Selasa, 17 November 2015

BAB III
BIOGRAFI ABU SUFYAN BIN HARB R.A

         Kisah mengenai perjuangan Abu Sufyan mempengaruhi Ummu Habibah masuk agama Nashrani lagi telah diceritakan bahwa Abu Sufyan bin Harb tidak bisa membayangkan setiap orang di antara kaum Quraisy yang berani menantang kekuasaannya atau melawan perintahnya. Dia adalah sayyid atau kepala suku dari Makkah yang harus ditaati dan diikuti.
Putrinya -Ramlah- yang dikenal sebagai Ummu Habibah pun berani menantang kekuasaannya ketika dia menolak dewa dan cara-cara mereka menyembah berhala dari Quraisy. Bersama dengan suaminya -Ubaid Allah bin Jahsy- Ummu Habibah hanya menaruh imannya kepada Allah saja dan menerima pesan dari Nabinya, Muhammad ibn Abdullah.
Abu Sufyan mencoba dengan segala daya dan kekuatan yang dimilikinya ingin membawa kembali putri dan suaminya kepada agama nenek moyang mereka. Tapi dia tidak berhasil. Iman yang tertanam di jantung Ramlah terlalu kuat untuk dijebol oleh badai kemarahan Abu Sufyan. Abu Sufyan tetap sangat khawatir dan prihatin untuk menerima putrinya yang masuk Islam. Sebenarnya  Abu Sufyan tidak tahu bagaimana menghadapi orang Quraisy setelah Ummu Habibah  pergi melawan kehendaknya dan Abu Sufyan jelas tidak berdaya untuk mencegah anaknya dari mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Ketika orang-orang Quraisy menyadari bahwa Abu Sufyan sangat marah pada Ramlah dan suaminya, maka orang-orang Quraisy berani memperlakukan mereka dengan kasar. Mereka melepaskan kemarahan dengan berbagai penganiayaan, sehingga orang-orang yang masuk Islam menjadi tidak tahan hidup di Makkah termasuk Ummu Habibah dan suaminya. Itulah sekilas kisah dari Abu Sufyan, maka di bawah ini penulis akan memaparkan sedikitnya mengenai profil Abu Sufyan sebagai berikut:
A.      Nama Lengkap dan Nasabnya
         Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Al-Ishâbah, “Abu Sufyan memiliki nama asli yaitu Shakhra bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf Abu Sufyan Al-Qarasyi Al-Amawi, dan ia dikenal dengan namanya Abu Sufyan, Kunyahnya yaitu Abu Hanzhalah. Ibunya bernama Shafiyah binti Harb Al-Halaliyyah yaitu bibinya Maimunah binti Al-Harits istri Rasul SAW”.
Al-Mizi mengatakan, “Ibunya bernama Shafiyah binti Hazn bin Bujair bin Al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Shafiyah adalah bibinya Utsman, saudaranya ‘Affan dari ayah dan ibunya[72]. Menurut Abu Abd Allah bin Mandah mengenai kelahirannya, “Abu Sufyan dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah[73]”. Jadi,  umurnya 10 tahun lebih tua dari umur Nabi SAW, ada juga yang mengatakan tentang umurnya bukan itu sesuai perbedaan pendapat tahun wafatnya Abu Sufyan[74].
Nabi menikahi anak Abu Sufyan yaitu Ummu Habibah sebelum Abu Sufyan masuk Islam, sedangkan Ummu Habibah telah lama masuk Islam dan ia berhijrah dengan suaminya ke Habasyah, lalu suaminya wafat di sana[75]. Dengan pernikahannya itu Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah) telah menjadi istri Nabi dan termasuk salah seorang dari Ummahât Al-Mukminin. Sebelumnya, Ummu Habibah adalah istri Ubaid Allah bin Jahsy. Ibnu Al-Jauzi mengatakan mengenai pembahasan menyingkap kemusykilan Musnad Ummu Habibah binti Abi Sufyan bahwa:
     Namanya Ramlah. Ketika dia disisi Ubaid Allah bin Jahsyi. Habibah dilahirkan dan diberi kunyah dengan nama itu. Ubaid Allah berhijrah dengan Ummu Habibah ke Tanah Habasyah pada tahun kedua hijriyah, lalu suaminya (Ubaid) menjadi orang Nashrani, kemudian murtad dari agama nashraninya dan wafat di sana. Sedangkan Ummu Habibah tetap pada agamanya. Maka Rasul mengutus Amr bin Umayyah Al-Dhamri dan menunjuk sebagai wali nikahnya yaitu Raja Najasyi untuk mengkhitbah Ummu Habibah. Maka Khalid bin Sa’id bin Al-Ash mengurusi pernikahan Ummu Habibah, yaitu anak paman Abi Sufyan. Karena Abi Sufyan masih dalam keadaan kafir. Najasyi menyebut maharnya dari Rasul SAW sebanyak 400 dinar. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Shahihain[76].
Adapun Ketika Abu Sufyan mendengar berita pernikahan puterinya itu dengan Rasulullah SAW, dia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya![77]”. Namun menurut Muhammad bin Abdullah Al-Usyan dalam kitabnya Mâ Syâ-a walam Yatsbutu fî al-Sîrah al-Nabawiyah dikatakan bahwa tentang kepindahan Ubaidullah ke agama Nashrani itu para ulama berselisih pendapat apakah benar ia murtad atau tidak[78]. Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab[79].
B.  Kedudukannya
Abu Sufyan adalah kepala suku Bani Abdu Syams, salah satu dari cabang suku Quraisy. Ia juga adalah orang terpandang di Mekkah dan Abu Al-Abbas berkata, “Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy sebelum Bi’tsah[80].
Dalam kitab Al-Ibânah Lima li al-Shahabah disebutkan, “Abu Sufyan adalah seorang pemimpin Quraisy dan punya kedudukan tinggi diantara orang-orang Quraisy”[81]. Menurut Abu Nu’aim Al-Hafizh, “Ia adalah Tuan Padang Pasir dan Abu al-Umara’(kepala/pimpinan). Abu Al-Abbas berkomentar, “Umar membentangkan permadani pada masa kekhilafahannya dan tidak mendudukinya kecuali hanya oleh Al-Abbas dan Abu Sufyan. Umar berkata, “Inilah Paman Nabi dan ini Syaikh Quraisy, ia adalah pemilik unta pada Perang Badar, dan pasukan tentara di Perang Uhud dan Khandaq”[82].
Beliau ini termasuk orang kaya Quraisy, pada mulanya termasuk musuh Islam nomor satu. Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah. Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya, hal ini dapat terlihat ketika Perang Badar. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan Al-’Uqab. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya[83].
Al-‘Umari menyimpulkan tentang Abu Sufyan, “Pernyataan diatas menandakan bahwa Abu Sufyan dikenal sebagai pemimpin perdagangan Quraisy untuk wilayah luar, disamping sebagai pemimpin perang di Makkah. Ia juga dikenal sangat menentang Islam. Kemungkinan ia termasuk pemuka yang paling banyak merintangi orang lain untuk masuk Islam, namun akhirnya ia memeluk islam pada waktu Fathu Makkah”[84].
Masuk islamnya Abu Sufyan menjadikannya termasuk dalam Thabaqat Shahabah (kelompok sahabat) ke 12 yaitu Muslimah Al-Fath (orang-orang yang masuk Islam pada hari Fathu Makkah) dalam Kitab Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad yang dibuat oleh Al-Hakim[85] dari 100.000 sahabat menurut Ahli Ilmu[86], dia juga termasuk sahabat yang dikhususkan (Al-Shahâbah Al-Afrâd)[87].
C.  Wafatnya
Terdapat banyak pendapat mengenai tahun wafat Abu Sufyan, di sini penulis hanya akan memaparkan beberapa pendapatnya namun belum ditemukan tahun yang benar. Adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Al-Zubair berpendapat bahwa Abu Sufyan wafat pada akhir masa kekhilafahan Utsman. Ada yang mengatakan tahun 21 Hijriyah. Dikatakan pula Abu Sufyan hidup selama 93 tahun. Ulama lainnya mengatakan bahwa Abu Sufyan wafat tahun 32 Hijriyah pada masa kekhilafahan Utsman[88] dan ada yang menambahkan bahwa yang menyolatkannya adalah Utsman bin Affan. Pendapat ini seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sa’d, Abu Hatim dan Al-Waqidi terhadap apa yang dihukumi Abu Al-Qasim Al-Baghawi.
Ali Al-Madini berpendapat bahwa Abu Sufyan wafat pada tahun keenam masa kekhilafahan Utsman, sedangkan menurut Al-Haitsim bin Adi bahwa Abu Sufyan wafat karena kelelahan pada tahun kesembilan pada masa pemerintahan Utsman dalam keadaan buta matanya. Adapun pendapat yang mengatakan wafat tahun 31 Hijriyah adalah dari Ibrahim bin Sa’d Al-Jauhari dari Al-Waqidi, dengan tambahan, “wafat pada usia 88 tahun”. Dan Khalifah Khayath dan Abu Ubaid Al-Qasim menambahkan bahwa Ia wafat di Madinah. Sedangkan pendapat yang mengatakan wafat tahun 33 hijriyah adalah Al-Zubair bin Bakar. Pendapat terakhir yang mengatakan wafat tahun 34 Hijriyah adalah Abu Al-Hasan Al-Madani, Abu Abdullah bin Mandah[89], dan Al-Madini[90].
D.  Sifat dan Kehidupan Abu Sufyan
Abu Sufyan adalah orang yang suka melakukan tipu daya dan cerdas[91]. Al-Maradi menyebutkan kisah peperangan yang diikutinya setelah masuk Islam:
     Abu Sufyan dan Nabi keluar pada hari Khaibar ke Tsaqif, ia berperang bersama Nabi. Dikatakan, “Kemarin dia memerangi Nabi tapi hari ini dia berperang bersama Nabi, mereka melempari matanya dan mencukilnya”. Lalu Abu Sufyan mendatangi Nabi sambil memegang tangannya dan ia berkata, “Ya Rasulullah mataku! Rasul menjawab: Lakukanlah apa kau mau, jika kau mau matamu ini dijadikan tebusan, atau jika tidak maka  untukmu syurga karena butanya matamu ini. Abu Sufyan berkata: Aku memilih syurga saja”. Kemudian ia mengikuti Perang Yarmuk bersama Abi Ubaidah dan ia kehilangan mata keduanya.
Dalam Sirah Ibnu Ishaq digambarkan kehidupannya yang sederhana: Diceritakan Nabi mengutus Abu Sufyan ke Manah dengan memakai baju yang sobek/usang, lalu ia menambalnya.
Abu Nu’aim al-Hafizh berpendapat mengenai umurnya dan bentuk badannya: Ia hidup selama 93 tahun dan ia memiliki bentuk badan yang sedang.
Al-Waqidi berpendapat terhadap apa yang disebutkan Ibnu Sa’ad, “Sahabat-sahabat kami mengingkari bahwa Abu Sufyan bertugas (menjadi pemimpin perang) di Najran ketika Nabi wafat. Para sahabat berkata, Abu Sufyan berada di Makkah ketika Nabi wafat, sedangkan yang bertugas di Najran adalah Amr bin Hazm”[92].
Sifatnya yang lain seperti yang dikatakan banyak orang, di antaranya menurut Al-’Abbas bin Abdul Muththalib, bahwa dia senang dipuji dan dibanggakan orang, seperti yang terjadi pada Fath Makkah[93].
Dari beberapa peperangan yang diikutinya, secara umum Abu Sufyan memiliki sifat suka melakukan tipu daya, menghalalkan segala cara demi kepentingan dan melindungi kaumnya, pemimpin yang memperhatikan anggotanya, tidak mudah menyerah, selalu berusaha keras untuk mendapatkan hasil terbaik, pemberi nasehat dan motivasi ketika perang dengan kepintaran bicaranya yang dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, waspada dan hati-hati, yang selalu menghalangi orang masuk Islam dengan menjanjikan harta/dunia, selalu menjaga nama baik kaumnya, dan setia terhadap kaumnya. Juga ketika masuk Islam, ia adalah pejuang yang keras mati-matian membela Islam, tidak cinta dunia dan hanya memilih syurga dengan hidup tanpa kedua matanya.
Abu Sufyan telah mengikuti Perang Hunain dan Thaif, jadi ia adalah seorang muallaf. Sebelumnya, ia adalah seorang pemimpin pasukan Quraisy pada Perang Uhud dan Ahzab[94].
Sebelum masuk Islam, Abu Sufyan yang telah mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah SAW itu ternyata dia merupakan orang yang paling gigih melawan dan memeranginya. Dia juga pernah menyertai utusan kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya ( Nabi Muhammad SAW) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainnya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah SAW dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual beli dengan mereka.
Akhirnya, tiba saatnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini[95].
Sebelumnya, Bagi Abu Sufyan, Muhammad dan kaum muslim dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial Makkah, dan seseorang yang bertujuan untuk menguasai politik serta berpaling dari berhala Quraisy. Sehingga orang-orang Quraisy melakukan kekerasan, dengan adanya kekerasan ini membuat sekelompok muslim Makkah hijrah ke Habsyah sebelum ke Madinah untuk memperoleh perlindungan, dan putrinya yang bernama Ramlah binti Abu Sufyan adalah termasuk salah seorang diantaranya. Adapun kisah peperangan yang dialami Abu Sufyan sebelum dan sesudah masuk Islam secara singkat adalah sebagai berikut:
  1. Konflik militer
Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah pada tahun 622, kaum Quraisy menyita barang-barang kaum muslimin yang tinggalkan. Dari Madinah, kaum muslimin kemudian mulai menyerang kafilah-kafilah Quraisy yang berdagang dari Suriah ke Mekkah.
Pada tahun 624, Abu Sufyan memimpin sebuah kafilah. Sebuah pasukan muslim ketika itu berusaha untuk mencegatnya, namun ia berhasil meminta bantuan dari Quraisy di Mekkah. Ini adalah penyebab terjadinya Pertempuran Badar, yang kemudian berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Di lain pihak, Abu Sufyan berhasil membawa kafilahnya pulang dengan selamat ke Mekkah. Kematian beberapa pemimpin Quraisy dalam pertempuran tersebut menyebabkan Abu Sufyan menjadi pemimpin utama Mekkah.
Abu Sufyan selanjutnya berperan sebagai pemimpin militer Mekkah dalam peperangan melawan Madinah, antara lain dalam Pertempuran Uhud tahun 625 dan Pertempuran Khandaq tahun 627, tetapi tidak berhasil mencapai kemenangan yang menentukan. Akhirnya kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan Perjanjian Hudaibiyyah tahun 628, yang memungkinkan umat Islam untuk melakukan ziarah ke Ka'bah.
  1. Penaklukan Mekkah
Ketika gencata senjata tersebut dilanggar oleh suku-suku sekutu Quraisy pada tahun 630, Nabi Muhammad SAW kemudian menggerakkan pasukan Muslim untuk menaklukkan Mekkah. Abu Sufyan yang kini merasa bahwa Quraisy sudah tidak cukup kuat untuk dapat menghalangi kaum muslim, maka ia melakukan perjalanan ke Madinah dan berusaha untuk memperbaharui perjanjian tersebut. Tidak ada kesepakatan yang berhasil dicapai antara kedua belah pihak, dan Abu Sufyan kembali ke Mekkah dengan tangan kosong. Abu Sufyan masih beberapa kali lagi melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah untuk mengupayakan terjadinya penyelesaian damai. Ketika penaklukan Mekkah, upaya-upaya tersebut membuahkan hasil tidak adanya peperangan atau pertumpahan darah di Mekkah.
Setelah penaklukan Mekkah, Abu Sufyan menjadi salah seorang panglima perang kaum muslimin dalam peperangan selanjutnya. Dalam Pengepungan Tha'if, ia kehilangan sebelah matanya. Abu Sufyan juga berperang dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, di mana ia kehilangan mata keduanya.

3.      Peninggalan

Di kemudian hari, Muawiyah putra Abu Sufyan berhasil mendirikan dinasti Umayyah, yaitu dinasti Muslim pertama yang memerintah dunia Islam selama seabad, antara tahun 661-750. Muawiyah berperang melawan Ali bin Abi Thalib, sementara putranya Yazid bin Muawiyah terlibat peperangan yang akhirnya menyebabkan syahidnya Husain bin Ali. Kaum Syi'ah memandang Abu Sufyan sebagai seorang munafik yang memeluk Islam hanya setelah penaklukan Mekkah, dan penyusup di kalangan umat Islam[96].
E.       Keutamaan Abu Sufyan bin Harb
Abu Sufyan adalah di antara para sahabat yang memiliki beberapa keutamaan yang didokumentasikan dalam beberapa kitab. Adapun beberapa keutamaan Abu Sufyan bin Harb yang terdapat dalam kitab Al-Ibânah Lima li Al-Shahâbah yaitu Pertama, Abu Sufyan adalah ia seorang pemimpin Quraisy, suka melakukan tipu daya, cerdas, memiliki kedudukan tinggi diantara penduduk Quraisy, dan ia masuk islam pada malam Fathu Makkah.
Kedua, Kisah masuk islamnya Abu Sufyan adalah riwayat Muhammad bin Ishaq dari Ibnu Abbas:
     Dia menyebutkan keluarnya Nabi SAW dari Madinah pada hari Fathu Makkkah, maka ketika suatu waktu Ibnu Abbas singgah, Abbas menyebutkan kisah keluar dan masuknya Abu Sufyan ke Madinah. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Sufyan:"Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu". Dia lalu mengucapkan syahadatain dan telah menyatakan islamnya. Abbas berkata kepada Rasulullah:"Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang pada kehormatan ini. Berikanlah sesuatu yang bisa ia banggakan kepada kaumnya!" Rasulullah menjawab, "Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman!". Inilah kemuliaan yang diberikan kepada Abu Sufyan dan dikarenakan Nabi tinggal di Makkah, maka ia pun masuk rumah Abu Sufyan.
          Ketiga, Kisah pengakuannya terhadap Islam ada dalam kisah Hiraqla dan kesepakatan umat menerima Hadits Abu Sufyan. Bukhari meriwayatkan Hadits Abu Sufyan yang panjang menceritakan kisahnya dengan Hiraqla. Hadits Abu Sufyan tentang Hiraqla ini juga diriwayatkan Muslim, Abu Dawud , Al-Nasai dan Al-Tirmidzi[97]. Yaitu kisah Hiraqla yang bertanya kepada Abu Sufyan tentang Nabi SAW dan sifat-sifatnya yaitu:
     Abdullah bin 'Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sufyan bin Harb telah mengabarkan kepadanya bahwa Hiraqla menerima rombongan dagang Quraisy, yang sedang mengadakan perjalanan dagang ke Negeri Syam pada saat berlakunya perjanjian (Hudaibiyyah) antara Nabi dengan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy. Saat singgah di Iliya' mereka menemui Hiraqla atas undangan Hiraqla untuk diajak dialog di majelisnya, yang saat itu Hiraqla bersama dengan para pembesar-pembesar Negeri Romawi. Hiraqla berbicara dengan mereka melalui penerjemah. Hiraqla berkata; "Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungan keluarganya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi itu?" Abu Sufyan berkata; maka aku menjawab; "Akulah yang paling dekat hubungan kekeluargaan dengan dia". Hiraqla berkata; "Dekatkanlah dia denganku dan juga sahabat-sahabatnya." Maka mereka mempersilahkan orang-orang Quraisy berada di belakang Abu Sufyan. Lalu Hiraqla berkata melalui penerjemahnya: "Katakan kepadanya, bahwa aku bertanya kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. “Saya akan bertanya kepadamu, kalau dia berbohong, sangkallah!” Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu: “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu...Singkat cerita setelah melakukan dialog, Hiraqla berkata: Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada di bawah telapak kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa dia tidak ada di antara kalian sekarang ini, seandainya aku tahu jalan untuk bisa menemuinya, tentu aku akan berusaha keras menemuinya hingga bila aku sudah berada di sisinya  Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!’ Selanjutnya, Abu Sufyan berkata: ‘Aku keluar dari hadapan Kaisar Hiraqla dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam” Kemudian Hiraqla meminta surat Rasulullah yang dibawa oleh Dihyah untuk para Penguasa Negeri Bashrah, Maka diberikannya surat itu kepada Hiraqla, maka dibacanya dan isinya berbunyi (tentang ajakan masuk islam). Lalu Abu Sufyan menuturkan: "Setelah Hiraqla menyampaikan apa yang dikatakannya dan selesai membaca surat tersebut, di sisinya terdengar suara-suara yang berteriak keras dan ribut, maka kami keluar. Aku berkata kepada teman-temanku setelah kami keluar:"Sungguh dia (Raja) telah diajak kepada urusan Ibnu Abu Kabsyah (Muhammad). Hiraqla mengkhawatirkan kerajaan Romawi."Pada masa itupun aku juga khawatir bahwa Muhammad akan berjaya, sampai akhirnya (perasaan itu hilang setelah) Allah memasukkan aku ke dalam Islam [98].

          Keempat, Nabi memberikan Abu Sufyan seratus kambing dan unta, sebagaimana yang ada dalam Shahih Muslim dari Rafi’ bin Khudaij, “Rasul memberikan seratus ekor unta kepada Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyainah bin Hashn, Al-Aqra’ bin Habis, dan seluruh muallaf yang seperti mereka”.[99] Oleh karena itu, Allah menamai orang yang bersama Nabi SAW pada Perang Hunain sebagai ‘Orang-orang yang beriman (Mukmin)’, karena Allah menetapkan keimanan mereka sebagaimana telah diabadikan dalam surat Al-Taubah[9]:25-26.
          Kelima, Dalil tentang tiga keutamaan Abu Sufyan yaitu putrinya dijadikan istri Nabi, putranya Muawiyah dijadikan penulis wahyu, dan Abu sufyan dijadikan pemimpin perang yang terdapat dalam riwayat Shahih Muslim[100]:
Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata, “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan Anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis Anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata:“Dan Anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”[101].
          Keenam, Abu Sufyan bertindak menjadi pemberi nasehat dan motivasi kepada pasukan dan putranya Yazid sebagai pemegang panji di sayap kiri pada Perang Yarmuk, dalam hal ini Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Ishâbah:
     Diriwayatkan oleh Ya’kub bin Sufyan dan Ibnu Sa’id dengan sanad yang shahih dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ayahnya, ia berkata, “Aku kehilangan semua suara saat Perang Yarmuk kecuali suara seorang lelaki yang berseru,“Pertolongan Allah telah dekat! Tetap teguhlah kalian. Tetap teguhlah kalian, wahai kaum muslimin!” Musayyib berkata, “Aku pun melihat lelaki itu. Ternyata dia adalah Abu Sufyan yang berada di bawah bendera putranya, Yazid.”.
Ketujuh, Masih dalam kitab Al-Ishâbah tentang keutamaan Abu Sufyan lainnya adalah ketika matanya cedera pada Perang Thaif dan kedua matanya hilang pada Perang Yarmuk, sehingga hidup dalam keadaan buta dalam sisa akhir hidupnya seperti yang diriwayatkan Al-Zubair dari jalan Sa’id bin Ubaid Al-Tsaqafi:
     Dia berkata: Aku meluncurkan anak panah kepada Abu Sufyan dan mengenai matanya pada Perang Thaif, maka ia datang kepada Nabi. Lalu Abu Sufyan berkata: Mataku ini terluka di jalan Allah. Rasulullah bersabda, “Jika engkau suka aku akan mendoakanmu dan Allah akan mengembalikan matamu. Namun, jika engkau suka (bersabarlah dan engkau akan mendapatkan) surga Allah”. Abu Sufyan berkata, “Aku memilih surga.”[102]. Maka ia menjalani sisa hidupnya dengan mata yang cedera, dan bersabar atasnya.
F.   Peperangan yang Diikuti Abu Sufyan
Dibawah ini akan dipaparkan sedikitnya peperangan yang diikuti Abu Sufyan baik sebelum ia masuk Islam atau sesudahnya. Diantaranya:
1.    Perang Badar Kubra
Pertempuran Badar Kubra adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan dua Hijriyah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan. Al-Mubarakfuri mengatakan:
     Dimulai dengan Kabilah dagang Quraisy yang dapat melepaskan diri dari hadangan Rasulullah, pada saat perjalanan dari Makkah ke Syam. Tatkala mendekati kepulangan mereka dari Syam ke Makkah, maka Rasulullah mengutus Thalhah bin Abdullah dan Said bin Zaid agar pergi ke utara untuk menyelidiki dan memberi informasi apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Mereka bergerak hingga ke daerah Al-Hawra', ketika kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan lewat, maka mereka pun segera pulang ke Madinah dan melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah. Kafilah Abu Sufyan itu sendiri membawa harta kekayaan penduduk Makkah yang jumlahnya sangat melimpah, yaitu sebanyak 1000 ekor unta yang membawa harta benda milik mereka, yang nilainya tidak kurang dari 5000 dinar emas, sementara yang mengawalnya tidak lebih dari 40 orang. Inilah kesempatan baik bagi pasukan Madinah untuk melancarkan serangan yang telak terhadap orang-orang musyrik dalam bidang politik, ekonomi dan militer, sekiranya semua harta tersebut dapat dirampas dari tangan mereka. Oleh karena itu, Rasulullah memberitahukan kepada kaum muslimin dengan sabdanya:"Inilah dia kafilah Quraisy yang penuh dengan harta, mari keluarlah kalian! Semoga Allah menjadikan harta rampasan itu untuk kalian". Namun dalam masalah ini Beliau tidak memaksa siapa pun untuk keluar, Beliau hanya meminta kerelaan mereka, karena Beliaupun tidak bermaksud akan terjadi pertarungan yang dahsyat dengan tentera Makkah dan bentrokan ini juga baru terjadi saat di medan Badar. Dengan demikian, maka sebahagian besar dari sahabat berada di Makkah, dan Rasulullah tidak membantah terhadap mereka yang tidak ikut perang.
     Abu Sufyan mengikuti Perang Badar karena peringatannya kepada kaum Muslimin ketika berada di Makkah, ia juga yang bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan kafilah dagang Quraisy, oleh karenanya ia bertindak sangat hati-hati dan waspada saat itu. Dia tahu bahwa jalur ke Makkah penuh resiko, maka ia pun mencari informasi, bertanya kepada siapapun yang ditemuinya di jalan. Hingga akhirnya ia mendapat kabar yang meyakinkan bahwa Nabi telah pergi bersama rekan-rekannya untuk menghadang kafilahnya. Saat itu, Abu Sufyan mengupah Dhamdham bin ‘Amr Al-Ghifari agar pergi ke Makkah memberitahu orang-orang Quraisy agar mengirim bantuan dan menyelamatkan kafilah dagang mereka serta menghadapi Nabi dan pasukannya. Maka Dhamdham pergi dengan cepat hingga selamat sampai di Makkah, dengan baju yang terkoyak-koyak dan perbekalannya yang berantakan, dia berdiri diatas punggung untanya yang tampak lusuh di tengah lembah, dia berteriak: “Wahai orang Quraisy, kafilah, kafilah…!Harta benda kalian yang dibawa Abu Sufyan telah dihadang oleh Nabi dan pasukannya. Menurutku kalian harus menyusul mereka, tolonglah mereka…tolonglah!”. Akhirnya kafilah yang dipimpin Abu Sufyan ini dapat meloloskan diri, karena ia meningkatkan kewaspadaan dan selalu mengawasi ketika mengambil jalur pokok menuju ke Makkah.
     Ketika kafilahnya sudah mendekati Badar, ia mendahului rombongan hingga bertemu dengan Majdi bin Amr dan menanyakan pasukan Madinah kepadanya.“Aku tidak melihat seorangpun yang mencurigakan, hanya saja tadi aku melihat dua orang penunggang yang berhenti di bukit itu”. Jawab Majdi. Setelah mengisi kantong air, keduanya pun pergi. Abu Sufyan segera mendatangi tempat menderum unta milik dua orang yang dimaksudkan Majdi dan memeriksa kotorannya, dan ternyata didalam kotorannya ada biji-bijian yang masih utuh. Dia berkata: “Demi Allah, ini adalah makanan hewan dari Yatsrib”. Maka dengan cepat ia kembali menemui kafilahnya dan mengalihkan arah perjalanan menuju barat ke pesisir pantai, sehingga tidak jadi mengambil jalan pokok yang melewati Badar, tepatnya kearah kiri. Dengan cara itu, kafilah Abu Sufyan dapat selamat dari hadangan pasukan Madinah dan kemudian ia mengirim surat kepada pasukan Makkah yang sudah tiba di Juhfah. Mata-mata pasukan Madinah menyampaikan berita tentang lolosnya kafilah dagang Abu Sufyan kepada Rasul, yang saat itu masih dalam perjalanan melewati Wâdi Dzifiran. Sementara itu, tidak ada kesempatan bagi beliau dan para sahabatnya untuk menghindari peperangan. Akhirnya, mereka harus terus maju dengan pantang menyerah. Sebab jika pasukan Makkah dibiarkan menyerang, sama saja dengan memberi kesempatan untuk memantapkan posisi militernya, melebarkan pengaruh politiknya, dan juga dapat meleraikan persatuan Muslimin serta menimbulkan rasa takut. Bahkan dapat membuat gerakan Islam hanya sebatas gerakan jasad tanpa ruh dan orang-orang yang membenci Islam dapat dengan mudah menyerang kaum Muslimin[103].       
Dari kisah diatas, kenapa Rasul tidak mengejar kafilah dagang Abu Sufyan setelah perang Badar, karena Allah telah menjanjikan kepada beliau salah satu dari dua rombongan, dan Allah telah memenuhi janjiNya kepada beliau dengan memberikan kemenangan bagi beliau atas pasukan Musyrikin[104].
Dari paparan diatas Abu Sufyan memiliki sikap waspada dan hati-hati sehingga dapat diambil pelajaran bahwa seorang komandan hendaknya menyembunyikan segala sesuatu yang mungkin bisa dijadikan oleh pihak musuh sebagai bahan untuk menyimpulkan informasi. Sesuatu tersebut bisa jadi sangat tidak berharga tetapi hendaknya tidak disepelekan. Di zaman modern, musuh bisa mengetahui banyak hal tentang musuhnya apabila diketahui jumlah makanan sehari-hari yang dikonsumsinya. Juga bisa mengambil kesimpulan jika telah diketahui jumlah bahan bakar yang dihabiskan oleh semua kendaraan musuh, sehingga bisa diperkirakan berapa jumlahnya dan apa jenisnya.
Kadang-kadang pasukan menyembunyikan berapa jumlah korban yang dialaminya tetapi ia lupa akan satu sisi yang bisa menjadi indikasinya, misalnya ucapan bela sungkawa di berbagai media massa, sehingga pihak lawan dapat menyimpulkan berapa kerugian yang dialaminya melalui ucapan bela sungkawa tersebut. Dalam hal ini Abu Sufyan benar-benar seorang pemimpin yang patut diingat dengan peristiwa dan kehati-hatiannya. Demikian pula kaum Muslimin patut mengambil pelajaran dari kasus ini.
2.    Perang Sawiq
Dalam riwayat Musa bin ‘Uqbah tidak menyebutkan kapan Yahudi merencanakan makar terhadap kaum muslim, baik berupa tipu daya, provokasi dan informasi penting yang dijual kepada kafir Quraisy. Sebagaimana dimaklumi bahwa Yahudi memprovokasi Quraisy untuk memerangi kaum muslimin tepatnya pada Perang Uhud. Mereka membantu Abu Sufyan dalam sebuah pertempuran di penggiran kota Madinah, yang akhirnya kaum muslimin berhasil menghalau pasukan Abu Sufyan yakni pada Perang Sawiq setelah Perang Uhud. Diketahui pula bahwa upaya tipu daya dan politik yang dipecah belah itulah yang didegung-dengungkan oleh Ka’ab bin Al-Asyraf untuk memprovokasi kafir Quraisy agar mereka memerangi kaum muslimin. Kemungkinan inilah yang dimaksudkan dalam riwayat Musa bin Uqbah yang menunjukan buruknya hubungan antara kaum muslimin dengan Bani Nadhir, yang berakhir dengan upaya pembunuhan terhadap Nabi dan menjadi penyebab secara langsung pengepungan mereka serta merupakan rentetan rencana permusuhan[105]. Al-Mubarakfuri menceritakan kisah perang ini:
     Shafwan bin Umayyah yang telah menjalin persekongkolan dan konspirasi dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik, maka Abu Sufyan berfikir untuk melakukan suatu tindakan yang sedikit menyerempet bahaya, dengan maksud untuk menjaga kedudukan kaumnya dan menunjukan kekuatan yang mereka miliki. Dia sendiri sudah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun junub, hingga dia dapat menyerang Muhammad[106].
     Abu Sufyan ingin melakukan aksi pembalasan maka secara diam-diam ia berangkat dari Makkah bersama 200 pasukan berkuda, mereka singgah di Bani Nadhir (diluar kota Madinah). Dalam riwayat lain dikatakan, setelah pergi dengan 200 pasukan dan tiba disuatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaraknya dari Madinah kira-kira 12 mil, Abu Sufyan tidak berani masuk ke Madinah secara terang-terangan, maka ia mengendap-endap layaknya seorang perampok lalu mendatangi rumah Huyai bin Akhtab. Ia meminta izin untuk memasuki rumahnya, namun Huyai menolaknya karena takut ketahuan. Maka ia pergi dan mendatangi rumah Sallam bin Misykam (pemimpin Bani Nadhir), ia meminta agar kedatangannya ini dirahasiakan dari siapapun. Setelah dijamu dan disuguhi arak, pada akhir malam Abu Sufyan keluar rumah dan kembali menemui rekan-rekannya. Ada yang mengatakan perang ini terjadi pada bulan Dzulhijjah (2 bulan setelah perang Badar) dan untuk urusan di Madinah ini, Nabi menyerahkannya kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir[107]. Kemudian ia menyerang kampung ‘Uraidl[108] dan berhasil membunuh dua orang Anshar, membakar pohon kurma, serta melarikan diri ke Makkah. Maka kaum muslimin mengejarnya sampai Qarqarah al-Kudr, namun tidak berhasil menangkapnya. Al’Umari mengatakan, “Mereka kembali dengan membawa sawiq (tepung gandum) yang dibuang oleh orang-orang musyrik sebagai perbekalan mereka agar tidak berat sehingga dengan mudah dan cepat dapat melarikan diri, maka peperangan ini disebut dengan “Perang Sawiq”[109].




3.    Perang Uhud
Peristiwa ini terjadi pada hari Jum’at enam Syawwal tiga Hijriyah dimana Penduduk Makkah terbakar api kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di perang Badar, dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Setelah perang Badar, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan habis-habisan terhadap orang Muslim, agar kebencian mereka dapat terobati. Karena itu mereka mempersiapkan untuk melakukan peperangan sekali lagi.
Diantara pemimpin-pemimpin Quraisy yang paling bersemangat mengadakan persiapan perang adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Abu Sufyan bin Harb dan Abdullah bin Abu Rabi’ah. Al-Mubarakfuri menceritakan kisah perang ini bahwa:
     Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menghimpun kembali barang dagangan yang bisa diselamatkan Abu Sufyan dan masalah apa yang menjadi sebab pecahnya Perang Badar, mereka juga berkata kepada para hartawan: “Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh orang-orang terbaik kalian. Maka tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya, siapa tahu kita dapat menuntut balas”. Maka mereka memenuhi himbauan tersebut, hingga terkumpul 1000 unta dan 1500 dinar. Tentang hal ini, Allah menurunkan surat Al-Anfal ayat 36.
     Mereka membuka pintu dukungan bagi siapapun yang hendak ikut andil untuk memerangi orang-orang Muslim, baik dari suku Kinanah, Habasyah ataupun Tihamah. Abu Sufyan adalah orang yang paling bersemangat melakukan persiapan menghadapi orang-orang Muslim, setelah dia kembali dari Perang Sawiq dengan tangan hampa dan bahkan ia banyak kehilangan harta saat itu. Begitu juga, semangat perang orang-orang Quraisy karena kehilangan barang dagangannya di bawah tangan salah satu pasukan Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah, bahkan mengancam perekonomian mereka. Setelah genap satu tahun, persiapan mereka benar-benar sudah matang. Tidak kurang dari 3000 prajurit Quraisy yang sudah berkumpul dengan sekutu-sekutunya dan kabilah-kabilah kecilnya. Para pemimpin Quraisy juga membawa para istri mereka untuk menambah semangat mereka, namun yang diikutsertakan hanya 15 orang. Hewan pengangkutnya ada 3000 unta, penunggang kudanya ada 200 yang disebar disepanjang jalan yang dilaluinya, dan pemakai baju besi ada 700 orang.
     Komandon pasukan tertinggi dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, sedangkan komandon pasukan kuda dipimpin oleh Khalid bin al-Walid yang dibantu Ikrimah bin Abu Jahl. Adapun bendera perang diberikan kepada Bani Abdi Dar. Pasukan Makkah meneruskan perjalanan dengan mengambil jalur utama kearah barat menuju Madinah. Setiba di Abwa’, Hindun bin Uthbah istri Abu Sufyan mengusulkan untuk menggali kuburan Ibunya Rasul, namun para komandon pasukan Quraisy menolak usulan itu. Kali ini mereka bersikap hati-hati terhadap akibat yang harus mereka hadapi, jika berbuat seperti itu. Para komando pasukan yang telah disebutkan diatas adalah kedudukan mereka semenjak Bani Abdi Manaf membagi-bagi beberapa kedudukan di Makkah, yang diwarisi dari Qushay bin Kilab. Jadi tak seorangpun boleh menetangnya, karena telah terikat oleh tradisi yang sudah berlaku.
     Namun, Abu Sufyan banyak membicarakan tentang apa yang menimpa pada pembawa bendera pada saat Perang Badar yang tertawan yaitu Al-Nadlr bin Al-Harits, maka Abu Sufyan memancing amarah Bani Abdi Dar dengan berkata: “Wahai Bani Abdi Dar, kalian telah dipercaya untuk membawa bendera perang kami saat Perang Badar, dan akhirnya kita mengalami sial seperti yang sudah kalian ketahui. Sesungguhnya pasukan itu diukur dari benderanya. Jika bendera itu musnah, maka musnahlah semua pasukan. Jadi kalian lebih baik melindungi bendera kita atau melepaskan urusan kita dengan Muhammad, dan cukuplah kami sebagai wakil kalian”. Abu Sufyan berhasil memancing amarah mereka, mereka marah mendengar ucapannya, dan bersumpah dengan berkata: “Kami menyerahkan bendera kami kepadamu? Besok kamu akan mengetahui apa yang akan kami perbuat saat pertempuran”. Merekapun langsung melompat ke medan pertempuran saat dimulai.
     Sebelum pecahnya peperangan, pihak Quraisy berusaha menciptakan perpecahan didalam barisan pasukan Muslimin dengan cara Abu Sufyan mengirim surat yang ditujukan kepada kaum Anshar yang isinya: “Biarkanlah urusan kami dengan anak paman kami, dan setelah itu kami akan pulang tanpa mengganggu kalian, karena tidak ada gunanya kami memerangi kalian”. Namun, karena teguhnya iman mereka, kaum Anshar malah membalas suratnya dengan balasan yang pedas, yang membuat merah telinga saat mendengarnya. Di sana pun terdapat beberapa wanita Quraisy yang ikut bergabung dalam pasukan perang kali ini, yang dipimpin oleh Hindun bin Uthbah. Mereka tak henti-hentinya berkeliling diantara barisan, menabuh rebana, membangkitkan semangat, mengobarkan tekad berperang, dan terkadang memberi semangat pada para pembawa bendera.
     Adapun diantara pahlawan perang Islam pada saat itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya (Abu Amir) adalah seorang tabib yang disebut si Fasik. Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Saat turun ke medan perang, ia menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh yaitu Abu Sufyan bin Harb. Sebenarnya ia sudah dapat menundukan Abu Sufyan, namun hal itu diketahui oleh Shaddad bin al-Aswad, Shaddad lalu menikamnya hingga wafat sebagai syahid. Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah: “pada saat Perang Uhud, orang-orang musyrik telah kalah. Lalu ada seorang iblis berseru: Hai, hamba Allah! waspadailah orang-orang dibelakang kalian. Hudzaifah segera menyadari hal ini, dia yang bersama ayahnya al-Yaman berteriak: Hai hamba Allah! dia adalah ayahku”. Hudzaifah berkata seperti itu karena takut ayahnya jadi sasaran untuk dibunuh, namun tak ada orang yang menghalangi mereka berdua, hingga ayahnya terbunuh. Lalu Hudzaifah berkata: “Semoga Allah mengampuni kalian”. Kejadian ini terjadi ketika barisan menjadi kacau balau yang asal mulanya karena para pemanah tidak taat dan kaum muslimin malah asyik mengambil harta rampasan, mereka bingung harus melawan siapa, siapa yang lawan dan siapa yang kawan. Ditambah lagi ada yang berteriak: “Muhammad telah terbunuh”. Ketika itu juga, mental orang-orang Muslim anjlok dan semangat mereka hilang, pertempuran terhenti, dan banyak yang meletakkan senjata, bahkan sebagian mereka ada yang berfikir untuk meminta perlindungan kepada pimpinan orang-orang Munafik (Abdullah bin Ubay)  dari serangan Abu Sufyan[110].

     Kegembiraan Abu Sufyan seusai Perang dan Dialognya dengan Umar
     Namun pada akhirnya dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyah karya Dliya’ Akram al-‘Umuri dikatakan bahwa Kaum musyrikin sudah kehilangan akal untuk menghentikan pertempuran dengan membawa kemenangan besar, mereka sudah keletihan karena lamanya waktu pertempuran dan kegigihan kaum muslimin. Lalu mereka menahan diri untuk mengejar pasukan muslimin di celah-celah Gunung Uhud, namun Abu Sufyan maju kearah pasukan Muslimin lalu angkat bicara: “Adakah Muhammad di tengah kalian?”, Rasul berkata: “Jangan jawab perkataannya”.  “Adakah Ibnu Abi Quhafah ditengah kalian?”, Rasul berkata: “Jangan jawab perkataannya”. “Adakah Ibnu al-Khathab ditengah kalian?” Tanya Abu Sufyan[111]. Al-Mubarakfuri menyimpulkan bahwa tak ada seorangpun yang menjawab karena Nabi yang melarangnya, dan Abu Sufyan hanya menanyakan 3 orang ini karena dia dan kaumnya menganggap mereka inilah yang menjadi sendi tegaknya islam[112]. Abu Sufyan melanjutkan perkataannya: “Sesungguhnya mereka telah terbunuh, sekiranya mereka masih hidup tentu akan menjawabnya”. Umar tidak dapat menahan dirinya, maka ia berkata: “Engkau telah berdusta wahai musuh Allah! Allah akan menetapkan sesuatu yang akan menghinakanmu”.
     Dalam riwayat lain disebutkan Umar berteriak: “Wahai musuh Allah! orang-orang yang kau sebutkan itu masih segar bugar”. Abu Sufyan menimpali:” Nyatanya di antara kalian banyak yang mati dan aku tidak mengurusnya”[113]. Abu Sufyan menjawab: “Maha Tinggi Hubal!”. “Jawablah perkataannya!” perintah Rasul. Para Sahabat berkata: “Apa yang harus kami katakan?”, katakanlah: “Allah adalah penolong kami dan tidak ada penolong bagi kalian”. Abu Sufyan membalasnya: “Kami punya Uzza, dan kalian tidak punya Uzza”. “Jawablah perkataannya!” perintah Rasul. Para Sahabat berkata: “Apa yang harus kami katakan?”, katakanlah: “Allah adalah penolong kami, dan tidak ada penolong bagi kalian”.
     Perintah Rasulullah agar mereka membalas ketika Abu Sufyan merasa bangga dengan sesembahan-sesembahan dan kesyirikannya, dalam rangka pengagungan terhadap tauhid sekaligus menunjukkan Keperkasaan dan Kemuliaan Dzat yang diibadahi oleh kaum muslimin. Abu Sufyan berkata lagi: “Ini adalah pembalasan atas kekalahan kami di Perang badar, peperangan di antara kita seimbang. Kalian mengalami nasib yang sama dengan kami, aku tidak memerintahkannya dan tidak pula menyulitkanku”. Dalam riwayat lain, Umar menjawabnya: “Tidaklah sama! Prajurit kami yang gugur akan berada didalam syurga, sedangkan prajurit kalian yang gugur akan berada di neraka”. Mendiamkan perkataan Abu Sufyan tadi adalah bentuk peremehan kepadanya, namun setelah ia bertambah congkak dan dipenuhi rasa sombong, maka kaum muslimin menyebutkan apa yang sebenarnya terjadi dan membalas ucapannya dengan penuh keberanian.
     Disebutkan pula: bahwa Abu Sufyan berkata lagi:” Wahai Umar kemarilah!” Maka Rasul bersabda: “Hampirilah dia, lihat apa maunya!” Maka Umar menghampirinya, setelah mendekat, Abu Sufyan bertanya: “Demi Allah, Aku memohon kepadamu wahai Umar, apakah kami benar-benar telah membunuh Muhammad?” “Demi Allah, sama sekali tidak” Jawab Umar. “Beliaupun bisa mendengar perkataanmu saat ini”. Abu Sufyan berkata: “Bagiku Engkau lebih jujur dan lebih baik daripada Ibnu Qami’ah, karena Ibnu Qami’ah berteriak saat pertempuran sedang berkecamuk bahwa ia telah membunuh Nabi”[114].
     Ibnu Ishaq dan al-Waqidi menyebutkan bahwa Abu Sufyan menjanjikan perang yang berikutnya setelah perang ini dan kaum muslimin menyambut tantangan itu. Ibnu Ishaq dan as-Suddi menyebutkan bahwa Rasul mengirim Ali untuk menyelidi kemanakah perginya pasukan Musyrikin, apakah mereka bermaksud untuk menyerang Madinah atau kembali ke Makkah. Disebutkan, Nabi bersabda:”Jika mereka mengikat kuda dan menaiki unta, berarti mereka pergi menuju Makkah. Namun, jika mereka menaiki kuda dan mengikat untanya, berarti mereka hendak menuju Madinah. Demi yang diriku ada di TanganNya, jika mereka menghendaki yang demikian itu, maka aku benar-benar akan menghadapi mereka di sana dan menggempur mereka”. Ali menuturkan:“Lalu aku membuntuti mereka, ternyata mereka mengikat kuda dan menaiki unta”. Mereka pergi ke Makkah[115].
     Al-Umari menambahkan: Walau bagaimanapun pasukan Quraisy sudah keletihan dan mereka sudah puas atas hasil yang mereka peroleh, yakni melampiaskan dendamnya tanpa terpikir lagi untuk mendapatkan kemenangan besar dengan mengejar pasukan Muslimin di celah-celah Gunung Uhud dan menghabisi mereka atau bermaksud menyerang kota Madinah. Begitu pasukan Musyrikin meninggalkan medan pertempuran, Rasul langsung memerintahkan untuk memakamkan para syuhada yang gugur sebanyak 70 syuhada[116].
     Adapun tentang pasukan yang hendak ingin ikut berperang dengan Nabi sebanyak 600 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul di Uhud ditolak oleh Nabi, karena Nabi sudah tahu kemunafikan mereka. Karena penolakan ini, Abdullah bin Ubay mempengaruhi beberapa kaum muslim yang tiada lain masih kelompok munafiknya agar tidak ikut perang dengan alasan pasukan kaum Quraisy lebih banyak, sehingga 300 orang dari 1000 pasukan umat islam mundur.  Pasca Perang Uhud, orang-orang Arab Musyrik disekitar Madinah menjadi semakin berani terhadap kaum Muslimin. Hal itu tampak jelas dengan munculnya beberapa kelompok, diantaranya yang digalang oleh Bani Asad dibawah pimpinan Thulaihah al-Asadi dan saudaranya Salimah di Nejed.
     Adapun ada beberapa pembunuhan yang dilakukan pada sahabat Rasul seperti Zaid bin Al-Datsinnah dibeli oleh Shafwan bin Umaiyyah untuk dibunuh sebagai pembalasan atas kematian ayahnya, Umaiyyah yang dibunuh Zaid pada saat Perang Badar. Sebelum mengeksekusinya, Abu Sufyan berkata kepadanya: “Aku bersumpah Demi Allah hai Zaid, apakah engkau senang jika Muhammad menggantikan tempatmu sekarang ini untuk kami siksa sedang engkau pulang ke rumah?” Zaid menjawab: “Demi Allah, aku tidak ingin Muhammad berada di tempatku kemudian tertusuk duri, sementara aku duduk santai di rumahku”. Maka Abu Sufyan berkata: “Aku tidak pernah menjumpai seseorang yang mencintai orang lain seperti sahabat-sahabat Muhammad yang mencintai Muhammad”[117].

4.    Perang Hamra’ Al-Asad
Rasul tidak berhenti untuk berfikir dalam menghadapi keadaan seperti ini, karena orang-orang Quraisy setelah Perang Uhud tidak memperoleh kemenangan mutlak dan mereka juga tidak mendapat keuntungan material yang berarti. Maka, Nabi khawatir mereka akan kecewa dengan hasilnya dan kembali ke Madinah untuk melakukan serangan lagi. Maka Nabi bertekad untuk mengusir pasukan Quraisy saat itu juga.
Sebagaimana dinyatakan para Ahli Sejarah, bahwa Nabi berseru dihadapan orang-orang dan menganjurkan agar mereka mengejar musuh. Kejadian ini terjadi pada keesokan hari setelah Perang Uhud, hari Ahad delapan Syawwal tiga hijriyah. Ibnu Ishaq menyebutkan sebuah riwayat tanpa sanad bahwa:
     Rasul bermukim di Hamra’ Al-Asad selama tiga hari (senin-rabu). Disebutkan bahwa Ma’bad Al-Khuza-I berpapasan dengan pasukan Quraisy di Rauhâ’ yang bertekad ingin kembali untuk menghabisi kaum muslimin. Namun Ma’bad menahan keinginan mereka dan megabarkan bahwa pasukan muslimin telah ke luar kota dan sampai di Hamra’ Al-Asad, sehingga ia menganjurkan mereka agar kembali saja ke Makkah. Tidak diragukan lagi misi ke Hamra Al-Asad berhasil mencapai tujuan kaum muslimin yaitu menampakkan kekuatan kaum muslimin untuk menyerang musuh-musuh mereka dari kalangan Arab badui dan kaum Quraisy, meskipun mereka mendapat musibah dalam Perang Uhud. Pengiriman pasukan ke luar kota Madinah secara otomatis mengesankan bahwa mereka mampu menghadapi Kaum Yahudi dan Munafikin yang berada didalam kota Madinah[118].
     Akhir perang ini, pasukan Quraisy tidak mampu melibas pasukan Muslimin. Sekalipun pasukan Muslimin sempat kacau balau, tetapi hampir dari mereka semua tidak melarikan diri. Mereka terus bertempur dengan gagah berani hingga dapat berhimpun kembali dengan komandon pasukan. Mereka sama sekali tidak jatuh dan tertawan oleh pasukan Quraisy. Pasukan Quraisy malah tidak mendapat harta rampasan walau sedikit. Bahkan pada putaran ketiga pasukan Quraisy tidak melanjutkan peperangan, dan mereka lebih dulu mengundurkan diri dari peperangan. Mereka tidak berani memasuki Madinah untuk menjarah tawanan dan barang-barang, sekalipun jaraknya tidak jauh lagi dan keadaan disana kosong. Bahkan keputusan Abu Sufyan untuk cepat-cepat pergi dari peperangan dan kembali ke Makkah, mengesankan bahwa sebenarnya ia dirasuki rasa khawatir dan was-was pasukannya mengalami kekalahan pada putaran ketiga ini. Juga karena ia tahu bahwa Rasul dan pasukan Muslimin menyusulnya hingga tiba di Hamra Al-Asad. Al-Mubarakfuri berkomentar: Perang Hamra al-Asad ini bukan perang yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari Perang Uhud dan kelanjutannya. Jadi, dalam Perang Uhud ini adalah perang yang tidak tuntas, masing-masing pihak mendapat kemenangan dan kerugian sendiri-sendiri, sehingga kedudukan menjadi imbang. Hal ini terisyaratkan dalam surat An-Nisa ayat 104[119].

5.    Perang Badar Shughra
 Pada bulan Dzulqa’dah tahun empat hijriyah, Rasul keluar dengan 1500 pasukan ke Badar. Mereka membawa sepuluh kuda dan panji pasukan dibawa oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menunggu kedatangan pasukan Quraisy sesuai dengan janji yang ditentukan pada perang Uhud dengan Abu Sufyan (pemimpin Quraisy). Pasukan muslimin menunggu selama delapan hari di Badar, tapi pasukan Quraisy tak kunjung datang.
Selama itu mereka menjual barang-barang dagangan dan mendapat laba yang banyak. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Perang Badar yang dijanjikan” atau “Perang Badar kedua” atau “Perang Badar terakhir” atau “Perang Badar Shugra”[120]. Al-‘Umari meriwayatkan kisah ini bahwa:
     Sebenarnya Abu Sufyan telah keluar membawa 2000 pasukan dan 50 pasukan berkuda, namun ketika mereka tiba di Marr azh-Zhahraan sekitar 40 Km dari kota Makkah, mereka kembali, karena tahun itu adalah tahun paceklik. Pemungkiran janji itu menyebabkan semakin kuatnya kedudukan kaum muslimin dan sekaligus mengembalikan wibawa mereka. Sementara itu, kaum muslimin meneruskan pengiriman detasemen-detasemen[121]ke seluruh penjuru tanah Arab seperti Nejed dan Hijaz untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang Arab. Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat dengan membawa pasukan kecil ke Thayyi’ dan Asad di Nejed, namun penduduk kedua daerah tersebut melarikan diri ke gunung-gunung sehingga pertempuran tidak sempat terjadi. Kemudian Rasul mengirim pasukan berjumlah 1000 orang pada bulan Rabi’ul Awal tahun lima hijriyah ke Daumatul Jandal dan telah sampai berita pada Rasul bahwa kaum musyrikin telah berkumpul disana, namun kumpulan itu telah bercerai berai ketika mereka mengetahui kedatangan pasukan muslimin yang telah menetap selama beberapa hari disana. Pasukan Muslimin sempat mengirim pasukan-pasukan kecilnya, namun mereka tidak mendapatkan perlawanan sedikitpun. Akhirnya mereka kembali ke Madinah setelah melepaskan Uyainah bin Hishn Al-Fazzari ketika mereka akan kembali[122].

6.    Perang Ahzab atau Khandaq
Sudah menjadi takdir Allah SWT bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh dan misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Nabi Muhammad kembali. Kali ini, dia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah SAW mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk menggali parit sesuai dengan saran Salman Al-Farisi. Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba dan mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah SAW atas nama kaumnya.
     Lanjutnya, Ka’ab lalu menutup pintu bentengnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”. Huyai menjawab, “Wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”. Ka’ab menjawab: “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!”  Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!” Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Muhammad. Dia mengadakan perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup senasib dengan kau!”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa karena harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam surat Al-Ahzab: 10-11. Malapetaka ini terjadi karena lebih dari 20 malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya masing-masing.
     Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i datang menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”. Rasulullah menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”. Nu’aim lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat. Nu’aim berkata kepada mereka: “kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”. Mereka menjawab: “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”. Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”. Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!”.
     Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudah mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Muhammad. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat persahabatan yang telah ada?” Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinya meskipun hanya seorang saja”.
     Nu’aim lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy. Begiru Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”. Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan membiarkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya”.
     Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud!” Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraizhah, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga!” Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”. Allah Ta’ala mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim dalam surat Al-Ahzab: 9. Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”. Ternyata sabda Rasulullah itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah berhasil ditandatangani[123].

Dialog Abu Sufyan dengan Raja Hiraqla
Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah SAW mengirimkan surat dan utusannya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Di antara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Hiraqla, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah Al-Kullabi. Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah SAW itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya.
Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun enam Hijriyah, setelah kembali dari Hudaibiyyah dan Al-Alamah Al-Mansurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para kurir untuk mengirimkan surat kepada para Raja itu awal Muharram tahun tujuh Hijriyah, beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar. Ketika Hiraqla ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda dan salah satunya Abu Sufyan. Hiraqla mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya[124].
Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk islam? Apakah dia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad? Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau dia ada dihadapannya, tentu dia akan mencuci kedua kakinya. Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata:
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيم
“Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfal[8]: 32)
Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwa Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah. Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
7.    Fath Makkah
Abu Sufyan Pergi ke Madinah untuk Memperbaharui isi Pejanjian
        Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulhu Hudaibiyah pada tahun enam hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
          Al-Mubarakfuri menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi, apa yang dilakukan Quraisy dan sekutunya ini merupakan pengkhianatan yang nyata terhadap perjanjian dan tidak mungkin dapat ditolerir lagi. Orang-orang Quraisy mulai menyadari pengkhianatan ini dan mulai merasakan akibat yang harus mereka tanggung. Karena merasa melanggar perjanjian, maka mereka menyelenggarakan majelis permusyawaratan dan mengambil keputusan untuk mengirim utusan yaitu pemimpin mereka Abu Sufyan untuk memperbaharui isi perjanjian. Disisi lain, setelah mendapat informasi tentang pengkhianatan ini, Rasul memberitahukannya kepada para sahabat. Beliau bersabda: “Sepertinya Abu Sufyan akan mendatangi kalian untuk membuat perjanjian lagi dan menambahi temponya”.
          Maka Abu Sufyan berangkat menuju Madinah dan bertemu Budail bin Waraqa’ di Usfan yang sedang pulang ke Madinah. “Dari mana engkau wahai Budail?” Tanya Abu Sufyan yang merasa yakin bahwa Budail baru saja menemui Rasul. “Aku dan beberapa orang dari Khuza’ah baru saja dari pesisir pantai dan perkampungan di lembah itu” jawab Budail bohong. “Tidakkah kau menemui Muhammad?” Tanya dia lagi. “Tidak” jawab Budail. Setelah Budail pergi melanjutkan perjalanan ke Makkah, Abu Sufyan berkata: “Jika Budail telah pergi ke Madinah, berarti dia telah memberi makan untanya dengan biji-bijian”. Lalu ia mendatangi tempat menderum unta Budail, mengambil kotoran untanya dan memeriksanya, hingga ia melihat ada biji-bijian dalam kotoran itu. Dia berkata: “Aku berani bersumpah kepada Allah, Budail benar-benar telah menemui Muhammad”.
         Abu Sufyan melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah, lalu ia memasuki rumah putrinya yang menjadi istri Rasul yaitu Ummu Habibah. Saat ia beranjak untuk duduk di lapik milik Nabi, Ummu Habibah melipatnya agar tidak diduduki ayahnya. Abu Sufyan berkata meradang: “Hai putriku, apakah kau lebih sayang kepadaku daripada lapik itu atau sebaliknya?” Ummu Habibah menjawab: “Tapi ini lapik Rasul, dan ayah adalah orang musyrik lagi najis”. Abu Sufyan menjawab: “Demi Allah, rupanya ada yang tidak beres denganmu setelah berpisah denganku”. Kemudian Abu Sufyan menemui Rasul dan berbicara panjang lebar kepada beliau, namun beliau sama sekali tidak menanggapinya. Lalu ia menemui Abu Bakar dan berbicara kepadanya, ia meminta agar Abu Bakar mau berbicara kepada Nabi, namun Abu Bakar malah berkata: “Aku tidak sudi melakukannya”. Setelah itu, ia menemui Umar bin Khattab dan berbicara kepadanya, dan Umar berkata: “Layyakkah aku memintakan pertolongan bagi kalian kepada Rasul? Demi Allah, kalaupun aku hanya mendapatkan debu, tentu debu itu akan kupergunakan untuk menyerang kalian”.
          Lalu Abu Sufyan menemui Ali bin Abi Thalib yang sedang bersama Fatimah dan Hassan yang merangkak dengan tangannya. Abu Sufyan berkata: “Wahai Ali, engkau adalah orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya denganku, aku datang karena ada keperluan. Aku tidak akan kembali tanpa membawa hasil seperti dulu. Mintalah pertolongan bagiku kepada Muhammad”. “Celaka engkau Abu Sufyan, Rasul sudah mengambil keputusan dan kami tidak bisa mempengaruhi beliau” jawab Ali. Lalu Abu Sufyan memandang Fatimah, lalu berkata kepadanya: “Sudikah aku menyuruh anakmu agar dia memberi perlindungan kepada orang-orang dan menjadi pemimpin Arab sepanjang masa?”. Fatimah menjawab: “Demi Allah, anakku terlalu kecil untuk memberi perlindungan ditengah orang-orang, lagipula tidak seorangpun mau memberi perlindungan dengan melangkahi Rasul”. Setelah itu, dunia terasa gelap gulita bagi Abu Sufyan, dengan perasaan resah, gelisah dan putus asa dia berkata kepada Ali: “Wahai ayah Hassan, kulihat semua urusan terasa berat bagiku, tolong berilah aku saran”. “Demi Allah, aku tidak solusi lain yang berguna bagimu. Bukankah kau pemimpin Bani Kinanah? Bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang kemudian kembalilah ke tempatmu”.
         Maka Abu Sufyan bertanya: “Apakah menurutmu hal itu berguna bagiku?”. Jawab Ali: “Demi Allah, aku juga tidak yakin. Tapi aku tidak punya solusi lain selain hal itu”. Lalu Abu Sufyan berdiri di Masjid lalu berkata: “Wahai semua orang, aku telah diberi perlindungan oleh kalian”, lalu ia menaiki untanya dan pergi. Setelah tiba ditengah-tengah orang-orang Quraisy, maka mereka bertanya kepada Abu Sufyan: “Apa yang terjadi tadi?”. Abu Sufyan menjawab: “Aku sudah menemui Muhammad dan berbicara panjang lebar kepadanya, Demi Allah dia sama sekali tidak menanggapiku”. Abu Sufyan pun menceritakan apa yang terjadi padanya secara lengkap. Lanjut Orang Quraisy: “Apa Muhammad juga memberi perlindungan?”, Jawabnya: “Tidak”. “Celaka kau, orang itu semakin mempermainkan dirimu”, “Tidak Demi Allah, hanya itulah yang bisa kuperbuat” Jawab Abu Sufyan[125]. Maka dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu seperti yang termaktub dalam surat Al Anfal[8]: 58.
     Dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyah dikatakan bahwa Di Juhfah[126], Al-Abbas bin Abdul Muthalib mendatangi Rasul sebagai muhajir, ia telah masuk islam sebelum penaklukan Perang Khaibar. Banyak riwayat dla’if yang menjelaskan keislamannya pada Perang Badar, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk islam sebelum masa hijrah ke Madinah. Pendapat-pendapat ini terbantahkan dengan sebuah kejadian dimana Rasul memintanya untuk menebus dirinya ketika ditawan di Perang Badar. Dan memang tidak diragukan lagi bahwa al-Abbas datang untuk memberikan bantuan yang sangat berharga bagi Islam sebelum  ia masuk islam, ia telah banyak membantu Rasul membawa segudang berita tentang Quraisy, bahkan ia juga melindungi kaum Muslimin yang lemah dan tertindas di Makkah. Sedangkan di Marri Zhuhran kaum Muslimin berkemah, berita mengenai perkemahan mereka tidak terdengar oleh orang-orang Quraisy. Maka keluarlah Abu Sufyan bin Harb beserta Hakim bin Hizam dan Budail bin Waraqa al-Khuza-I yang berusaha untuk mencari informasi, lalu mereka bertemu dengan al-Abbaas bin Abdul Muthalib yang hendak mengirim utusan kepada Quraisy yaitu untuk meminta mereka keluar berdamai dengan Rasul, sebelum beliau masuk ke Makkah dan mengepung mereka.
     Abu Sufyan dan kedua rekannya berbincang-bincang mengenai pasukan yang sedang berkemah di Marri Zhuhran, salah satu dari mereka mengira bahwa perkemahan tersebut adalah dari suku Khuza’ah. Perkatan ini menunjukan keberhasilan kaum Muslimin merahasiakan berita kedatangan mereka ke Makkah. Maka al-Abbas memberitahu bahwa itu adalah pasukan kaum Muslimin, lalu  mengajak Abu Sufyan dan temannya pergi ke perkemahan untuk bertemu dengan Rasul. Pada saat itu juga Rasul meminta Abu Sufyan masuk islam, namun Abu Sufyan masih mencari-cari alasan dan ragu terhadap Islam. Maka Rasul menyuruh al-Abbas untuk membawanya kembali ke kemah beliau besok pagi, ia pun menuruti apa yang diperintahnya.
     Keesokan harinya, Abu Sufyan masuk islam dan akhirnya al-Abbas mengetahui kekuatan kaum muslimin ketika seluruh pasuakn muncul dihadapannya, begitu juga Abu Sufyan mengetahui bahwa kaum Quraisy tidak akan mampu menghadapinya. Sehingga ketika kaum Anshar dan Muhajirin (yang ditengah-tengah mereka ada Rasul) melewati dihadapannya, Abu Sufyan berkata: “Demi Allah, sungguh kerajaan anak saudaramu pada hari ini menjadi besar” Al-Abbas menjawab: “Celaka engakau wahai Abu Sufyan, sesungguhnya ini adalah kenabian”. Ia berkata: “Maka alangkah baiknya kalau begitu”. Abu Sufyan kembali ke Makkah untuk memberitahukan kekuatan kaum Muslimin dan mencegah mereka agar tidak melawan. Sedangkan ketika Sa’ad yang memegang bendera kaum Anshar sedang menginspeksi pasukannya dan melewati tempat Abu Sufyan, Sa’ad berkata: “Hari ini adalah hari pembantaian dan hari dihalalkannya Ka’bah”. Lalu Abu Sufyan mengadukan hal itu kepada Rasul, maka beliau bersabda: “Sa’ad telah berdusta. Hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah oleh Allah dan ka’bah akan ditutupi oleh kain kiswah”. Lalu beliau mengambil panji kaum Anshar dari tangan Sa’ad dan menyerahkan kepada anaknya yang bernama Qais, lalu Sa’ad memohon kepada Rasul untuk mengambil kembali dai tangann anaknya, karena khawatir terjadi kesalahan. Lalu beliau pun mengambilnya kembali dari tangan Qais.
     Diceritakan kaum Quraisy telah banyak mengumpulkan banyak orang dari berbagai kabilah untuk memerangi kaum Muslimin, untuk menjaga kehormatan mereka. Jika mereka menang, maka mereka akan membantu kabilah-kabilah yang membantu mereka. Namun jika mereka kalah mereka akan berunding untuk berdamai dengan kaum Muslimin.
     Maka Rasul memberi komando untuk menyerang mereka hingga ke bukit Shafa, namun tidak ada sedikitpun perlawanan dari mereka. Dikatakan ada perlawanan yang sangat kecil dari Quraisy, sehingga orang Muslim yang terbunuh sangat sedikit. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa yang terbunuh dari kaum Muslimin hanya 3 orang dan kaum Musyrikin 12 orang, sedang menurut Musa bin Uqbah yang terbunuh dari kaum Musyrikin ada 24 orang. Sebagaimana Abu Sufyan mengisyaratkan bahwa yang terbunuh dari kalangan Quraisy cukup banyak. Abu Sufyan berkata kepada Rasul: “ya Rasulullah, habis sudah kekuatan Quraisy, tidak ada lagi kemuliaan Quraisy setelah hari ini”. Lalu Rasul bersabda: “Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman”, maka banyak orang-orang yang masuk ke rumah Abu Sufyan, sedangkan yang lainnya menutup pintu-pintu rumah mereka[127].
 Hikmahnya dari peristiwa masuk islamnya Abu Sufyan bin Harb adalah ia sama sekali tidak diusik oleh Nabi SAW. Padahal beberapa tokoh Quraisy yang sama kerasnya memusuhi Islam seperti dirinya sempat dihalalkan darahnya (boleh dibunuh), walaupun memang pada akhirnya banyak yang diampuni oleh beliau. Bahkan beliau mengistimewakannya dengan kata-kata yang telah disebutkan diatas, bahwa yang masuk rumahnya akan aman yaitu setelah ia masuk islam. Dikatakan Pada malam harinya pada hari Penaklukan Makkah itu:
     Istrinya, Hindun berkata kepada Abu Sufyan bin Harb, "Sesungguhnya aku mau berbai'at kepada Rasulullah SAW." "Aku melihat kamu ini masih kufur!" Kata suaminya. Hindunpun berkata, "Demi Allah! Demi Allah! Tidak pernah aku melihat sebelum ini, Allah disembah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya di masjid ini (Masjidil Haram) pada malam hari ini. Tidaklah mereka menghabiskan malam, kecuali dengan ruku, sujud dan thawaf hingga subuh."  Abu Sufyan bertanya, "Apakah kamu melihat semua ini dari Allah?" "Ya, ini memang dari Allah!!" Kata Hindun dengan tegas. Pagi harinya, ketika ia menemui Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau berkata kepadanya, "Semalam engkau telah bertanya kepada Hindun : Apakah ini semua dari Allah? Dan ia menjawab : Ya, ini memang dari Allah."
     Seketika Abu Sufyan memandang Nabi SAW penuh kekaguman. Ia mungkin telah menyatakan diri memeluk Islam saat Nabi SAW dalam perjalanan ke Makkah. Tetapi pada pagi hari itu ia merasakan kebenaran telah merasuk ke dalam sum-sum dan jiwanya, sehingga sekali lagi ia menyatakan syahadatnya di hadapan Nabi SAW dengan segenap ketulusan hatinya. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, tidak ada yang mendengar ucapanku itu selain Hindun!!"[128]

8.    Perang Hunain
Musa bin Uqbah menyebutkan, “Abu Sufyan, Shafwan, dan Hakim bin Hizzam (para pemimpin Makkah) berdiri di barisan belakang dalam peperangan ini, mereka menunggu siapa yang akan tampil sebagai pemenang”. Urwah bin Zubair berkata, “Shafwan bin Umayyah mengirimkan pelayannya untuk menyelidiki situasi perang saat itu, dan Abu Sufyan ketika melihat kaum muslimin mundur pada babak pertama, maka ia berkata: “Kekalahan kalian belum berakhir”, ia pun masih memiliki beberapa anak panah dikantongnya yang biasa digunakan untuk mengundi”.
Sekalipun apa yang diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah, Urwah bin Zubair dan Ibnu Ishaq ini tidak shahih karena mursal, mereka bertiga adalah Ahli Sejarah dan riwayat-riwayat mereka saling menguatkan yaitu untuk menggambarkan bagaimana sikap para pemimpin Makkah seperti Shafwan yang masih musyrik dan Abu Sufyan seorang Muslim yang baru (masih muallaf) ketika itu[129].   
9.    Perang Tha’if
a.    Tawanan Perang Hunain Dan Rampasannya
        Rasulullah SAW berhenti di Ja'ranah bersama pasukannya untuk mengurusi tawanan dan rampasan perang Hawazin. Rasulullah tidak terburu-buru mengurusnya, sekalipun banyak kaum Muslimin sudah berdatangan. Karena butuh bermalam-malam lamanya mengurus semua itu. Rasulullah saw mulai mengurus harta rampasan dan membagi-bagi harta itu. Yang pertama-tama mendapatkan pembahagian ialah orang-orang yang masih muallaf (yang baru saja masuk agama Islam). Di antaranya ialah Abu Sufyan Bin Harb dan kedua anaknya, Yazid dan Muawiyyah. Juga diberikan Hakiim Bin Hazzâm, Al-Nadhar Bin Al- Hârist, Al-'Ullâ' Bin Al- Hâritsah dan lain-lain semuanya tergolong orang-orang penting Quraisy. Mereka lebih diutamakan dan dibanyakkan pembahagiannya. Kemudian dibagi rata kepada yang lain-lain.
b.   Mencintai Anshar Dan Pengorbanannya
        Karena yang dipentingkan dalam pembagian itu ialah terhadap suku Quraisy dan orang-orang muallaf yang baru saja memeluk agama Islam, sedang golongan Anshar hanya mendapat pembagian yang amat kecil
(sedikit sekali) maka terdengarlah omelan pemuda- pemuda Anshar. Setelah
mendengar omelan itu, Rasulullah SAW mengucapkan pidato yang agung yang menitiskan air mata mereka, sehingga golongan Anshar menitiskan air mata mereka, rasa cinta dan kasih mereka terhadap Rasulullah semakin mendalam. Di antara yang diucapkan Rasulullah dalam khutbah beliau yang agung itu ialah, ucapan yang diucapkan dengan penuh perasaan, mengandung ketetapan hati, pengarahan, beliau terangkanlah apa hikmatnya beliau membagi-bagi harta rampasan perang itu tidak dengan sama banyak[130].
          Al-Umari berkata, Sungguh kesempurnaan pembagian ghanimah pada Perang Hunain memperlihatkan hikmahnya kepada sebagian para Sahabat, karena orang yang pertama mendapat bagian ghanimah itu adalah Al-Thulaqâ (orang-orang yang mendapat kebebasan) dan Al-A’râb (orang-orang Arab pedalaman). Hal ini dilakukan sebagai langkah melunakkan hati mereka yang memang baru saja memeluk islam dan hakikat imannya belum terpatri kedalam hati mereka. Sehingga masing-masing pemimpin kabilah diberi seratus ekor unta, pemimpin itu diantaranya: Uyainah bin Hishn (pemuka Ghathafan), Al-Aqra’ bin Habis (pemuka Tamim), ‘Alqamah bin ‘Alatsah, al-Abbas bin Mirdas, Suhail bin Amr, Hakim bin Hizam, Abu Sufyan bin Harb, dan Shafwan bin Umayyah. Mereka semua adalah tokoh terkemuka kaum Quraisy. Jumlah mereka disebutkan Ibnu Ishaq, ada 12 orang dan yang kurang dari 100 unta ada lima orang. Sedangkan Ibnu Hisyam mengatakan ada 29 orang, yang lainnya ada yang menambahkan 23 orang jadi semuanya ada 52 orang. Keridhaan mereka terhadap pembagian ghanimah karena mereka mengetahui bahwa Rasul adalah seorang pemimpin yang selalu mengedepankan mereka daripada yang lainnya, selalu percaya pada keikhlasan dalam menjalani aqidah dan kualisan keimanan mereka, sehingga mereka pun selalu memahami prasangka baik beliau terhadap mereka. maka mereka pun menangis setelah mendengar nasihat beliau sambil berkata: “Kami ridla pada apa saja yang diberi Rasul”[131].
          Makna kebijakan yang dilakukan Rasul adalah bolehnya memberi ghanimah kepada orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya, jika pemimpinnya memandang bahwa hal itu dapat membantu mereka untuk masuk islam atau minimalnya mampu mencegah gangguan kepada kaum Muslimin atau menarik manfaatnya. Anas bin Malik berkata: “Jika seseorang masuk islam kecuali semata-mata mencari dunia, maka ia tidak benar-benar masuk islam, hingga menjadikan Islam itu sesuatu yang paling ia cintai daripada dunia dan seisinya”[132].
        Abdurrahman Umairah mengatakan dalam kitabnya Rijâlun Nisâ-un Anzal Allah Fîhim Qur’ânan bahwa:
Allah SWT menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah, penulis wahyu Rasulullah, kini dia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh. Ayah Ummu Habibah, Istri Nabi dan Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini telah masuk islam. Istrinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu!” Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengakuan Islam. Sejarah tidak mencatat peristiwa yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah yaitu ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah, dan ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah. Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada pembawa berita itu, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu benar!” Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi, ketika berada dalam gua dan hendak berhijrah ke Madinah. Pada saat-saat kritis seperti itu, dikatakan Abu Sufyan tampil ke permukaan seraya berkata, “Tampaknya, saya melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?” Ia lalu datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu!”. Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu!”. Sejarah juga mencatat nama-nama yang selalu menghalangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Nabi, senantiasa menyiksa kaum Mustadh’afin di Mekkah, setelah mereka mengumumkan keislamannya. Yang telah mengusir Nabi keluar dari kampung halamannya, mereka tidak akan dilupakan untuk dijadikan hikmah. Mereka telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan. Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (Al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb. Rasulullah bisa saja meneladani para Nabi sebelumnya dengan memohon kepada RabbNya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan, ”Semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah!” Begitu pula telah dicatat, berapa banyak dari keturunan mereka-yang paling gigih memerangi Nabi SAW dan agamanya- yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai da’i, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita. Abu Sufyan contohnya, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah dan kaum muslimin, namun Allah berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara lain: Yazid bin Abi Sufyan yang digelari “Yazid Al-Khair” dan Abu Sufyan sendiri berperang di pihak Rasulullah di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan 40 uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, dia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki. Sungguh benar apa yang diramalkan Rasulullah bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong[133].





[72]Sa’ad al-Marshafi, Difa’ ‘an Hadits Fadha-il Abi Sufyan r.a, (Beirut: Mu-assasah al-Rayan, 1995), cet.ke-1, hlm.16
[73]Abi Al-Hajaj Jamal al-Din Yusuf bin Abd al-Rahman al-Mizi, Tahdzib al-Kamal fî Asma-i al-Rijâl, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2004), Jilid 4, hlm.688-689
[74]Syihab al-Din Abi al-Fashl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Kinani al-‘Asqalany al-Mishri al-Syafi’i, Al-Ishâbah fî Tamyîzi al-Shahâbah, (Mesir: Darul Kutub, 1853), Juz 3, hlm.237
[75] Ibid,  hlm.237
[76]Abi al-Faraj Abd al-Rahman al-Jauzi, Kasyfu al-Musykil min Hadits ash-Shahihain,( Riyadh: Darul Wathan,t.th), Juz 4,  hlm. 428
[77]Jamal al-Din Abi Muhammad Abd Allah bin Yusuf al-Zaila’I, Kitâbu Takhrij al-Atsar wa al-Ahâdits al-Wâridah fi al-Kitâbi al-Kasyaf li al-Zamakhsyari, (tt, Jami’ah Ummul Qura: Kulliyah ad-Da’wah wa Ushuluddin, 1419), Juz 2, hlm.945
[78]Muhammad bin Abd Allah al-Usyan, Mâ Syâ-a walam Yatsbutu fî al-Sîrah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh: Abu Nabil dengan judul Masyhur Tapi Tak Shahih dalam Sirah Nabawiyah, (Solo: Zam-zam, 2010), cet.ke-1, hlm.67-76
[79]Abd al-Rahman Umairah, Rijâlun Nisâ-un Anzal Allah fîhim Qur’ânan, Tokoh-tokoh yang Diabadikan al-Qur’an, diterjemahan oleh: Salim Basyarahil dan M.Syihabuddin dengan judul Tokoh-tokoh yang Diabadikan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet.ke-1, hlm.98
[80]‘Ala al-Din Maghlatha Ibnu Qalij bin Abd Allah al-Bukcari al-Hanafi, Ikmâlu Tahdzib al-Kamal fî Asma al-Rijal, (tt. Al-Faruq al-Khaditsah, t.th), Jilid 6, hlm. 354
[81]Hamad bin Abd Allah bin Ibrahim al-Humaidi, Al-Ibânah lima Li al- Shahâbah min al-Manzilah wa al-Makânah, (Riyadl: Darul Qasim, 2000), cet. 1, hlm.159
[82]‘Ala al-Din, Ikmâlu, hlm.357
[83] Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.98
[84]Akram Dhiya’ al-‘Umari, Al-Sîrah al-Nabawiyah al-Shahîhah, Muhawalah li Tathbiq Qawa’id al-Muhadditsin fî Naqdî Riwayat al-Sîrah al-Nabawiyah, (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1994), cet.ke-6, juz 1, hlm.82
[85]Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Abd Allah bin Sa’id bin Hazm al-Zhahirah al-Andalusi, Asma al-Shahâbah wa Mâ Likulli Wâhidim Minhum min al-‘Adad, (Riyadh: Maktabah al-Sâ’I, t.th), hlm.14
[86]Ibid, hlm.11
[87]Ibid,hlm.78 no.659
[88] Syihab al-Din, Al-Ishâbah, hlm. 237
[89] Abi al-Hajaj, Tahdzib Al-Kamâl, hlm.689
[90] Syihab al-Din, Al-Ishâbah, hlm.237
[91] Hamad bin Abdullah, Al-Ibânah, hlm.159
[92] ‘Ala Al-Din, Ikmâlu, hlm. 354-357
[93] Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.98
[94] Syihab al-Din, Al-Ishâbah, hlm.237
[95]Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.98
[96]Abu Sufyan, [online], http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Sufyan, diunduh 22 Februari 2014
[97]Sa’ad al-Marshafi, Difa’un ‘an, hlm.35  
[98]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh Shahih al-Bukhari, terjemahan oleh: Abu Ihsan al-Atsari dengan judul Syarah Shahih al-Bukhari, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), cet.ke-1, jl. 1, hlm.31-35
[99]Imam al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, diterjemahkan oleh: Agus ma’mun dengan judul Syarah Shahih Muslim, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), cet.ke-1, Jil.5, hlm.420
[100] Hamad bin Abdullah, Al-Ibânah, hlm.159-161
[101] Imam al-Nawawi, Syarah, Jil.11, hlm.464-465
[102] Syihab al-Din, Al-Ishâbah, hlm.238
[103]Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtum, Bahtsun fî al-Sîrah a--Nabawiyah ‘ala Shahîbihâ Afdlal al-Shalâti wa al-Salâm, (Hindia: Dar Ibnu Khaldun,t.th), juz.2, hlm.158-163
[104] Akram Dhiya’. Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm.367
[105] Ibid, hlm.308
[106] Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al-Makhtum, hlm.188
[107] Ibid,hlm.188-189
[108] Salah satu lembah di kota Madinah di wilayah Hurrah Waqim
[109] Akram Dhiya’. Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm.374
[110] Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al-Makhtum, hlm.194-208
[111] Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm. 392
[112] Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al-Makhtum,, hlm.220
[113]Ibid
[114]Ibid
[115] Ibid. hlm.221
[116] Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm.392-397
[117] Ibid, hlm.400
[118] Ibid, hlm.397
[119] Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al-Makhtum, hlm.225-228
[120] Ibid, hlm.237-238
[121] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, detasemen merupakan satuan-satuan tentara (kelompok kecil tentara yang telah dibagi-bagi tugas untuk tiap daerah) yang berada di suatu tempat untuk menjalankan tugas yang bersifat sementara.
[122]Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm.401-402
[123] Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al-Makhtum, hlm.239-250
[124]Ibid, hlm.283-285
[125]Ibid, hlm.316-318
[126]Sebuah tempat yang dekat dengan Rabigh (zaman sekarang) yaitu suatu lembah antara Makkah dan Madinah dekat dengan pantai Laut Merah dan termasuk salah satu miqat haji
[127]Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyah, hlm.476-477
[128]Ibnu Ghufran, Abu Sufyan bin Harb RA Memperbaharui Perjanjian Masuk Islam Ia di Futuh Makkah, [online] http://percikkisahsahabat.blogspot.com/2012/04/abu-sufyan-bin-harb-ra-html, kamis 5 April 2012, diunduh 22 Februari 2014  
[129]Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyah,, hlm.499
[130]Shafiy al-Rahman, Al-Rahîq al- Makhtum, hlm.335-339
[131]Akram Dhiya’, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, hlm.512-514
[132]Ibid, hlm.521
[133]Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.111-114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar