BAB III
BIOGRAFI ABU SUFYAN BIN HARB R.A
Kisah mengenai perjuangan Abu Sufyan
mempengaruhi Ummu Habibah masuk agama Nashrani lagi
telah diceritakan bahwa Abu Sufyan bin Harb tidak bisa
membayangkan setiap orang di antara kaum Quraisy yang berani menantang kekuasaannya
atau melawan perintahnya. Dia adalah sayyid atau kepala suku dari Makkah yang
harus ditaati dan diikuti.
Putrinya -Ramlah- yang dikenal sebagai Ummu Habibah pun
berani menantang kekuasaannya ketika dia menolak dewa dan cara-cara mereka
menyembah berhala dari Quraisy. Bersama dengan suaminya -Ubaid Allah bin Jahsy-
Ummu Habibah hanya menaruh imannya kepada Allah saja dan menerima pesan dari Nabinya,
Muhammad ibn Abdullah.
Abu Sufyan mencoba dengan segala daya dan kekuatan yang
dimilikinya ingin membawa kembali putri dan suaminya kepada agama nenek moyang
mereka. Tapi dia tidak berhasil. Iman yang tertanam di jantung Ramlah terlalu
kuat untuk dijebol oleh badai kemarahan Abu Sufyan. Abu Sufyan tetap sangat khawatir dan
prihatin untuk menerima putrinya yang masuk Islam. Sebenarnya Abu Sufyan tidak tahu bagaimana menghadapi
orang Quraisy setelah Ummu Habibah pergi
melawan kehendaknya dan Abu Sufyan jelas tidak berdaya untuk mencegah anaknya
dari mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Ketika orang-orang Quraisy menyadari bahwa Abu Sufyan
sangat marah pada Ramlah dan suaminya, maka orang-orang Quraisy berani memperlakukan
mereka dengan kasar. Mereka melepaskan kemarahan dengan berbagai penganiayaan, sehingga
orang-orang yang masuk Islam menjadi tidak tahan hidup di Makkah termasuk Ummu
Habibah dan suaminya. Itulah sekilas
kisah dari Abu Sufyan, maka di bawah ini penulis akan memaparkan sedikitnya
mengenai profil Abu Sufyan sebagai berikut:
A.
Nama
Lengkap dan Nasabnya
Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Al-Ishâbah, “Abu Sufyan memiliki nama asli yaitu Shakhra bin Harb bin
Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf Abu Sufyan Al-Qarasyi Al-Amawi, dan ia dikenal
dengan namanya Abu Sufyan, Kunyahnya yaitu Abu Hanzhalah. Ibunya bernama
Shafiyah binti Harb Al-Halaliyyah yaitu bibinya Maimunah binti Al-Harits istri
Rasul SAW”.
Al-Mizi mengatakan, “Ibunya bernama Shafiyah binti Hazn
bin Bujair bin Al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin
Sha’sha’ah. Shafiyah adalah bibinya Utsman, saudaranya ‘Affan dari ayah dan
ibunya[72]. Menurut Abu Abd Allah
bin Mandah mengenai kelahirannya, “Abu Sufyan dilahirkan sepuluh tahun sebelum
terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah[73]”. Jadi, umurnya 10 tahun lebih
tua dari umur Nabi SAW, ada juga yang mengatakan tentang umurnya bukan itu sesuai
perbedaan pendapat tahun wafatnya Abu Sufyan[74].
Nabi menikahi anak Abu Sufyan yaitu Ummu Habibah sebelum
Abu Sufyan masuk Islam, sedangkan Ummu Habibah telah lama masuk Islam dan ia
berhijrah dengan suaminya ke Habasyah, lalu suaminya wafat di sana[75]. Dengan
pernikahannya itu Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah) telah
menjadi istri Nabi dan termasuk salah seorang dari Ummahât Al-Mukminin. Sebelumnya, Ummu Habibah adalah istri Ubaid Allah bin
Jahsy. Ibnu Al-Jauzi
mengatakan mengenai pembahasan menyingkap kemusykilan Musnad Ummu Habibah binti
Abi Sufyan bahwa:
Namanya Ramlah. Ketika dia disisi Ubaid Allah bin Jahsyi. Habibah
dilahirkan dan diberi kunyah dengan nama itu. Ubaid Allah berhijrah dengan Ummu
Habibah ke Tanah Habasyah pada tahun kedua hijriyah, lalu suaminya (Ubaid)
menjadi orang Nashrani, kemudian murtad dari agama nashraninya dan wafat di sana.
Sedangkan Ummu Habibah tetap pada agamanya. Maka Rasul mengutus Amr bin Umayyah
Al-Dhamri dan menunjuk sebagai wali nikahnya yaitu Raja Najasyi untuk
mengkhitbah Ummu Habibah. Maka Khalid bin Sa’id bin Al-Ash mengurusi pernikahan
Ummu Habibah, yaitu anak paman Abi Sufyan. Karena Abi Sufyan masih dalam
keadaan kafir. Najasyi menyebut maharnya dari Rasul SAW sebanyak 400 dinar. Peristiwa
ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Shahihain[76].
Adapun Ketika Abu Sufyan mendengar berita pernikahan
puterinya itu dengan Rasulullah SAW, dia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak
dipotong hidungnya![77]”.
Namun menurut Muhammad bin Abdullah Al-Usyan dalam kitabnya Mâ Syâ-a walam Yatsbutu fî al-Sîrah al-Nabawiyah
dikatakan bahwa tentang kepindahan Ubaidullah ke agama Nashrani itu para ulama
berselisih pendapat apakah benar ia murtad atau tidak[78]. Putranya,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum
pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab[79].
B.
Kedudukannya
Abu Sufyan adalah kepala suku Bani Abdu Syams, salah
satu dari cabang suku Quraisy. Ia juga adalah orang terpandang di Mekkah dan Abu Al-Abbas berkata, “Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy sebelum Bi’tsah”[80].
Dalam kitab Al-Ibânah
Lima li al-Shahabah disebutkan, “Abu Sufyan adalah seorang pemimpin
Quraisy dan punya kedudukan tinggi diantara orang-orang Quraisy”[81].
Menurut Abu Nu’aim Al-Hafizh, “Ia adalah Tuan Padang Pasir dan Abu
al-Umara’(kepala/pimpinan). Abu Al-Abbas berkomentar, “Umar membentangkan permadani
pada masa kekhilafahannya dan tidak mendudukinya kecuali hanya oleh Al-Abbas
dan Abu Sufyan. Umar berkata, “Inilah Paman Nabi dan ini Syaikh Quraisy, ia
adalah pemilik unta pada Perang Badar, dan pasukan tentara di Perang Uhud dan
Khandaq”[82].
Beliau
ini termasuk orang kaya Quraisy, pada mulanya termasuk musuh Islam nomor satu.
Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman
Jahiliah. Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar.
Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup
masyarakatnya. Ia sering memimpin kafilah
perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab)
lainya, hal ini dapat terlihat ketika Perang Badar. Ia suka keluar dengan
membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan Al-’Uqab. Panji itu tidak
dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu
pun hanya dipegang olehnya[83].
Al-‘Umari menyimpulkan tentang Abu Sufyan, “Pernyataan
diatas menandakan bahwa Abu Sufyan dikenal sebagai pemimpin perdagangan Quraisy
untuk wilayah luar, disamping sebagai pemimpin perang di Makkah. Ia juga
dikenal sangat menentang Islam. Kemungkinan ia termasuk pemuka yang paling
banyak merintangi orang lain untuk masuk Islam, namun akhirnya ia memeluk islam
pada waktu Fathu Makkah”[84].
Masuk islamnya Abu Sufyan menjadikannya termasuk dalam Thabaqat
Shahabah (kelompok sahabat) ke 12 yaitu Muslimah Al-Fath
(orang-orang yang masuk Islam pada hari Fathu Makkah) dalam Kitab Thabaqat Al-Kubra
karya Ibnu Sa’ad yang dibuat oleh Al-Hakim[85] dari
100.000 sahabat menurut Ahli Ilmu[86], dia juga
termasuk sahabat yang dikhususkan (Al-Shahâbah
Al-Afrâd)[87].
C.
Wafatnya
Terdapat banyak pendapat mengenai tahun wafat Abu
Sufyan, di sini penulis hanya akan memaparkan beberapa pendapatnya namun belum
ditemukan tahun yang benar. Adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai
berikut:
Al-Zubair berpendapat bahwa Abu Sufyan wafat pada akhir
masa kekhilafahan Utsman. Ada yang mengatakan tahun 21 Hijriyah. Dikatakan pula
Abu Sufyan hidup selama 93 tahun. Ulama lainnya mengatakan bahwa Abu Sufyan
wafat tahun 32 Hijriyah pada masa kekhilafahan Utsman[88] dan ada
yang menambahkan bahwa yang menyolatkannya adalah Utsman bin Affan. Pendapat
ini seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sa’d, Abu Hatim dan Al-Waqidi terhadap
apa yang dihukumi Abu Al-Qasim Al-Baghawi.
Ali Al-Madini berpendapat bahwa Abu Sufyan wafat pada
tahun keenam masa kekhilafahan Utsman, sedangkan menurut Al-Haitsim bin Adi
bahwa Abu Sufyan wafat karena kelelahan pada tahun kesembilan pada masa
pemerintahan Utsman dalam keadaan buta matanya. Adapun pendapat yang mengatakan
wafat tahun 31 Hijriyah adalah dari Ibrahim bin Sa’d Al-Jauhari dari Al-Waqidi,
dengan tambahan, “wafat pada usia 88 tahun”. Dan Khalifah Khayath dan Abu Ubaid
Al-Qasim menambahkan bahwa Ia wafat di Madinah. Sedangkan pendapat yang mengatakan
wafat tahun 33 hijriyah adalah Al-Zubair bin Bakar. Pendapat terakhir yang
mengatakan wafat tahun 34 Hijriyah adalah Abu Al-Hasan Al-Madani, Abu Abdullah
bin Mandah[89],
dan Al-Madini[90].
D.
Sifat
dan Kehidupan Abu Sufyan
Abu Sufyan adalah orang yang suka melakukan tipu daya dan cerdas[91]. Al-Maradi menyebutkan kisah peperangan yang diikutinya setelah masuk Islam:
Abu Sufyan dan Nabi keluar pada hari Khaibar ke Tsaqif, ia berperang
bersama Nabi. Dikatakan, “Kemarin dia memerangi Nabi
tapi hari ini dia berperang bersama Nabi, mereka melempari matanya dan
mencukilnya”. Lalu Abu Sufyan mendatangi Nabi sambil memegang tangannya dan ia
berkata, “Ya Rasulullah mataku! Rasul menjawab: Lakukanlah apa kau mau, jika
kau mau matamu ini dijadikan tebusan, atau jika tidak maka untukmu syurga karena butanya matamu ini. Abu
Sufyan berkata: Aku memilih syurga saja”. Kemudian ia mengikuti Perang Yarmuk
bersama Abi Ubaidah dan ia kehilangan mata keduanya.
Dalam Sirah Ibnu Ishaq digambarkan kehidupannya yang
sederhana: Diceritakan Nabi mengutus Abu Sufyan ke Manah dengan memakai baju
yang sobek/usang, lalu ia menambalnya.
Abu Nu’aim al-Hafizh berpendapat mengenai umurnya dan
bentuk badannya: Ia hidup selama 93 tahun dan ia memiliki bentuk badan yang
sedang.
Al-Waqidi berpendapat terhadap apa yang disebutkan Ibnu
Sa’ad, “Sahabat-sahabat kami mengingkari bahwa Abu Sufyan bertugas (menjadi
pemimpin perang) di Najran ketika Nabi wafat. Para sahabat berkata, Abu Sufyan
berada di Makkah ketika Nabi wafat, sedangkan yang bertugas di Najran adalah
Amr bin Hazm”[92].
Sifatnya
yang lain seperti yang dikatakan banyak orang, di antaranya menurut Al-’Abbas
bin Abdul Muththalib, bahwa dia senang dipuji dan dibanggakan orang, seperti
yang terjadi pada Fath Makkah[93].
Dari beberapa peperangan yang
diikutinya, secara umum Abu Sufyan memiliki sifat suka melakukan tipu daya,
menghalalkan segala cara demi kepentingan dan melindungi kaumnya, pemimpin yang
memperhatikan anggotanya, tidak mudah menyerah, selalu berusaha keras untuk
mendapatkan hasil terbaik, pemberi nasehat dan motivasi ketika perang dengan
kepintaran bicaranya yang dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, waspada
dan hati-hati, yang selalu menghalangi orang masuk Islam dengan menjanjikan
harta/dunia, selalu menjaga nama baik kaumnya, dan setia terhadap kaumnya. Juga ketika masuk Islam,
ia adalah pejuang yang keras mati-matian membela Islam, tidak cinta dunia dan
hanya memilih syurga dengan hidup tanpa kedua matanya.
Abu Sufyan telah mengikuti Perang Hunain dan Thaif, jadi
ia adalah seorang muallaf. Sebelumnya, ia adalah seorang pemimpin pasukan Quraisy
pada Perang Uhud dan Ahzab[94].
Sebelum masuk Islam, Abu Sufyan yang telah mendengar
dakwah yang dikumandangkan Rasulullah SAW itu ternyata dia merupakan orang yang
paling gigih melawan dan memeranginya. Dia juga pernah menyertai utusan kaum
Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau
menyerahkan keponakannya ( Nabi Muhammad SAW) untuk disembelih oleh mereka,
dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainnya yang
mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan
pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah SAW dan kaum muslimin, dengan
mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan
hubungan perkawinan dan jual beli dengan mereka.
Akhirnya, tiba saatnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin
pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia
di negeri yang tentram ini[95].
Sebelumnya, Bagi Abu Sufyan, Muhammad
dan kaum muslim dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial Makkah, dan
seseorang yang bertujuan untuk menguasai politik serta berpaling dari berhala Quraisy.
Sehingga orang-orang Quraisy melakukan kekerasan, dengan adanya kekerasan ini membuat
sekelompok muslim Makkah hijrah ke Habsyah sebelum ke Madinah untuk memperoleh perlindungan, dan
putrinya yang bernama Ramlah binti Abu Sufyan adalah termasuk salah seorang
diantaranya. Adapun kisah peperangan yang dialami Abu Sufyan sebelum dan
sesudah masuk Islam secara singkat adalah sebagai berikut:
- Konflik militer
Setelah Nabi Muhammad SAW
hijrah ke Madinah
pada tahun 622, kaum Quraisy menyita barang-barang kaum muslimin yang
tinggalkan. Dari Madinah, kaum muslimin kemudian mulai menyerang
kafilah-kafilah Quraisy yang berdagang dari Suriah ke Mekkah.
Pada tahun 624, Abu
Sufyan memimpin sebuah kafilah. Sebuah pasukan muslim ketika itu berusaha untuk
mencegatnya, namun ia berhasil meminta bantuan dari Quraisy di Mekkah. Ini
adalah penyebab terjadinya Pertempuran
Badar, yang kemudian berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Di lain
pihak, Abu Sufyan berhasil membawa kafilahnya pulang dengan selamat ke Mekkah.
Kematian beberapa pemimpin Quraisy dalam pertempuran tersebut menyebabkan Abu
Sufyan menjadi pemimpin utama Mekkah.
Abu Sufyan
selanjutnya berperan sebagai pemimpin militer Mekkah dalam peperangan melawan
Madinah, antara lain dalam Pertempuran
Uhud tahun 625 dan Pertempuran Khandaq tahun 627, tetapi tidak
berhasil mencapai kemenangan yang menentukan. Akhirnya kedua pihak sepakat
untuk melakukan gencatan senjata dengan Perjanjian Hudaibiyyah tahun 628, yang
memungkinkan umat Islam untuk melakukan ziarah ke Ka'bah.
- Penaklukan Mekkah
Ketika gencata
senjata tersebut dilanggar oleh suku-suku sekutu Quraisy pada tahun 630, Nabi Muhammad
SAW kemudian menggerakkan pasukan Muslim untuk menaklukkan Mekkah. Abu Sufyan
yang kini merasa bahwa Quraisy sudah tidak cukup kuat untuk dapat menghalangi
kaum muslim, maka ia melakukan perjalanan ke Madinah dan berusaha untuk
memperbaharui perjanjian tersebut. Tidak ada kesepakatan yang berhasil dicapai
antara kedua belah pihak, dan Abu Sufyan kembali ke Mekkah dengan tangan
kosong. Abu Sufyan masih beberapa kali lagi melakukan perjalanan antara Mekkah
dan Madinah untuk mengupayakan terjadinya penyelesaian damai. Ketika penaklukan
Mekkah, upaya-upaya tersebut membuahkan hasil tidak adanya peperangan atau
pertumpahan darah di Mekkah.
Setelah penaklukan
Mekkah, Abu Sufyan menjadi salah seorang panglima perang kaum muslimin dalam
peperangan selanjutnya. Dalam Pengepungan Tha'if, ia kehilangan sebelah
matanya. Abu Sufyan juga berperang dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, di mana ia
kehilangan mata keduanya.
3. Peninggalan
Di kemudian hari, Muawiyah putra
Abu Sufyan berhasil mendirikan dinasti
Umayyah, yaitu dinasti Muslim pertama yang memerintah dunia Islam selama
seabad, antara tahun 661-750. Muawiyah berperang melawan Ali bin Abi Thalib, sementara putranya Yazid bin Muawiyah terlibat peperangan yang
akhirnya menyebabkan syahidnya Husain
bin Ali. Kaum Syi'ah
memandang Abu Sufyan sebagai seorang munafik yang
memeluk Islam hanya setelah penaklukan Mekkah, dan penyusup di kalangan umat
Islam[96].
E.
Keutamaan
Abu Sufyan bin Harb
Abu Sufyan adalah di antara para sahabat yang memiliki
beberapa keutamaan yang didokumentasikan dalam beberapa kitab. Adapun beberapa
keutamaan Abu Sufyan bin Harb yang terdapat dalam kitab Al-Ibânah Lima li Al-Shahâbah yaitu Pertama, Abu
Sufyan adalah ia seorang pemimpin Quraisy, suka melakukan tipu daya, cerdas,
memiliki kedudukan tinggi diantara penduduk Quraisy, dan ia masuk islam pada malam
Fathu Makkah.
Kedua, Kisah masuk
islamnya Abu Sufyan adalah riwayat Muhammad bin Ishaq dari Ibnu Abbas:
Dia menyebutkan keluarnya Nabi SAW dari
Madinah pada hari Fathu Makkkah, maka ketika suatu waktu Ibnu Abbas singgah,
Abbas menyebutkan kisah keluar dan masuknya Abu Sufyan ke Madinah. Ibnu Abbas
berkata kepada Abu Sufyan:"Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan
sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu". Dia lalu
mengucapkan syahadatain dan telah menyatakan islamnya. Abbas berkata kepada
Rasulullah:"Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang pada kehormatan
ini. Berikanlah sesuatu yang bisa ia banggakan kepada kaumnya!" Rasulullah
menjawab, "Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang
memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga
aman!". Inilah kemuliaan yang diberikan kepada Abu Sufyan dan dikarenakan
Nabi tinggal di Makkah, maka ia pun masuk rumah Abu Sufyan.
Ketiga,
Kisah pengakuannya terhadap Islam ada dalam kisah Hiraqla dan kesepakatan
umat menerima Hadits Abu Sufyan. Bukhari meriwayatkan Hadits Abu Sufyan yang
panjang menceritakan kisahnya dengan Hiraqla. Hadits Abu Sufyan tentang
Hiraqla ini juga diriwayatkan Muslim, Abu Dawud , Al-Nasai dan Al-Tirmidzi[97].
Yaitu kisah Hiraqla yang bertanya kepada Abu Sufyan tentang Nabi SAW dan
sifat-sifatnya yaitu:
Abdullah
bin 'Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sufyan bin Harb telah
mengabarkan kepadanya bahwa Hiraqla
menerima rombongan dagang Quraisy, yang sedang mengadakan perjalanan dagang ke
Negeri Syam pada saat berlakunya perjanjian (Hudaibiyyah) antara Nabi dengan
Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy. Saat singgah di Iliya' mereka menemui
Hiraqla atas undangan Hiraqla untuk diajak dialog di majelisnya, yang saat itu
Hiraqla bersama dengan para pembesar-pembesar Negeri Romawi. Hiraqla berbicara
dengan mereka melalui penerjemah. Hiraqla berkata; "Siapa di antara kalian
yang paling dekat hubungan keluarganya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi
itu?" Abu Sufyan berkata; maka aku menjawab; "Akulah yang paling
dekat hubungan kekeluargaan dengan dia". Hiraqla berkata;
"Dekatkanlah dia denganku dan juga sahabat-sahabatnya." Maka mereka
mempersilahkan orang-orang Quraisy berada di belakang Abu Sufyan. Lalu Hiraqla
berkata melalui penerjemahnya: "Katakan kepadanya, bahwa aku bertanya
kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. “Saya akan
bertanya kepadamu, kalau dia berbohong, sangkallah!” Abu Sufyan berkata
mengenang peristiwa itu: “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya
akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil
perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu...Singkat cerita
setelah melakukan dialog, Hiraqla berkata: Kalau Anda mau percaya, dia pasti
akan menaklukkan bumi yang ada di bawah telapak kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa dia tidak ada di antara
kalian sekarang ini, seandainya aku tahu jalan untuk bisa menemuinya, tentu aku
akan berusaha keras menemuinya hingga bila aku sudah berada di sisinya Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua
kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!’ Selanjutnya, Abu
Sufyan berkata: ‘Aku keluar dari hadapan Kaisar Hiraqla dengan rasa takjub,
lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni
Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam” Kemudian Hiraqla meminta surat Rasulullah yang
dibawa oleh Dihyah untuk para Penguasa Negeri Bashrah, Maka diberikannya surat
itu kepada Hiraqla, maka dibacanya dan isinya berbunyi (tentang ajakan masuk
islam). Lalu Abu Sufyan menuturkan: "Setelah Hiraqla menyampaikan apa yang
dikatakannya dan selesai membaca surat tersebut, di sisinya terdengar
suara-suara yang berteriak keras dan ribut, maka kami keluar. Aku berkata
kepada teman-temanku setelah kami keluar:"Sungguh dia (Raja) telah diajak
kepada urusan Ibnu Abu Kabsyah (Muhammad). Hiraqla mengkhawatirkan kerajaan
Romawi."Pada masa itupun aku juga khawatir bahwa Muhammad akan berjaya,
sampai akhirnya (perasaan itu hilang setelah) Allah memasukkan aku ke dalam
Islam [98].
Keempat,
Nabi memberikan Abu Sufyan seratus kambing dan unta, sebagaimana yang ada
dalam Shahih Muslim dari Rafi’ bin Khudaij, “Rasul memberikan seratus ekor unta
kepada Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyainah bin Hashn, Al-Aqra’
bin Habis, dan seluruh muallaf yang seperti mereka”.[99] Oleh karena itu, Allah menamai orang yang
bersama Nabi SAW pada Perang Hunain sebagai ‘Orang-orang yang beriman (Mukmin)’,
karena Allah menetapkan keimanan mereka sebagaimana telah diabadikan dalam
surat Al-Taubah[9]:25-26.
Kelima, Dalil tentang tiga
keutamaan Abu Sufyan yaitu putrinya dijadikan istri Nabi, putranya Muawiyah
dijadikan penulis wahyu, dan Abu sufyan dijadikan pemimpin perang yang terdapat
dalam riwayat Shahih Muslim[100]:
Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas
yang berkata, “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka
duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai
Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan
berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di
kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin
menikahkannya dengan Anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar
Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis Anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”.
Abu Sufyan berkata:“Dan Anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi
orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau
SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal
tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau
SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”[101].
Keenam,
Abu Sufyan bertindak menjadi pemberi nasehat dan motivasi kepada pasukan
dan putranya Yazid sebagai pemegang panji di sayap kiri pada Perang Yarmuk,
dalam hal ini Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Ishâbah:
Diriwayatkan oleh Ya’kub bin Sufyan dan Ibnu Sa’id dengan sanad yang
shahih dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ayahnya, ia berkata, “Aku kehilangan
semua suara saat Perang Yarmuk kecuali suara seorang lelaki yang
berseru,“Pertolongan Allah telah dekat! Tetap teguhlah kalian. Tetap teguhlah
kalian, wahai kaum muslimin!” Musayyib berkata, “Aku pun melihat lelaki itu.
Ternyata dia adalah Abu Sufyan yang berada di bawah bendera putranya, Yazid.”.
Ketujuh,
Masih dalam kitab Al-Ishâbah
tentang keutamaan Abu Sufyan lainnya adalah ketika matanya cedera pada Perang
Thaif dan kedua matanya hilang pada Perang Yarmuk, sehingga hidup dalam keadaan
buta dalam sisa akhir hidupnya seperti yang diriwayatkan Al-Zubair dari jalan
Sa’id bin Ubaid Al-Tsaqafi:
Dia berkata: Aku meluncurkan anak
panah kepada Abu Sufyan dan mengenai matanya pada Perang Thaif, maka ia datang
kepada Nabi. Lalu Abu Sufyan berkata: Mataku ini terluka di jalan Allah. Rasulullah
bersabda, “Jika engkau suka aku akan mendoakanmu dan Allah akan mengembalikan
matamu. Namun, jika engkau suka (bersabarlah dan engkau akan mendapatkan) surga
Allah”. Abu Sufyan berkata, “Aku memilih surga.”[102].
Maka ia menjalani sisa hidupnya dengan mata yang cedera, dan bersabar atasnya.
F. Peperangan
yang Diikuti Abu Sufyan
Dibawah ini akan dipaparkan sedikitnya
peperangan yang diikuti Abu Sufyan baik sebelum ia masuk Islam atau sesudahnya.
Diantaranya:
1. Perang
Badar Kubra
Pertempuran Badar
Kubra adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan
musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan
dua Hijriyah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur
menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur
habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan
pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan. Al-Mubarakfuri
mengatakan:
Dimulai dengan Kabilah dagang Quraisy yang dapat melepaskan diri dari hadangan Rasulullah, pada saat
perjalanan dari Makkah ke Syam. Tatkala mendekati kepulangan mereka dari Syam
ke Makkah, maka Rasulullah mengutus Thalhah bin Abdullah dan Said bin Zaid agar pergi ke utara untuk
menyelidiki dan memberi informasi apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Mereka
bergerak hingga ke daerah Al-Hawra', ketika kafilah dagang Quraisy yang
dipimpin Abu Sufyan lewat, maka mereka pun segera pulang ke Madinah dan melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah. Kafilah Abu Sufyan itu sendiri membawa harta kekayaan
penduduk Makkah yang jumlahnya sangat melimpah, yaitu sebanyak 1000 ekor unta
yang membawa harta benda milik mereka, yang nilainya tidak kurang dari 5000 dinar emas, sementara yang mengawalnya tidak lebih dari
40 orang. Inilah kesempatan baik bagi pasukan Madinah untuk
melancarkan serangan yang telak terhadap orang-orang musyrik dalam bidang
politik, ekonomi dan militer, sekiranya semua harta tersebut dapat dirampas
dari tangan mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah memberitahukan kepada kaum muslimin dengan
sabdanya:"Inilah dia kafilah Quraisy yang penuh dengan harta, mari
keluarlah kalian! Semoga Allah menjadikan harta rampasan itu untuk kalian". Namun dalam masalah ini Beliau
tidak memaksa siapa pun untuk keluar, Beliau hanya meminta kerelaan mereka,
karena Beliaupun tidak bermaksud akan terjadi pertarungan yang dahsyat dengan
tentera Makkah
dan bentrokan ini juga baru terjadi saat di medan Badar. Dengan demikian, maka
sebahagian besar dari
sahabat berada di Makkah, dan Rasulullah tidak membantah
terhadap mereka yang
tidak ikut perang.
Abu Sufyan
mengikuti Perang Badar karena peringatannya kepada kaum Muslimin ketika berada
di Makkah, ia juga yang bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan kafilah
dagang Quraisy, oleh karenanya ia bertindak sangat hati-hati dan waspada saat
itu. Dia tahu bahwa jalur
ke Makkah penuh resiko, maka ia pun mencari informasi, bertanya kepada siapapun
yang ditemuinya di jalan. Hingga akhirnya ia mendapat kabar yang meyakinkan
bahwa Nabi telah pergi bersama rekan-rekannya untuk menghadang kafilahnya. Saat itu, Abu Sufyan
mengupah Dhamdham bin ‘Amr Al-Ghifari agar pergi ke Makkah memberitahu
orang-orang Quraisy agar mengirim bantuan dan menyelamatkan kafilah dagang
mereka serta menghadapi Nabi dan pasukannya. Maka Dhamdham pergi dengan cepat hingga
selamat sampai di Makkah, dengan baju yang terkoyak-koyak dan perbekalannya
yang berantakan, dia berdiri diatas punggung untanya yang tampak lusuh di
tengah lembah, dia berteriak: “Wahai orang Quraisy, kafilah, kafilah…!Harta
benda kalian yang dibawa Abu Sufyan telah dihadang oleh Nabi dan pasukannya.
Menurutku kalian harus menyusul mereka, tolonglah mereka…tolonglah!”. Akhirnya kafilah yang dipimpin Abu Sufyan ini dapat
meloloskan diri, karena ia meningkatkan kewaspadaan dan selalu mengawasi ketika
mengambil jalur pokok menuju ke Makkah.
Ketika kafilahnya sudah mendekati Badar,
ia mendahului rombongan hingga bertemu dengan Majdi bin Amr dan menanyakan
pasukan Madinah kepadanya.“Aku tidak melihat seorangpun yang mencurigakan,
hanya saja tadi aku melihat dua orang penunggang yang berhenti di bukit itu”.
Jawab Majdi. Setelah mengisi kantong air, keduanya pun pergi. Abu Sufyan segera mendatangi tempat
menderum unta milik dua orang yang dimaksudkan Majdi dan memeriksa kotorannya,
dan ternyata didalam kotorannya ada biji-bijian yang masih utuh. Dia berkata:
“Demi Allah, ini adalah makanan hewan dari Yatsrib”. Maka dengan cepat ia
kembali menemui kafilahnya dan mengalihkan arah perjalanan menuju barat ke
pesisir pantai, sehingga tidak jadi mengambil jalan pokok yang melewati Badar,
tepatnya kearah kiri. Dengan cara itu, kafilah Abu Sufyan dapat selamat dari
hadangan pasukan Madinah dan kemudian ia mengirim surat kepada pasukan Makkah
yang sudah tiba di Juhfah. Mata-mata pasukan
Madinah menyampaikan berita tentang lolosnya kafilah dagang Abu Sufyan kepada
Rasul, yang saat itu masih dalam perjalanan melewati Wâdi Dzifiran. Sementara itu, tidak ada kesempatan
bagi beliau dan para sahabatnya untuk menghindari peperangan. Akhirnya, mereka
harus terus maju dengan pantang menyerah. Sebab jika pasukan Makkah dibiarkan
menyerang, sama saja dengan memberi kesempatan untuk memantapkan posisi
militernya, melebarkan pengaruh politiknya, dan juga dapat meleraikan persatuan
Muslimin serta menimbulkan rasa takut. Bahkan dapat membuat gerakan Islam hanya
sebatas gerakan jasad tanpa ruh dan orang-orang yang membenci Islam dapat
dengan mudah menyerang kaum Muslimin[103].
Dari kisah diatas,
kenapa Rasul tidak mengejar kafilah dagang Abu Sufyan setelah perang Badar,
karena Allah telah menjanjikan kepada beliau salah satu dari dua rombongan, dan
Allah telah memenuhi janjiNya kepada beliau dengan memberikan kemenangan bagi
beliau atas pasukan Musyrikin[104].
Dari paparan diatas Abu Sufyan memiliki sikap
waspada dan hati-hati sehingga dapat diambil pelajaran bahwa seorang komandan
hendaknya menyembunyikan segala sesuatu yang mungkin bisa dijadikan oleh pihak
musuh sebagai bahan untuk menyimpulkan informasi. Sesuatu
tersebut bisa jadi sangat tidak berharga tetapi hendaknya tidak disepelekan. Di
zaman modern, musuh bisa mengetahui banyak hal tentang musuhnya apabila
diketahui jumlah makanan sehari-hari yang dikonsumsinya. Juga bisa mengambil
kesimpulan jika telah diketahui jumlah bahan bakar yang dihabiskan oleh semua
kendaraan musuh, sehingga bisa diperkirakan berapa jumlahnya dan apa jenisnya.
Kadang-kadang pasukan menyembunyikan berapa jumlah korban yang
dialaminya tetapi ia lupa akan satu sisi yang bisa menjadi indikasinya,
misalnya ucapan bela sungkawa di berbagai media massa, sehingga pihak lawan
dapat menyimpulkan berapa kerugian yang dialaminya melalui ucapan bela sungkawa
tersebut. Dalam hal ini Abu Sufyan benar-benar seorang pemimpin yang patut
diingat dengan peristiwa dan kehati-hatiannya. Demikian pula kaum Muslimin
patut mengambil pelajaran dari kasus ini.
2. Perang
Sawiq
Dalam riwayat Musa
bin ‘Uqbah tidak menyebutkan kapan Yahudi merencanakan makar terhadap kaum
muslim, baik berupa tipu daya, provokasi dan informasi penting yang dijual
kepada kafir Quraisy. Sebagaimana dimaklumi bahwa Yahudi memprovokasi Quraisy
untuk memerangi kaum muslimin tepatnya pada Perang Uhud. Mereka membantu Abu
Sufyan dalam sebuah pertempuran di penggiran kota Madinah, yang akhirnya kaum
muslimin berhasil menghalau pasukan Abu Sufyan yakni pada Perang Sawiq setelah
Perang Uhud. Diketahui pula bahwa upaya tipu daya dan politik yang dipecah
belah itulah yang didegung-dengungkan oleh Ka’ab bin Al-Asyraf untuk
memprovokasi kafir Quraisy agar mereka memerangi kaum muslimin. Kemungkinan
inilah yang dimaksudkan dalam riwayat Musa bin Uqbah yang menunjukan buruknya
hubungan antara kaum muslimin dengan Bani Nadhir, yang berakhir dengan upaya
pembunuhan terhadap Nabi dan menjadi penyebab secara langsung pengepungan
mereka serta merupakan rentetan rencana permusuhan[105].
Al-Mubarakfuri menceritakan kisah perang ini:
Shafwan bin Umayyah yang telah menjalin persekongkolan dan konspirasi
dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik, maka Abu Sufyan berfikir
untuk melakukan suatu tindakan yang sedikit menyerempet bahaya, dengan maksud
untuk menjaga kedudukan kaumnya dan menunjukan kekuatan yang mereka miliki. Dia
sendiri sudah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun
junub, hingga dia dapat menyerang Muhammad[106].
Abu Sufyan ingin melakukan aksi pembalasan maka secara diam-diam ia
berangkat dari Makkah bersama 200 pasukan berkuda, mereka singgah di Bani Nadhir
(diluar kota Madinah). Dalam riwayat lain dikatakan, setelah pergi dengan 200
pasukan dan tiba disuatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib.
Jaraknya dari Madinah kira-kira 12 mil, Abu Sufyan tidak berani masuk ke
Madinah secara terang-terangan, maka ia mengendap-endap layaknya seorang
perampok lalu mendatangi rumah Huyai bin Akhtab. Ia meminta izin untuk memasuki
rumahnya, namun Huyai menolaknya karena takut ketahuan. Maka ia pergi dan
mendatangi rumah Sallam bin Misykam (pemimpin Bani Nadhir), ia meminta agar
kedatangannya ini dirahasiakan dari siapapun. Setelah dijamu dan disuguhi arak,
pada akhir malam Abu Sufyan keluar rumah dan kembali menemui rekan-rekannya.
Ada yang mengatakan perang ini terjadi pada bulan Dzulhijjah (2 bulan setelah
perang Badar) dan untuk urusan di Madinah ini, Nabi menyerahkannya kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir[107].
Kemudian ia menyerang kampung ‘Uraidl[108]
dan berhasil membunuh dua orang Anshar, membakar pohon kurma, serta melarikan
diri ke Makkah. Maka kaum muslimin mengejarnya sampai Qarqarah al-Kudr, namun
tidak berhasil menangkapnya. Al’Umari mengatakan, “Mereka kembali dengan
membawa sawiq (tepung gandum) yang dibuang oleh orang-orang musyrik sebagai
perbekalan mereka agar tidak berat sehingga dengan mudah dan cepat dapat
melarikan diri, maka peperangan ini disebut dengan “Perang Sawiq”[109].
3. Perang
Uhud
Peristiwa ini terjadi
pada hari Jum’at enam Syawwal tiga Hijriyah dimana Penduduk Makkah terbakar api
kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di perang Badar,
dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Setelah
perang Badar, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan
habis-habisan terhadap orang Muslim, agar kebencian mereka dapat terobati.
Karena itu mereka mempersiapkan untuk melakukan peperangan sekali lagi.
Diantara
pemimpin-pemimpin Quraisy yang paling bersemangat mengadakan persiapan perang
adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Abu Sufyan bin Harb dan
Abdullah bin Abu Rabi’ah. Al-Mubarakfuri menceritakan kisah perang ini bahwa:
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menghimpun kembali barang
dagangan yang bisa diselamatkan Abu Sufyan dan masalah apa yang menjadi sebab
pecahnya Perang Badar, mereka juga berkata kepada para hartawan: “Wahai orang
Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh
orang-orang terbaik kalian. Maka tolonglah kami dengan harta kalian untuk
memeranginya, siapa tahu kita dapat menuntut balas”. Maka mereka memenuhi
himbauan tersebut, hingga terkumpul 1000 unta dan 1500 dinar. Tentang hal ini,
Allah menurunkan surat Al-Anfal ayat 36.
Mereka membuka pintu dukungan bagi siapapun yang hendak ikut andil untuk
memerangi orang-orang Muslim, baik dari suku Kinanah, Habasyah ataupun Tihamah.
Abu Sufyan adalah orang yang paling bersemangat melakukan persiapan menghadapi
orang-orang Muslim, setelah dia kembali dari Perang Sawiq dengan tangan hampa
dan bahkan ia banyak kehilangan harta saat itu. Begitu juga, semangat perang
orang-orang Quraisy karena kehilangan barang dagangannya di bawah tangan salah
satu pasukan Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah, bahkan mengancam perekonomian
mereka. Setelah genap satu tahun, persiapan mereka benar-benar sudah matang.
Tidak kurang dari 3000 prajurit Quraisy yang sudah berkumpul dengan
sekutu-sekutunya dan kabilah-kabilah kecilnya. Para pemimpin Quraisy juga
membawa para istri mereka untuk menambah semangat mereka, namun yang
diikutsertakan hanya 15 orang. Hewan pengangkutnya ada 3000 unta, penunggang
kudanya ada 200 yang disebar disepanjang jalan yang dilaluinya, dan pemakai
baju besi ada 700 orang.
Komandon pasukan tertinggi dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, sedangkan
komandon pasukan kuda dipimpin oleh Khalid bin al-Walid yang dibantu Ikrimah
bin Abu Jahl. Adapun bendera perang diberikan kepada Bani Abdi Dar. Pasukan
Makkah meneruskan perjalanan dengan mengambil jalur utama kearah barat menuju
Madinah. Setiba di Abwa’, Hindun bin Uthbah istri Abu Sufyan mengusulkan untuk
menggali kuburan Ibunya Rasul, namun para komandon pasukan Quraisy menolak
usulan itu. Kali ini mereka bersikap hati-hati terhadap akibat yang harus
mereka hadapi, jika berbuat seperti itu. Para komando pasukan yang telah
disebutkan diatas adalah kedudukan mereka semenjak Bani Abdi Manaf membagi-bagi
beberapa kedudukan di Makkah, yang diwarisi dari Qushay bin Kilab. Jadi tak
seorangpun boleh menetangnya, karena telah terikat oleh tradisi yang sudah
berlaku.
Namun, Abu Sufyan banyak membicarakan tentang apa yang menimpa pada
pembawa bendera pada saat Perang Badar yang tertawan yaitu Al-Nadlr bin Al-Harits,
maka Abu Sufyan memancing amarah Bani Abdi Dar dengan berkata: “Wahai Bani Abdi
Dar, kalian telah dipercaya untuk membawa bendera perang kami saat Perang Badar,
dan akhirnya kita mengalami sial seperti yang sudah kalian ketahui.
Sesungguhnya pasukan itu diukur dari benderanya. Jika bendera itu musnah, maka
musnahlah semua pasukan. Jadi kalian lebih baik melindungi bendera kita atau
melepaskan urusan kita dengan Muhammad, dan cukuplah kami sebagai wakil kalian”.
Abu Sufyan berhasil memancing amarah mereka, mereka marah mendengar ucapannya,
dan bersumpah dengan berkata: “Kami menyerahkan bendera kami kepadamu? Besok
kamu akan mengetahui apa yang akan kami perbuat saat pertempuran”. Merekapun
langsung melompat ke medan pertempuran saat dimulai.
Sebelum pecahnya peperangan, pihak Quraisy berusaha menciptakan
perpecahan didalam barisan pasukan Muslimin dengan cara Abu Sufyan mengirim
surat yang ditujukan kepada kaum Anshar yang isinya: “Biarkanlah urusan kami
dengan anak paman kami, dan setelah itu kami akan pulang tanpa mengganggu
kalian, karena tidak ada gunanya kami memerangi kalian”. Namun, karena teguhnya
iman mereka, kaum Anshar malah membalas suratnya dengan balasan yang pedas,
yang membuat merah telinga saat mendengarnya. Di sana pun terdapat beberapa
wanita Quraisy yang ikut bergabung dalam pasukan perang kali ini, yang dipimpin
oleh Hindun bin Uthbah. Mereka tak henti-hentinya berkeliling diantara barisan,
menabuh rebana, membangkitkan semangat, mengobarkan tekad berperang, dan
terkadang memberi semangat pada para pembawa bendera.
Adapun diantara pahlawan perang Islam pada saat itu adalah Hanzhalah bin
Abu Amir. Ayahnya (Abu Amir) adalah seorang tabib yang disebut si Fasik.
Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Saat turun ke medan perang, ia
menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh
yaitu Abu Sufyan bin Harb. Sebenarnya ia sudah dapat menundukan Abu Sufyan,
namun hal itu diketahui oleh Shaddad bin al-Aswad, Shaddad lalu menikamnya
hingga wafat sebagai syahid. Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah: “pada saat
Perang Uhud, orang-orang musyrik telah kalah. Lalu ada seorang iblis berseru:
Hai, hamba Allah! waspadailah orang-orang dibelakang kalian. Hudzaifah segera
menyadari hal ini, dia yang bersama ayahnya al-Yaman berteriak: Hai hamba
Allah! dia adalah ayahku”. Hudzaifah berkata seperti itu karena takut ayahnya
jadi sasaran untuk dibunuh, namun tak ada orang yang menghalangi mereka berdua,
hingga ayahnya terbunuh. Lalu Hudzaifah berkata: “Semoga Allah mengampuni
kalian”. Kejadian ini terjadi ketika barisan menjadi kacau balau yang asal
mulanya karena para pemanah tidak taat dan kaum muslimin malah asyik mengambil
harta rampasan, mereka bingung harus melawan siapa, siapa yang lawan dan siapa
yang kawan. Ditambah lagi ada yang berteriak: “Muhammad telah terbunuh”. Ketika
itu juga, mental orang-orang Muslim anjlok dan semangat mereka hilang,
pertempuran terhenti, dan banyak yang meletakkan senjata, bahkan sebagian
mereka ada yang berfikir untuk meminta perlindungan kepada pimpinan orang-orang
Munafik (Abdullah bin Ubay) dari
serangan Abu Sufyan[110].
Kegembiraan Abu Sufyan seusai Perang
dan Dialognya dengan Umar
Namun
pada akhirnya dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyah karya Dliya’ Akram al-‘Umuri
dikatakan bahwa Kaum musyrikin sudah kehilangan akal untuk menghentikan
pertempuran dengan membawa kemenangan besar, mereka sudah keletihan karena
lamanya waktu pertempuran dan kegigihan kaum muslimin. Lalu mereka menahan diri
untuk mengejar pasukan muslimin di celah-celah Gunung Uhud, namun Abu Sufyan
maju kearah pasukan Muslimin lalu angkat bicara: “Adakah Muhammad di tengah
kalian?”, Rasul berkata: “Jangan jawab perkataannya”. “Adakah Ibnu Abi Quhafah ditengah kalian?”,
Rasul berkata: “Jangan jawab perkataannya”. “Adakah Ibnu al-Khathab ditengah
kalian?” Tanya Abu Sufyan[111].
Al-Mubarakfuri menyimpulkan bahwa tak ada seorangpun yang menjawab karena Nabi
yang melarangnya, dan Abu Sufyan hanya menanyakan 3 orang ini karena dia dan
kaumnya menganggap mereka inilah yang menjadi sendi tegaknya islam[112].
Abu Sufyan melanjutkan perkataannya: “Sesungguhnya mereka telah terbunuh,
sekiranya mereka masih hidup tentu akan menjawabnya”. Umar tidak dapat menahan
dirinya, maka ia berkata: “Engkau telah berdusta wahai musuh Allah! Allah akan
menetapkan sesuatu yang akan menghinakanmu”.
Dalam riwayat lain disebutkan Umar berteriak: “Wahai musuh Allah!
orang-orang yang kau sebutkan itu masih segar bugar”. Abu Sufyan menimpali:”
Nyatanya di antara kalian banyak yang mati dan aku tidak mengurusnya”[113].
Abu Sufyan menjawab: “Maha Tinggi Hubal!”. “Jawablah perkataannya!” perintah
Rasul. Para Sahabat berkata: “Apa yang harus kami katakan?”, katakanlah: “Allah
adalah penolong kami dan tidak ada penolong bagi kalian”. Abu Sufyan
membalasnya: “Kami punya Uzza, dan kalian tidak punya Uzza”. “Jawablah
perkataannya!” perintah Rasul. Para Sahabat berkata: “Apa yang harus kami
katakan?”, katakanlah: “Allah adalah penolong kami, dan tidak ada penolong bagi
kalian”.
Perintah Rasulullah agar mereka membalas ketika
Abu Sufyan merasa bangga dengan sesembahan-sesembahan dan kesyirikannya, dalam
rangka pengagungan terhadap tauhid sekaligus menunjukkan Keperkasaan dan
Kemuliaan Dzat yang diibadahi oleh kaum muslimin. Abu Sufyan berkata lagi: “Ini adalah
pembalasan atas kekalahan kami di Perang badar, peperangan di antara kita seimbang.
Kalian mengalami nasib yang sama dengan kami, aku tidak memerintahkannya dan
tidak pula menyulitkanku”. Dalam riwayat lain, Umar menjawabnya: “Tidaklah
sama! Prajurit kami yang gugur akan berada didalam syurga, sedangkan prajurit
kalian yang gugur akan berada di neraka”. Mendiamkan perkataan Abu Sufyan tadi
adalah bentuk peremehan kepadanya, namun setelah ia bertambah congkak dan
dipenuhi rasa sombong, maka kaum muslimin menyebutkan apa yang sebenarnya
terjadi dan membalas ucapannya dengan penuh keberanian.
Disebutkan pula: bahwa Abu Sufyan
berkata lagi:” Wahai Umar kemarilah!” Maka Rasul bersabda: “Hampirilah dia,
lihat apa maunya!” Maka Umar menghampirinya, setelah mendekat, Abu Sufyan
bertanya: “Demi Allah, Aku memohon kepadamu wahai Umar, apakah kami benar-benar
telah membunuh Muhammad?” “Demi Allah, sama sekali tidak” Jawab Umar.
“Beliaupun bisa mendengar perkataanmu saat ini”. Abu Sufyan berkata: “Bagiku
Engkau lebih jujur dan lebih baik daripada Ibnu Qami’ah, karena Ibnu Qami’ah
berteriak saat pertempuran sedang berkecamuk bahwa ia telah membunuh Nabi”[114].
Ibnu Ishaq dan al-Waqidi menyebutkan bahwa Abu Sufyan menjanjikan perang
yang berikutnya setelah perang ini dan kaum muslimin menyambut tantangan itu. Ibnu
Ishaq dan as-Suddi menyebutkan bahwa Rasul mengirim Ali untuk menyelidi
kemanakah perginya pasukan Musyrikin, apakah mereka bermaksud untuk menyerang
Madinah atau kembali ke Makkah. Disebutkan, Nabi bersabda:”Jika mereka mengikat
kuda dan menaiki unta, berarti mereka pergi menuju Makkah. Namun, jika mereka
menaiki kuda dan mengikat untanya, berarti mereka hendak menuju Madinah. Demi
yang diriku ada di TanganNya, jika mereka menghendaki yang demikian itu, maka
aku benar-benar akan menghadapi mereka di sana dan menggempur mereka”. Ali menuturkan:“Lalu
aku membuntuti mereka, ternyata mereka mengikat kuda dan menaiki unta”. Mereka
pergi ke Makkah[115].
Al-Umari menambahkan: Walau bagaimanapun pasukan Quraisy sudah keletihan
dan mereka sudah puas atas hasil yang mereka peroleh, yakni melampiaskan
dendamnya tanpa terpikir lagi untuk mendapatkan kemenangan besar dengan
mengejar pasukan Muslimin di celah-celah Gunung Uhud dan menghabisi mereka atau
bermaksud menyerang kota Madinah. Begitu pasukan Musyrikin meninggalkan medan
pertempuran, Rasul langsung memerintahkan untuk memakamkan para syuhada yang
gugur sebanyak 70 syuhada[116].
Adapun tentang pasukan yang hendak ingin ikut berperang dengan Nabi
sebanyak 600 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul di Uhud ditolak
oleh Nabi, karena Nabi sudah tahu kemunafikan mereka. Karena penolakan ini,
Abdullah bin Ubay mempengaruhi beberapa kaum muslim yang tiada lain masih
kelompok munafiknya agar tidak ikut perang dengan alasan pasukan kaum Quraisy
lebih banyak, sehingga 300 orang dari 1000 pasukan umat islam mundur. Pasca Perang Uhud, orang-orang Arab Musyrik
disekitar Madinah menjadi semakin berani terhadap kaum Muslimin. Hal itu tampak
jelas dengan munculnya beberapa kelompok, diantaranya yang digalang oleh Bani
Asad dibawah pimpinan Thulaihah al-Asadi dan saudaranya Salimah di Nejed.
Adapun ada beberapa pembunuhan yang dilakukan pada sahabat Rasul seperti
Zaid bin Al-Datsinnah dibeli oleh Shafwan bin Umaiyyah untuk dibunuh sebagai
pembalasan atas kematian ayahnya, Umaiyyah yang dibunuh Zaid pada saat Perang
Badar. Sebelum mengeksekusinya, Abu Sufyan berkata kepadanya: “Aku bersumpah
Demi Allah hai Zaid, apakah engkau senang jika Muhammad menggantikan tempatmu
sekarang ini untuk kami siksa sedang engkau pulang ke rumah?” Zaid menjawab:
“Demi Allah, aku tidak ingin Muhammad berada di tempatku kemudian tertusuk
duri, sementara aku duduk santai di rumahku”. Maka Abu Sufyan berkata: “Aku
tidak pernah menjumpai seseorang yang mencintai orang lain seperti
sahabat-sahabat Muhammad yang mencintai Muhammad”[117].
4. Perang
Hamra’ Al-Asad
Rasul tidak berhenti
untuk berfikir dalam menghadapi keadaan seperti ini, karena orang-orang Quraisy
setelah Perang Uhud tidak memperoleh kemenangan mutlak dan mereka juga tidak
mendapat keuntungan material yang berarti. Maka, Nabi khawatir mereka akan
kecewa dengan hasilnya dan kembali ke Madinah untuk melakukan serangan lagi.
Maka Nabi bertekad untuk mengusir pasukan Quraisy saat itu juga.
Sebagaimana
dinyatakan para Ahli Sejarah, bahwa Nabi berseru dihadapan orang-orang dan
menganjurkan agar mereka mengejar musuh. Kejadian ini terjadi pada keesokan
hari setelah Perang Uhud, hari Ahad delapan Syawwal tiga hijriyah. Ibnu Ishaq
menyebutkan sebuah riwayat tanpa sanad bahwa:
Rasul bermukim di Hamra’ Al-Asad selama tiga
hari (senin-rabu). Disebutkan bahwa Ma’bad Al-Khuza-I berpapasan dengan pasukan
Quraisy di Rauhâ’ yang bertekad ingin kembali untuk menghabisi kaum muslimin.
Namun Ma’bad menahan keinginan mereka dan megabarkan bahwa pasukan muslimin
telah ke luar kota dan sampai di Hamra’ Al-Asad, sehingga ia menganjurkan mereka
agar kembali saja ke Makkah. Tidak diragukan lagi misi ke Hamra Al-Asad
berhasil mencapai tujuan kaum muslimin yaitu menampakkan kekuatan kaum muslimin
untuk menyerang musuh-musuh mereka dari kalangan Arab badui dan kaum Quraisy,
meskipun mereka mendapat musibah dalam Perang Uhud. Pengiriman pasukan ke luar
kota Madinah secara otomatis mengesankan bahwa mereka mampu menghadapi Kaum
Yahudi dan Munafikin yang berada didalam kota Madinah[118].
Akhir perang ini, pasukan Quraisy
tidak mampu melibas pasukan Muslimin. Sekalipun pasukan Muslimin sempat kacau
balau, tetapi hampir dari mereka semua tidak melarikan diri. Mereka terus
bertempur dengan gagah berani hingga dapat berhimpun kembali dengan komandon
pasukan. Mereka sama sekali tidak jatuh dan tertawan oleh pasukan Quraisy.
Pasukan Quraisy malah tidak mendapat harta rampasan walau sedikit. Bahkan pada
putaran ketiga pasukan Quraisy tidak melanjutkan peperangan, dan mereka lebih
dulu mengundurkan diri dari peperangan. Mereka tidak berani memasuki Madinah
untuk menjarah tawanan dan barang-barang, sekalipun jaraknya tidak jauh lagi
dan keadaan disana kosong. Bahkan keputusan Abu Sufyan untuk cepat-cepat pergi
dari peperangan dan kembali ke Makkah, mengesankan bahwa sebenarnya ia dirasuki
rasa khawatir dan was-was pasukannya mengalami kekalahan pada putaran ketiga
ini. Juga karena ia tahu bahwa Rasul dan pasukan Muslimin menyusulnya hingga
tiba di Hamra Al-Asad. Al-Mubarakfuri berkomentar: Perang Hamra al-Asad ini
bukan perang yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari Perang Uhud dan
kelanjutannya. Jadi, dalam Perang Uhud ini adalah perang yang tidak tuntas,
masing-masing pihak mendapat kemenangan dan kerugian sendiri-sendiri, sehingga
kedudukan menjadi imbang. Hal ini terisyaratkan dalam surat An-Nisa ayat 104[119].
5. Perang
Badar Shughra
Pada bulan Dzulqa’dah tahun empat hijriyah,
Rasul keluar dengan 1500 pasukan ke Badar. Mereka membawa sepuluh kuda dan
panji pasukan dibawa oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menunggu kedatangan
pasukan Quraisy sesuai dengan janji yang ditentukan pada perang Uhud dengan Abu
Sufyan (pemimpin Quraisy). Pasukan muslimin menunggu selama delapan hari di
Badar, tapi pasukan Quraisy tak kunjung datang.
Selama itu mereka menjual
barang-barang dagangan dan mendapat laba yang banyak. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan “Perang Badar yang dijanjikan” atau “Perang Badar kedua” atau
“Perang Badar terakhir” atau “Perang Badar Shugra”[120].
Al-‘Umari meriwayatkan kisah ini bahwa:
Sebenarnya Abu Sufyan telah
keluar membawa 2000 pasukan dan 50 pasukan berkuda, namun ketika mereka tiba di
Marr azh-Zhahraan sekitar 40 Km dari kota Makkah, mereka kembali, karena tahun
itu adalah tahun paceklik. Pemungkiran janji itu menyebabkan semakin kuatnya
kedudukan kaum muslimin dan sekaligus mengembalikan wibawa mereka. Sementara
itu, kaum muslimin meneruskan pengiriman detasemen-detasemen[121]ke
seluruh penjuru tanah Arab seperti Nejed dan Hijaz untuk memberikan pelajaran
kepada orang-orang Arab. Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat dengan membawa
pasukan kecil ke Thayyi’ dan Asad di Nejed, namun penduduk kedua daerah
tersebut melarikan diri ke gunung-gunung sehingga pertempuran tidak sempat
terjadi. Kemudian Rasul mengirim pasukan berjumlah 1000 orang pada bulan
Rabi’ul Awal tahun lima hijriyah ke Daumatul Jandal dan telah sampai berita
pada Rasul bahwa kaum musyrikin telah berkumpul disana, namun kumpulan itu
telah bercerai berai ketika mereka mengetahui kedatangan pasukan muslimin yang
telah menetap selama beberapa hari disana. Pasukan Muslimin sempat mengirim
pasukan-pasukan kecilnya, namun mereka tidak mendapatkan perlawanan sedikitpun.
Akhirnya mereka kembali ke Madinah setelah melepaskan Uyainah bin Hishn Al-Fazzari
ketika mereka akan kembali[122].
6. Perang
Ahzab atau Khandaq
Sudah menjadi takdir Allah SWT bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh
dan misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan
berkesempatan mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Nabi Muhammad
kembali. Kali ini, dia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah SAW
mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk
menggali parit sesuai dengan saran Salman Al-Farisi. Begitu parit itu selesai
digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba dan mereka tidak
berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit
itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum
Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan
baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah SAW atas nama
kaumnya.
Lanjutnya, Ka’ab lalu
menutup pintu bentengnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya,
seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan
Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”. Huyai
menjawab, “Wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi.
Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka
sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum
menumpas Muhammad dan para sahabatnya”. Ka’ab menjawab: “Kalau begitu, kau
telah mengundang kehinaan abadi!” Celaka
kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!” Akan tetapi, Huyai
tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau
melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Muhammad. Dia mengadakan
perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak
berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup
senasib dengan kau!”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita
ketakutan yang luar biasa karena harus menghadapi dua front: Quraisy dan
Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang
dilukiskan dalam surat Al-Ahzab: 10-11.
Malapetaka ini terjadi karena lebih dari 20 malam, kedua pasukan
yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya
masing-masing.
Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i datang
menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam,
tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”. Rasulullah
menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk
menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”. Nu’aim lalu pergi menemui
tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat.
Nu’aim berkata kepada mereka: “kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku
dan kalian”. Mereka menjawab: “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan
sedikitpun terhadapmu”. Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy
dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian.
Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan
isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu,
sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan
ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri
mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti
tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian
mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak
akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”. Mereka
menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!”.
Kemudian Nu’aim pergi
menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudah
mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Muhammad.
Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah
mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima
kalau kami meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami
serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan
anda memperkuat persahabatan yang telah ada?” Tampaknya, tawaran mereka itu
diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah
kalian memenuhinya meskipun hanya seorang saja”.
Nu’aim lalu pergi menemui pimpinan
Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia
lalu memperingatkan mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy. Begiru
Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin
Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka,
“Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan
untuk menumpas Muhammad”. Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan
Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau
kalian mau memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian
akan segera kembali ke negeri kalian dan membiarkan kami menjadi umpan Muhammad
sedang kami berada di negerinya”.
Delegasi Ikrimah kembali
dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada
Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar
sekali apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud!” Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban
tegas kepada Bani Quraizhah, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh
kami seorangpun juga!” Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh
tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”. Allah Ta’ala mengacau-balaukan
rencana jahat mereka, sementara itu, perkemahan Quraisy dan Ghathafan
dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya,
seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim dalam surat Al-Ahzab: 9. Abu Sufyan
kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah pada saat itu bersabda,
“Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami
lagi”. Ternyata sabda Rasulullah itu tepat sekali, perjanjian damai antara
Quraisy dan Rasulullah berhasil ditandatangani[123].
Dialog
Abu Sufyan dengan Raja Hiraqla
Dalam
kesempatan baik ini, Rasulullah SAW mengirimkan surat dan utusannya ke seluruh
penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama
Islam. Di antara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Hiraqla, Kaisar
Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah Al-Kullabi. Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran
Rasulullah SAW itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya.
Peristiwa
ini terjadi pada akhir tahun enam Hijriyah, setelah kembali dari Hudaibiyyah
dan Al-Alamah Al-Mansurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para kurir untuk
mengirimkan surat kepada para Raja itu awal Muharram tahun tujuh Hijriyah,
beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar. Ketika Hiraqla ada di negeri Syam
kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah
dihadapkan kepada baginda dan salah satunya Abu Sufyan. Hiraqla mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadanya[124].
Akan
tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk islam? Apakah dia ragu-ragu akan
kejujuran Muhammad? Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah,
kalau dia ada dihadapannya, tentu dia akan mencuci kedua kakinya. Sesungguhnya,
rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk islam tidak lain
hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia
Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka
yang nekat berkata:
اللَّهُمَّ
إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً
مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيم
“Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfal[8]: 32)
“Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfal[8]: 32)
Ternyata
Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk
kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah
bahwa Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin
lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk
menaklukkan kota Mekkah. Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus
dikikis habis dari muka bumi.
7. Fath
Makkah
Abu Sufyan Pergi ke Madinah untuk
Memperbaharui isi Pejanjian
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang
musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulhu
Hudaibiyah pada tahun enam hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah
siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi dan
kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku
Khuza’ah di kubu Nabi dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy.
Padahal dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini
dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku
melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan
kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan
serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata
air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil
dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku
Khuza’ah menghadap Nabi di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan
yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Al-Mubarakfuri menyebutkan
bahwa tidak diragukan lagi, apa yang dilakukan Quraisy dan sekutunya ini
merupakan pengkhianatan yang nyata terhadap perjanjian dan tidak mungkin dapat
ditolerir lagi. Orang-orang Quraisy mulai menyadari pengkhianatan ini dan mulai
merasakan akibat yang harus mereka tanggung. Karena merasa melanggar
perjanjian, maka mereka menyelenggarakan majelis permusyawaratan dan mengambil
keputusan untuk mengirim utusan yaitu pemimpin mereka Abu Sufyan untuk
memperbaharui isi perjanjian. Disisi lain, setelah mendapat informasi tentang
pengkhianatan ini, Rasul memberitahukannya kepada para sahabat. Beliau
bersabda: “Sepertinya Abu Sufyan akan mendatangi kalian untuk membuat
perjanjian lagi dan menambahi temponya”.
Maka Abu Sufyan berangkat menuju
Madinah dan bertemu Budail bin Waraqa’ di Usfan yang sedang pulang ke Madinah.
“Dari mana engkau wahai Budail?” Tanya Abu Sufyan yang merasa yakin bahwa
Budail baru saja menemui Rasul. “Aku dan beberapa orang dari Khuza’ah baru saja
dari pesisir pantai dan perkampungan di lembah itu” jawab Budail bohong.
“Tidakkah kau menemui Muhammad?” Tanya dia lagi. “Tidak” jawab Budail. Setelah
Budail pergi melanjutkan perjalanan ke Makkah, Abu Sufyan berkata: “Jika Budail
telah pergi ke Madinah, berarti dia telah memberi makan untanya dengan
biji-bijian”. Lalu ia mendatangi tempat menderum unta Budail, mengambil kotoran
untanya dan memeriksanya, hingga ia melihat ada biji-bijian dalam kotoran itu.
Dia berkata: “Aku berani bersumpah kepada Allah, Budail benar-benar telah
menemui Muhammad”.
Abu Sufyan melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah, lalu ia
memasuki rumah putrinya yang menjadi istri Rasul yaitu Ummu Habibah. Saat ia
beranjak untuk duduk di lapik milik Nabi, Ummu Habibah melipatnya agar tidak
diduduki ayahnya. Abu Sufyan berkata meradang: “Hai putriku, apakah kau lebih
sayang kepadaku daripada lapik itu atau sebaliknya?” Ummu Habibah menjawab:
“Tapi ini lapik Rasul, dan ayah adalah orang musyrik lagi najis”. Abu Sufyan
menjawab: “Demi Allah, rupanya ada yang tidak beres denganmu setelah berpisah
denganku”. Kemudian Abu Sufyan menemui Rasul dan berbicara panjang lebar kepada
beliau, namun beliau sama sekali tidak menanggapinya. Lalu ia menemui Abu Bakar
dan berbicara kepadanya, ia meminta agar Abu Bakar mau berbicara kepada Nabi,
namun Abu Bakar malah berkata: “Aku tidak sudi melakukannya”. Setelah itu, ia
menemui Umar bin Khattab dan berbicara kepadanya, dan Umar berkata: “Layyakkah
aku memintakan pertolongan bagi kalian kepada Rasul? Demi Allah, kalaupun aku
hanya mendapatkan debu, tentu debu itu akan kupergunakan untuk menyerang
kalian”.
Lalu Abu Sufyan menemui Ali bin Abi
Thalib yang sedang bersama Fatimah dan Hassan yang merangkak dengan tangannya.
Abu Sufyan berkata: “Wahai Ali, engkau adalah orang yang paling dekat hubungan
kekerabatannya denganku, aku datang karena ada keperluan. Aku tidak akan
kembali tanpa membawa hasil seperti dulu. Mintalah pertolongan bagiku kepada
Muhammad”. “Celaka engkau Abu Sufyan, Rasul sudah mengambil keputusan dan kami
tidak bisa mempengaruhi beliau” jawab Ali. Lalu Abu Sufyan memandang Fatimah,
lalu berkata kepadanya: “Sudikah aku menyuruh anakmu agar dia memberi
perlindungan kepada orang-orang dan menjadi pemimpin Arab sepanjang masa?”.
Fatimah menjawab: “Demi Allah, anakku terlalu kecil untuk memberi perlindungan
ditengah orang-orang, lagipula tidak seorangpun mau memberi perlindungan dengan
melangkahi Rasul”. Setelah itu, dunia terasa gelap gulita bagi Abu Sufyan,
dengan perasaan resah, gelisah dan putus asa dia berkata kepada Ali: “Wahai
ayah Hassan, kulihat semua urusan terasa berat bagiku, tolong berilah aku
saran”. “Demi Allah, aku tidak solusi lain yang berguna bagimu. Bukankah kau
pemimpin Bani Kinanah? Bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada
orang-orang kemudian kembalilah ke tempatmu”.
Maka Abu Sufyan bertanya: “Apakah menurutmu hal itu berguna bagiku?”.
Jawab Ali: “Demi Allah, aku juga tidak yakin. Tapi aku tidak punya solusi lain
selain hal itu”. Lalu Abu Sufyan berdiri di Masjid lalu berkata: “Wahai semua
orang, aku telah diberi perlindungan oleh kalian”, lalu ia menaiki untanya dan
pergi. Setelah tiba ditengah-tengah orang-orang Quraisy, maka mereka bertanya
kepada Abu Sufyan: “Apa yang terjadi tadi?”. Abu Sufyan menjawab: “Aku sudah
menemui Muhammad dan berbicara panjang lebar kepadanya, Demi Allah dia sama
sekali tidak menanggapiku”. Abu Sufyan pun menceritakan apa yang terjadi
padanya secara lengkap. Lanjut Orang Quraisy: “Apa Muhammad juga memberi
perlindungan?”, Jawabnya: “Tidak”. “Celaka kau, orang itu semakin mempermainkan
dirimu”, “Tidak Demi Allah, hanya itulah yang bisa kuperbuat” Jawab Abu Sufyan[125].
Maka dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi memerintahkan para sahabat untuk
menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat
untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak
melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam
kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin
dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan
perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak,
tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu seperti yang termaktub dalam surat Al
Anfal[8]: 58.
Dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyah dikatakan bahwa Di Juhfah[126],
Al-Abbas bin Abdul Muthalib mendatangi Rasul sebagai muhajir, ia telah masuk
islam sebelum penaklukan Perang Khaibar. Banyak riwayat dla’if yang menjelaskan
keislamannya pada Perang Badar, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk
islam sebelum masa hijrah ke Madinah. Pendapat-pendapat ini terbantahkan dengan
sebuah kejadian dimana Rasul memintanya untuk menebus dirinya ketika ditawan di
Perang Badar. Dan memang tidak diragukan lagi bahwa al-Abbas datang untuk
memberikan bantuan yang sangat berharga bagi Islam sebelum ia masuk islam, ia telah banyak membantu
Rasul membawa segudang berita tentang Quraisy, bahkan ia juga melindungi kaum
Muslimin yang lemah dan tertindas di Makkah. Sedangkan di Marri Zhuhran kaum
Muslimin berkemah, berita mengenai perkemahan mereka tidak terdengar oleh
orang-orang Quraisy. Maka keluarlah Abu Sufyan bin Harb beserta Hakim bin Hizam
dan Budail bin Waraqa al-Khuza-I yang berusaha untuk mencari informasi, lalu
mereka bertemu dengan al-Abbaas bin Abdul Muthalib yang hendak mengirim utusan
kepada Quraisy yaitu untuk meminta mereka keluar berdamai dengan Rasul, sebelum
beliau masuk ke Makkah dan mengepung mereka.
Abu Sufyan dan kedua rekannya berbincang-bincang mengenai pasukan yang
sedang berkemah di Marri Zhuhran, salah satu dari mereka mengira bahwa
perkemahan tersebut adalah dari suku Khuza’ah. Perkatan ini menunjukan
keberhasilan kaum Muslimin merahasiakan berita kedatangan mereka ke Makkah.
Maka al-Abbas memberitahu bahwa itu adalah pasukan kaum Muslimin, lalu mengajak Abu Sufyan dan temannya pergi ke
perkemahan untuk bertemu dengan Rasul. Pada saat itu juga Rasul meminta Abu
Sufyan masuk islam, namun Abu Sufyan masih mencari-cari alasan dan ragu
terhadap Islam. Maka Rasul menyuruh al-Abbas untuk membawanya kembali ke kemah
beliau besok pagi, ia pun menuruti apa yang diperintahnya.
Keesokan harinya, Abu Sufyan masuk islam dan akhirnya al-Abbas
mengetahui kekuatan kaum muslimin ketika seluruh pasuakn muncul dihadapannya,
begitu juga Abu Sufyan mengetahui bahwa kaum Quraisy tidak akan mampu
menghadapinya. Sehingga ketika kaum Anshar dan Muhajirin (yang ditengah-tengah
mereka ada Rasul) melewati dihadapannya, Abu Sufyan berkata: “Demi Allah,
sungguh kerajaan anak saudaramu pada hari ini menjadi besar” Al-Abbas menjawab:
“Celaka engakau wahai Abu Sufyan, sesungguhnya ini adalah kenabian”. Ia
berkata: “Maka alangkah baiknya kalau begitu”. Abu Sufyan kembali ke Makkah
untuk memberitahukan kekuatan kaum Muslimin dan mencegah mereka agar tidak
melawan. Sedangkan ketika Sa’ad yang memegang bendera kaum Anshar sedang
menginspeksi pasukannya dan melewati tempat Abu Sufyan, Sa’ad berkata: “Hari
ini adalah hari pembantaian dan hari dihalalkannya Ka’bah”. Lalu Abu Sufyan
mengadukan hal itu kepada Rasul, maka beliau bersabda: “Sa’ad telah berdusta.
Hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah oleh Allah dan ka’bah akan ditutupi
oleh kain kiswah”. Lalu beliau mengambil panji kaum Anshar dari tangan Sa’ad
dan menyerahkan kepada anaknya yang bernama Qais, lalu Sa’ad memohon kepada
Rasul untuk mengambil kembali dai tangann anaknya, karena khawatir terjadi
kesalahan. Lalu beliau pun mengambilnya kembali dari tangan Qais.
Diceritakan kaum Quraisy telah banyak mengumpulkan banyak orang dari
berbagai kabilah untuk memerangi kaum Muslimin, untuk menjaga kehormatan
mereka. Jika mereka menang, maka mereka akan membantu kabilah-kabilah yang
membantu mereka. Namun jika mereka kalah mereka akan berunding untuk berdamai
dengan kaum Muslimin.
Maka Rasul memberi komando untuk menyerang mereka hingga ke bukit Shafa,
namun tidak ada sedikitpun perlawanan dari mereka. Dikatakan ada perlawanan yang
sangat kecil dari Quraisy, sehingga orang Muslim yang terbunuh sangat sedikit.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa yang terbunuh dari kaum Muslimin hanya 3 orang dan
kaum Musyrikin 12 orang, sedang menurut Musa bin Uqbah yang terbunuh dari kaum Musyrikin
ada 24 orang. Sebagaimana Abu Sufyan mengisyaratkan bahwa yang terbunuh dari
kalangan Quraisy cukup banyak. Abu Sufyan berkata kepada Rasul: “ya Rasulullah,
habis sudah kekuatan Quraisy, tidak ada lagi kemuliaan Quraisy setelah hari
ini”. Lalu Rasul bersabda: “Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia
aman”, maka banyak orang-orang yang masuk ke rumah Abu Sufyan, sedangkan yang
lainnya menutup pintu-pintu rumah mereka[127].
Hikmahnya dari peristiwa masuk islamnya Abu
Sufyan bin Harb adalah ia sama sekali tidak diusik oleh Nabi SAW. Padahal
beberapa tokoh Quraisy yang sama kerasnya memusuhi Islam seperti dirinya sempat
dihalalkan darahnya (boleh dibunuh), walaupun memang pada akhirnya banyak yang
diampuni oleh beliau. Bahkan beliau mengistimewakannya dengan kata-kata yang
telah disebutkan diatas, bahwa yang masuk rumahnya akan aman yaitu setelah ia
masuk islam. Dikatakan Pada malam harinya pada hari Penaklukan Makkah itu:
Istrinya, Hindun berkata kepada Abu Sufyan
bin Harb, "Sesungguhnya aku mau berbai'at kepada Rasulullah SAW."
"Aku melihat kamu ini masih kufur!" Kata suaminya. Hindunpun berkata,
"Demi Allah! Demi Allah! Tidak pernah aku melihat sebelum ini, Allah disembah
dengan sebenar-benarnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya di masjid ini (Masjidil Haram) pada malam hari ini. Tidaklah
mereka menghabiskan malam, kecuali dengan ruku, sujud dan thawaf hingga
subuh." Abu Sufyan bertanya, "Apakah kamu melihat semua ini
dari Allah?" "Ya, ini memang dari Allah!!" Kata Hindun dengan
tegas. Pagi harinya, ketika ia menemui Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau berkata
kepadanya, "Semalam engkau telah bertanya kepada Hindun : Apakah ini semua
dari Allah? Dan ia menjawab : Ya, ini memang dari Allah."
Seketika Abu Sufyan memandang Nabi SAW penuh kekaguman. Ia mungkin telah
menyatakan diri memeluk Islam saat Nabi SAW dalam perjalanan ke Makkah. Tetapi
pada pagi hari itu ia merasakan kebenaran telah merasuk ke dalam sum-sum dan
jiwanya, sehingga sekali lagi ia menyatakan syahadatnya di hadapan Nabi SAW
dengan segenap ketulusan hatinya. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, tidak
ada yang mendengar ucapanku itu selain Hindun!!"[128]
8. Perang
Hunain
Musa bin Uqbah
menyebutkan, “Abu Sufyan, Shafwan, dan Hakim bin Hizzam (para pemimpin Makkah)
berdiri di barisan belakang dalam peperangan ini, mereka menunggu siapa yang
akan tampil sebagai pemenang”. Urwah bin Zubair berkata, “Shafwan bin Umayyah
mengirimkan pelayannya untuk menyelidiki situasi perang saat itu, dan Abu
Sufyan ketika melihat kaum muslimin mundur pada babak pertama, maka ia berkata:
“Kekalahan kalian belum berakhir”, ia pun masih memiliki beberapa anak panah dikantongnya
yang biasa digunakan untuk mengundi”.
Sekalipun apa yang
diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah, Urwah bin Zubair dan Ibnu Ishaq ini tidak
shahih karena mursal, mereka bertiga adalah Ahli Sejarah dan
riwayat-riwayat mereka saling menguatkan yaitu untuk menggambarkan bagaimana
sikap para pemimpin Makkah seperti Shafwan yang masih musyrik dan Abu Sufyan
seorang Muslim yang baru (masih muallaf) ketika itu[129].
9. Perang
Tha’if
a. Tawanan Perang Hunain Dan Rampasannya
Rasulullah SAW berhenti di Ja'ranah
bersama pasukannya untuk mengurusi tawanan dan rampasan perang Hawazin. Rasulullah
tidak terburu-buru mengurusnya, sekalipun banyak kaum Muslimin sudah
berdatangan. Karena butuh bermalam-malam lamanya mengurus semua itu. Rasulullah
saw mulai mengurus harta rampasan dan membagi-bagi harta itu. Yang pertama-tama
mendapatkan pembahagian ialah orang-orang yang masih muallaf (yang baru saja
masuk agama Islam). Di antaranya ialah Abu Sufyan Bin Harb dan kedua anaknya,
Yazid dan Muawiyyah. Juga diberikan Hakiim Bin Hazzâm,
Al-Nadhar Bin Al- Hârist, Al-'Ullâ' Bin Al- Hâritsah
dan lain-lain semuanya tergolong orang-orang penting Quraisy. Mereka lebih
diutamakan dan dibanyakkan pembahagiannya. Kemudian dibagi rata kepada yang
lain-lain.
b. Mencintai Anshar Dan Pengorbanannya
Karena yang dipentingkan dalam pembagian
itu ialah terhadap suku Quraisy dan orang-orang muallaf yang baru saja memeluk agama
Islam, sedang golongan Anshar hanya mendapat pembagian yang amat kecil
(sedikit sekali) maka terdengarlah omelan pemuda- pemuda Anshar. Setelah
mendengar omelan itu, Rasulullah SAW mengucapkan pidato yang agung yang menitiskan air mata mereka, sehingga golongan Anshar menitiskan air mata mereka, rasa cinta dan kasih mereka terhadap Rasulullah semakin mendalam. Di antara yang diucapkan Rasulullah dalam khutbah beliau yang agung itu ialah, ucapan yang diucapkan dengan penuh perasaan, mengandung ketetapan hati, pengarahan, beliau terangkanlah apa hikmatnya beliau membagi-bagi harta rampasan perang itu tidak dengan sama banyak[130].
(sedikit sekali) maka terdengarlah omelan pemuda- pemuda Anshar. Setelah
mendengar omelan itu, Rasulullah SAW mengucapkan pidato yang agung yang menitiskan air mata mereka, sehingga golongan Anshar menitiskan air mata mereka, rasa cinta dan kasih mereka terhadap Rasulullah semakin mendalam. Di antara yang diucapkan Rasulullah dalam khutbah beliau yang agung itu ialah, ucapan yang diucapkan dengan penuh perasaan, mengandung ketetapan hati, pengarahan, beliau terangkanlah apa hikmatnya beliau membagi-bagi harta rampasan perang itu tidak dengan sama banyak[130].
Al-Umari berkata, Sungguh kesempurnaan
pembagian ghanimah pada Perang Hunain memperlihatkan hikmahnya kepada sebagian
para Sahabat, karena orang yang pertama mendapat bagian ghanimah itu adalah Al-Thulaqâ
(orang-orang yang mendapat kebebasan) dan Al-A’râb (orang-orang Arab
pedalaman). Hal ini dilakukan sebagai langkah melunakkan hati mereka yang
memang baru saja memeluk islam dan hakikat imannya belum terpatri kedalam hati
mereka. Sehingga masing-masing pemimpin kabilah diberi seratus ekor unta,
pemimpin itu diantaranya: Uyainah bin Hishn (pemuka Ghathafan), Al-Aqra’ bin
Habis (pemuka Tamim), ‘Alqamah bin ‘Alatsah, al-Abbas bin Mirdas, Suhail bin
Amr, Hakim bin Hizam, Abu Sufyan bin Harb, dan Shafwan bin Umayyah. Mereka
semua adalah tokoh terkemuka kaum Quraisy. Jumlah mereka disebutkan Ibnu Ishaq,
ada 12 orang dan yang kurang dari 100 unta ada lima orang. Sedangkan Ibnu
Hisyam mengatakan ada 29 orang, yang lainnya ada yang menambahkan 23 orang jadi
semuanya ada 52 orang. Keridhaan mereka terhadap pembagian
ghanimah karena mereka mengetahui bahwa Rasul adalah seorang pemimpin yang
selalu mengedepankan mereka daripada yang lainnya, selalu percaya pada
keikhlasan dalam menjalani aqidah dan kualisan keimanan mereka, sehingga mereka
pun selalu memahami prasangka baik beliau terhadap mereka. maka mereka pun
menangis setelah mendengar nasihat beliau sambil berkata: “Kami ridla pada apa
saja yang diberi Rasul”[131].
Makna kebijakan yang dilakukan Rasul
adalah bolehnya memberi ghanimah kepada orang-orang yang sedang dilunakkan
hatinya, jika pemimpinnya memandang bahwa hal itu dapat membantu mereka untuk
masuk islam atau minimalnya mampu mencegah gangguan kepada kaum Muslimin atau
menarik manfaatnya. Anas bin Malik berkata: “Jika seseorang masuk islam kecuali
semata-mata mencari dunia, maka ia tidak benar-benar masuk islam, hingga
menjadikan Islam itu sesuatu yang paling ia cintai daripada dunia dan seisinya”[132].
Abdurrahman Umairah
mengatakan dalam kitabnya Rijâlun Nisâ-un
Anzal Allah Fîhim Qur’ânan bahwa:
Allah SWT menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam
dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima
kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah,
penulis wahyu Rasulullah, kini dia ikut serta menyebarkan agama Islam ke
seluruh penjuru bumi yang jauh. Ayah Ummu Habibah, Istri Nabi dan Ayah Yazid
bin Abi Sufyan, kini telah masuk islam. Istrinya pun, yang dinyatakan sebagai
salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah
menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini,
kami tertipu oleh kamu!” Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengakuan
Islam. Sejarah tidak mencatat peristiwa yang berarti kecuali sesudah wafatnya
Rasulullah yaitu ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah
Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib tidak
menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah, dan ternyata
kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah. Abu Bakar
adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah,
orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia
berkata kepada pembawa berita itu, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan
demikian, tentu beritanya itu benar!” Dia adalah kawan senasib dan
sependeritaan dengan Nabi, ketika berada dalam gua dan hendak berhijrah ke
Madinah. Pada saat-saat kritis seperti itu, dikatakan Abu Sufyan tampil ke permukaan
seraya berkata, “Tampaknya, saya melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali
dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani
urusanmu?” Ia lalu datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan
tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu!”. Ali bin Abi
Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari
perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu!”. Sejarah
juga mencatat nama-nama yang selalu menghalangi penyebaran dakwah dan menyakiti
hati Nabi, senantiasa menyiksa kaum Mustadh’afin di Mekkah, setelah mereka
mengumumkan keislamannya. Yang telah mengusir Nabi keluar dari kampung
halamannya, mereka tidak akan dilupakan untuk dijadikan hikmah. Mereka telah
mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya
sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan
perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan. Adapun tokoh-tokoh sesat yang
paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (Al-Hakam bin Hisyam), Utbah
bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah
bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb. Rasulullah bisa saja meneladani para Nabi
sebelumnya dengan memohon kepada RabbNya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan
angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan,
”Semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri
kepada Allah!” Begitu pula telah dicatat, berapa banyak dari keturunan mereka-yang
paling gigih memerangi Nabi SAW dan agamanya- yang telah ikut serta menyebarkan
agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai
prajurit, panglima, maupun sebagai da’i, telah berhasil menyampaikan agama
tauhid ini kepada kita. Abu Sufyan contohnya, yang senantiasa menjadi pimpinan
tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah dan kaum muslimin, namun Allah
berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan
agama Allah, antara lain: Yazid bin Abi Sufyan yang digelari “Yazid Al-Khair”
dan Abu Sufyan sendiri berperang di pihak Rasulullah di Hunain dan mendapat
kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan 40 uqiya (ukuran emas) yang
ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, dia diangkat
menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya
dengan berjalan kaki. Sungguh benar apa yang diramalkan Rasulullah bahwa agama
Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan
berbondong-bondong[133].
[72]Sa’ad
al-Marshafi, Difa’ ‘an Hadits Fadha-il Abi Sufyan r.a, (Beirut:
Mu-assasah al-Rayan, 1995), cet.ke-1, hlm.16
[73]Abi
Al-Hajaj Jamal al-Din Yusuf bin Abd al-Rahman al-Mizi, Tahdzib al-Kamal fî Asma-i al-Rijâl, (Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 2004), Jilid 4, hlm.688-689
[74]Syihab al-Din Abi al-Fashl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad
bin Ali al-Kinani al-‘Asqalany al-Mishri al-Syafi’i, Al-Ishâbah fî Tamyîzi al-Shahâbah, (Mesir:
Darul Kutub, 1853), Juz 3, hlm.237
[75] Ibid, hlm.237
[76]Abi al-Faraj Abd al-Rahman al-Jauzi, Kasyfu
al-Musykil min Hadits ash-Shahihain,( Riyadh: Darul Wathan,t.th), Juz 4, hlm. 428
[77]Jamal al-Din Abi Muhammad Abd Allah bin Yusuf
al-Zaila’I, Kitâbu Takhrij al-Atsar wa al-Ahâdits
al-Wâridah fi al-Kitâbi al-Kasyaf li al-Zamakhsyari, (tt, Jami’ah Ummul Qura: Kulliyah
ad-Da’wah wa Ushuluddin, 1419), Juz 2, hlm.945
[78]Muhammad
bin Abd Allah al-Usyan, Mâ Syâ-a
walam Yatsbutu fî al-Sîrah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh:
Abu Nabil dengan judul Masyhur Tapi Tak Shahih dalam Sirah Nabawiyah,
(Solo: Zam-zam, 2010), cet.ke-1, hlm.67-76
[79]Abd
al-Rahman Umairah, Rijâlun Nisâ-un Anzal Allah fîhim Qur’ânan, Tokoh-tokoh
yang Diabadikan al-Qur’an, diterjemahan oleh: Salim Basyarahil dan
M.Syihabuddin dengan judul Tokoh-tokoh yang Diabadikan al-Qur’an,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet.ke-1, hlm.98
[80]‘Ala
al-Din Maghlatha Ibnu Qalij bin Abd Allah al-Bukcari al-Hanafi, Ikmâlu Tahdzib al-Kamal fî Asma al-Rijal, (tt. Al-Faruq al-Khaditsah, t.th), Jilid 6, hlm. 354
[81]Hamad bin Abd Allah bin Ibrahim al-Humaidi, Al-Ibânah lima Li al- Shahâbah min al-Manzilah wa al-Makânah, (Riyadl: Darul Qasim, 2000), cet.
1, hlm.159
[83] Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.98
[84]Akram Dhiya’ al-‘Umari, Al-Sîrah
al-Nabawiyah al-Shahîhah, Muhawalah li Tathbiq Qawa’id al-Muhadditsin
fî Naqdî Riwayat al-Sîrah al-Nabawiyah, (Madinah: Maktabah al-Ulum
wa al-Hikam, 1994), cet.ke-6, juz 1, hlm.82
[85]Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Abd Allah bin Sa’id
bin Hazm al-Zhahirah al-Andalusi, Asma al-Shahâbah wa Mâ Likulli Wâhidim
Minhum min al-‘Adad, (Riyadh:
Maktabah al-Sâ’I, t.th),
hlm.14
[93] Abd al-Rahman, Rijalun Nisa-un, hlm.98
[97]Sa’ad al-Marshafi, Difa’un ‘an, hlm.35
[98]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh Shahih
al-Bukhari, terjemahan oleh: Abu Ihsan al-Atsari dengan judul Syarah
Shahih al-Bukhari, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), cet.ke-1, jl. 1,
hlm.31-35
[99]Imam al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
ibn al-Hajjaj, diterjemahkan oleh: Agus ma’mun dengan judul Syarah
Shahih Muslim, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), cet.ke-1, Jil.5,
hlm.420
[101] Imam al-Nawawi, Syarah,
Jil.11, hlm.464-465
[103]Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtum, Bahtsun fî al-Sîrah a--Nabawiyah ‘ala Shahîbihâ Afdlal al-Shalâti wa al-Salâm, (Hindia: Dar Ibnu Khaldun,t.th), juz.2,
hlm.158-163
[105] Ibid, hlm.308
[107] Ibid,hlm.188-189
[108] Salah satu lembah di kota Madinah di wilayah Hurrah Waqim
[114]Ibid
[115] Ibid. hlm.221
[117] Ibid, hlm.400
[118] Ibid, hlm.397
[120] Ibid, hlm.237-238
[121] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, detasemen merupakan satuan-satuan
tentara (kelompok kecil tentara yang telah dibagi-bagi tugas untuk tiap daerah)
yang berada di suatu tempat untuk menjalankan tugas yang bersifat sementara.
[126]Sebuah tempat yang dekat dengan Rabigh (zaman sekarang) yaitu suatu
lembah antara Makkah dan Madinah dekat dengan pantai Laut Merah dan termasuk
salah satu miqat haji
[128]Ibnu Ghufran, Abu Sufyan bin Harb RA Memperbaharui
Perjanjian Masuk Islam Ia di Futuh Makkah, [online] http://percikkisahsahabat.blogspot.com/2012/04/abu-sufyan-bin-harb-ra-html,
kamis 5 April 2012, diunduh 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar