BAB II
TINJAUAN TEORITIK
TENTANG METODOLOGI KRITIK HADITS
A.
Pengertian
Kritik Hadits
Untuk mengetahui kualifikasi dan kehujjahan sebuah Hadits
dapat dilakukan suatu Kritik Hadits atau Naqd Al-Hadits. Kata “kritik”
dalam bahasa Indonesia memiliki arti, “Berusaha menemukan kekeliruan atau
kesalahan“, identik dengan kata “menyeleksi” yang secara kosakata memeiliki
arti “menyaring atau memilih”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia sendiri, kritik
adalah kecaman
atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya[27].
Sedangkan kata “kritik” dalam
bahasa inggris yaitu “critic” yang memiliki
arti:
1.
Someone
who makes judgments of people or things based on certain standards (Orang yang membuat penilaian
pada seseorang atau benda berdasarkan pada standar tertentu)
2.
Such a
person whose occupation is to write or broadcast such
judgments of books, music, paintings, etc (. Seperti orang yang pekerjaannya adalah untuk
menulis atau broadcast yaitu membuat penilaian (terhadap pekerjaannya)
seperti buku, musik, lukisan, dan lain lain)
3.
A
person who indulges in finding fault with everything
(Orang yang sekehendak hatinya
mencari kesalahan dengan segala macam cara atau hal)[28].
Adapun kata “kritik” dalam bahasa Arab
biasa digunakan dengan istilah “naqd”. Dalam Lisanul ‘Arab, kata Al-Naqd
adalah mashdar dari akar kata naqada, yanqudu, naqdan, intaqada, tanaqqada yaitu
kebalikan dari Al-Sayyi-ah (kesalahan, dosa, kejahatan, jelek).
Sedangkan Al-Naqd wa Al-Tanqâd artinya “Ia memisahkan uang
yang baik dari yang buruk (palsu)”.[29]. Sedangkan
dalam Kamus Munawwir, kata naqd yang bermakna “kritik” itu adalah intaqada
(Fi’il Tsulatsi Mazid), Al-Naqd wa Al-Intiqâd.
Seperti: “Intaqada Al-Kalâm aw Al-Kitâb (Dia telah mengkritik/ memberi ulasan pada ucapan
atau tulisannya)”[30].
Dalam Al-Qur’an dan Hadits sendiri tidak ditemukan
kata “Al-Naqd” yang digunakan dalam arti “kritik”, namun hal ini tidak
berarti bahwa konsep kritik tidak dikenal dalam Al-Qur’an. Sebab pada
kenyataannya, Al-Qur’an menggunakan kata “yamiz” (QS.3:179) yang
merupakan bentuk Fi’il Mudhari dari kata “maza” maksudnya yaitu,
“Memisahkan dan membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain”. Kemungkinan
berangkat dari konsep inilah Muslim bin Al-Hajjaj pada abad ke-3 Hijriah
memberi judul bukunya yang membahas kritik Hadits dengan kitab “Tamyiz”.
Dalam
praktiknya, kata Al-Naqd jarang digunakan untuk pengertian “kritik”
dikalangan Ulama Hadits terdahulu. Istilah yang populer untuk kritik Hadits
adalah “Al-Jarh wa Al-Ta’dil” yaitu kritik negatif dan positif terhadap
Hadits atau periwayatannya. Bila dicermati, definisi kata Al-Naqd
menurut Abu Hatim Al-Razi sebagaimana dikutip oleh A’zhami yaitu “Sebagai upaya
menyeleksi (membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha’if, serta menetapkan
status rawi-rawinya dari segi kepercayaan atau cacat”. Maka melihat definisi
ini, istilah “Al-Jarh wa Al-Ta’dil” bersangkut paut dengan “Naqd Al-Hadits”.[31]
Istilah
“Kritik Hadits” atau Al-Naqd Al-Hadits dikalangan ulama kontemporer
sering dinamakan dengan “Penelitian Hadits”. Kemungkinan istilah ini untuk
menghindari orang dari kesalahpahaman, karena studi kritik yang dimaksud tidak
lain adalah penelitian secara cermat terhadap validitas dan otentisitas suatu Hadits.
Yakni apakah suatu Hadits benar-benar bersumber dari Nabi atau tidak[32]. Jadi,
secara singkat “Kritik Hadits” adalah sebagai upaya untuk membedakan antara
Hadits yang benar (Shahih) dan Hadits yang salah (tidak Shahih).
Adapun definisi “Kritik” yang dikemukakan
Al-Jawabi dalam kitabnya:
Menetapkan kualitas rawi dengan nilai cacat atau ‘adil, lewat penggunaan
lafazh tertentu dan menggunakan alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh para
Ahli Hadits, serta dengan meneliti matan-matan Hadits yang sanadnya Shahih
dalam rangka menetapkan keshahihan atau kelemahan matan tersebut, dan untuk menghilangkan
kemusykilan pada Hadits Shahih yang tampak musykil maknanya serta menghapus
pertentangan kandungannya melalui penerapan standar yang mendalam atau akurat[33].
Pengertian
lain tentang “Kritik Hadits” yang dinamai dengan “Kritik terhadap pola
periwayatan Hadits”.
Erfan Soebahar mengemukakan maksud dari “Kritik terhadap pola
periwayatan Hadits” yaitu Suatu bentuk kritik yang pembahasannya mengkaji dan
menjernihkan disekitar aktivitas periwayatan Hadits dalam bentuk atau pola tertentu.
Seperti dimaklumi bahwa Hadits Nabi SAW yang sekarang terhimpun dalam
kitab-kitab Hadits atau periwayatan (Riwayat Al-Hadits atau Al-Riwayah),
maksudnya: “Kegiatan penerimaan, penyampaian dan penyandaran Hadits kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk atau pola tertentu”.
Dengan
arti ini, orang yang telah menerima Hadits dari seorang periwayat, tapi tidak
menyampaikan haditsnya kepada orang lain, tidak dapat disebut sebagai: “Orang
yang meriwayatkan Hadits”.
Kalaupun
menyampaikan Hadits yang telah diterimanya kepada orang lain, tapi ketika menyampaikan
Hadits itu tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut juga
tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadits.
Dengan
keadaan diatas, Hadits asli dan bukan asli (buatan atau karangan), yaitu Hadits
Maudhu’, menjadi obyek pembahasan. Darinya, banyak peristilahan yang muncul
seperti: Shahih, Hasan, Dha’if atau Maudhu’[34].
B.
Pengertian Hadits
Menurut bahasa, “Hadits” memiliki tiga arti yaitu:
1. Baru (Jadid sebagai lawan dari qadim),
yakni bentuk kalimat mufrad yang jamaknya hudatsa atau huduts.
Kalimat hadatsa, yahdutsu, hudutsan berarti baru terjadi atau baru
berlaku. Sedangkan ahdatsa atau Istahdatsa artinya membuat atau
mengadakan sesuatu yang baru. Kalimat hadatsun jamaknya ahdatsun, dan
hadîtsun jamaknya hudatsa. Dalam bahasa arab, bisa
diartikan juga: “yang baru, yang muda atau pemuda”, sehingga ungkapan هذا الطالب الحديث
السين diartikan: “Mahasiswa ini berumur muda”.
2. Dekat atau yang belum lama terjadi (qarib),
seperti أخبرني به حديث (Orang yang baru saja masuk Kampus).
Hadits dalam arti tersebut memperoleh bentuk jamak yang sama seperti diatas.
3. Berita (Khabar); dalam arti ini sering didengar
kata uhdutsan yang jamaknya Ahâditsi, artinya untuk segala
sesuatu yang dibicarakan dan diartikan. Dari kata itu diperoleh bentuk kata
kerja haddatsa, tahdits artinya menceritakan atau memberitakan.
Seperti حدثني بحديث(Dia telah mengabarkan suatu berita
kepadaku) sama artinya dengan kalimat أخبرني به حديث
[35].
Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan
kata hadits daalm arti: “berita” dalam firmanNya:
فَلْيَأْتُوا
بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang
semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS.Al-Thûr[52]:34).
Sedangkan
hadits menurut istilah para Ulama berbeda
pendapat mengenai pengertian Hadits, hal ini dikarenakan sudut pandang dan
kajian yang berbeda dari mereka. Ulama Hadits pada umumnya berpendapat bahwa hadits adalah
Segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat,
kelakuan, atau perjalanan hidup (sirah)nya. Baik sebelum diutus menjadi
Nabi seperti tahannus nya Nabi di Gua Hira ataupun setelahnya”.
Adapun Ulama Ushuliyyin meringkas definisi hadits hanya
kepada ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW saja[36].
Ada juga yang mengartikan hadits dalam arti luas
sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Ulama Hadits:
Hadits bukan
hanya dimarfu’kan kepada Nabi SAW saja, melainkan dapat pula disebutkan
pada mauquf (dihubungkan dengan perkataan dan selainnya dari sahabat)
dan maqthu’ (dihubungkan dengan perkataan dan selainnya dari tabi’in)[37].
Melihat
pengertian Hadits di atas, kata Hadits disinonimkan dengan kata Sunnah.
Walau pada awalnya memiliki makna tersendiri, namun pada akhirnya kata hadits
dan sunnah adalah sama. Kata sunnah dalam kamus Lisan Al-‘Arab
artinya jalan yang diikuti atau cara yang sudah biasa, baik tradisi itu baik
atau jelek[38].
Umat
Islam memahami “sunnah” dengan cara praktis seperti yang dilakukan Rasul
dan Sahabatnya dalam mengamalkan agama dan menerapkan hukum-hukumnya,
Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
Siapa
yang membenci SunnahKu, maka ia bukan dari golonganKu (HR.Shahih Ibnu Khuzaimah)
Disebutkan juga bahwa para Ahli Hadits telah
mengategorikan semua yang dinisbatkan kepada Rasul SAW baik perkataan, perbuatan,
maupun taqrir kedalam istilah sunnah[40].
Selain kata Sunnah, padanan kata
hadits juga dikenal Atsar dan Khabar. Namun penggunaan dua kata ini
tidak sepopuler istilah Hadits atau Sunnah. Sebagian Ulama juga secara halus
membedakan makna dua kata ini namun bukan pada tempatnya di sini kami
menjelaskannya lebih terinci.
C.
Obyek, Tujuan, dan Kemungkinan Hasil Penelitian
Hadits
Bagian-bagian Hadits yang menjadi
obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang
menyampaikan riwayat Hadits, yang dikenal dengan istilah sanad dan matan
(materi) Hadits[41].
Sanad secara bahasa artinya bagian
tertinggi di permukaan gunung atau segala sesuatu yang disandarkan ditembok.
Sedangkan secara istilah adalah khabar-khabar melalui jalan matan[42] atau
jalan yang menyampaikan pada matan Hadits yaitu berupa rentetan rawi-rawi yang
meriwayatkan dari Rasul SAW yang dijadikan sandaran periwayatan[43].
Matan secara bahasa adalah membuat kandang
hewan yang kuat seperti benda
keras yang muncul di atas tanah, dan
secara istilah adalah lafazh-lafazh Hadits yang membentuk makna-makna[44] atau
materi Hadits yang berada diujung sanad[45].
Tujuan pokok penelitian Hadits
baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas Hadits yang
diteliti yaitu kualitas Hadits berkaitan dengan kehujjahan. Sedangkan Hadits
yang kualitasnya tidak memenuhi standar tidak dapat dijadikan hujjah. Pemenuhan
syarat ini diperlukan karena otoritas Hadits sebagai sumber hukum Islam.
Penggunaan Hadits di bawah standar akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai
dengan cita-citanya.
Dari penelitian ini kita mengenal
beberapa macam istilah mengenai Hadits yang dapat dijadikan hujjah atau tidak,
seperti istilah Shahih, Hasan dan Dhaif. Hadits Shahih dan Hasan dapat
dijadikan hujjah, sedangkan Hadits Dhaif tidak. Dalam kitab-kitab yang telah
beredar, hasil dari penelitian Hadits disertakan di bagian akhir, setelah
matan. Dengan diketahuinya kualitas Hadits yang bersangkutan, maka selesailah
penelitian Hadits dilihat dari keadaan sanad dan matannya itu[46].
D.
Takhrij Hadits
Mahmud Thahhan menjelaskan bahwa kata takhrij
menurut pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang
berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata takhrij sering dimutlakkan pada
beberapa macam pengertian yaitu istinbath (hal mengeluarkan), Al-tadrib
(melatih atau membiasakan), taujih (menghadapkan). Menurut istilah
Ulama Hadits, takhrij diartikan “Penelusuran atau pencarian hadits pada
berbagai kitab sebagai sumber asli dari Hadits yang bersangkutan, yang didalam
sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Hadits yang
bersangkutan”.
Tujuan diperlukannya takhrij karena
untuk mengetahui asal-usul riwayat Hadits yang akan diteliti, mengetahui seluruh
riwayat bagi Hadits yang akan diteliti, dan ada atau tidak adanya syahid
dan mutabi’. Metode yang dipakai untuk melakukan takhrij adalah sebagai
berikut:
1.
Takhrij dengan melihat sanad (rawi awal) yaitu mengenal perawi Hadits dari
kalangan para Sahabat, dengan bantuan kitab Al-Athraf, kitab Al-Masanid
wa Al-Ma’âjid, kitab Rijal Al-Hadits. Seperti kitab Tuhfah
Al-Asyraf bi Ma’rifah Al-Athraf[47]
2.
Takhrij dengan melihat matan, ada 3 metode yaitu:
a.
Metode Takhrij Al-Hadits bi Al-Lafzhi (takhrij yang penelusurannya
melalui lafal matan “awal lafaz”), dengan bantuan kitab-kitab kamus Hadits
(Kutub Al-Tis’ah dan kitab lainnya) seperti Al-Jami’ Al-Shagir karya
Al-Suyuthi.
b.
Metode Takhrij Al-Hadits bi Al-Maudhu’’ (takhrij berdasarkan topik
masalah) dengan bantuan kitab kamus Hadits seperti Miftah Al-Kunuz Al-Sunnah karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (kutub Al-Tis’ah ditambah dengan Musnad Zaid
bin Ali, Musnad Abi Daud Al-Tayalisi, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirah Ibn Hisyam,
dan Maghazi Al-Waqidi)[48].
c.
Melihat kalimat yang penting/asing (kalimah muhimmah/gharib)
contoh kitabnya adalah Mu’jam Al-Fahras li Alfâzh Al-Hadîts Al-Nabawi karya
A.J.Wensink[49].
3.
Hal-hal yang berkaitan dengan Sanad dan Matan (Hal Al-Sanad wa Al-Matn)
yaitu dengan metode Takhrij berdasarkan Status Hadits, seperti: ingin mencari
Hadits Qudsi maka dicari di kumpulan Hadits Qudsi, ada juga kumpulan Hadits
Maudhu’, Maqthu’, Mursal, Hadits-hadits yang sudah Masyur, dan lain-lain[50].
Adapun
masa kini telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan modern, sehingga dalam
pencarian lafazh matan Hadits bisa lebih mudah dengan menggunakan sistem Takhrij
Komputerisasi untuk mencari sanad dan matan secara sekaligus seperti CD Kutub
Al-Tis’ah, CD Maktabah Syamilah dan CD Jawami’ Al-Kalim.
E.
Langkah-langkah Penelitian Sanad Hadits
Setelah dilakukan kegiatan takhrij,
selanjutnya dilakukan penelitian terhadap sanad. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
1.
Langkah awal yang mesti dilakukan adalah seluruh hadits dicatat dan
dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar.
a.
I’tibar menurut bahasa adalah
“peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu
yang sejenis”, menurut istilah ilmu Hadits, i’tibar berarti menyertakan
sanad-sanad lain untuk suatu Hadits tertentu, dimana Hadits tersebut pada
bagian sanadnya hanya tampak seorang periwayat saja. Dengan menyertakan
sanad-sanad lain akan diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak.
b.
Pembuatan Skema Sanad: Untuk mempermudah proses kegiatan i’tibar
diperlukan pembuatan skema. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dari pembuatan
skema yaitu jalur seluruh sanad, nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, dan
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
2.
Meneliti pribadi periwayat: para ulama Hadits memfokuskan pada 5 syarat
untuk meneliti sanad Hadits yaitu: a. Sanad bersambung b. Perawi bersifat ‘adil
c. Perawi bersifat dhabith d. Terhindar dari kejanggalan (syudzudz)
e. Terhindar dari cacat (‘illat)[51].
a. Kebersambungan Sanad
Sanad yang bersambung-sambung adalah
sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat
saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang menyampaikannya[52]. Sanad
Hadits selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat lambang-lambang atau
lafazh-lafazh yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan
oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Dari lambang-lambang itu dapat
diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat yang
termuat namanya dalam sanad.
Periwayatan
Hadits yakni kegatan menerima dan menyampaikan riwayat Hadits secara lengkap,
baik sanad maupun matannya yang disebut dengan Tahammul wa Al-‘adâ Al-Hadits. Tahammul adalah kegiatan menerima riwayat Hadits, sedang ‘adâ adalah kegiatan menyampaikan Hadits.
Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan seperi sami’tu, sami’na,
haddatsanî,
haddatsana, ‘an, akhbaranâ.qâla, lanâ.
Untuk
mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya suatu sanad, maka hubungan
antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti juga, karena
tadlis masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh perawi
yang tsiqah, maka ketsiqatan periwayat dalam menggunakan lambang metode
periwayatan perlu dilakukan penelitian secara cermat[53].
b. Perawi bersifat ‘Adil
Kata ‘adil dalam istilah Hadits tidak
sepenuhnya sama artinya dengan kata adil dalam bahasa indonesia. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa kata adil berarti, “(1) Sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak (2)
Berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. (3) Sepatutnya, tidak
sewenang-wenang[54]” .
Kata
‘adil sendiri berasal dari bahasa arab yang menurut bahasa artinya
pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan ‘adil dalam
istilah Ilmu Hadits adalah Orang yang muslim, baligh, berakal, selamat dari
hal-hal yang menyebabkan kefasikan dan merusak muru-ah. Adapun ‘adalah
adalah suatu sifat yang sudah menjadi karakter yang membawa seseorang tetap
taqwa dan menjaga muru-ah.
Dengan demikian, sifat yang dapat
merusak/keluar dari sifat ‘adil dan termasuk berat yaitu seperti:kafir,
anak kecil, orang gila, orang ahli bid’ah, suka berdusta (kadzab),
tertuduh dusta (A--Muttaham bi Al-Kadzab), berbuat atau berkata fasik (Al-Fisq),
rusaknya muru-ah[55].
c. Perawi bersifat Dhabth
Dhabth dibagi menjadi 2 macam, yaitu Dhabth Al-Shadr dan Dhabth
Al-Kitab. Dhabth Al-Shadr yatu seorang rawi yang bersemangat (matanya
terbuka segar semangat melihat gurunya mengajar) , tidak lalai, bahkan
menghafal apa yang ia dengar dan menempelkannya dalam ingatan, sehingga
memungkinkan untuk disampaikan hafalan tersebut kapanpun ia mau, serta
mengetahui kandungaan makna riwayatnya. Sedangkan Dhabth Al-Kitab adalah
menjaga catatannya sejak ia mendengar dari gurunya dan mengoreksi tulisannya
sebelum disampaikan pada orang lain.
Jadi
yang keluar dari sifat dhabth adalah (1) Banyak wahm (banyak
kelirunya). (2) Banyak berbeda dengan rawi yang lebih tsiqat. (3) Su-ul
hifzhi (jelek hafalan: kemungkinan benar dan salahnya sama). (4) Syiddatu
ghaflah (sangat lalai: rawi yang tidak semangat belajar dan tidak
mantap/tidak teliti, serta tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah
dalam periwayatan). (5) Fahsy Al-Ghalath (banyak salah: rawi yang lebih
banyak salahnya daripada benarnya dalam periwayatan Hadits karena perbuatan Fahisyah
yang dilakukannya). (6) Rawi yang tidak tahu lafazh-lafazh dan maksud-maksud
suatu riwayat yang olehnya dijadikan dalil, tidak tahu kandungan makna riwayatnya.
Maka perlu ditentukan siapa yang menyampaikan lafazh riwayat itu, agar tidak
terjadi penyimpangan makna[56].
d. Terhindar dari Kejanggalan (syudzudz)
Hadits yang syadz adalah Hadits yang diriwayatkan
oleh orang yang tsiqat, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang
banyak dari orang yang tsiqat juga[57]. Atau
dengan kata lain, kejanggalan suatu Hadits terletak karena adanya perlawanan antara
suatu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima
periwayatannya) dengan rawi yang lebih rajih (lebih kuat)[58]. Lawan
Hadits Syadz adalah Hadits Mahfuzh. Dengan
demikian Hadits yang hanya memiliki satu sanad tidak mungkin diketahui kesaydzannya.
e. Terhindar
dari Cacat (‘Illat)
Secara bahasa illat berarti penyakit, sebab, alasan atau halangan[59].
Para Ulama Hadits mengakui untuk mengetahui illat Hadits sangat sulit, bahkan ada
sebagian Ulama mengatakan untuk mengetahuinya diperlukan ilham. Sebagian lagi
menyatakan, mereka yang mampu melihat illat
adalah mereka yang cerdas, memiliki hafalan Hadits yang banyak, faham akan Hadits
yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat kedhabithan
periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan Hadits.
3. Jarh wa Al-Ta’dil
Kata jarh
secara bahasa berasal dari kata Al-Jarhu yaitu:
Luka yang terkena pada tubuh karena
pedang, atau pun berkaitan dengan nonfisik misalnya luka hati karena kata-kata
yang kasar yang dilontarkan oleh seseorang, seperti mencaci, menghina[61].
Sedangkan jarh menurut istilah adalah:
Sifat seorang rawi yang dinilai buruk dalam hal ‘adalah
dan dhabithnya karena
a.
Talyin riwâyatihi
(lemah riwayatnya karena rawinya shaduq, su-ul hifzi
bisa naik derajatnya jika ada qarinah yang memperkuat dari segi dhabthnya
oleh Hadits tertentu).
b.
Tadh’îfihâ (Lemah karena:
1). Tadh’if Mutlaqan: Menyendiri dalam
periwayatannya, bisa naik derajatnya jika ada mutabi’ yang sama-sama dha’if,
maka derajatnya jadi hasan lighairi.
2). Tadh’if Muqayyadan: dha’if yang dibatasi
riwayatnya oleh sebagian gurunya, negeri/kampung halamannya, atau waktu-waktu.
3). Tadh’if Nisbiyan: yang terjadi ketika diantara
2 rawi atau lebih dibandingkan. Maka hal ini tidak menetapkan derajatnya dha’if
mutlaq, tetapi diperselisihkan hukumnya tergantung qarinah dengan siapa
dibandingkannya)
c. Radduha
(Ditolak Riwayatnya) yaitu Dhaif sekali, tidak bisa menguatkan dan dikuatkan [62].
Sedangkan Ta’dil secara bahasa adalah:
Menyamaratakan atau menilai sesuatu dan menimbangnya
dengan yang lainnya. Sedangkan ta’dil menurut istilah adalah sifat
seorang rawi dalam hal diterima riwayatnya (yang dihukumi dengan Shahih
lidzatihi dan Shahih lighairi)[63].
Adapun Kritik
yang berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadits dikenal dalam ilmu
hadits dengan istilah Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Syarat-syarat
untuk mengkritik hadits adalah yang berkenaan dengan sikap pribadi yaitu: ‘Adil,
tidak fanatik terhadap mazhab yang dianut, tidak bersikap bermusuhan dengan
periwayat yang dinilainya termasuk yang berbeda mazhab dengannya. Sedangkan
yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan: Harus memiliki pengetahuan
tentang ajaran islam, Bahasa Arab, Hadits dan Ilmu Hadits, pribadi periwayat
yang dikritiknya, adat yang berlaku, dan sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat
utama dan tercela yang dimiliki periwayat.
Dalam mengemukakan
kritik, sikap Ahli Kritik Hadits ada yang ketat (tasyadud), longgar (tasahul),
dan ada yang berada diantara kedua sikap itu “pertengahan” (mutawassith).
Dalam ilmu Jarh wa Al-Ta’dil pun memiliki lafazh-lafazh/bentuk-bentuknya
sesuai dengan keadaan para periwayat, maka para Ulama menyusun peringkat para
periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka[64]. Untuk
mengetahui ketiga sikap para ulama dan bentuk-bentuk Jarh wa Al-Ta’dil,
dapat dilihat lebih mendalam di Dlawabith Al-Jarh wa Al-Ta’dil karya Abdul Aziz
bin Muhammad bin Ibrahim Abdul Latif.
4. Menyimpulkan hasil penelitian Sanad Hadits: Hasil
penelitian harus berupa natijah yang disertai alasan-alasan yang jelas.
Isi natijahnya mungkin berupa pernyataan bahwa Hadits yang bersangkutan
berstatus mutawatir dan bila tidak, maka Hadits itu berstatus Ahad.
Sedangkan untuk penelitian Hadits Ahad, maka natijahnya mungkin berisi
pernyataan bahwa Hadits yang bersangkutan berkualitas Shahih, Hasan, atau Dha’if
yang disertai macamnya sesuai apa yang telah diteliti.
F.
Langkah-langkah Penelitian Matan Hadits
Kajian tentang matan Hadits biasanya
bertumpu pada kriteria keshahihan atau kedhaifan suatu matan dalam sebuah Hadits
dan langkah-langkah metodologis mengenai penelitian matan ini dapat dikatakan
relatif baru. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Syuhudi Ismail menawarkan
suatu langkah metodologis sebagai berikut: (a) Meneliti matan dengan melihat
kualitas sanadnya. (b) Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna. (c)
Meneliti kandungan matan[65]
Langkah pertama, penelitian matan adalah dengan melihat kualitas sanadnya.
para Ulama Hadits mendahulukan penelitian sanad daripada matan bukan berarti
sanad lebih penting, melainkan karena penelitian matan barulah berarti jika
sanad matan yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Seperti di
jelaskan di muka, rangkaian sanad ini menjadi mata rantai yang menghubungkan
matan dengan Nabi. Apabila ada satu ungkapan yang oleh pihak-pihak tertentu
dinyatakan sebagai Hadits Nabi, padahal ungkapan tersebut sama sekali tidak
memiliki sanad, maka dapat dipastikan ungkapan itu Hadits Palsu.
Dengan demikian kita dapat memahami
para Ulama Hadits, mengapa mereka baru melakukan kajian tentang matan setelah
melihat kualitas sanadnya. Hadits yang kualitas sanadnya Dhaif tak perlu
diteliti lagi matannya karena tidak akan memberi manfaat bagi kehujjahan Hadits
yang bersangkutan.
Secara sepintas, apabila ada sebuah Hadits
yang sanadnya Shahih, berarti benarlah matannya berasal dari Nabi, tapi pada
kenyataannya tidaklah demikian. Terkadang kualitas sanad tidak sejalan dengan
matannya, kerap kali kita menemukan terdapat Hadits yang kualitas sanadnya Dhoif
tapi matannya sejalan dengan Al-Quran atau Hadits senada yang sanadnya Shohih.
Adakalanya juga terdapat Hadits yang sanadnya Shahih tetapi matannya Dhoif. Hal
ini, menurut Syuhudi Ismail bukan disebabkan oleh kaedah keshahihan sanad yang
kurang akurat, melainkan karena faktor-faktor lain yang telah terjadi, misalnya
saja:
1.
Terjadi
kesalahan dalam menggunakan pendekatan dalam penelitian matan
2.
Telah
terjadi kesalahan dalam penelitian sanad
3.
Matan
Hadits yang bersangkutan telah diriwayatkan secara makna yang ternyata
mengalami kesalah-pahaman.[66]
Langkah kedua, dalam penelitian matan adalah meneliti susunan lafal matan
yang semakna. Cukup banyak matan Hadits yang semakna dengan sanad yang
sama-sama Shahihnya tersusun dengan lafal yang berbeda. Perbedaan ini bisa
disebabkan lupa, salah faham (dalam meriwayatkan secara makna), atau mungkin
karena tidak tahu matan Hadits yang bersangkutan telah dimansukh (dihapuskan)
oleh ayat maupun Hadits yang datang kemudian, maka untuk meneliti hal ini
biasanya dengan metode muqoronah. Metode muqaranah (perbandingan) tidak hanya ditunjukan kepada
lafal-lafal matan saja, tetapi juga kepada masing-masing sanadnya.
Dengan menempuh metode ini, maka akan
diketahui apakah terjadinya perbedaan lafazh pada matan masih dapat ditoleransi
atau tidak. Hal ini dilakukan sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dari Rasul SAW[67]. Selanjutnya Azami mengungkapkan
beberapa cara yang biasa dilakukan dalam penelitian ini:
1.
Memperbandingkan antara Hadits yang disampaikan oleh
berbagai murid dari seorang ulama
2.
Memperbandingkan antara pernyataan seorang ulama dalam
kurun waktu tertentu
3.
Perbandingan antara pembacaan lisan dengan dokumen
tertulis
Langkah terakhir dalam penelitian
matan adalah meneliti kandungan matan. Dilihat
dari bentuk matannya, Hadits Nabi ada yang berupa jami` Al-kalam (ungkapan yang singkat padat), tamsil (perumpamaan), ramzi
(ungkapan simbolik), bahasa percakapan (dialog) dan qiyasi (ungkapan analogi).[70]
Penelitian terhadap matan ini menentukan
tuntutan pemahaman atasnya. Apakah Hadits tersebut mesti difahami secara tekstual
atau kontekstual dan apakah Hadits tersebut berlaku secara temporal, personal
dan lokal atau universal, berlaku bagi semua orang, di semua tempat dan di
sepanjang masa. Untuk mengetahui hal itu penelitian dilakukan dengan mengkaji
latar belakang Hadits tersebut muncul (asbabul
wurud). Dari penelitian ini kita dapat mengetahui beberapa kriteria Hadits:
(1) Hadits yang tidak mempunyai sebab secara khusus (2) Hadits yang mempunyai
sebab secara khusus (3) Hadits yang berkaitan dengan peristiwa aktual saat itu.
Berbeda dengan
penelitian sanad, penelitian terhadap matan hanya terdiri dari dua macam yaitu syadz dan illah. Dan seperti dalam penelitian sanad, penelitian hal ini dalam
matan juga sangat sulit. Shalahuddin Al-Adalbî menyimpulkan ada empat tolok
ukur penelitian matan yaitu;
(1) tidak
bertentangan dengan petunjuk Al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan Hadits
yang lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan fakta
sejarah; dan (4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[71]Apabila
kandungan matan sejalan atau tidak bertentangan dengan keterangan-keterangan
lain dalam topik yang sama, maka kegiatan penelitian dapat dikatakan selesai.
Namun jika ternyata kandungan matan bertentangan dengan keterangan lain,
penelitian mesti dilanjutkan. Banyak ulama menawarkan solusi untuk masalah ini,
namun menurut Ismail, pendapat Al-Asqalanilah yang lebih akomodatif karena
lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. solusi itu
adalah (1) Al-Taufîq (Al-Jam'u atau Al-Talfîq); (2) Al-Nâsikh wa
Al-Mansûkh; (3) Al-Tarjîh; dan (4) Al-Tauqîf [72].
[27]Departement Pendidikan nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama, 2012), cet.ke-3, Ed.IV, hlm.742
[28]David
Alan Herzog, Webster’s New World Essential Vocabulary, (Canada: Published
Simultaneously, 2005), hlm.69-70
[29]Ibn
Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Kairo: Darul Ma’arif), Juz 50, hlm.4517
[30]Ahmad
Warson Munawwir, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia),(Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), cet.ke-.7, Ed.2, hlm.1452
[31]Azis Asmana, Syarah dan Kritik dengan Metode
Takhrij Hadits tentang Wasiat Ali dan Implikasinya terhadap Akidah dan Konsep
Imamah Syi’ah, Tesis Program Pasca Sarjana, (Bandung: UIN Sunan Gunung
Djati, 2012), hlm.121-122, t.d.
[32]Salah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd
al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, diterjemahan oleh: Qodirun Nur
dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan Hadits, (
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), cet.ke-1, hlm.vi
[33]Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin
fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif al-Nabawi, (Tunis: Muassasah Abdul Karim
bin Abdullah, t.th), hlm.94
[34]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah, (Bogor: Kencana, 2003), cet.ke-1, hlm.136
[35]Munir Subarman, dkk, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits,(Cirebon: Badan Penerbit IAIN, 1994), hlm.1-2
[39]Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
al-Silmi al-Naisaburi, Shahih Ibnu Khuzaimah, (t.t: Maktabah al-Islam, t.th), Jilid 1, hlm.99
[40]Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan
Keshahihan Hadits, Manhaj al-Muhadditsin fi Dhabth al-Sunnah, terjemahan
oleh: A.Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Keshahihan
Hadits (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998), cet.ke-1, hlm.17-23
[41]M.Syuhudi Isma’il, Metodologi penelitian,
hlm.21
[42]Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsun, hlm.87
[43]Mahmud Ali, Metodologi Penetapan, hlm.13
[44]Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsun, hlm.88-89
[45]Mahmud Ali, Metodologi Penetapan, hlm.13
[46]M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian, hlm.27-37
[47]Muhammad Mahmud Bakkar, ‘Ilmu Takhrij
al-Hadits, (Riyadh: Dar Tayyibah, 1997), cet.ke-3, hlm.103 -105
[49]Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadits, (Bandung:
Tafakur, 2012), cet.ke-1, hlm.28
[51]M.Syuhudi, Metodologi penelitian, hlm.49-50
[52]Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah,
hlm.100
[55]Abd al-Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Abdul
Latif, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dil, (al-Madinah al-Munawwarah:
al-Mumlakah al-Arabiyah as-Su-udiyah, t,th), hlm.12
[59]Ahmad, al-Munawwir,
hlm.965.
[60]M.Syuhudi, Metodologi penelitian, hlm.83-84
[61]Ibnu Manzur, Lisanul Araab, Juz 8, hlm.586
[62]Abdul ‘Aziz, Dlawabith, hlm.10-11
[63]Ibid
[67] Ibid, hlm.127; Pertama, Metode Pemahaman (syarah)
Hadits ini adalah menggunakan metode muqaran. Metodologi pemahaman (syarah)
Hadits Yaitu ilmu tentang metode memahami Hadits. Jadi, metode syarah adalah
cara-cara memahami Hadits, sementara metodologi syarah adalah ilmu tentang cara
itu. Sedangkan metode muqaran adalah metode memahami Hadits dengan cara (1)
Membandingkan Hadits yang memiliki redaksi yang sama/mirip dalam kasus yang
sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang berbeda (2)
Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah Hadits. Jadi
metode ini dalam memahami Hadits tidak hanya membandingkan Hadits dengan Hadits
lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah
Hadits. Diantara kitab yang menggunakan metode Muqaran adalah Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawi, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukharikarya Badr
al-Din Abu Muhammad Mahmud al-‘Aini, dan lain-lain.
Ciri-ciri metode Muqaran: (1)
Membandingkan analisis redaksional (mabahits lafzhiyyah) dan perbandigan
para periwayat, kandungan matan dari masing-masing Hadits yang dperbandingkan
(2) Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh Hadits tersebut
(3) Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat
luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan
(makna) Hadits maupun kolerasi (munasabah) antara Hadits dengan Hadits.
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan Hadits dengan
Hadits dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah Hadits.
Kelebihan metode ini: (1)
Memberikan wawasan pemahaman yang relative luas kepada para pembaca bila
dibandingkan dengan metode lain (2) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda (3) Pemahaman dengan
metode muqaran sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai
pendapat tentang sebuah Hadits (4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai
Hadits serta pendapat-pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan metode ini: (1) Metode ini
tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan
terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan (2) Tidak dapat diandalkan
untuk menjawab permasalahan social yang berkembang di tengah masyarakat, karena
pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah (3) Terkesan
lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada
mengemukakan pendapat baru. Lihat di Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi (Metode dan
Pendekatan), (Yogyakarta: Center of Educational Studies and Development
(CESAD) YPI al-Rahmah, 2001), hlm.44-52.
Untuk dapat memahami Hadits
dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu
bantu dalam memahami Hadits, Yusuf
Qardwawi memberikan beberapa pedoman yaitu: (1) Mengetahui petunjuk al-Qur’an
yang berkenaan dengan Hadits tersebut (2) Menghimpun Hadits-hadits yang setema
(3) Menggabungkan dan mentarjih Hadits-hadits yang tampak bertentangan (4)
Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi Hadits ketika diucapkan,
diperbuat serta tujuannya (5) Mampu mebedakan antara sasaran yang berubah-ubah
dengan sasaran yang tetap (6) Mampu membedakan antara ungkapan yang sebenarnya
dan bersifat metafora (7) Mampu membedakan antara Hadits yang berkenaan dengan
alam ghaib (tidak kasat mata) dengan yang tembus pandang (8) Mampu memastikan
makna dan konotasi kata-kata dalam Hadits. Lihat di Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadits Nabi SAW, (Bandung: Kharisma, 1993), hlm.92; Yusuf
Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, oleh: Agus Suyadi Raharusun dan Dede
Rodin, terjemahan dari: al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyah,
(Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), cet.ke-1, hlm.156-274.
Kedua, Metodologi
dalam Memahami Hadits ini seperti dikatakan Yusuf Al-Qardhawi yaitu “Tidak
Menolak Hadits Shahih yang Sulit Dipahami”: Jika kita bersikap tergesa-gesa
dalam menolak Hadits yang sulit dipahami-padahal Hadits itu shahih- termasuk
tindakan keliru yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang mendalam
ilmunya. Mereka selalu berpraduga baik terhadap terhadap tokoh-tokoh terdahulu.
Jika terbukti mereka menerima suatu Hadits dan tidak ada seorang imam yang
kompeten menolaknya, itu pasti karena mereka tidak melihat adanya keganjilan (syudzudz)
atau cacat (illat) yang merusak pada Hadits tersebut. Oleh karena itu,
seorang pakar yang jujur seharusnya menerima Hadits tersebut sambil mencari
maknanya yang rasional atau penakwilan yang sesuai. Dalam masalah ini terdapat
perbedaan pandangan antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Kaum Mu’tazilah segera
menolak Hadits-hadits sulit yang bertentangan dengan prinsip-prinsip mereka,
baik yang bersifat ilmiah maupun teologis. Sementara Ahlu Sunnah berupaya
memikirkan penakwilannya, mensinkronkan serta menyelaraskan di antara
Hadits-hadits yang terlihat bertentangan. Dalam kerangka inilah Imam Abu
Muhammad bin Qutaibah (w.267H) menulis Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits
sebagai sanggahan atas pandangan-pandangan kaum Mu’tazilah terhadap beberapa
Hadits yang menurut mereka bertentangan dengan al-Qur’an, akal, fakta, atau
dengan Hadits-hadits lain. Kemudian, muncul pakar Hadits dari kalangan mazhab
Hanafi, Imam Abu Ja’far Al-Thahawi (w.321H) yang menulis Musykil al-Atsar (empat
jilid). Ia berupaya melakukan penakwilan yang dapat diterima atau pemaknaan
yang dapat diterima akal terhadap Hadits-hadits yang sulit (musykil)
tersebut. Berdasarkan hal itu, diperlukan analisis optimal terhadap Hadits yang
telah terbukti berasal dari Nabi SAW (Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi
Hadits, terjemah dari: al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah, oleh:
Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, (Bandung: CV.Pustaka setia, 2007),
cet.ke-1, hlm.148)
[68]Perincian metode ini
lihat Azami, Metodologi Kritik Hadits,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 87-95.
[69]Idrâj dan ziyâdah
adalah tambahan pada matan hadits. Bedanya, idrâj berasal dari diri
periwayat sedangkan ziyâdah bagian tak terpisahkan dari matan hadits
nabi. Lihat Ismail, Metodologi, hlm. 127-133
[70]Lihat M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan
Kontekstual, Bulan Bintang, Jakarta, 1994 hlm. 9
[71]Al-Adalbi, Manhaj
Naqd al-Matn, hlm. 238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar