ini, menurut Syuhudi Ismail bukan disebabkan oleh kaedah keshahihan sanad yang kurang akurat, melainkan karena faktor-faktor lain yang telah terjadi, misalnya saja:
1.      Terjadi kesalahan dalam menggunakan pendekatan dalam penelitian matan
2.      Telah terjadi kesalahan dalam penelitian sanad
3.      Matan Hadits yang bersangkutan telah diriwayatkan secara makna yang ternyata mengalami kesalah-pahaman.[66]
Langkah kedua, dalam penelitian matan adalah meneliti susunan lafal matan yang semakna. Cukup banyak matan Hadits yang semakna dengan sanad yang sama-sama Shahihnya tersusun dengan lafal yang berbeda. Perbedaan ini bisa disebabkan lupa, salah faham (dalam meriwayatkan secara makna), atau mungkin karena tidak tahu matan Hadits yang bersangkutan telah dimansukh (dihapuskan) oleh ayat maupun Hadits yang datang kemudian, maka untuk meneliti hal ini biasanya dengan metode muqoronah. Metode muqaranah (perbandingan) tidak hanya ditunjukan kepada lafal-lafal matan saja, tetapi juga kepada masing-masing sanadnya.
Dengan menempuh metode ini, maka akan diketahui apakah terjadinya perbedaan lafazh pada matan masih dapat ditoleransi atau tidak. Hal ini dilakukan sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dari Rasul SAW[67]. Selanjutnya Azami mengungkapkan beberapa cara yang biasa dilakukan dalam penelitian ini:
1.    Memperbandingkan antara Hadits yang disampaikan oleh berbagai murid dari seorang ulama
2.    Memperbandingkan antara pernyataan seorang ulama dalam kurun waktu tertentu
3.    Perbandingan antara pembacaan lisan dengan dokumen tertulis
4.    Perbandingan antara Hadits dan ayat Qur’an yang berkaitan [68]
Dengan metode ini dapat dibedakan yang mana matan Hadits yang mengalami idraj atau ziyadah.[69]
Langkah terakhir dalam penelitian matan adalah meneliti kandungan matan. Dilihat dari bentuk matannya, Hadits Nabi ada yang berupa jami` Al-kalam (ungkapan yang singkat padat), tamsil (perumpamaan), ramzi (ungkapan simbolik), bahasa percakapan (dialog) dan qiyasi (ungkapan analogi).[70]
Penelitian terhadap matan ini menentukan tuntutan pemahaman atasnya. Apakah Hadits tersebut mesti difahami secara tekstual atau kontekstual dan apakah Hadits tersebut berlaku secara temporal, personal dan lokal atau universal, berlaku bagi semua orang, di semua tempat dan di sepanjang masa. Untuk mengetahui hal itu penelitian dilakukan dengan mengkaji latar belakang Hadits tersebut muncul (asbabul wurud). Dari penelitian ini kita dapat mengetahui beberapa kriteria Hadits: (1) Hadits yang tidak mempunyai sebab secara khusus (2) Hadits yang mempunyai sebab secara khusus (3) Hadits yang berkaitan dengan peristiwa aktual saat itu.
Berbeda dengan penelitian sanad, penelitian terhadap matan hanya terdiri dari dua macam yaitu syadz dan illah. Dan seperti dalam penelitian sanad, penelitian hal ini dalam matan juga sangat sulit. Shalahuddin Al-Adalbî menyimpulkan ada empat tolok ukur penelitian matan yaitu;
    (1) tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan Hadits yang lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan fakta sejarah; dan (4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[71]Apabila kandungan matan sejalan atau tidak bertentangan dengan keterangan-keterangan lain dalam topik yang sama, maka kegiatan penelitian dapat dikatakan selesai. Namun jika ternyata kandungan matan bertentangan dengan keterangan lain, penelitian mesti dilanjutkan. Banyak ulama menawarkan solusi untuk masalah ini, namun menurut Ismail, pendapat Al-Asqalanilah yang lebih akomodatif karena lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. solusi itu adalah (1) Al-Taufîq (Al-Jam'u atau Al-Talfîq); (2) Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh; (3) Al-Tarjîh; dan (4) Al-Tauqîf [72].



[27]Departement Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet.ke-3, Ed.IV, hlm.742
[28]David Alan Herzog, Webster’s New World Essential Vocabulary, (Canada: Published Simultaneously, 2005), hlm.69-70
[29]Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Kairo: Darul Ma’arif), Juz 50, hlm.4517
[30]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia),(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet.ke-.7, Ed.2, hlm.1452
[31]Azis Asmana, Syarah dan Kritik dengan Metode Takhrij Hadits tentang Wasiat Ali dan Implikasinya terhadap Akidah dan Konsep Imamah Syi’ah, Tesis Program Pasca Sarjana, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2012), hlm.121-122, t.d.
[32]Salah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, diterjemahan oleh: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan Hadits, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), cet.ke-1, hlm.vi
[33]Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif al-Nabawi, (Tunis: Muassasah Abdul Karim bin Abdullah, t.th), hlm.94
[34]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, (Bogor: Kencana, 2003), cet.ke-1, hlm.136
[35]Munir Subarman, dkk, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Cirebon: Badan Penerbit IAIN, 1994), hlm.1-2
[36] Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsun, hlm.59                              
[37] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, hlm.13
[38] Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 24, hlm.2124
[39]Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Silmi al-Naisaburi, Shahih Ibnu Khuzaimah,  (t.t: Maktabah al-Islam, t.th), Jilid 1, hlm.99
[40]Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits, Manhaj al-Muhadditsin fi Dhabth al-Sunnah, terjemahan oleh: A.Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998), cet.ke-1, hlm.17-23
[41]M.Syuhudi Isma’il, Metodologi penelitian, hlm.21
[42]Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsun, hlm.87
[43]Mahmud Ali, Metodologi Penetapan, hlm.13
[44]Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsun, hlm.88-89
[45]Mahmud Ali, Metodologi Penetapan, hlm.13
[46]M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian, hlm.27-37
[47]Muhammad Mahmud Bakkar, ‘Ilmu Takhrij al-Hadits, (Riyadh: Dar Tayyibah, 1997), cet.ke-3, hlm.103 -105
[48]M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, hlm.44-47
[49]Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadits, (Bandung: Tafakur, 2012), cet.ke-1, hlm.28
[50] Ibid, hlm.128
[51]M.Syuhudi, Metodologi penelitian, hlm.49-50
[52]Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah, hlm.100
[53]Ibid, hlm.78-80
[54] Departement RI, Kamus Besar, hlm.10
[55]Abd al-Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Abdul Latif, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dil, (al-Madinah al-Munawwarah: al-Mumlakah al-Arabiyah as-Su-udiyah, t,th), hlm.12 
[56] Ibid, hlm.13-14
[57] M.Syuhudi, Moetodologi Penelitian, hlm.82
[58] Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah, hlm.100
[59]Ahmad, al-Munawwir, hlm.965.
[60]M.Syuhudi, Metodologi penelitian, hlm.83-84
[61]Ibnu Manzur, Lisanul Araab, Juz 8, hlm.586
[62]Abdul ‘Aziz, Dlawabith, hlm.10-11
[63]Ibid
[64] M.Syuhudi, Metodologi Penelitian, hlm.68-72
[65]Ibid,  hlm. 113.
[66]Ibid, hlm.116
[67] Ibid, hlm.127; Pertama, Metode Pemahaman (syarah) Hadits ini adalah menggunakan metode muqaran. Metodologi pemahaman (syarah) Hadits Yaitu ilmu tentang metode memahami Hadits. Jadi, metode syarah adalah cara-cara memahami Hadits, sementara metodologi syarah adalah ilmu tentang cara itu. Sedangkan metode muqaran adalah metode memahami Hadits dengan cara (1) Membandingkan Hadits yang memiliki redaksi yang sama/mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang berbeda (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah Hadits. Jadi metode ini dalam memahami Hadits tidak hanya membandingkan Hadits dengan Hadits lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah Hadits. Diantara kitab yang menggunakan metode Muqaran adalah Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukharikarya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud al-‘Aini, dan lain-lain.
Ciri-ciri metode Muqaran: (1) Membandingkan analisis redaksional (mabahits lafzhiyyah) dan perbandigan para periwayat, kandungan matan dari masing-masing Hadits yang dperbandingkan (2) Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh Hadits tersebut (3) Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) Hadits maupun kolerasi (munasabah) antara Hadits dengan Hadits. Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan Hadits dengan Hadits dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah Hadits.
Kelebihan metode ini: (1) Memberikan wawasan pemahaman yang relative luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lain (2) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda (3) Pemahaman dengan metode muqaran sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah Hadits (4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai Hadits serta pendapat-pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan metode ini: (1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan (2) Tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah (3) Terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru. Lihat di Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta: Center of Educational Studies and Development (CESAD) YPI al-Rahmah, 2001), hlm.44-52.
Untuk dapat memahami Hadits dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu dalam memahami Hadits,  Yusuf Qardwawi memberikan beberapa pedoman yaitu: (1) Mengetahui petunjuk al-Qur’an yang berkenaan dengan Hadits tersebut (2) Menghimpun Hadits-hadits yang setema (3) Menggabungkan dan mentarjih Hadits-hadits yang tampak bertentangan (4) Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi Hadits ketika diucapkan, diperbuat serta tujuannya (5) Mampu mebedakan antara sasaran yang berubah-ubah dengan sasaran yang tetap (6) Mampu membedakan antara ungkapan yang sebenarnya dan bersifat metafora (7) Mampu membedakan antara Hadits yang berkenaan dengan alam ghaib (tidak kasat mata) dengan yang tembus pandang (8) Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam Hadits. Lihat di Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, (Bandung: Kharisma, 1993), hlm.92; Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, oleh: Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, terjemahan dari: al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyah, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), cet.ke-1, hlm.156-274.
Kedua, Metodologi dalam Memahami Hadits ini seperti dikatakan Yusuf Al-Qardhawi yaitu “Tidak Menolak Hadits Shahih yang Sulit Dipahami”: Jika kita bersikap tergesa-gesa dalam menolak Hadits yang sulit dipahami-padahal Hadits itu shahih- termasuk tindakan keliru yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka selalu berpraduga baik terhadap terhadap tokoh-tokoh terdahulu. Jika terbukti mereka menerima suatu Hadits dan tidak ada seorang imam yang kompeten menolaknya, itu pasti karena mereka tidak melihat adanya keganjilan (syudzudz) atau cacat (illat) yang merusak pada Hadits tersebut. Oleh karena itu, seorang pakar yang jujur seharusnya menerima Hadits tersebut sambil mencari maknanya yang rasional atau penakwilan yang sesuai. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pandangan antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Kaum Mu’tazilah segera menolak Hadits-hadits sulit yang bertentangan dengan prinsip-prinsip mereka, baik yang bersifat ilmiah maupun teologis. Sementara Ahlu Sunnah berupaya memikirkan penakwilannya, mensinkronkan serta menyelaraskan di antara Hadits-hadits yang terlihat bertentangan. Dalam kerangka inilah Imam Abu Muhammad bin Qutaibah (w.267H) menulis Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits sebagai sanggahan atas pandangan-pandangan kaum Mu’tazilah terhadap beberapa Hadits yang menurut mereka bertentangan dengan al-Qur’an, akal, fakta, atau dengan Hadits-hadits lain. Kemudian, muncul pakar Hadits dari kalangan mazhab Hanafi, Imam Abu Ja’far Al-Thahawi (w.321H) yang menulis Musykil al-Atsar (empat jilid). Ia berupaya melakukan penakwilan yang dapat diterima atau pemaknaan yang dapat diterima akal terhadap Hadits-hadits yang sulit (musykil) tersebut. Berdasarkan hal itu, diperlukan analisis optimal terhadap Hadits yang telah terbukti berasal dari Nabi SAW (Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, terjemah dari: al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah, oleh: Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, (Bandung: CV.Pustaka setia, 2007), cet.ke-1, hlm.148)
[68]Perincian metode ini lihat Azami, Metodologi Kritik Hadits, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 87-95.
[69]Idrâj dan ziyâdah adalah tambahan pada matan hadits. Bedanya, idrâj berasal dari diri periwayat sedangkan ziyâdah bagian tak terpisahkan dari matan hadits nabi. Lihat Ismail, Metodologi, hlm. 127-133
[70]Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Bulan Bintang, Jakarta, 1994 hlm. 9
[71]Al-Adalbi, Manhaj Naqd al-Matn, hlm.  238
[72]M.Syuhudi, Metodologi Penelitian, hlm. 137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar