Selasa, 17 November 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
       Seluruh umat Islam telah menerima faham, bahwa Hadits Rasulullah SAW itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Berpedoman kepada Hadits untuk diamalkan dan menganjurkan kepada orang lain untuk memiliki pemahaman yang sama, sehingga tidak ada perbedaan dalam mengamalkan suatu Hadits adalah suatu kewajiban.
       Untuk itu, agar kewajiban tersebut dapat terpenuhi, maka yang mesti dilakukan adalah dengan seksama memilih Hadits Shahih dan Hasan yang sudah pasti dapat diamalkan, serta meneliti Hadits Dha’if dengan segala ragamnya. Maka untuk melakukan hal itu, diperlukan suatu pengetahuan yang disebut Ilmu Hadits atau yang sudah dikenal dengan Mushthalah al-Hadits[1].
Namun, bila kita berbicara soal Hadits Dha’if, benarkah Hadits Rasul itu ada yang Dha’if sebagaimana dikemukakan oleh para Muhadditsin, sehingga tidak dapat diamalkan? Kalau demikian, maka apakah kita diperintahkan berpedoman pada pedoman yang tidak kokoh?
Kalau para Muhadditsin mensinyalir adanya Hadits Dha’if, maka kelemahannya bukanlah terletak pada sabda, perbuatan dan taqriri Nabi SAW. Melainkan terletak pada segi-segi lain, yaitu adanya kemungkinan rawinya salah terima atau salah meriwayatkan, bahkan mungkin salah pengakuan (ia mengakui menyaksikan atau mendengar sendiri apa yang diriwayatkan, padahal tidak). Jadi ada kemungkinan karakter perawi kurang bisa dipertanggungjwabkan.
Mengingat fungsi Ilmu Hadits sangat menetukan terhadap pemakaian nash sebagai pedoman beramal, maka tidak sedikit para ulama memberikan tanggapan ketentuan hukum mempelajari Ilmu Hadits[2].
Dengan demikian, kita harus dapat membedakan Sunnah berupa hukum-hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dan Sunnah yang bukan berupa hukum yang diragui keotentikannya. Dan apabila dilihat dari segi periwayatan Hadits kadangkala berlangsung mutawatir, dan lebih banyak yang ahad, sehingga tidak semua hadits dihukumi Shahih, tapi ada juga yang dihukumi  Dha’if, bahkan sampai keadaan tertentu dalam keadaan Maudhu’ (palsu). Semua itu bergantung pada banyaknya susunan periwayat yang ikut dalam meriwayatkan suatu Hadits pada setiap sanadnya.
Berkaitan dengan kehujjahan dan keotentikan suatu Hadits, hampir semua Ulama Hadits sepakat bahwa kitab Hadits yang memuat Hadits-hadits yang paling autentik adalah dua kitab Hadits yang ditulis oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dua kitab Hadits itu dikenal dengan nama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kitab-kitab Hadis yang berada pada tingkatan di bawah dua kitab itu adalah kitab-kitab Sunan, terutama yang ditulis oleh Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah. Dua kitab Shahih yang ditulis Bukhari dan Muslim hanya memuat Hadis-hadis yang Shahih saja, sedangkan Hadis-hadis yang dimuat dalam empat kitab Sunan itu tidak hanya Hadis-hadis Shahih, tetapi juga Hadis-hadis yang Hasan. Setelah kitab Shahih dan Sunan ini, ada kitab Musnad yang ditulis oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang memuat Hadits Shahih dan Hasan serta Hadis Dha’if.
Meskipun disebutkan dalam kitab shahihnya, Bukhari dan Muslim tidak memuat seluruh Hadits yang shahih. Bukhari berkata, ”Aku tidak memasukkan ke dalam Jami’us Shahih kecuali Hadits yang shahih dan aku tinggalkan banyak Hadits shahih karena akan membosankan”. Dia juga pernah berkata,”Aku hafal 100.000 Hadits shahih dan 200.000 Hadits yang tidak shahih”. Padahal didalam kitab shahihnya belum mencapai 10.000 Hadits yang dihafalnya. Imam Muslim pun menjelaskan, bahwa beliau tidak menyimpan satu Hadits kecuali yang telah disepakati oleh para ulama. Karena, tidak semua Hadits shahih disimpan di dalamnya.[3] Imam Muslim juga pernah mengatakan, “Tidaklah aku menyimpan satu pun (Hadits) pada kitabku ini kecuali dengan alasan (hujjah). Dan tidaklah aku menggugurkan satu pun (Hadits) kecuali ada alasan tertentu”. Beliau pun mengatakan, “Tidak semua Hadits shahih yang aku hapal, aku simpan di sini. Akan tetapi, aku menyimpan Hadits yang disepakati oleh para ulama”. Dengan perkataan ini, beliau ingin menyampaikan tentang syarat-syarat Hadits shahih yang disepakati oleh bersama.[4] Disebutkan pada redaksi lain dalam kitab shahihnya, Imam Muslimpun berkata, “Tidak semua Hadits yang shahih menurutku, aku masukkan kedalam kitab shahih. Aku hanya mencantumkan Hadits yang telah disetujui oleh para ulama Hadits”.  Inilah pernyataan Bukhari dan Muslim, kenapa tidak mencantumkan semua Hadits shahih kedalam kitabnya[5].
Namun para ulama sepakat bahwa kitab Hadits yang paling shahih adalah Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Dan Kitab Bukhari lebih shahih dibanding Muslim. Imam an-Nasa’I berkata, “Tidak ada kitab Hadits yang paling baik selain karya-karya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari”. Yang dimaksud “baik” disini adalah “shahih”. Al-Nasa’I adalah ulama Hadits yang sangat teliti, jujur, kritis, tidak sembarang berkata dan pengakuannya ini adalah pengakuan yang jujur dari an-Nasa’i. namun, Abu Ali al-Naisabur lebih mengutamakan Imam Muslim. Dia berkata, ”Tidak ada dikolong langit ini, kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin al-Hajjaj”. Sebenarnya orang yang mengutamakan Shahih Muslim karena:
1.      Bagus dan susunannya teratur
2.      Hadits yang peiwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan di satu tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukkan ke bab lain
3.      Hanya meriwayatkan Hadits marfu’.
Imam Nawawi berkata, “Para Ulama telah sepakat bahwa kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah “Shahihain”dan telah diterima umat. Sedangkan diantara keduanya adalah yang paling shahih, paling banyak manfaatnya, dan paling banyak menyimpan pengetahuan, baik tersurat atau tersirat[6].” Al-Nawawi juga dalam salah satu kitabnya dengan tegas mengatakan bahwa para ulama telah sepakat tentang keautentikan Hadits-hadits yang termuat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim[7].
Namun pada masa-masa sesudahnya, pernyataan Al-Nawawi ini seolah-olah sudah tidak lagi dipegangi oleh semua ulama Hadits. Sebagian ulama sudah mulai melakukan kritik dan penelitian ulang terhadap Hadits-hadits yang ada dalam kedua kitab Shahih tersebut.
Seperti halnya Hadits mengenai “Keutamaan Abu Sufyan” ini yang termuat dalam kitab Shahih Muslim yang redaksinya sebagai berikut:
    حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[8]8
     Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abd Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad  Al-Yamami, Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, ia berkata, “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
            Hadits di atas adalah riwayat Muslim yang sudah pasti keshahihannya, namun dikalangan para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan Hadits tersebut dan Hadits ini juga banyak yang mendha’ifkan baik dari segi sanad maupun matannya (lihat di Bab IV Pembahasan). Namun, yang menjadi suatu masalah penting untuk dikaji adalah karena dalam suatu tulisan blog di sebuah website seorang Syi’ah pun mengklaim Hadits Muslim ini palsu dengan bersandar pada pendapat Ibnu Hazm yang mengutip dari Abdul Ghaniy Al Maqdisiy (Al Mishbâh Fî ‘Uyûn Al-Shihâh 1/49, Abdul Ghani Al-Maqdisi). Al-Maqdisi mengatakan bahwa menurut Abu Muhammad bin Hazm:
     Hadits Muslim ini maudhu’ (palsu), tidak diragukan kepalsuannya dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang kabar bahwa Nabi SAW tidaklah menikahi Ummu Habibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri Habasyah. Dan dikatakan hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari bala bencana[9]

Mereka juga mengambil pendapat Ibnu Hatim yang mengomentari rawi-rawi Muslim maudhu’ (palsu). Menurut penelusuran penulis, tulisan ini dibuat dua kali untuk menguatkan pendapatnya dan membantah seseorang dari Ahlussunnah yang mengkritik pendapatnya dengan kata-kata yang sangat tidak sopan dan kasar. Pernyataan selanjutnya menurut Syi’ah yaitu:
     Lalu mengapa para ulama menguatkan kepalsuannya?” Yaitu karena Hadis Muslim tersebut “jelas-jelas bertentangan dengan fakta sejarah” (yang sering kita kenal ternasuk “Kriteria Kritik Matan Menurut Ulama Hadits”). Artinya itu adalah dusta yang diada-adakan terhadap Nabi SAW. Walaupun kami sendiri tidak bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kepalsuannya itu tetap tidak menafikan bahwa kabar itu dusta[10].

Pernyataan ini tentu akan menjadi suatu keraguan tersendiri bagi umat Islam mengenai keutamaan salah seorang sahabat Nabi yaitu Abu Sufyan, yang telah banyak mengorbankan kehidupannya hanya untuk Islam tercinta. Serta pendapat Syi’ah ini bisa memperkuat aqidah Rafidlah tentang para Sahabat Rasululah SAW yang mencela dan mengkafirkan para sahabat Nabi selain tiga sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahli Hadits mereka Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ Al-Kâfi yang diriwayatkan dari Ja’far AS dimana al-Kulaini mengatakan, Seluruh sahabat itu murtad setelah Nabi SAW wafat, kecuali tiga orang yaitu Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi[11] dan tentunya yang dimaksud riwayat Syi’ah itu adalah sahabat selain Ali bin Abi Thalib. Dan khususnya jika hasil penelitian para ulama dan Syi’ah tersebut benar, maka kredibilitas Hadits Muslim patut untuk dipertanyakan sebagai kitab yang memuat Hadits Shahih.
Sedangkan bila kita lihat dalam kitab ‘Aqidah Ahlussunnah fi Al-Shahabah dikatakan bahwa Ta’rif shahabah yang Shahih dan dijadikan pegangan adalah apa yang dinyatakan Ibnu Hajar, “Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan muslim dan mati dalam keadaan beragama islam pula ”. Lalu dia menjelaskan ta’rif itu (secara lebih luas), yaitu:
     Termasuk orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam waktu yang  lama atau belajar kepadanya, maupun yang sebentar belajar kepadanya. Orang yang menerima Hadits dari Nabi ataupun tidak. Orang yang ikut perang bersamanya ataupun tidak. Orang yang melihatnya meskipun tidak belajar kepadanya. Orang yang tidak dapat melihatnya karena buta, yang murtad, orang yang bertemu dengannya dalam keadaan kafir, meskipun dia lalu masuk islam dan tidak bertemu lagi dengan Nabi. Begitu juga, orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan mukmin (beriman) kepada selain Nabi Muhammad seperti mukminnya para Ahli Kitab sebelum masa pengutusan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul (Bi’tsah).  Termasuk juga mukmin-mukmin dari bangsa jin dan manusia. Sedangkan orang yang bertemu dengan Nabi, dia masuk islam, lalu dia murtad, dan mati dalam keadaan kafir, hal ini bukan termasuk pendapat kami. Adapun orang yang murtad, lalu masuk islam kembali sebelum dia mati baik pernah bertemu dengan Nabi satu kali saja atau tidak, maka ini termasuk pendapat kami[12].

Dengan melihat definisi shahabah tersebut sebagaimana yang disebutkan  Syaikh Al-Mubarakfuri dalam kitab Al-Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi Al-Siirah Al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdlali Al-Shalati wa Al-Salâm, maka Abu Sufyan pun termasuk salah seorang sahabat Nabi SAW. Sebagai buktinya ia telah mengikuti beberapa peperangan seperti Perang Badar Kubra, Perang Sawiq, Perang Uhud, Perang Hamra’ Al-Asad, Perang Badar Shughra, Fathu Makkah Perang Hunain, Perang Tha’if, Perang Khandaq/Ahzab, dan Perang Yarmuk. Walaupun ia sempat kafir, sangat membenci dan selalu memerangi orang-orang Islam. Namun kebencian itu berbalik menjadi kecintaannya yang sangat teguh pada Islam terbukti dengan  dia masuk islam di peperangan Fathu Makkah, hingga akhir hayatnya[13].    
Adapun pandangan para ulama mengenai para sahabat telah banyak diungkapkan dalam Al-Qur’an, salah satunya yaitu seluruh umat Islam meyakini bahwa seluruh sahabat Rasul adalah orang mulia yang telah dipuji Allah dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

     Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.(QS.Al-Taubah[9]:100).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul juga menegaskan:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ، ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah kalian mencaci para sahabatku, andaikan kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak bisa mengimbangi sedekah yang dikeluarkan para sahabat atau separuhnya[14].
Berdasarkan permasalahan di atas, dengan karya tulis ini penulis bermaksud untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama melalui Hadis-hadis tentang Keutamaan Abu Sufyan dan Hadits-hadits penguatnya serta pendapat-pendapat yang membelanya dengan menggunakan Metode Takhrij.
Penelitian mengkaji hadits dari segi sanad dengan meneliti kualitas para rawi yang dianggap lemah dan derajat Haditsnya (Al-Jarh wa Al-Ta’dil), juga dari segi matannya yang dibandingkan dengan Sirah Nabawiyyah.
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diketahui apakah hadits tersebut dapat dijadikan hujjah atau tidak, serta  tidak menafikkan keutamaan para sahabat Nabi SAW, diketahui bantahan-bantahan yang menguatkan Hadits Muslim ini, dan juga untuk memperkuat ‘Adalah Al-Shahabah Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Oleh karena itu, maka penulis bermaksud untuk meneliti permasalahan ini dalam Skripsi yang berjudul “STUDI KRITIS HADITS KEUTAMAAN ABU SUFYAN R.A DALAM KITAB SHAHIH MUSLIM NOMOR 2501”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian awal penulis, yang menjadi permasalahan dalam kasus ini terjadi pada sanad sekaligus pada matan, maka dalam hal ini penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Takhrij Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan?
2.      Bagaimana Kritik Sanad dan Matan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan?
3.      Bagaimana Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan?
C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas, secara spesifik penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui:
1.      Takhrij Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
2.      Kritik Sanad dan Matan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
3.      Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
D.  Metode Penelitian
Metode dalam kegiatan penelitian hadits ini yaitu:
1.      Melakukan takhrij hadits dari matan hadits yang telah disebut pada judul, langkah pertama melalui lafal hadits dan penelusuran data yang dijadikan sumber dilakukan dengan bantuan kitab-kitab kamus Hadits seperti al-Jami’ ash-Shagir karya as-Suyuthi, al-Mu’jamul Fahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi karya Wensinck, Miftah al-Kunuz as-Sunnah karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, CD Kutub at-Tis’ah, CD Maktabah Syamilah dan CD Jawami’ul Kalim. Metode takhrij hadis, yaitu penulusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya yang bersangkutan[15].
2.      Mencari data dari yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli sesuai petunjuk dari kitab kamus.
3.      Menguraikan skema jalur-jalur sanad agar terlihat ada tidaknya pendukung yang berstatus mutabi’ atau syawahid.
4.      Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) yang diambil dari kitab-kitab Rijal Hadits seperti Tahdzibul Kamal, Tahdzibut Tahdzib, al-Jarh at-Ta’dil, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini dengan menelusuri data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan murid, tahun kelahiran dan wafat, hingga penilaian para ulama tentang kredibilitas perawi tersebut. Untuk kemudian menentukan kedudukan hadits dari semua jalur.
5.      Melakukan penelitian matan (kritik matan) dari hasil penelitian sanad diatas.
6.      Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian diatas dan pesan penting dari hadits tersebut.
Sedangkan dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis yaitu melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama serta pakar untuk kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi kesimpulan yang ilmiah.
Untuk teknik pengumpulan data dan semua bahan yang berkaitan dengan pembahasan digunakan metode pencarian data atau penelitian kepustakaan (library reseach) selain itu menggunakan juga teknik kutipan (citation) yaitu mengutip sebagian atau seluruh data dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.
E.  Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis menelusuri terhadap penelitian tentang Hadits Keutamaan Abu Sufyan di dalam kitab Shahih Muslim ini. Hasilnya sepanjang pengamatan penulis belum terdapat penelitian yang mengkhususkan masalah ini. Namun penelitian-penelitian terhadap Hadits Muslim tentang Keutamaan Abu Sufyan telah ada yang melakukan seperti dalam kitab Manhaj Naqd Al-Mutun ‘inda ‘Ulama Al-Hadits Al-Nabawi karya Shalahuddin bin Ahmad Al-Adlabi[16], didalamnya terdapat pembahasan tentang “Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Keterangan Baku dari Sirah Nabawiyyah yang Shahih”  dan beliau mengemukan 2 contoh.
Salah satu contohnya adalah tentang Hadits Pernikahan Nabi saw dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan, beliau hanya menuliskan Hadits Muslim bab Keutamaan Abu Sufyan dan syarah Muslimnya. Kemudian beliau hanya mengomentari mengenai “Pembaharuan nikah” menurut Ibnu Al-Shalah dan Al-Nawawi saja. Menurut Ibnu Al-Shalah, “Jika pembaharuan nikah itu terjadi, tentu akan diriwayatkan oleh yang lainnya, karena tujuannya adalah popularitas dan kebanggaan bagi Abu Sufyan”. Jadi, kemungkinan Al-Adlabi telah mencari data riwayat hadits yang memperbaharui nikah. Namun, Ia tidak memaparkan secara meluas.
Komentar lainnya adalah kepada Al-Nawawi, dimana sebenarnya Al-Nawawi tidak melihat adanya pembaharuan nikah, hanya sanya ia berusaha untuk menyetujui pembaharuan nikah melalui penafsirannya terhadap kata “ya” pada Hadits Muslim tersebut. Adapun maksud kata “ya” ini  menurut Al-Nawawi, “Tujuanmu (Abu Sufyan) tercapai”, meski tidak dengan akad yang sebenarnya. Menurut Al-Adlabi, “Penafsiran ini adalah penafsiran yang jauh dari kebenaran”.
Adapun dalam kitab Manhaj Al-Muhadditsin fî Naqd Mutun Al-Ahadits Al-Nabawiyyah karya Mauzah Ahmad Muhammad al-Kur[17], tidak mencontohkan Hadits Muslim tentang keutamaan Abu Sufyan dalam pembahasan ‘Hadits yang bertentangan dengan Sirah Nabawiyyah’, hanya menyebutkan apabila ada Hadits yang bertentangan dengan Sirah yang tsabit, maka tidak diragukan bahwa dalil itu tidak Shahih.
Begitu juga dalam kitab Maqayis Naqd Mutûn Al-Sunnah karya Al-Damini[18], disana terdapat pembahasan ‘Membandingkan Matan dengan Fakta Sejarah’ dan menyebutkan salah satu contohnya mengenai Hadits Keutamaan Abu Sufyan dan  dia hanya mengatakan:
     Hadits ini dikritik dari segi matannya dengan menggunakan sejarah, diantara data-datanya yaitu bahwa Abu Sufyan belum masuk islam melainkan pada hari futuh makkah. Adapun Ummu Habibah dinikahi oleh Nabi saw jauh sebelum Abu Sufyan masuk islam. Kejadiannya di Habasyah dan  walinya Raja Najasyi. Dalam hal ini Ibnu Hazm berkata: Hadits ini maudlu’, tidak diragukan lagi kemaudlu’annya. Dan sungguh sebagian mereka telah mencoba menjama’ antara dua urusan ini, tapi tidak ada gunanya.

Buku lain yang ditemukan adalah Metologi Penelitian Hadits Nabi karya M.Syuhudi Ismail, disebutkan bahwa hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan ini adalah hadits yang bertentangan dengan fakta sejarah. Hadits ini juga masuk dalam contoh sanad Shahih dan Dha’if matan, kesimpulan derajat hadits ini berdasarkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa Abu Sufyan bermaksud untuk memperbaharui akad nikah putrinya dengan Nabi Muhammad. Namun, pendapat ini sulit diterima karena tidak logis[19].
Selanjutnya, penulis hanya menemukan dari tulisan dari website http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/07/hadits-palsu-dalam-shahihmuslim.html[20] yang membahas hadits Muslim tentang Keutamaan Abu Sufyan ini, namun hanya memaparkan seputar menjarh dan menta’dil Ikrimah, penelitian hadits palsu menurut para Ulama hadits yang menjadi bukti bahwa hadits Muslim ini tidak sampai derajat palsu untuk membantah tulisan dalam suatu blog Syi’ah yang memalsukan hadits ini. Namun belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kedudukan Hadits Muslim ini, dalam tulisannya hanya mengatakan bahwa “seandainya hadits ini keliru, maka belum tentu dikatakan palsu”. Jadi, fokus artikel ini adalah untuk memperkuat Hadits Muslim tidak sampai maudhu’(palsu). 
F.   Sistematika Penulisan
Sebagaimana karya ilmiah umum lainnya, agar penulisan penelitian ini tersusun dan terarah, dengan baik, maka penulisan penelitian ini akan disusun secara sistematis yang terdiri dari beberapa bab.  Dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai penjelasan yang memiliki kolerasi dengan pembahasan bab-bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini adalah:
Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritik yang berisi Metodologi kritik Hadits yang berisi Pengertian dan Ruang Lingkup Metode Kritik Sanad dan Matan Secara Umum
Bab III Biografi Abu Sufyan yang berisi kelahiran beliau, nama, laqab dan kunyah yang disandangnya, Kedudukannya, Sifat-sifatnya, Kehidupannya, Peperangan yang diikuti Abu Sufyan sebelum dan sesudah Masuk Islam, Hadits-hadits yang mengemukakan Keutamaan Abu Sufyan, Wafatnya.
Bab IV Pembahasan yang berisi Studi Kritik Hadits Keutamaan Abu Sufyan R.A dalam Kitab Shahih Muslim Nomor 2501 yang berisi Takhrij, Kritik Sanad, Kritik Matan, Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan.
Bab V Uraian terakhir berupa Penutup yang berisi kesimpulan dan Saran.



[1] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1981), cet.ke-3, hlm.3
[2] Ibid, hlm.3-4
[3]Akram Dhiya Al Umary, Buhutsun fii Taarikhis Sunnah Al-Musyarrafah, (Madinah Al Munawwarah: Al Maktabatul ‘Ulum wal Hukm), hlm. 321.
[4] Ajjaj Al-Khatib al-Baghdadi, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. (Beirut:Darul Fikr,1989). hlm.315.
[5] M.M. Abu Syuhbah, Kutubussittah, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993 hlm.68
[6]Ahmad Farid, Min A’lam al-Salaf, terjemahan dari: 60 Biografi Ulama Salaf, oleh: Ahmad Syaiku, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm.512
[7]Muhyiddin Yahya bin Syarf bin Mara bin Hasan bin Husein bin Hizam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (tt. Al-Mathba’ah al-Mashriyyah al-Azhar, 1929), cet.ke-1, juz.1 hlm.14
[8] Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar Al-Mughni, 1998), cet.ke-1, hlm.1358
[9]Abd al-Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur al-Maqdisi al-Jama’îli al-Dimasyqi al-Hambali, Al-Mishbah fî ‘Uyûn al-Shihah, (tt. Mauqi’ al-Syubkah al-Islâmiyyah, t.th), cet.ke-1, juz.1, hlm.49 (Maktabah Syamilah al-Ishdar 2)
[10]J.Algar, Hadits Palsu dalam Shahih Muslim: Keutamaan Abu Sufyan RA, [online] http://secondprince.wordpress.com/2013/11/07/hadis-palsu-dalam-shahih-muslim-keutamaan-abu-sufyan-bantahan-untuk-nashibi/, 7 November 2013, diunduh 22 Februari 2014; Dengan Artikel ini Fitnah Wahabi Terhadap Syi’ah Patah (Novel NU Buku Nu) http://syiahali.wordpress.com/2013/11/23/hadis-palsu-dalam-shahih-muslim-keutamaan-abu sufyan-bantahan-untuk-nashibi/, 23 November 2013, diunduh 22 Februari 2014. Web Imamiyah Ushuliyah terlengkap di Indonesia, Malaysia dan Brunei. Web ini membantu NU, Jama’ah Tabligh (JT) dan Rakyat Malaysia melawan Salafi Wahabi demi persatuan islam, demi toleransi, dan saling saying Sunni-Syi’ah dan Web ini memuat 5917 artikel pencerahan.
[11]Abd Allah bin Muhammad al-Salafi, Min ‘Aqaidisy Syi’ah, diterjemahkan oleh: Abu Salman dengan judul Kesesatan Aqidah Syi’ah,  (tt. Jaringan Pembela Sunnah, t.th), hlm. 24
[12]Nashir bin ‘Ali ‘Aridh Hasan al-Syaikh, ‘Aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah fî al-Shahabat al-Kirâm Radhiyallâhu ‘anhu, (Riyadh: Maktabah Al-Rasyd, 1993), cet.ke-1, Juz 1, hlm.35
[13]Lihat di Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, Al-Rahiq al-Makhtum, Bahtsun fî al-Sîrah al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdhal Al-Shalati wa Al-Salâm, diterjemahkan oleh: Kathur Suhardi dengan judul Sirah Nabawiyyah,  Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2013, hlm.228,271-272, 280, 468-470
[14]Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Maktabah al-Rasyd, 2006), cet.ke-2, hlm.499
[15]M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang,  2007, hal. 41
[16]Shalah al-Din, Manhaj, hlm.298-299
[17]Mauzah Ahmad Muhammad Al-Kur, Manhaj Al-Muhadditsin fî Naqd Mutûn Al-Ahâdits Al-Nabawiyyah, (tt. Mudarris Al-Hadits wa ‘Ulumihi bi Kuliyyah Al-Syari’ah Jami’ah Qathr, t.th) hlm.391-392
[18]Musfir Azmillah al-Daminy, Maqayis Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah, 1984), cet.ke-1, hlm. 183-184
[19] M.Syuhudi, Metodologi, hlm.143-146
[20]Abu al-Jauza’, Hadits Palsu dalam Shahih Muslim tentang Keutamaan Abu Sufyan, [online] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/07/hadits-palsi-dalam -shahih-muslim.html, Juli 2012, diunduh 22 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar