BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seluruh umat Islam telah menerima faham,
bahwa Hadits Rasulullah SAW itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an.
Berpedoman kepada Hadits untuk diamalkan dan menganjurkan kepada orang lain
untuk memiliki pemahaman yang sama, sehingga tidak ada perbedaan dalam
mengamalkan suatu Hadits adalah suatu kewajiban.
Untuk itu, agar kewajiban tersebut dapat
terpenuhi, maka yang mesti dilakukan adalah dengan seksama memilih Hadits Shahih
dan Hasan yang sudah pasti dapat diamalkan, serta meneliti Hadits Dha’if dengan
segala ragamnya. Maka untuk melakukan hal itu, diperlukan suatu pengetahuan
yang disebut Ilmu Hadits atau yang sudah dikenal dengan Mushthalah
al-Hadits[1].
Namun, bila
kita berbicara soal Hadits Dha’if, benarkah Hadits Rasul itu ada yang Dha’if
sebagaimana dikemukakan oleh para Muhadditsin, sehingga tidak dapat diamalkan?
Kalau demikian, maka apakah kita diperintahkan berpedoman pada pedoman yang
tidak kokoh?
Kalau
para Muhadditsin mensinyalir adanya Hadits Dha’if, maka kelemahannya bukanlah
terletak pada sabda, perbuatan dan taqriri Nabi SAW. Melainkan terletak pada
segi-segi lain, yaitu adanya kemungkinan rawinya salah terima atau salah
meriwayatkan, bahkan mungkin salah pengakuan (ia mengakui menyaksikan atau
mendengar sendiri apa yang diriwayatkan, padahal tidak). Jadi ada kemungkinan
karakter perawi kurang bisa dipertanggungjwabkan.
Mengingat
fungsi Ilmu Hadits sangat menetukan terhadap pemakaian nash sebagai pedoman
beramal, maka tidak sedikit para ulama memberikan tanggapan ketentuan hukum
mempelajari Ilmu Hadits[2].
Dengan
demikian, kita harus dapat membedakan Sunnah berupa hukum-hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan dan Sunnah yang bukan berupa hukum yang diragui
keotentikannya. Dan apabila dilihat dari segi periwayatan Hadits kadangkala
berlangsung mutawatir, dan lebih banyak yang ahad, sehingga tidak
semua hadits dihukumi Shahih, tapi ada juga yang dihukumi Dha’if, bahkan sampai keadaan tertentu dalam
keadaan Maudhu’ (palsu). Semua itu bergantung pada banyaknya susunan
periwayat yang ikut dalam meriwayatkan suatu Hadits pada setiap sanadnya.
Berkaitan dengan kehujjahan dan keotentikan
suatu Hadits, hampir semua Ulama Hadits sepakat bahwa kitab Hadits yang memuat
Hadits-hadits yang paling autentik adalah dua kitab Hadits yang ditulis oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dua kitab Hadits itu dikenal dengan nama Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Kitab-kitab Hadis yang berada pada tingkatan di bawah dua
kitab itu adalah kitab-kitab Sunan, terutama yang ditulis oleh Imam Abu Daud,
Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah. Dua kitab Shahih yang ditulis Bukhari
dan Muslim hanya memuat Hadis-hadis yang Shahih saja, sedangkan Hadis-hadis
yang dimuat dalam empat kitab Sunan itu tidak hanya Hadis-hadis Shahih, tetapi
juga Hadis-hadis yang Hasan. Setelah kitab Shahih dan Sunan ini, ada kitab Musnad
yang ditulis oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang memuat Hadits Shahih dan Hasan
serta Hadis Dha’if.
Meskipun
disebutkan dalam kitab shahihnya, Bukhari dan Muslim tidak memuat seluruh Hadits
yang shahih. Bukhari berkata, ”Aku
tidak memasukkan ke dalam Jami’us Shahih kecuali Hadits yang shahih dan aku
tinggalkan banyak Hadits shahih karena akan membosankan”. Dia juga pernah berkata,”Aku
hafal 100.000 Hadits shahih dan 200.000 Hadits yang tidak shahih”. Padahal didalam kitab shahihnya belum
mencapai 10.000 Hadits yang dihafalnya. Imam Muslim pun menjelaskan, bahwa beliau tidak menyimpan satu Hadits
kecuali yang telah disepakati oleh para ulama. Karena, tidak semua Hadits
shahih disimpan di dalamnya.[3] Imam Muslim juga pernah mengatakan, “Tidaklah aku
menyimpan satu pun (Hadits) pada kitabku ini kecuali dengan alasan (hujjah).
Dan tidaklah aku menggugurkan satu pun (Hadits) kecuali ada alasan tertentu”.
Beliau pun mengatakan, “Tidak semua Hadits shahih yang aku hapal, aku simpan di
sini. Akan tetapi, aku menyimpan Hadits yang disepakati oleh para ulama”.
Dengan perkataan ini, beliau ingin menyampaikan tentang syarat-syarat Hadits shahih
yang disepakati oleh bersama.[4] Disebutkan pada redaksi lain dalam kitab shahihnya, Imam Muslimpun berkata, “Tidak semua Hadits yang shahih menurutku,
aku masukkan kedalam kitab shahih. Aku hanya mencantumkan Hadits yang telah
disetujui oleh para ulama Hadits”. Inilah
pernyataan Bukhari dan Muslim, kenapa tidak mencantumkan semua Hadits shahih
kedalam kitabnya[5].
Namun para ulama sepakat bahwa kitab Hadits yang paling shahih adalah Kitab
Shahih Bukhari dan Muslim. Dan Kitab Bukhari lebih shahih dibanding Muslim. Imam an-Nasa’I berkata, “Tidak
ada kitab Hadits yang paling baik selain karya-karya Muhammad bin Isma’il
al-Bukhari”. Yang dimaksud “baik”
disini adalah “shahih”. Al-Nasa’I adalah ulama Hadits yang sangat teliti, jujur,
kritis, tidak sembarang berkata dan pengakuannya ini adalah pengakuan yang
jujur dari an-Nasa’i. namun, Abu Ali al-Naisabur lebih mengutamakan Imam Muslim.
Dia berkata, ”Tidak ada dikolong langit ini, kitab yang lebih shahih selain kitab
Muslim bin al-Hajjaj”. Sebenarnya
orang yang mengutamakan Shahih Muslim karena:
1. Bagus dan susunannya teratur
2. Hadits yang peiwayatannya sejalan dan dalam
satu tema dikumpulkan di satu tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukkan ke
bab lain
3. Hanya meriwayatkan Hadits marfu’.
Imam Nawawi
berkata, “Para Ulama telah sepakat
bahwa kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah “Shahihain”dan telah
diterima umat. Sedangkan diantara keduanya adalah yang paling shahih, paling
banyak manfaatnya, dan paling banyak menyimpan pengetahuan, baik tersurat atau
tersirat[6].” Al-Nawawi juga dalam salah satu kitabnya dengan
tegas mengatakan bahwa para ulama telah sepakat tentang keautentikan Hadits-hadits
yang termuat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim[7].
Namun
pada masa-masa sesudahnya, pernyataan Al-Nawawi ini seolah-olah sudah tidak
lagi dipegangi oleh semua ulama Hadits. Sebagian ulama sudah mulai melakukan
kritik dan penelitian ulang terhadap Hadits-hadits yang ada dalam kedua kitab
Shahih tersebut.
Seperti
halnya Hadits mengenai “Keutamaan Abu Sufyan” ini yang termuat dalam kitab
Shahih Muslim yang redaksinya sebagai berikut:
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ
الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا
النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ،
حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ،
فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ
أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ،
أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ:
وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي
حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ:
«نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ
يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[8]8
Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abd
Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata: Telah
menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad Al-Yamami, Telah menceritakan kepada kami
‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Zumail, Telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abbas, ia berkata, “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan
tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi
SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Beliau SAW menjawab
“Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan
paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku
ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan
agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab
“Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk
memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”.
Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak
menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena
jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
Hadits di atas adalah riwayat Muslim
yang sudah pasti keshahihannya, namun dikalangan para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan Hadits tersebut dan Hadits ini juga banyak yang mendha’ifkan
baik dari segi sanad maupun matannya (lihat di Bab IV Pembahasan). Namun, yang
menjadi suatu masalah penting untuk dikaji adalah karena dalam suatu tulisan
blog di sebuah website seorang Syi’ah pun mengklaim Hadits Muslim ini palsu
dengan bersandar pada pendapat Ibnu Hazm yang mengutip dari Abdul Ghaniy Al Maqdisiy (Al Mishbâh Fî ‘Uyûn Al-Shihâh
1/49, Abdul Ghani Al-Maqdisi). Al-Maqdisi mengatakan bahwa menurut Abu Muhammad bin Hazm:
Hadits
Muslim ini maudhu’ (palsu), tidak diragukan kepalsuannya dan penyebabnya adalah
dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang kabar
bahwa Nabi SAW tidaklah menikahi Ummu Habibah kecuali sebelum peristiwa Fathu
Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri Habasyah. Dan dikatakan hal ini
tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan dan tidak pula terjadi kecuali
karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari bala bencana[9].
Mereka juga mengambil pendapat Ibnu Hatim yang
mengomentari rawi-rawi Muslim maudhu’ (palsu). Menurut penelusuran
penulis, tulisan ini dibuat dua kali untuk menguatkan pendapatnya dan membantah
seseorang dari Ahlussunnah yang mengkritik pendapatnya dengan kata-kata yang
sangat tidak sopan dan kasar. Pernyataan selanjutnya menurut Syi’ah yaitu:
Lalu mengapa para ulama menguatkan
kepalsuannya?” Yaitu karena Hadis Muslim tersebut “jelas-jelas bertentangan
dengan fakta sejarah” (yang sering kita kenal ternasuk “Kriteria Kritik
Matan Menurut Ulama Hadits”). Artinya itu adalah dusta yang diada-adakan terhadap
Nabi SAW. Walaupun kami sendiri tidak bisa menentukan siapa yang bertanggung
jawab atas kepalsuannya itu tetap tidak menafikan bahwa kabar itu dusta[10].
Pernyataan ini tentu akan menjadi suatu
keraguan tersendiri bagi umat Islam mengenai keutamaan salah seorang sahabat
Nabi yaitu Abu Sufyan, yang telah banyak mengorbankan kehidupannya hanya untuk
Islam tercinta. Serta pendapat Syi’ah ini bisa memperkuat aqidah Rafidlah tentang
para Sahabat Rasululah SAW yang mencela dan mengkafirkan para sahabat Nabi
selain tiga sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahli Hadits mereka Al-Kulaini
dalam bukunya Furu’ Al-Kâfi yang diriwayatkan dari Ja’far AS dimana
al-Kulaini mengatakan, “Seluruh sahabat itu murtad setelah Nabi SAW
wafat, kecuali tiga orang yaitu Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan
Salman Al-Farisi”[11]
dan tentunya yang dimaksud riwayat Syi’ah itu adalah sahabat selain Ali bin Abi
Thalib. Dan khususnya jika hasil penelitian para ulama dan Syi’ah tersebut benar, maka
kredibilitas Hadits Muslim patut untuk dipertanyakan sebagai kitab yang memuat
Hadits Shahih.
Sedangkan bila kita lihat dalam kitab ‘Aqidah
Ahlussunnah fi Al-Shahabah dikatakan bahwa Ta’rif shahabah yang Shahih
dan dijadikan pegangan adalah apa yang dinyatakan Ibnu Hajar, “Sahabat adalah orang
yang bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan muslim dan mati dalam keadaan
beragama islam pula ”. Lalu dia menjelaskan ta’rif itu (secara lebih luas), yaitu:
Termasuk orang yang
bertemu dengan Nabi saw dalam waktu yang
lama atau belajar kepadanya, maupun yang sebentar belajar kepadanya.
Orang yang menerima Hadits dari Nabi ataupun tidak. Orang yang ikut perang bersamanya
ataupun tidak. Orang yang melihatnya meskipun tidak belajar kepadanya. Orang
yang tidak dapat melihatnya karena buta, yang murtad, orang yang bertemu
dengannya dalam keadaan kafir, meskipun dia lalu masuk islam dan tidak bertemu
lagi dengan Nabi. Begitu juga, orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan
mukmin (beriman) kepada selain Nabi Muhammad seperti mukminnya para Ahli Kitab
sebelum masa pengutusan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul (Bi’tsah). Termasuk juga mukmin-mukmin dari bangsa jin
dan manusia. Sedangkan orang yang bertemu dengan Nabi, dia masuk islam, lalu dia
murtad, dan mati dalam keadaan kafir, hal ini bukan termasuk pendapat kami.
Adapun orang yang murtad, lalu masuk islam kembali sebelum dia mati baik pernah
bertemu dengan Nabi satu kali saja atau tidak, maka ini termasuk pendapat kami[12].
Dengan melihat definisi shahabah
tersebut sebagaimana yang disebutkan
Syaikh Al-Mubarakfuri dalam kitab Al-Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi Al-Siirah
Al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdlali Al-Shalati wa Al-Salâm, maka Abu
Sufyan pun termasuk salah seorang sahabat Nabi SAW. Sebagai buktinya ia telah
mengikuti beberapa peperangan seperti Perang Badar Kubra, Perang Sawiq, Perang
Uhud, Perang Hamra’ Al-Asad, Perang Badar Shughra, Fathu Makkah Perang
Hunain, Perang Tha’if, Perang Khandaq/Ahzab, dan Perang Yarmuk. Walaupun ia
sempat kafir, sangat membenci dan selalu memerangi orang-orang Islam. Namun
kebencian itu berbalik menjadi kecintaannya yang sangat teguh pada Islam
terbukti dengan dia masuk islam di
peperangan Fathu Makkah, hingga akhir hayatnya[13].
Adapun pandangan para ulama mengenai para
sahabat telah banyak diungkapkan dalam Al-Qur’an, salah satunya yaitu seluruh
umat Islam meyakini bahwa seluruh sahabat Rasul adalah orang mulia yang telah
dipuji Allah dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal
di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.(QS.Al-Taubah[9]:100).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul juga
menegaskan:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ
أُحُدٍ، ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah kalian mencaci para sahabatku,
andaikan kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak
bisa mengimbangi sedekah yang dikeluarkan para sahabat atau separuhnya[14].
Berdasarkan
permasalahan di atas, dengan karya tulis ini penulis bermaksud untuk meneliti
pendapat-pendapat para ulama melalui Hadis-hadis tentang Keutamaan Abu Sufyan
dan Hadits-hadits penguatnya serta pendapat-pendapat yang membelanya dengan
menggunakan Metode Takhrij.
Penelitian
mengkaji hadits dari segi sanad dengan meneliti kualitas para rawi yang
dianggap lemah dan derajat Haditsnya (Al-Jarh wa Al-Ta’dil), juga dari segi
matannya yang dibandingkan dengan Sirah Nabawiyyah.
Dengan
penelitian ini, diharapkan dapat diketahui apakah hadits tersebut dapat
dijadikan hujjah atau tidak, serta tidak
menafikkan keutamaan para sahabat Nabi SAW, diketahui bantahan-bantahan yang
menguatkan Hadits Muslim ini, dan juga untuk memperkuat ‘Adalah Al-Shahabah Ahlu
Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Oleh
karena itu, maka penulis bermaksud untuk meneliti permasalahan ini dalam
Skripsi yang berjudul “STUDI KRITIS HADITS KEUTAMAAN ABU SUFYAN R.A DALAM
KITAB SHAHIH MUSLIM NOMOR 2501”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian awal penulis, yang menjadi permasalahan dalam
kasus ini terjadi pada sanad
sekaligus pada matan, maka dalam hal ini penulis
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana Takhrij Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan?
2.
Bagaimana Kritik Sanad dan Matan Hadits tentang Keutamaan Abu
Sufyan?
3.
Bagaimana Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang Keutamaan Abu
Sufyan?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas, secara spesifik penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui:
1.
Takhrij Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
2.
Kritik Sanad dan Matan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
3.
Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan
D.
Metode Penelitian
Metode dalam kegiatan penelitian hadits ini yaitu:
1. Melakukan takhrij hadits dari matan hadits yang telah
disebut pada judul, langkah pertama melalui lafal hadits dan penelusuran data
yang dijadikan sumber dilakukan dengan bantuan kitab-kitab kamus Hadits seperti
al-Jami’ ash-Shagir karya as-Suyuthi, al-Mu’jamul Fahras li Alfazh
al-Hadits an-Nabawi karya Wensinck, Miftah al-Kunuz as-Sunnah karya
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, CD Kutub at-Tis’ah, CD Maktabah Syamilah dan
CD Jawami’ul Kalim. Metode takhrij hadis, yaitu penulusuran atau
pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap sanad dan
matannya yang bersangkutan[15].
2. Mencari data dari yang telah diperoleh dari kitab kamus
dengan merujuk pada kitab asli sesuai petunjuk dari kitab kamus.
3. Menguraikan skema jalur-jalur sanad agar terlihat ada
tidaknya pendukung yang berstatus mutabi’ atau syawahid.
4. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) yang diambil dari
kitab-kitab Rijal Hadits seperti Tahdzibul Kamal, Tahdzibut Tahdzib,
al-Jarh at-Ta’dil, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini dengan
menelusuri data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan
murid, tahun kelahiran dan wafat, hingga penilaian para ulama tentang kredibilitas
perawi tersebut. Untuk kemudian menentukan kedudukan hadits dari semua jalur.
5. Melakukan penelitian matan (kritik matan) dari hasil
penelitian sanad diatas.
6. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian diatas dan pesan
penting dari hadits tersebut.
Sedangkan
dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis yaitu
melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama serta pakar untuk kemudian
diteliti dan dianalisa sehingga menjadi kesimpulan yang ilmiah.
Untuk teknik pengumpulan data dan semua bahan yang berkaitan
dengan pembahasan digunakan metode pencarian data atau penelitian kepustakaan (library
reseach) selain itu menggunakan juga teknik kutipan (citation) yaitu
mengutip sebagian atau seluruh data dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan
dengan masalah yang sedang diteliti.
E.
Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis menelusuri terhadap
penelitian tentang Hadits Keutamaan Abu Sufyan di dalam kitab Shahih Muslim ini.
Hasilnya sepanjang pengamatan penulis belum terdapat penelitian yang
mengkhususkan masalah ini. Namun penelitian-penelitian terhadap Hadits Muslim
tentang Keutamaan Abu Sufyan telah ada yang melakukan seperti dalam kitab Manhaj
Naqd Al-Mutun ‘inda ‘Ulama Al-Hadits Al-Nabawi karya Shalahuddin bin
Ahmad Al-Adlabi[16],
didalamnya terdapat pembahasan tentang “Riwayat-riwayat yang Bertentangan
dengan Keterangan Baku dari Sirah Nabawiyyah yang Shahih” dan beliau mengemukan 2 contoh.
Salah satu contohnya adalah tentang Hadits Pernikahan Nabi
saw dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan, beliau hanya menuliskan Hadits Muslim
bab Keutamaan Abu Sufyan dan syarah Muslimnya. Kemudian beliau hanya
mengomentari mengenai “Pembaharuan nikah” menurut Ibnu Al-Shalah dan Al-Nawawi
saja. Menurut Ibnu Al-Shalah, “Jika pembaharuan nikah itu terjadi, tentu akan
diriwayatkan oleh yang lainnya, karena tujuannya adalah popularitas dan
kebanggaan bagi Abu Sufyan”. Jadi, kemungkinan Al-Adlabi telah mencari data
riwayat hadits yang memperbaharui nikah. Namun, Ia tidak memaparkan secara
meluas.
Komentar lainnya adalah kepada Al-Nawawi, dimana sebenarnya
Al-Nawawi tidak melihat adanya pembaharuan nikah, hanya sanya ia berusaha untuk
menyetujui pembaharuan nikah melalui penafsirannya terhadap kata “ya” pada Hadits
Muslim tersebut. Adapun maksud kata “ya” ini menurut Al-Nawawi, “Tujuanmu (Abu Sufyan)
tercapai”, meski tidak dengan akad yang sebenarnya. Menurut Al-Adlabi, “Penafsiran
ini adalah penafsiran yang jauh dari kebenaran”.
Adapun dalam kitab Manhaj Al-Muhadditsin fî Naqd Mutun
Al-Ahadits Al-Nabawiyyah karya Mauzah Ahmad Muhammad al-Kur[17],
tidak mencontohkan Hadits Muslim tentang keutamaan Abu Sufyan dalam pembahasan
‘Hadits yang bertentangan dengan Sirah Nabawiyyah’, hanya menyebutkan apabila
ada Hadits yang bertentangan dengan Sirah yang tsabit, maka tidak
diragukan bahwa dalil itu tidak Shahih.
Begitu
juga dalam kitab Maqayis Naqd Mutûn Al-Sunnah karya Al-Damini[18],
disana terdapat pembahasan ‘Membandingkan Matan dengan Fakta Sejarah’ dan menyebutkan
salah satu contohnya mengenai Hadits Keutamaan Abu Sufyan dan dia hanya mengatakan:
Hadits ini
dikritik dari segi matannya dengan menggunakan sejarah, diantara data-datanya
yaitu bahwa Abu Sufyan belum masuk islam melainkan pada hari futuh makkah. Adapun
Ummu Habibah dinikahi oleh Nabi saw jauh sebelum Abu Sufyan masuk islam.
Kejadiannya di Habasyah dan walinya Raja
Najasyi. Dalam hal ini Ibnu Hazm berkata: Hadits ini maudlu’, tidak
diragukan lagi kemaudlu’annya. Dan sungguh sebagian mereka telah mencoba
menjama’ antara dua urusan ini, tapi tidak ada gunanya.
Buku
lain yang ditemukan adalah Metologi Penelitian Hadits Nabi karya M.Syuhudi
Ismail, disebutkan bahwa hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan ini adalah hadits yang
bertentangan dengan fakta sejarah. Hadits ini juga masuk dalam contoh sanad
Shahih dan Dha’if matan, kesimpulan derajat hadits ini berdasarkan pendapat
ulama yang mengatakan bahwa Abu Sufyan bermaksud untuk memperbaharui akad nikah
putrinya dengan Nabi Muhammad. Namun, pendapat ini sulit diterima karena tidak
logis[19].
Selanjutnya, penulis hanya menemukan dari tulisan dari
website http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/07/hadits-palsu-dalam-shahihmuslim.html[20] yang membahas hadits Muslim
tentang Keutamaan Abu Sufyan ini, namun hanya memaparkan seputar menjarh dan
menta’dil Ikrimah, penelitian hadits palsu menurut para Ulama hadits yang
menjadi bukti bahwa hadits Muslim ini tidak sampai derajat palsu untuk
membantah tulisan dalam suatu blog Syi’ah yang memalsukan hadits ini. Namun
belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kedudukan Hadits Muslim ini, dalam
tulisannya hanya mengatakan bahwa “seandainya hadits ini keliru, maka belum
tentu dikatakan palsu”. Jadi, fokus artikel ini adalah untuk memperkuat
Hadits Muslim tidak sampai maudhu’(palsu).
F.
Sistematika Penulisan
Sebagaimana karya ilmiah umum lainnya, agar penulisan
penelitian ini tersusun dan terarah, dengan baik, maka penulisan penelitian ini
akan disusun secara sistematis yang terdiri dari beberapa bab. Dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub
bab sebagai penjelasan yang memiliki kolerasi dengan pembahasan bab-bab
tersebut. Adapun sistematika penulisan ini adalah:
Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka dan
Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritik yang berisi Metodologi kritik
Hadits yang berisi Pengertian dan Ruang Lingkup Metode Kritik Sanad dan Matan Secara
Umum
Bab III Biografi Abu Sufyan yang berisi kelahiran beliau,
nama, laqab dan kunyah yang disandangnya, Kedudukannya, Sifat-sifatnya,
Kehidupannya, Peperangan yang diikuti Abu Sufyan sebelum dan sesudah Masuk
Islam, Hadits-hadits yang mengemukakan Keutamaan Abu Sufyan, Wafatnya.
Bab IV Pembahasan yang berisi Studi Kritik Hadits
Keutamaan Abu Sufyan R.A dalam Kitab Shahih Muslim Nomor 2501 yang berisi Takhrij, Kritik
Sanad, Kritik Matan, Derajat dan Kehujjahan Hadits tentang
Keutamaan Abu Sufyan.
Bab V Uraian terakhir berupa Penutup yang berisi
kesimpulan dan Saran.
[1] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, (Bandung:
PT.Al-Ma’arif, 1981), cet.ke-3, hlm.3
[2] Ibid, hlm.3-4
[3]Akram Dhiya Al
Umary, Buhutsun fii Taarikhis Sunnah Al-Musyarrafah, (Madinah Al
Munawwarah: Al Maktabatul ‘Ulum wal Hukm), hlm. 321.
[4] Ajjaj Al-Khatib
al-Baghdadi, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. (Beirut:Darul
Fikr,1989). hlm.315.
[6]Ahmad Farid, Min A’lam al-Salaf, terjemahan dari: 60
Biografi Ulama Salaf, oleh:
Ahmad Syaiku, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm.512
[7]Muhyiddin Yahya bin Syarf bin Mara bin Hasan bin Husein bin Hizam
al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (tt. Al-Mathba’ah
al-Mashriyyah al-Azhar, 1929), cet.ke-1, juz.1 hlm.14
[9]Abd al-Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur
al-Maqdisi al-Jama’îli al-Dimasyqi al-Hambali, Al-Mishbah fî ‘Uyûn
al-Shihah, (tt. Mauqi’ al-Syubkah al-Islâmiyyah,
t.th), cet.ke-1, juz.1, hlm.49 (Maktabah Syamilah al-Ishdar 2)
[10]J.Algar, Hadits Palsu dalam Shahih
Muslim: Keutamaan Abu Sufyan RA, [online] http://secondprince.wordpress.com/2013/11/07/hadis-palsu-dalam-shahih-muslim-keutamaan-abu-sufyan-bantahan-untuk-nashibi/, 7 November 2013, diunduh 22 Februari 2014; Dengan
Artikel ini Fitnah Wahabi Terhadap Syi’ah Patah (Novel NU Buku Nu) http://syiahali.wordpress.com/2013/11/23/hadis-palsu-dalam-shahih-muslim-keutamaan-abu
sufyan-bantahan-untuk-nashibi/, 23 November
2013, diunduh 22 Februari 2014. Web Imamiyah Ushuliyah terlengkap di Indonesia,
Malaysia dan Brunei. Web ini membantu NU, Jama’ah Tabligh (JT) dan Rakyat
Malaysia melawan Salafi Wahabi demi persatuan islam, demi toleransi, dan saling
saying Sunni-Syi’ah dan Web ini memuat 5917 artikel pencerahan.
[11]Abd Allah bin Muhammad al-Salafi, Min ‘Aqaidisy Syi’ah, diterjemahkan
oleh: Abu Salman dengan judul Kesesatan Aqidah Syi’ah, (tt. Jaringan Pembela Sunnah, t.th), hlm.
24
[12]Nashir bin ‘Ali ‘Aridh Hasan al-Syaikh, ‘Aqidah Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama’ah fî al-Shahabat al-Kirâm Radhiyallâhu ‘anhu, (Riyadh: Maktabah
Al-Rasyd, 1993), cet.ke-1, Juz 1, hlm.35
[13]Lihat di Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, Al-Rahiq al-Makhtum, Bahtsun
fî al-Sîrah al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdhal Al-Shalati wa Al-Salâm, diterjemahkan oleh: Kathur
Suhardi dengan judul Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2013, hlm.228,271-272, 280, 468-470
[15]M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang, 2007, hal. 41
[16]Shalah al-Din, Manhaj, hlm.298-299
[17]Mauzah Ahmad Muhammad Al-Kur, Manhaj Al-Muhadditsin fî Naqd
Mutûn Al-Ahâdits Al-Nabawiyyah, (tt. Mudarris Al-Hadits wa ‘Ulumihi bi
Kuliyyah Al-Syari’ah Jami’ah Qathr, t.th) hlm.391-392
[18]Musfir Azmillah al-Daminy, Maqayis Naqd Mutûn al-Sunnah,
(Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah, 1984), cet.ke-1,
hlm. 183-184
[19] M.Syuhudi, Metodologi, hlm.143-146
[20]Abu al-Jauza’, Hadits Palsu dalam Shahih Muslim tentang Keutamaan
Abu Sufyan, [online] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/07/hadits-palsi-dalam
-shahih-muslim.html, Juli 2012, diunduh 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar