Selasa, 17 November 2015

BAB IV
PEMBAHASAN
STUDI KRITIK HADITS TENTANG KEUTAMAAN ABU SUFYAN R.A
DALAM KITAB SHAHIH MUSLIM (NOMOR 2501)

Pembahasan Hadits tentang “Keutamaan Abu Sufyan R.A” diawali dengan didapatkannya satu riwayat pada kitab Shahih Muslim nomor 2501, Haditsnya sebagai berikut:
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[132]132
     Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abd Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad Al-Yamami, Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”.

A.  Takhrij Hadits
            Adapun pencarian Hadits dengan Takhrij Manual pada mashadir ashliyah menggunakan beberapa kitab yaitu: al-Mu’jamul Fahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensink, Miftah al-Kunuz al-Sunnah karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyir al-Nadzir karya al-Suyuthi, al-Fathul Kabir fi Ziyadah ila al-Jami’ al-Shaghir karya al-Suyuthi, Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf karya al-Mizi, al-Mu’jam al-Shaghir karya Thabrani, dan Ittihaf al-Maharrah bi al-Fawaidh al-Mubtakarah min Athraf al-‘Asyarah karya Ibnu Hajar al-Asqalani.  
            Dari hasil penelusuran hanya ditemukan pada empat kitab yaitu dalam Kitab al-Mu’jamul Fahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensink terdapat dalam beberapa kata:
1) "قعد": لا ينظرون إلى أبي سفيان ولا يقاعدونه[133]133
2) "زوج" : عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ... أُزَوِّجُكَهَا[134]134
3) "أمر" : وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ[135]135
Dari kata-kata diatas, riwayat haditsnya hanya terdapat dalam kitab Shahih Muslim, Kitab Fadha-il al-Shahabah, hadits ke 168. Dalam Kitab Miftah al-Kunuz al-Sunnah karya Muhammad Abdul Baqi pada tema Abu Sufyan bin Harb dari huruf أ (alif) hanya disebutkan:
إعطاء النبي ص له ثلاثة أشياء: مس- ك 44 ح 168[136]136.
Riwayat haditsnya hanya terdapat dalam kitab Shahih Muslim, Kitab ke 44, hadits ke 168. Dalam Kitab Tuhfah al-Asyraf pada Bab Musnad Abdullah bin Abbas yaitu riwayat Simak bin Al-Walid Abu Zumail Al-Hanafi Al-Yamami dari Ibnu Abbas, Hadits no.5674 menyebutkan:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ...
Hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Imam Muslim pada Kitab Fadha-il al-Shahabah[137]. Terakhir, Kitab Ittihaful Maharrah dalam Musnad Abdullah bin Abbas, riwayat Simak bin Al-Walid Al-Hanafi Abu Zumail, dari Ibnu Abbas, Hadits no.7714 disebutkan:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ...
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Hibban pada bab al-Tsamin min al-Tsalits dan Abi ‘Awanah pada Kitab al-Manaqib[138]. Namun setelah dalam pencarian Kitab Abi Awanah[139] ini tidak ada Kitab al-Manaqib yang dimaksud, sehingga tidak diketemukan Haditsnya.
           Adapun Takhrij Digital yang bersifat check recheck selanjutnya menggunakan CD program al-Maktabah Syamilah adalah sebagai berikut: (1) klik icon   pada desktop, (2) kemudian klik , (3) kemudian ketik kata لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ dan ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ pada , (4) klik  (5) kemudian klik , (6) kemudian klik  (7) maka akan tampil:
(6) untuk mensortir Hadits-hadits yang sesuai dengan pencarian, maka sorot pada hasil pencarian satu persatu dan Hadits akan ditampilkan satu persatu diatasnya.   Dari program CD al-Maktabah al-Syamilah, maka diketahui mashadir ashliyahnya adalah: (1) Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (2) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim (3) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi.
           Adapun Takhrij Digital yang bersifat chek recheck selanjutnya menggunakan CD program Jawami al-Kalim adalah sebagai berikut: (1) klik icon  pada desktop (2) kemudian klik  (3) kemudian ketik kata  لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ dan ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ pada kolom  (4) kemudian klik  (5) maka akan tampil:           
(6) untuk mensortir Hadits-hadits yang sesuai dengan pencarian, maka sorot pada hasil pencarian satu persatu dan Hadits akan ditampilkan satu persatu diatasnya.   Dari program CD Jawami al-Kalim maka diketahui mashadir ashliyahnya adalah: (1) Shahih Muslim karya Muslim bin Al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (3) Al-Sunan al-Kubra karya Al-Baihaqi (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
Berdasarkan dilalah diatas, maka rekapitulasi mashadir ashliyah untuk Hadits yang dibahas adalah:
NO.
Dilalah/Tautsiq
Mashadir Ashliyah
1.
al-Mu’jam al-Fahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi
Shahih Muslim
2.
Miftah al-Kunuz al-Sunnah
Shahih Muslim
3.
Tuhfah al-Asyraf
Shahih Muslim
4.
Ittihaf al-Maharrah
Shahih Muslim
5.
CD Program al-Maktabah al-Syamilah
(1) Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (2) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim (3) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6)al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi.
6.
CD Program Jawami al-Kalim
(1) Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (3) al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
            Dengan demikian, maka mashadir ashliyah yang mencantumkan Hadits yang sama atau semakna dengan yang diteliti secara keseluruhan adalah: (1) Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (3) al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
Adapun Hadits yang termaktub pada mashadir ashliyah adalah sebagai berikut:
1. Shahih Muslim
    حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[140]140
 Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abd Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad  Al-Yamami, Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Nabi SAW dimintai sesuatu, Nabi SAW tidak akan menjawab selain “ya”.

2. Shahih Ibnu Hibban
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الشَّرْقِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِيُّ، حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ سِمَاكٌ الْحَنَفِيُّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ؟ قَالَ: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ وَأَحْسَنُهَا أُمُّ حَبِيبَةَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: نَعَمْ "[141]141
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Syarqi, Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yusuf al-Sulami, Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad, Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah bin Ammar, Telah menceritakan kepada kami Abu Zumail Simak al-Hanafi, Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Ia (Abu Sufyan) berkata: Ya Rasulullah, aku meminta padamu untuk memberiku tiga permintaan. Nabi berkata: Apa itu? Abu Sufyan menjawab: “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”.   

3. Sunan al-Kubra
    أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبِرْتِيُّ، ثنا مُوسَى بْنُ مَسْعُودٍ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ. ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، أنبأ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ يَعْقُوبَ، وَأَبُو عَمْرٍو الْفَقِيهُ قَالا: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ، قَالا: ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ أُعْطِيتُهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ، وَأَجْمَلُهُنَّ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ ص مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلا قَالَ: نَعَمْ.[142]142
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abd Allah al-Hafizh, Telah memberitakan kepada kami Abu Abd Allah al-Shaffar, Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Birti, Telah menceritakan kepada kami Musa bin Mas’ud, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar(ح), Telah menceritakan kepada kami Abu Abd Allah, Telah memberitakan kepada kami Abu Abd Allah bin Ya’kub, dan Abu Amr al-Faqih, Telah berkata keduanya: Telah menceritakan kepada kami Abd Allah bin Muhammad, Telah menceritakan kepada kami al-Abbas bin Abd al-Azhim al-Anbari, dan Ahmad bin Yusuf, Telah berkata keduanya: Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, Telah menceritakan kepada kami Abu Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, Ia berkata: “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Nabi  SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Nabi SAW dimintai sesuatu, Nabi SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
  
4. Al-Mu’jam al-Kabir
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَذُوعِيُّ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُرَشِيُّ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ النَّاسُ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أُعْطِيكَهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا تَجْعَلُهُ بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي أَنْ أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "[143]143
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I, Telah menceritakan kepada kami al-Abbas bin Abd al-Azhim al-‘Anbari, Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, Telah menceritakan kepada kami Abu Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, Ia berkata: Orang-orang tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Berilah aku tiga permintaan”. Nabi menjawab: Ya. Abu Sufyan berkata:“Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. B Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”.   




5. Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
    أنا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يُوسُفَ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْجُرْجَانِيُّ، قَالَ: نا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ، نا أَبُو زُمَيْلٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ: أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: مُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُمِدُّنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "[144]144
     Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Abdan, Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ubaid bin Ismail, Ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismail bin Yusuf, Ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Abd al-Aziz al-Jurjani, Ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad al-Yamami, Dari Ikrimah bin Ammar, Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zumail, Dari ibnu Abbas, Ia berkata: Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Berilah aku tiga permintaan”. Nabi menjawab: Ya. Abu Sufyan berkata:“Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda menolong saya sampai saya memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”.        

6. Al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim
    حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ، ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي زُمَيْلٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: " ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: " عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ تَتَّخِذُهَا وَأُزَوِّجُكَهَا "، قَالَ: نَعَمْ، " وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ "، قَالَ: نَعَمْ.[145]145
     Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abd al-Azhim, Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, Dari Abi Zumail, Dari Ibnu Abbas ra, Ia berkata: Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Berilah aku tiga permintaan”. Nabi menjawab: Ya. Abu Sufyan berkata:“Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, engkau menjadikannya istri dan aku ingin menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda menjadikan Muawiyah sebagai juru tulis anda (sehingga) ia menulis dihadapan anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”.

B.  Kritik Sanad Hadits
Setelah dilakukan kegiatan takhrij, selanjutnya dilakukan penelitian terhadap sanad. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1.    Langkah awal yang dilakukan adalah seluruh hadits dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar. Adapun sanad-sanad lain sebagai penunjang  dari kitab Muslim adalah sebagai berikut:
a.    Shahih Muslim
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah (d) Nadhr (Ibnu Muhammad al-Yamami) (e) Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri dan (f) Abbas bin Abdul Azhim al-‘Anbari (g) Muslim bin al-Hajjaj.
b. Shahih Ibnu Hibban
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail Simak al-Hanafi (c) Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e) Ahmad bin Yusuf al-Sulami (f) Ahmad bin Muhammad al-Syarqi (g) Ibnu Hibban.
c.    Al-Sunan al-Kubra
(a)  Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e) Ahmad bin Yusuf dan (f) Abbas bin Abdul Azhim al-‘Anbari (g) Abdullah bin Muhammad (h) Abu ‘Amr al-Faqih dan Abu Abdullah bin Ya’kub (i) Abu Abdullah (j) Musa bin Mas’ud (k) Ahmad bin Muhammad al-Birti (l) Abu Abdullah al-Shaffar (m) Abu Abdullah al-Hafizh (n) al-Baihaqi.
d.   Al-Mu’jam al-Kabir
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail al-Hanafi (c) Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi (e) al-Abbas bin Abdul Azhim al-‘Anbari (f) Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’i (g) al-Tabrani.
e.    Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e) Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani (f) Muhammad bin Ismail bin Yusuf (g) Ahmad bin Ubaid bin Ismail (h) Ali bin Ahmad bin Abdan (i) al-Lalika-i.
f.     Al-Ahad wa al-Matsani
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e) Abbas bin Abd al-Azhim (f) Ibnu Ashim.
2. Langkah kedua adalah meneliti pribadi periwayat: para ulama Hadits memfokuskan pada 5 syarat untuk meneliti sanad Hadits yaitu: (a) Sanad bersambung (b) Perawi bersifat ‘adil (c) Perawi bersifat dhabith (d) Terhindar dari kejanggalan (syudzudz) (e) Terhindar dari cacat (‘illat). Adapun biografi rawi-rawinya adalah sebagai berikut:


a. Ibnu Abbas
Nama rawi: Abdullah bin Abbas bin Abdullah al-Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Nama popular: Abdullah bin al-Abbas al-Qurasyi, Kunyah: Abu al-Abbas Al-Madani, Gelar: al-Hibru, al-Bahru, Rutbah: Shahabat, Thabaqah: Pertama, Tahun lahir: Tiga tahun sebelum hijrah, Tahun wafat: 68H, Tempat wafat: Thaif, Tempat tinggal: Madinah, Nama kerabat: Nabi SAW, Diriwayatkan oleh: Al-Jama’ah. Gurunya ada 34 orang, salah satunya adalah Nabi SAW dan muridnya lebih dari 50 orang diantaranya adalah Abu Zumail Simak bin al-Walid al-Hanafi[146].
b.    Abu Zumail
Nama rawi: Simak bin al-Walid, Nama populer: Simak bin al-Walid al-Hanafi, Kunyah: Abu Zumail Al-Hanafi, Rutbah: Menurut Ibnu Hatim: Shaduq, Ibnu Hajar: Laisa bihi ba’sun. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah[147], Thabaqah: Tiga, Tempat tinggal: Kufah, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Nasa-I. Gurunya ada empat orang, salah satunya adalah Abdullah bin Abbas dan salah satu muridnya ada tujuh orang, salah satunya adalah Ikrimah bin Ammar al-Yamami[148].
c.    ‘Ikrimah
Nama rawi: Ikrimah bin Ammar bin Uqbah bin Habib bin Syihab bin Dzabab bin al-Harits, Nama popular: Ikrimah bin Ammar al-‘Ajli, Kunyah: Abu Ammar Al-Yamami, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Shaduq Yughlatha[149], dan dalam riwayat Yahya bin Katsir mudhtharib. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah kecuali pada riwayat Yahya bin Katsir mudhtharib sebagaimana yang dikatakan Bukhari dan menurut Al-Hakim: Imam Muslim paling banyak menyebutkannya untuk memperkuat haditsnya (dijadikan sebagai syawahid)[150], Abi Hatim: Terkadang wahm dan tadlis pada haditsnya. Tahun wafat: 160H, Tempat wafat: Baghdad, Thabaqah: Lima (Shighar Tabi’in), Diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Nasa-I. Ada 29 guru, di antaranya adalah Abu Zumail Simak bin al-Walid al-Hanafi dan ada 47 murid salah satu muridnya adalah al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi[151].
d.   Nadhr bin Muhammad
Nama rawi: Nadhr bin Muhammad bin Musa, Nama populer: al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi, Kunyah: Abu Muhammad Al-Yamami, Gelar: Shahib Ikrimah, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah lahu Ifrad. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah[152], Thabaqah: Sembilan, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Gurunya ada lima orang, di antara gurunya adalah Ikrimah bin Ammar al-Yamami dan ada 13 murid, di antara muridnya adalah Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri, Ahmad bin Yusuf al-Sulami, al-Abbas bin Abd al-Azhim al-‘Anbari, dan Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Bawardi[153].
e.    Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri
Nama rawi: Ahmad bin Ja’far, Nama populer: Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri, Kunyah: Abu al-Hasan, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Maqbul, Tahun wafat: 255H, Thabaqah: 11, Diriwayatkan oleh: Muslim. Memiliki dua guru, salah satunya adalah al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi dan memiliki enam murid, salah satunya adalah Muslim[154].
f.       Abbas bin Abdul Azhim Al-Anbari
Nama rawi: Abbas bin Abdul Azhim bin Ismail bin Taubah bin Abi al-Rasyid, Nama popular: al-Abbas bin Abdul Azhim al-’Anbiri, Kunyah: Abu al-Fadhl Al-Bashri, Gelar: Ibnu Abi Rasyid, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah, Hafizh, Tahun wafat: 246H (tahun ke-40), Thabaqah: 11 (Kibar), Diriwayatkan oleh: Bukhari Muslim. Memiliki 43 guru, di antara gurunya adalah al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi dan memiliki 20 murid, di antara muridnya adalah Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I dan Abu Bakar Ahmad bin Amr Abi ‘Ashim al-Nabil[155].
g.    Muslim bin Al-Hajjaj
Nama rawi: Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, Nama popular: Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Kunyah: Abu al-Husain Al-Naisaburi, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah, Hafizh, Imam, Mushannif, ‘Alim bi al-Fiqh, Tahun wafat: 261H (tahun ke-61, umurnya 57 tahun), Tempat tinggal: Ray, Thabaqah: 11. Memiliki lebih dari 50 guru, di antara gurunya adalah Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri dan Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari dan memiliki 34 murid[156].
h.    Ahmad bin Yusuf Al-Sulami
Nama rawi: Ahmad bin Yusuf bin Khalid bin Salim bin Zawiyah Al-Azdi Al-Muhallabi, Nama popular: Ahmad bin Yusuf al-Azdi, Kunyah: Abu al-Hasan Al-Naisaburi, Gelar: Hamdan, dia adalah kakek Abi Amr Ismail bin Najid bin Ahmad bin Yusuf Al-Sulami Al-Sufi, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Hafizh, Tsiqah, Tahun lahir: 184, Tahun wafat: 264 (tahun ke-64, umurnya 80 tahun), Thabaqah: 11, Diriwayatkan oleh:Muslim. Memiliki 53 guru, di antara gurunya adalah al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi al-Yamami dan memiliki 30 murid, di antaranya adalah Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Syarqi[157].
i.      Ahmad bin Muhammad Al-Syarqi
Nama rawi: Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Syarqi, Nama popular: Ahmad bin Muhammad al-Naisaburi, Kunyah: Abu Hamid Al-Syarqi, Gelar: Ibnu al-Syarqi. Rutbah: Menurut Al-Daruquthni: Tsiqah Ma’mun, Menurut Al-Dzahabi: Imam yang terkenal kehujjahannya[158]. Tahun lahir: 240H, Tahun wafat: 325H, Thabaqah: 13. Di antara gurunya adalah Ahmad bin Yusuf al-Azdi dan diantara muridnya adalah Abu Hatim (Ibnu Hibban al-Busti)[159].
j.      Ibnu Hibban
Nama rawi: Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id bin Syahid, dikatakan: Ibnu Ma’bad bin Hudbah bin Marrah-bin Sa’ad bin Yazid bin Marrah bin Yazid bin Abdullah bin Darim bin Malik bin Hanzhalah bin Malik bin Zayyid bin Manah bin Tamim bin Marra bin Add Ibn Thabikhah bin Ilyas bin Madhar bin Nazar bin Ma’addi bin ‘Adnan Abu Hatim Al-Tamimi Al-Busti[160]. Nama popular: Ibnu Hibban al-Busti, Kunyah: Abu Hatim, Rutbah: Ra’su fi Ma’rifah al-Hadits (menguasai tentang pengetahuan Hadits), Tahun wafat: 354H[161], Tsiqah menurut Al-Khatib Al-Baghdadi, Abd Al-Ghani bin Sa’id, Al-Hakim, Ibnu Makula dan selain mereka[162]. Tempat tinggal: Syam, Tempat wafat: Busti, Thabaqah: 15.
k.    Abdullah bin Muhammad
Nama rawi: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin  Syirawaih bin Asad A’yun bin Rakanah, Nama popular: Abdullah bin Muhammad al-Naisaburi, Kunyah: Abu Muhammad, Rutbah: Tsiqah, Tahun lahir: 213, Tahun wafat: 305, Nasab: al-Qurasyi, al-Naisaburi, al-Muthlabi, al-Azdi, Thabaqah: 13. Diantara gurunya adalah Ahmad bin Yusuf al-Azdi dan diantara muridnya adalah Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan [163].
l.      Abu ‘Amr Al-Faqih
Nama rawi: Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali bin Abdullah bin Sinan, Nama popular: Muhammad bin Abi Ja’far al-Nahwi, Kunyah: Abu Amr Al-Hairi Al-Naisaburi, Gelar: Ibnu Abi Ja’far, al-Zahid, Rutbah: Tsiqah. Menurut Al-Subki: Al-Muhaddits, Al-Faqih, Para ulama memiliki haditsnya yang tinggi[164]. Tahun wafat: 376H[165]. Diantara gurunya adalah Abdullah bin Muhammad al-Naisaburi dan diantara muridnya adalah al-Hakim Abu Abdullah[166]. Menurut Ibnu Thahir: Dia bermazhab syi’ah[167].
m.  Abu Abdullah bin Ya’kub
Nama rawi: Muhammad bin Ya’kub bin Muhammad bin Yusuf bin al-Akhram, Nama popular: Muhammad bin Ya’kub al-Syaibani, Kunyah: Abu Abdullah, Gelar: Ibnu al-Kirmani, Rutbah: Tsiqah, Hafizh, al-‘Adl. Tahun wafat: 344[168]. Menurut Al-Dzahabi: Dia adalah Al Imam, al-Hujjah, al-Muttaqin, al-Hafizh. Menurut Abu Abdullah Al-Hakim: Dia muncul sebagai Ahli Hadits di Negeri kami setelah Ibnu Al-Syarqi, dia hafal dan faham akan hadits. Tahun lahir: 205H. Diantara gurunya adalah Abdullah bin Muhammad al-Naisaburi dan diantara muridnya adalah Abu Abdullah al-Hakim[169].
n.    Abu Abdullah (al-Hafizh)
Nama rawi: Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiyah bin Nu’aim bin al-Hukm Al-Dhabi Al-Thahmani Al-Naisaburi, Nama popular: al-Hakim al-Naisaburi, Kunyah: Abu Abdullah, Gelar: al-Hakim, Ibnu al-Bai’, Ibnu Hamdawiyah. Abu Abdullah adalah di antara senior penghafal dan penyusun hadits. Lahir dan wafat di Naisabur. Dia di antara para ulama yang paling mengetahui tentang keshahihan hadits dan perbedaannya dengan hadits yang dha’if. Ibnu ‘Asakir berpendapat: Pada karyanya terdapat kitab yang dipelajari dihadapan para ulama sampai 1500 juz[170]. Rutbah: Tsiqah, Hafidz. Tahun lahir: 321, Tahun wafat: 405, Mazhab: Safi’iyyah, Asya’irah, Thabaqah: 17. Diantara gurunya adalah Muhammad bin Ya’kub al-Syaibani, Muhammad bin Abi ja’far al-Nahwi, Muhammad bin Abdullah al-Shaffar dan diantara muridnya adalah Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin al-Husain Al-Baihaqi [171].
o.    Al-Baihaqi
Nama rawi: Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdullah bin Musa, Nama popular: Ahmad bin al-Husain al-Naisaburi Al-Khusrawjidi, Kunyah: Abu Bakar, Rutbah: Tsiqah, Hafizh. Tempat tinggal: Baihaq, Tahun lahir: 384H Tahun wafat: 458H, Tempat wafat: Naisabur, Mazhab: Syafi’iyyah, Thabaqah:19. Karya kitabnya ada yang sampai 1000 juz. Gurunya lebih dari seratus orang, di antaranya adalah Abu Abdullah al-Hakim[172].
p.    Musa bin Mas’ud
Nama rawi: Musa bin Mas’ud, Nama popular: Musa bin Mas’ud al-Hindi, Kunyah: Abu Khudzaifah Al-Bashri[173], Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Shaduq, Su-ul Hifzhi, dan dia suka melakukan perubahan titik suatu kata, tapi bentuk tulisannya tidak berubah (mushahhaf). Menurut Al-Dzahabi: Shaduq dan dia melakukan mushahhaf. Tahun lahir: 128H, Tahun wafat: 220H, Thabaqah: Sembilan, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah. Diantara gurunya adalah Ikrimah bin Ammar al-Yamami[174] dan diantara muridnya adalah Ahmad bin Muhammad al-Birti. Menurut Al-Mawardzi: Abu Abdullah berkata: Abu Khudzaifah yang di Bashrah adalah di antara mayoritas ulama yang keliru/salah (khatha’). Abu Bakar Al-Atsram berpendapat: Aku bertanya kepada Abu Abdullah yaitu Ahmad bin Hanbal: Bukankah Abu Khudzaifah di antara para ulama yang shaduq? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya, dia di antara sebaik-baiknya ulama yang shaduq. Al-Ajari berkata: Aku mendengar Abu Daud berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Aku mencatat sepuluh hadits dari Ibnu Katsir, maka didahulukannya hadits Abi Khudzaifah[175].   
q.    Ahmad bin Muhammad Al-Birti
Nama rawi: Ahmad bin Muhammad bin Isa bin al-Azhar, Nama popular: Ahmad bin Muhammad al-Birt, Kunyah: Abu al-Abbas, Rutbah: Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi: Tsiqah, Tsabat, Hujjah, dia disebut orang yang shaleh dan ahli ibadah. Tahun wafat: 280H, Tempat wafat: Baghdad, Mazhab: Hanafiyah, Thabaqah: 12. Diantara gurunya adalah Musa bin Mas’ud al-Hindi dan diantara muridnya adalah Muhammad bin Abdullah al-Shaffar[176].
r.       Abu Abdullah al-Shaffar
Nama rawi: Muhammad bin Abdullah bin Ahmad, Nama popular: Muhammad bin Abdullah Al-Ashbahani al-Shaffar, Kunyah: Abu Abdullah, Gelar: al-Zahid, Rutbah: Tsiqah. Al-Hakim berpendapat: Dia seorang muhaddits dan diijabah do’anya. Tahun wafat: 339H, Thabaqah: 14. Di antara muridnya adalah Abu Abdullah al-Hakim[177].
s.     Muhammad bin Muhammad Al-Jadzu’i
Nama rawi: Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Syadad, Nama populer: Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I, Kunyah: Abu Abdullah Al-Anshari Al-Qadhi, Rutbah: Menurut A-Khathib: Tsiqah. Al-Khathib juga menyebutkan kisahnya sampai selesai dan kisah tersebut dapat dipercaya/autentik, kisahnya terdapat dalam kitab Amâli karya Nashr Al-Maqdisi. Al-Jadzu’I juga disifati sebagai orang yang berhati-hati dalam menetapkan hukum[178]. Tahun wafat: 291H, Tempat wafat: Baghdad, Thabaqah: 12[179]. Diantara gurunya adalah al-Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari dan diantara muridnya adalah Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani.
t.     Al-Thabrani
Nama rawi: Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir, Nama popular: Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, Kunyah: Abu al-Qasim, Rutbah: Menurut Al-Dzahabi: Hafizh, Tsabit, Tsiqah[180]. Menurut Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani: Tsiqah Hafizh[181]. Gelar: Ibnu Abi Dzar, Tempat tinggal: Ashbahan. Tahun wafat: 360H, Mazhab: Hanabilah, Thabaqah: 15[182]. Tahun lahir: 260H. menurut Ibnu ‘Asakir: Dia adalah salah seorang penghafal hadits dan ulama yang suka melakukan rihlah mencari ilmu[183]. Diantara gurunya adalah Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I.
u.    Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jurjani
Nama rawi: Muhammad bin Abdul Aziz, Nama popular: Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani, Kunyah: Abu al-Faraj[184], Rutbah: Majhul Hal, Mazhab: Sufi. Diantara gurunya adalah Nadhr bin Muhammad dan diantara muridnya adalah Muhammad bin Ismail al-Sulami.
v.    Muhammad bin Isma’il bin Yusuf
Nama rawi: Muhammad bin Ismail bin Yusuf, Nama popular: Muhammad bin Ismail al-Sulami Al-Tirmidzi, Kunyah: Abu Ismail[185], Rutbah: Tsiqah, Hafidz. Tahun wafat: 280, Tempat wafat: Baghdad[186]. Menurut Al-Nasa-i: Tsiqah[187]. Thabaqah: 11. Diantara gurunya adalah Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani dan diantara muridnya adalah Ahmad bin Ubaid al-Shaffar.
w.  Ahmad bin Ubaid bin Isma’il
Nama rawi: Ahmad bin Ubaid bin Ismail, Nama popular: Ahmad bin Ubaid al-Shaffar, Kunyah: Abu al-Hasan, Rutbah: Menurut Al-Dzahabi dan Al-Baghdadi:Tsiqah, Tsabit[188]. Tahun wafat: 345, Thabaqah: 14[189]. Memiliki 18 guru, di antara gurunya adalah Muhammad bin Ismail al-Tirmidzi[190] dan diantara muridnya adalah Ali bin Ahmad al-Syairazi.
x.    Ali bin Ahmad bin Abdan
Nama rawi: Ali bin Ahmad bin Abdan bin Muhammad bin al-Faraj bin Sa’id, Nama populer: Ali bin Ahmad al-Syairaji, Kunyah: Abu al-Hasan, Gelar: Ibnu Abdan, Rutbah: Menurut Al-Baghdadi: Tsiqah, Tahun wafat: 415H, Tempat wafat: Naisabur, Thabaqah: 17. Memiliki 6 guru, di antara gurunya adalah Ahmad bin Ubaid al-Shaffar[191] dan diantara muridnya adalah al-Lalika-i.
y.    Al-Lalika-i
Nama rawi: Hibbatullah bin al-Hasan bin Manshur, Nama popular: Hibbatullah bin al-Hasan al-Razi, Kunyah: Abu al-Qasim, Gelar: Al-Lalika-I, Rutbah:Tsiqah, Muhaddits, Tempat tinggal: Ray, Tahun wafat: 408H, Tempat wafat: Dinur, Mazhab: Syafi’iyyah, Thabaqah: 17. Diantara gurunya adalah Ali bin Ahmad al-Syairazi (Abu al-Hasan[192]).
z.    Abi ‘Ashim
Nama rawi: Ahmad bin Amr bin al-Dhahak bin Mukhallid bin Muslim bin Rafi’ bin Raqi’ bin Dzahl bin Syaiban, Nama popular: Ahmad bin Amr al-Syaibani, Kunyah: Abu Bakar, Gelar: Ibnu Abi ‘Ashim, al-Nabil. Al-Zahid. Al-Nasik. Rutbah: Menurut Ibnu Hajar:Tsiqah. Menurut anaknya Abu Bakar bin Abi Ashim: Ayahnya wafat tahun 242H[193]. Tempat tinggal: Ashbahan, Tempat wafat: Ashbahan, Mazhab: Zhahiriyyah, Thabaqah: 12. Diantara gurunya adalah al-Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari.
Setelah meneliti biografi dari masing-masing rawi, maka kesimpulan daftar rawi sanad untuk menunjukan lahir/wafat, derajat, Jarah ta’dil, dan thabaqah rawi sebagai berikut:
No
Kunyah
Laqab
Nama Rawi
Lahir dan Wafat
T
Derajat
1.
Abu Al-Abbas Al-Madani
Al-Hibru, Al-Bahru
Abdullah bin Abbas bin Abdullah al-Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf
Wafat:68H
1
Shahabah
2.
Abu Zumail

Simak bin al-Walid

3
Shaduq, Laisa bihi ba’sun, Tsiqah
3.
Abu Ammar Al-Yamami

Ikrimah bin Ammar bin Uqbah bin Habib bin Syihab bin Dzabab bin al-Harits
Wafat:160H
5
Tsiqah, Shaduq, Yughlath,
Wahm, Tadlis
4.
Abu Muhammad Al-Yamami
Shahib Ikrimah
Nadhr bin Muhammad bin Musa

9
Tsiqah lahu Ifrad
5.
Abu Al-Hasan

Ahmad bin Ja’far
Wafat:255H
11
Maqbul
6.
Abu Al-Fadhl Al-Bashri
Ibnu Abi Rasyid
Abbas bin Abdul Azhim bin Ismail bin Taubah bin Abi al-Rasyid
Wafat:246H
11
Tsiqah, Hafizh
7.
Abu Al-Husain Al-Naisa
buri

Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim
Wafat:261H
11
Tsiqah, Hafizh
8.
Abu Al-Hasan Al-Naisa
buri
Ham
dan
Ahmad bin Yusuf bin Khalid bin Salim bin Zawiyah Al-Azdi Al-Muhallabi
Lahir:184H
Wafat:264H
11
Tsiqah, Hafizh
9.
Abu Hamid Al-Syarqi
Ibnu Al-Syarqi
Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Syarqi
Lahir:240H
Wafat:325H
13
Tsiqah, Ma’mun
10
Abu Hatim

Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id bin Syahid
Wafat:354H
15
Ra’su fi Ma’rifah al-Hadits
11
Abu Muhammad

Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Rahman bin  Syirawaih bin Asad A’yun bin Rakanah
Lahir:231H
Wafat:305H
13
Tsiqah
12
Abu Amr Al-Hairi Al-Naisa
buri
Ibnu Abi Ja’far Al-Zahid
Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali bin Abdullah bin Sinan
Lahir:283H
Wafat:376H
15
Tsiqah, al-Faqih, Syi’ah
13
Abu Abdullah
Ibnu Al-Kirmani
Muhammad bin Ya’kub bin Muhammad bin Yusuf bin al-Akhram
Lahir:205H
Wafat:344H
14
Tsiqah, Hafizh, Al-‘Adl. Al-Hujjah
14
Abu Abdullah
Al-Hakim, Ibnu Al-Ba’I, Ibnu Hamdawiyah
Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiyah bin Nu’aim bin al-Hukm Al-Dhabi Al-Thahmani Al-Naisaburi
Lahir:321H
Wafat:405H
17
Tsiqah, Hafizh,
15
Abu Bakar

Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdullah bin Musa (Al-Baihaqi)
Lahir:384H
Wafat:458H
19
Tsiqah, Hafizh
16
Abu Khudzaifah Al-Bashri

Musa bin Mas’ud
Lahir:128H
Wafat:220H
9
Shaduq, Su-ul hifzhi, rawi yang mushahhaf, khatha’
17
Abu Al-Abbas

Ahmad bin Muhammad bin Isa bin al-Azhar Al-Birti
Wafat:280H
12
Tsiqah, Tsabat, Hujjah
18
Abu Abdullah
Al-Zahid
Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Shaffar
Wafat:339H
14
Tsiqah
19
Abu Abdullah Al-Anshari Al-Qadhi

Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Syadad Al-Jadzu’i
Wafat:291H
12
Tsiqah
20
Abu Al-Qasim

Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathr Al-Tabrani
Lahir:260H
Wafat:360H
15
Hafizh, Tsabat, Tsiqah
21
Abu Al-Faraj

Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jurjani


Majhul Hal
22
Abu Ismail

Muhammad bin Ismail bin Yusuf
Wafat:280H
11
Tsiqah, Hafizh
23
Abu Al-Hasan

Ahmad bin Ubaid bin Ismail
Wafat:345H
14
Tsiqah, Tsabat
24
Abu Al-Hasan
Ibnu Abdan
Ali bin Ahmad bin Abdan bin Muhammad bin al-Faraj bin Sa’id
Wafat:415H
17
Tsiqah
25
Abu Al-Qasim
Al-Lalika’i
Hibbatullah bin al-Hasan bin Manshur
Wafat:408H
17
Tsiqah
26
Abu Bakar
Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Nabil, Al-Zahid, Al-Nasik
Ahmad bin Amr bin al-Dhahak bin Mukhallid bin Muslim bin Rafi’ bin Raqi’ bin Dzahl bin Syaiban
Wafat:242H
12
Tsiqah













Skema Sanad Hadits
Hadits di atas pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas sendiri, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh Abu Zumail sendiri, dan pada thabaqah ketiga juga hanya diriwayatkan oleh Ikrimah sendiri. Lalu dari Ikrimah ini, Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang rawi yaitu Nadhr bin Muhammad dan Musa bin Mas’ud. Namun Musa bin Mas’ud hanya diriwayatkan oleh satu orang saja begitu seterusnya, sedangkan Nadhr bin Muhammad diriwayatkan oleh banyak rawi lainnya. Maka berdasarkan jumlah rawinya, Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini adalah Hadits Ahad, karena rawi pada thabaqah tidak memenuhi syarat Mutawatir yakni empat rawi atau lebih pada setiap thabaqah[194] atau sahabat yang menyampaikan informasi Hadits ini hanya satu orang yaitu Ibnu Abbas.
Berdasarkan bentuk matannya, Hadits ini adalah Hadits Qauli, karena berisi informasi perkataan Ibnu Abbas yang menyebutkan secara lengkap dialog (bahasa percakapan) antara Nabi SAW dan Abu Sufyan (Sahabat). Dari segi penisbatan, Hadits ini termasuk Hadits Marfu’ karena nisbah kepada Nabi SAW.
Adapun berdasarkan persambungan sanadnya, Hadits ini adalah Hadits Muttasil karena para perawi dalam sanad ini, antara guru dan murid terjadi pertemuan (liqa’). Begitu juga dari keadaan sanadnya, lafazh-lafazh yang digunakan untuk meriwayatkan Hadits adalah shighat tahdits (haddatsana, haddatsani) dan ikhbar (akhbarana,akhbarani) yang lebih meyakinkan bahwa rawi-rawinya mendengar sendiri dari guru yang memberikan riwayatnya. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya, Lafazh haddatsana itu untuk rawi yang mendengar langsung dari sang guru, sedangkan akhbarana untuk rawi yang membaca atau menghafal Hadits di hadapan gurunya[195].
Dilihat dari i’tibar (mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur kitab/ diwan yang asli yaitu Mushannaf, Musnad, Sunan, Shahih) Hadits ini, dengan mengetahui diwan yang mengoleksi suatu Hadits, kita dapat mengetahui kualitas Haditsnya. Sebab menurut ulama Muhadditsin disepakati jenis kitab Hadits menunjukan kualitas Hadits tertentu. Begitu juga, Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan ini dimuat dalam enam mashadir ashliyyah yaitu: (1) Shahih Muslim karya Muslim bin Al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (3) Al-Sunan al-Kubra karya Al-Baihaqi (4) Al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) Al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim. Di antara enam mashadir ashliyyah tersebut, Hadits ini dimuat dalam Kitab Muslim dan Ibnu Hibban yang diklasifikasikan sebagai Kitab Shahih.
3.    Langkah ketiga adalah Jarh dan Ta’dil
       Berdasarkan Jarh (orang yang menilai jelek) dan Ta’dil (orang yang menilai baik) nya, rawi-rawi Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini banyak yang menta’dil, namun ada beberapa rawi yang di dijarh seperti Ikrimah dijarh Shaduq yughlatha”, terkadang wahm dan terkadang tadlis”, Musa bin Mas’ud dijarhShaduq Su-ul Hifzhi dan khatha’”, Muhammad bin Abdul ‘Azhim dijarhMajhul Hal”, dan Ahlu al-Bid’ah yaitu Abu Amr al-Faqih yang bermazhab “Syi’ah”. Adapun Dirasah Tahliliyyah[196] untuk biografi Ikrimah adalah sebagai berikut:
a.    Ikrimah bin Ammar:
1)      Dirasah Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mutasyaddid:
a)      Yahya bin Ma’in
Pertama, Abu Hatim berkata, dari Yahya bin Ma’in: Ia seorang yang ummi, namun Hafizh.
Kedua, Mu’awiyah bin Shalih berkata dari Yahya bin Ma’in: Tsiqat.
Ketiga, al-Ghulabi berkata dari Yahya bin Ma’in: Tsabit.
Keempat, Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata dari Yahya bin Ma’in: Shaduq, Laisa bihi B’tsun.
Kelima, Utsman bin Sa’id al-Darimi berkata, “Aku bertanya kepada Yahya bin Ma’in bahwa siapa yang lebih kau sukai diantara Ayub bin Uqbah atau Ikrimah bin Amr? Yahya bin Ma’in menjawab, Aku lebih suka Ikrimah, sedangkan Ayub itu dha’if”[197].
Keenam, Zakaria bin Yahya Al-Saji: Shaduq, ia meriwayatkan dari Syu’bah, Tsauri, dan Yahya bin Al-Qathan. Adapun Yahya bin Ma’in juga Ahmad bin Hambal menilainya tsiqat. Kecuali Yahya bin Al-Qathan mendha’ifkannya dari Hadits-hadits dari Yahya bin Abi Katsir[198].
b)      Abi Hatim
Abu Hatim berkata, “Shaduq. Terkadang wahm dan tadlis pada haditsnya, dan haditsnya dari Yahya bin Abi Katsir adalah sebagian dari keghalatan-keghalatan”[199].
c)      Al-Nasa-I: Laisa bihi Ba’sun kecuali pada haditsnya dari Yahya bin Abi Katsir[200].
d)     Syu’bah, al-Tsauri dan Yahya bin al-Qathan
Zakaria bin Yahya Al-Saji berkata: Shaduq, ia meriwayatkan dari Syu’bah, Tsauri, dan Yahya bin Al-Qathan[201].
2)      Dirasah Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mu’tadilin:
a)      Ali al-Madini
Pertama, Abdullah bin Ali bin al-Madini berkata pada tempat yang lain, “Yahya mendha’ifkan riwayat para rawi di Yamamah, seperti Ikrimah bin Ammar dan selainnya”.
Kedua, Abdullah bin Ali bin al-Madini berkata dari ayahnya, “Hadits-hadits Ikrimah dari Yahya bin Katsir dari Yahya bin Abi Katsir bukanlah pada hal itu, namun hadits-haditsnya munkar. Yang mana Yahya bin Sa’id mendha’ifkan riwayat dari kedua rawi itu”. Abdullah bin Ali bin al-Madini berkata pada tempat lain, “Yahya mendha’ifkan riwayat-riwayat penduduk Yamamah seperti Ikrimah bin Ammar dan yang semisalnya[202].
Ketiga,  Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah berkata, dari Ali bin Al-Madini: Menurut para sahabat kami, Ikrimah bin Ammar itu tsabit dan tsiqat[203].
b)      Ahmad bin Hambal
Pertama, Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata dari ayahnya, “Haditsnya shalih dari Iyas bin Abi Salamah. Haditsnya mudhtharib dari Yahya bin Abi Katsir, sehingga Haditsnya dha’if[204] Imam Ahmad juga mengatakan, “Hadits ini dha’if, karena Imam Bukhari tidak meriwayatkannya. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya, karena Yahya bin Ma’in menilai Ikrimah tsiqah[205].
Kedua, Abu Zur’ah Al-Dimasyqi berkata, “Aku mendengar Ahmad bin Ahmad mendha’ifkan riwayat Ayub bin ‘Utbah dan Ikrimah bin ‘Ammar dari Yahya bin Katsir. Abu Zur’ah berkata lagi: Ikrimah adalah diantara para rawi yang paling tsiqat[206].
Ketiga, Abu Ubaid Al-Ajari berkata, “Aku bertanya kepada Abu Daud tentang Ikrimah. Abu Daud menjawab: Ia adalah seorang yang Tsiqat. Dan Haditsnya pada Yahya bin Abi Katsir itu mudhtharib”. Sedangkan Ahmad bin Hambal memilih Mulazim bin Amr.
Abu Ubaid berkata pada tempat yang lain, “Aku bertanya kepada Abu Daud tentang sahabat Yahya bin Katsir, Aku memberitahukan: Siapa rawi yang paling tinggi menurut Yahya? Maka Yahya menjawab: Hisyam al-Dastu-I dan al-Auza-‘I. Aku bertanya lagi: Apakah Ma’mar? Bukan. Apakah Ikrimah bin Ammar juga? Ikrimah itu haditsnya mudhtharib. Yahya menjawab lagi: Mulazim bin Amr yang lebih mengerti daripada mereka[207]”.
c)      Al-Bukhari
Pertama, Ishaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhari al-Hafizh: Ikrimah bin Ammar itu tsiqat. Diriwayatkan Sufyan Al-Tsauri dan menyebutkannya pada Al-Fadhl. Ikrimah banyak ghalath dan menyendiri dalam periwayatannya dari Iyas.
Kedua, Imam Bukhari berkata, “Mudhtharib pada Hadits Yahya bin Katsir dan tidak terdapat kitab atau catatan padanya”.
d)     Ibnu ‘Adi
Abu Ahmad bin ‘Adi berkata, “Haditsnya lurus (mustaqim) ketika ia meriwayatkan dari yang tsiqat.
e)      Daruquthni berkata: Tsiqat[208].
f)       Abdurrahman bin Mahdi
Muhammad bin Abdullah bin ‘Ammar Al-Maushuli: Ikrimah bin Ammar itu tsiqat menurut para ulama. Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi: Tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali kebaikan. Dalam pembahasannya yang lain: Ikrimah bin Ammar adalah seorang syeikh Yamamah dan ia paling tsabit daripada Mulazim bin Amr[209].
3)      Dirasah Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mutasahhilin:
a)      Ahmad bin Abdullah Al-‘Ajali: Tsiqat dan ia meriwayatkan seribu hadits dari Al-Nadhr bin Muhammad.
b)      Abu Abdullah al-Hakim
Pertama, Hakim berkata, “Muslim paling banyak menyebutkannya untuk memperkuatnya (dijadikan sebagai syawahid)”[210]
Kedua, al-Fadhl bin Ziyad berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah ada seorang rawi yang lebih diutamakan sebelum Ikrimah di Yamamah seperti Ayyub bin Utbah, Mulazim bin Amr, atau mereka berdua? Abu Abdullah menjawab, Ikrimah adalah seorang rawi yang lebih diutamakan daripada mereka berdua atau rawi-rawi lainnya. Kemudian Abu Abdullah berkata lagi, Syu’bah meriwayatkan beberapa Hadits dari Ikrimah”[211].
4)      Dirasah Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil al-Muta-akhirin:
a)      Ibnu Hajar: Shaduq, Yughlatha[212]
b)      Al-Dzahabi: Dalam kitab Muslim disebutkan tentang Ikrimah, sumbernya munkar dari Simak Al-Hanafi, dari Ibnu Abbas tentang ‘Tiga hal yang dipinta Abu Sufyan’ dan Tiga Hadits yang lainnya dengan sanad tersebut[213].
5)      Ali bin Muhammad Al-Thanafisi: Telah menceritakan pada kami Waki’ dari Ikrimah bin ‘Ammar bahwa Ikrimah itu tsiqat
6)      Ibnu Khurasy: Shaduq, namun pada haditsnya munkar.
7)      Shalih bin Muhammad Al-Asadi: Ia adalah seorang rawi yang menyendiri dalam periwayatan hadits-hadits yang panjang. Ia juga berkata: Ikrimah itu shaduq kecuali pada sebagian haditsnya yang diriwayatkan ulama-ulama.
8)      Ashim bin Ali: Do’anya selalu diijabah[214]

       Dari jarh dan ta’dil di atas, Ikrimah masih masuk dari sifat Dhabth, karena ghalath dan wahmnya tidak mencapai katsratu wahm dan fahsyu al-ghalath. Adapun yang keluar dari sifat dhabth adalah
(1) Banyak wahm (banyak kelirunya). (2) Banyak berbeda dengan rawi yang lebih tsiqat. (3) Su-ul hifzhi (jelek hafalan: kemungkinan benar dan salahnya sama). (4) Syiddatu ghaflah (sangat lalai: rawi yang tidak semangat belajar dan tidak mantap/tidak teliti, serta tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah dalam periwayatan). (5) Fahsy Al-Ghalath (banyak salah: rawi yang lebih banyak salahnya daripada benarnya dalam periwayatan Hadits karena perbuatan Fahisyah yang dilakukannya). (6) Rawi yang tidak tahu lafazh-lafazh dan maksud-maksud suatu riwayat yang olehnya dijadikan dalil, tidak tahu kandungan makna riwayatnya. Maka perlu ditentukan siapa yang menyampaikan lafazh riwayat itu, agar tidak terjadi penyimpangan makna[215].
        Sementara itu jika dilihat di kitab Ta’rif Ahli al-Taqdîs bi Marâtib al-Maushûfîn bi al-Tadlîs,
Menurut Ibnu Hajar, Ikrimah (Shighar Tabi’in) termasuk rawi tadlis tingkat ketiga (al-Maratib al-Tsalitsah) nomor 88 yang disifati tadlis oleh Imam Ahmad (Imam Jarah dan ta’dil Mu’tadilin) dan Daruquthni (Imam Jarah dan ta’dil Mu’tadilin dan terkadang Mutasahhilin)[216]. Menurutnya lagi, bahwa mayoritas rawi tadlis tingkat tiga itu Hadits-haditsnya termasuk yang tidak dapat dijadikan hujjah kecuali mereka menjelaskan riwayat-riwayatnya dengan sima’. Diantara mereka ada yang ditolak secara mutlak dan ada yang diterima seperti Abi al-Zubair al-Maki[217].
Namun karena Ikrimah meriwayatkan haditsnya dengan shighat tahdits, maka dia dapat diterima riwayatnya.
b.   Shaduq, Su-ul Hifzhi dan khatha’ untuk Musa bin Mas’ud itu telah keluar dari sifat Dhabt. Su-ul Hifzhi (jelek hafalan) adalah kemungkinan salah dan benarnya sama.
c.     Orang yang Ahli al-Bid’ah yang telah keluar dari sifat ‘adil pada Abu Amr al-Faqih dan Abu Abdullah.

Empat rawi yang dijarh di atas, dihukumi sebagai “Hasan lidzatihi” jika menyendiri dalam periwayatannya dan bisa naik menjadi “Shahih lighairihi” jika ada mutabi’[218]. Melihat skema sanad Hadits ini di atas, Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini memiliki mutabi’, maka derajatnya naik menjadi “Shahih lighairih”.
d.   Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani yang berderajat “Majhul Hal”, derajatnya bisa naik jika ada mutabi’ menjadi “Hasan lighairih”, dan jika tidak ada mutabi’ maka ditawaqufkan[219]. Karena Hadits ini memiliki mutabi’, maka dihukumi “Hasan lighairih”
Dengan melihat derajat Hadits di atas, maka yang berderajat “Hasan lighairih” pada seorang rawi dari riwayat Al-Lalika-i dan “Shahih lighairih” pada tiga rawi dari riwayat al-Baihaqi, sedangkan rawi lainnya berstatus shahih.
     Dilihat dari pengertiannya, Hadits shahih lighairih adalah Hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya Hadits atau jalur lain. Pada asalnya, Hadits kategori ini memiliki kelemahan berupa rawi yang kurang dhabith (khafif al-dhabth), sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadits Shahih[220]. Tetapi, setelah diketahui ada Hadits atau jalur lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas shahih, maka Hadits tersebut naik derajatnya menjadi shahih. dengan kata lain, Hadits Shahih Lighairih pada mulanya adalah Hadits Hasan yang karena Hadits Shahih dengan matan yang sama, maka Hadits Hasan tersebut menjadi Hadits Shahih.
    Adapun Hadits hasan lighairih adalah Hadits yang berkualitas hasan karena adanya Hadits lain yang mengangkatnya. Pada dasarnya Hadits tersebut berkualitas dha’if tetapi karena adanya sanad lain yang shahih yang meriwayatkan matan yang sama, maka kualitas Hadits Dha’if itu terangkat menjadi Hasan Ligahirih. Menurut Ibnu Shalah sebagaimana dikutip Al-Sakhawi dan Al-Suyuthi, Hadits hasan lighairih adalah Hadits yang sanadnya ada seorang rawi yang mastur (tertutup atau belum diketahui), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya sebab-sebab yang menjadikannya fasik, dan matan Haditsnya diketahui baik berdasarkan Hadits yang semakna[221].
     Sedangkan mengenai kehujjahan Hadits Hasan ini, Hadits ini dapat dijadikan hujjah baik hasan lidzatihi atau hasan lighairih, meskipun kekuatannya di bawah Hadits Shahih. karena itu, sebagian Ulama memasukan Hadits Hasan sebagai bagian dari kelompok Hadits Shahih, misalnya Al-Hakim Al-Naisaburi, Ibnu Hibban dan Ibn Khuzaimah, dengan catatan bahwa Hadits Hasan secara kualitas berada di bawah Hadits Shahih, sehingga jika ada pertentangan yang dimenangkan adalah Hadits Shahih[222]. Dengan demikian, maka Hadits ini dihukumi Shahih lighairih.
Dalam pengamalannya, Hadits Shahih itu Maqbul (dapat diterima menjadi hujjah) sebagaimana pendapat Ibnu Hajar. Menurutnya, Hadits ini dinilai maqbul karena ada yang mengikutinya (mutabi’)[223].
Dilihat dari kehujjahan Hadits Shahih yang Ahad atau yang Mutawatir, yang shahih lidzatihi atau shahih lighairih dapat dijadikan hujjah atau dalil agama dalam bidang hukum, akhlak, sosial, ekonomi dan sebagainya kecuali di bidang akidah, Hadits Shahih yang Ahad diperselisihkan di kalangan ulama[224].

C.  Kritik Matan
Untuk menentukan Hadits itu berkualitas shahih, hasan, atau dha’if, langkah-langkah yang mesti dilakukan sesuai yang diajukan oleh M.Syuhudi Ismail sebagai berikut:
1.    Penelitian Matan dengan melihat kualitas sanad
 Jika dilihat dari sanadnya berdasarkan penelitian di atas, sudah pasti sanad Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini shahih. Secara sepintas jika ada Hadits yang sanadnya shahih maka matannya juga shahih. Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Ada juga sanad yang shahih namun matannya dha’if. Sebagaimana Hadits ini dilihat dari sisi matannya banyak para ulama yang mengatakan bahwa Hadits ini dianggap bertentangan dengan fakta sejarah.
Hal ini, menurut Syuhudi Ismail bukan disebabkan oleh kaedah keshahihan sanad yang kurang akurat, melainkan karena faktor-faktor lain seperti: (1) Terjadi kesalahan dalam menggunakan pendekatan dalam penelitian matan, (2) Telah terjadi kesalahan dalam penelitian sanad, (3) Matan Hadits yang bersangkutan telah diriwayatkan secara makna yang ternyata mengalami kesalah-pahaman. Untuk itu, agar lebih jelas selanjutnya akan dipaparkan pendapat ulama yang mengkritik dan membela matan Hadits Muslim ini.
2.    Penelitian lafazh yang semakna
Rekapitulasi Matan secara Keseluruhan
No.
Mashadir Ashliyah
Matan Hadits
1.
Shahih Muslim
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»
2.
Shahih Ibnu Hibban
" كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ؟ قَالَ: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ وَأَحْسَنُهَا أُمُّ حَبِيبَةَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: نَعَمْ "
3.
Al-Sunan al-Kubra
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ أُعْطِيتُهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ، وَأَجْمَلُهُنَّ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ ص مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلا قَالَ: نَعَمْ.
4.
Al-Mu’jam al Kabir
" كَانَ النَّاسُ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أُعْطِيكَهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا تَجْعَلُهُ بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي أَنْ أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "
5.
Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ: أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: مُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُمِدُّنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "
6.
al-Ahad wa al-Matsani
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: " ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: " عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ تَتَّخِذُهَا وَأُزَوِّجُكَهَا "، قَالَ: نَعَمْ، " وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ "، قَالَ: نَعَمْ
    
Dengan memperhatikan matan-matan Hadits yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi periwayatan secara makna dalam meriwayatkan Hadits ini. Pada riwayat Muslim tercantum lafazh يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ, begitu pula pada riwayat Al-Lalika-i dan Abi ‘Ashim. Sedangkan pada riwayat-riwayat selain ketiga riwayat ini menggunakan lafal يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ pada riwayat Ibnu Hibban, lalu menggunakan lafazh يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ أُعْطِيتُهُنَّ pada riwayat Al-Baihaqi dan menggunakan lafazh ثَلاثٌ أُعْطِيكَهُنَّ pada riwayat Al-Thabrani.
         Perbedaan lafazh selanjutnya adalah setelah lafazh tsalatsa a’thînihinna, riwayat Ibnu Hibban menggunakan lafazh وَمَا هِيَ؟, sedangkan riwayat-riwayat yang lainnya langsung menggunakan lafazh قَالَ: نَعَمْ.
        Lafazh lainnya yang menggunakan lafazh عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ adalah riwayat Muslim, al-Thabrani, Al-Lalika-i dan Abi ‘Ashim. Sedangkan riwayat Ibnu Hibban menggunakan lafazh عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ وَأَحْسَنُهَا dan riwayat Al-Baihaqi menggunakan lafazh أجْمَلُهُنَّ. Kemudian riwayat Abi ‘Ashim menggunakan lafazh  وَأُزَوِّجُكَهَا تَتَّخِذُهَا, sedangkan riwayat lainnya langsung pada lafazh وَأُزَوِّجُكَهَا.
         Setelah itu, riwayat al-Thabrani menggunakan lafazh تَجْعَلُهُ بَيْنَ يَدَيْكَ, sedangkan riwayat Muslim, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Al-Lalika-i langsung pada lafazh بَيْنَ يَدَيْكَ. Adapun riwayat Abi ‘Ashim menggunakan lafazh وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ.
  Riwayat al-Lalika-i menggunakan lafazh وَتُمِدُّنِي, sedangkan yang lainnya dengan lafazh وَتُؤَمِّرُنِي. Perbedaan lainnya, riwayat Ibnu Hibban dengan lafazh حَتَّى أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ, sedangkan yang lainnya dengan lafazh حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ. Lalu, riwayat Muslim dan al-Baihaqi diakhir haditsnya menggunakan lafazh قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ», sedangkan riwayat Abi ‘Ashim hanya sampai pada lafazh وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ.
Dengan demikian, walaupun lafazh-lafazh yang dikemukakan masing-masing perawi nampaknya sedikit berbeda tetapi tidak mempengaruhi maksud dan artinya.
3.    Penelitian kandungan matan
  Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji Syarah Hadits yang terdiri dari mufradat dan maksud lafazh Hadits, latar belakang Hadits tersebut muncul (asbab al-wurud), ada syadz dan illat Haditsnya atau tidak.
a.    Mufradat Hadits
Lafazh
Makna Mufradat
لَا يَنْظُرُونَ إِلَى
Asal kata dari نظر إلى artinya Tidak memandang, tidak melihat kepada[225]
ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ
Asal kata dari أعطى artinya memberikan[226] dan Fi’il Amrnya adalah أَعْطِ artinya berikanlah. Jadi, arti ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ : berikanlah aku tiga (permintaan)
أُزَوِّجُكَهَا
Asal kata dari تَزَوَّجَ artinya menikahi. Contohnyaفِي بني فلان تَزَوَّجَ[227]. Jadi, أُزَوِّجُكَهَا artinya aku nikahkan kepadanya.
تَجْعَلُهُ
Artinya عَمِلَ (bekerja)[228], sedangkan عَمَلَهُ artinya mengangkatnya sebagai. Jadi, تَجْعَلُهُartinya mengangkatnya sebagai.
كَاتِبًا
Orang yang berilmu, dinamakan seperti itu karena umumnya pada orang yang mengetahui tulisan (Juru tulis)[229]
وَتُؤَمِّرُنِي
Asal kata dari اُمِرَ artinya jadi pemimpin[230]
وَتُمِدُّنِي
Asal kata dari اَمَدَّ artinya menolong, membantu. Jadi, artinya membantuku[231]
تَتَّخِذُهَا
Asal kata dari اَخَذَ artinya menjadikan[232]. Jadi artinya menjadikannya

b.      Maksud Hadits

Lafazh
Maksud Lafazh
أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ
Seperti sabdaNya: Nabi SAW adalah orang yang paling bagus rupa wajahnya dan paling baik akhlaknya. Syarahnya telah dijelaskan dalam Kitab Fadha-il al-Nabi. Menurut Abu Hatim al-Sijistan dan yang lainnya: Yang paling cantik, paling baik. Sedangkan menurut Kalangan Ahli Nahwiyah: Maknanya adalah orang yang paling cantik disana[233].
لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ
Menurut Al-Qurtubi: Mereka melakukan hal itu sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan Nabi dan Kaum Muslimin karena kemusyrikan Abu Sufyan, ketika seorang pun tidak ada yang melakukan apa yang dilakukan Abu Sufyan. Lalu ia masuk Islam pada fathu makkah dan ia termasuk muallaf[234].

c.    Penjelasan Peristiwa dan Alasan Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini
       Menurut Ibnu Asad, “Di dalam Kitab Muslim pada Hadits ini terdapat perkatan Abu Sufyan setelah pada hari Fath Makkah[235]. Imam Ahmad berkata, “Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini, karena Yahya bin Ma’in menilai Ikrimah tsiqah[236].
d.   Kritikan dan Jawaban atas Hadits Keutamaan Abu Sufyan: Ada beberapa hal yang dikritik pada Hadits Muslim ini yaitu:
       Pertama, Kritikan dan Jawaban para ulama terhadap Ikrimah sebagai penyebab Hadits Muslim ini bertentangan dengan fakta sejarah (pada Permintaan Abu Sufyan yang Pertama).
Kritikan: Menurut Al-Nawawi, Al-Shan’ani dan Al-Ashbahani:
     Hadits ini adalah di antara Hadits-hadits yang terkenal dengan kemusykilan (kejanggalan)nya, dan kemusykilannya tersebut adalah bahwa Abu Sufyan masuk Islam pada hari Fath Makkah pada tahun delapan hijriyah dan Nabi SAW menikahi Ummu Habibah jauh sebelumnya. Menurut Abu Ubaidah, Khalifah bin Khiyath, Ibnu al-Barqi dan Jumhur Ulama, “Nabi menikahinya pada tahun enam hijriyah, ada juga yang mengatakan tahun tujuh hijriyah”[237].

Ibnu Hazm berkata bahwa:
     Hadits ini wahm dari sebagian rawi, karena mengingat Rasul menikahi Ummu Habibah jauh sebelum Fathu Makkah terjadi yaitu saat Ummu Habibah turut serta hijrah ke Habasyah dan ayahnya masih dalam keadaan kafir”. Dalam suatu riwayat, Ibnu Hazm menyatakan, “ Hadits ini berstatus maudhu’ dan sumbernya dari Ikrimah bin Ammar al-Rawi dari Abu Zumail”[238].
Pernyataan Al-Nawawi ini juga terdapat dalam kitab Taudhih al-Afkar[239]dan  Akhlaq al-Nabi karya Al-Ashbahani[240].
Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, Para Ulama mengingkari matan Haditsnya:
     Menurut mereka, “Ummu Habibah dinikahi Rasul SAW di Habasyah dan yang memberi maharnya yaitu Raja Najasyi, kisah ini sudah masyhur, kisah terdahulu yang terjadi pada Rasul sebelum ayahnya (Abu Sufyan) masuk Islam. Lalu apa yang dikatakan Abu Sufyan setelah Fathu Makkah? Yaitu: “Aku nikahkan Ummu Habibah padamu”. Maka perintah Abu Sufyan ini, para Huffazh berpendapat, “mereka tidak mengetahuinya[241].

Dalam nukilan Abu al-Faraj bin Al-Jauzi dan Al-Qasimi disebutkan: 

Kami berpendapat, “Rawi ini wahm, karena Ahli Sejarah bersepakat bahwa Ummu Habibah bersama Ubaidullah bin Jahsyi, lalu Ummu Habibah melahirkan anaknya disana. Kemudian, Ubaidullah berhijrah dengan Ummu Habibah, mereka masuk Islam di Habasyah, lalu Ubaidullah pindah agama menjadi agama Nashrani, namun Ummu Habibah tetap pada agama Islam. Maka Nabi SAW mengirim surat pada Raja Najasyi untuk meminang Ummu Habibah, lalu Nabi menikahinya dan memberi maharnya 4000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun tujuh hijriyah. Abu Sufyan datang pada waktu adanya perjanjian perdamaian, lalu ia mengunjungi Ummu Habibah, tikar Rasul menjadi kotor karena diduduki oleh Abu Sufyan, maka ia tidak mendudukinya lagi. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Abu Sufyan dan Mu’awiyah masuk Islam pada Fathu Makkah tahun delapan hijriyah dan Abu Sufyan tidak tahu bahwa ia akan diangkat oleh Rasul menjadi pemimpin”. Hal ini sebagaimana yang dikatakan al-Qasimi[242]. Lalu apa yang dikatakan Abu Sufyan setelah Fathu Makkah? Yaitu: “Aku nikahkan Ummu Habibah padamu”[243].
      
       Ibnu al-Atsir juga berpendapat pada kitab Asad al-Ghabah (7/116) tentang biografi Ramlah binti Abi Sufyan dan dikatakan pula oleh Al-Humaidi dan Al-Jazari:
Hadits ini diantara sedikit kewahman dalam Kitab Muslim, karena Rasul menikahi Ummu Habibah di Habasyah sebelum Abu Sufyan masuk Islam. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Sirah tentang hal ini (pernyataan ini juga terdapat dalam Kitab al-Jama’ baina al-Shahihain[244] dan al-Jami’ al-Ushul[245]). Adapun ketika Abu Sufyan datang ke Madinah saat terjadi kasus pada orang Quraisy di Khuza’ah, mereka melanggar perjanjian dengan Rasul. Maka Abu Sufyan datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian. Lalu ia mengunjungi anaknya Ummu Habibah dan duduk di atas tikar Rasul, kemudian Ummu Habibah berkata: “Kamu orang musyrik”[246]
       Al-Albani mengomentari Kitab Shahih Ibnu Hibban di atas bahwa, “Hadits ini munkar” dalam Kitab Mukhtashar Muslim[247]. Dikatakan juga oleh Ibnu Khurasy: Hadits Ikrimah munkar[248].
       Dalam Kitab al-Sunan al-Kubra dan Tarikh Dimasyqi dikatakan bahwa Syeikh berkata:
Hadits ini pada kisah Ummu Habibah, para Ahli Kisah Peperangan (al-Maghazi) telah bersepakat atas perbedaan kisahnya. Mereka tidak berselisih pendapat tentang pernikahan Ummu Habibah terjadi sebelum kembalinya Ja’far bin Abi Thalib dan sahabatnya dari Habasyah, namun mereka pulang pada Perang Khaibar dan pernikahan Ummu Habibah terjadi sebelumnya. Sedangkan masuk Islamnya Abu Sufyan bin Harb pada waktu terjadi Fathu Makkah,  dua atau tiga tahun setelah pernikahan anaknya[249].

       Ibnu Qayyim berkata, “Tidak seorang pun dari Ahli Ilmu yang menjawab tentang kemusykilan Hadits ini, seluruhya tidak sepakat. Dan yang benar adalah Hadits ini tidak Mahfuzh, bahkan terdapat ikhtilath[250].
       Al-Dzahabi menyebutkan dalam kitab al-Mizân: Hadits ini munkar[251]. Hadits ini diingkari juga oleh al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitab “Ifrad Muslim[252].
       Dalam Kitab Taujih al-Nazhr, Hadits ini oleh Thahir Al-Jazari dikelompokkan pada “Hukum wahm pada sebagian rawi”. Dijelaskan di dalamnya, hukum ini diterima jika tampak dalil yang menunjukan adanya wahm. Selain dari itu, wahmnya disandarkan pada orang yang menghukumi wahm tersebut. Ahli Hufazh berkata, “Dalam Kitab Muslim sedikitnya terdapat lafazh-lafazh yang keliru (ghalath) pada rawinya seperti Hadits: “Innallaha khalaqa al-Turbah yauma al-Sabti…” Juga Hadits: “Bahwa Nabi shalat kusuf 2 raka’at atau tiga raka’at”. 
       Contoh-contoh ghalath Hadits di atas, jika terdapat dalam Kitab Shahihain maka harus dijelaskan keghalathannya. Sebagaimana halnya Imam Bukhari yang selalu menjelaskan hadits-hadits ghalath yang ada dalam jalur Haditsnya. Thahir al-Jazari berkata:
Ahli Ilmu selalu melakukan al-Isytihad dan mengi’tibar pada Hadits yang su’ul hifzhi. Maka mereka mendha’ifkan Hadits yang tsiqah, shaduq, dan dhabith serta hal-hal yang menjelaskan keghalathannya dengan perkara-perkara yang dapat menunjukan keghalathannya. Ilmu ini disebut dengan Ilmu ‘Illat Hadits. Rawi yang ghalat, tsiqah, shaduq dan dhabith terkadang bisa dikenali secara zhahir, terkadang juga tersembunyi”. Contoh lain, ada yang mengklaim bahwa seorang rawi mengikuti suatu Hadits dan mengamalkannya dan ada suatu lafazh pada Hadits itu diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, atau meriwayatkan Hadits yang tampaknya diriwayatkan dengan sanad shahih, sampai jika Hadits shahih itu diketahui bertentangan, maka harus dimulai pada takwilan-takwilan yang lemah atau menjadikannya sebagai dalil yang terdapat dalam permasalahan ilmu. Seperti Ahli Ilmu tahu bahwa suatu hadits ghalath namun shaduq, tapi terkadang terputus Haditsnya. Maka dalil-dalil itu bisa diketahui bahwa pada hadits itu dia berdusta, seperti Hadits yang diriwayatkan oleh para pemalsu Hadits, Ahli Bid’ah dan ghuluw.[253]    
       Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, Aku mendengar Abu Abdullah bin Abi Nashr Al-Humaidi di Baghdad berkata, Abu Muhammad bin Hazm berkata pada kami:
Kami tidak akan menemukan pada Kitab Bukhari dan Muslim yang tidak mungkin dikeluarkan oleh keduanya, karena setiap Hadits dari salah satu keduanya telah selesai di takhrij kewahamananya, kecerdasan, hafalan, serta kebenaran pengetahuan rawinya”. Ia menyebutkan pada Kitab Bukhari yaitu Hadits Syarik dari Anas tentang Isra’, Hadits ini menjelaskan sebelum Nabi diberi wahyu, Beliau sempat dibelah dadanya. Penyakit Hadits tersebut ada pada Syarik. Dan Hadits dari Muslim, dari Ibnu Abbas ini, penyakit Haditsnya ada pada Ikrimah bin Ammar[254].

Al-Zarkasyi berkata,

     Termasuk wahm pada Ikrimah dan rawi yang lainnya yang menyebutkan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ” , padahal wanita itu adalah ‘Azzah. Ikrimah yakin bahwa wanita itu adalah Ummu Habibah, maka ia menyebutkannya. Ia tidak memahami apa yang dimaksudkan Abu Sufyan, maka Hadits ini menjadi munkar pada rawi yang keliru tersebut[255].

       Jawaban atas Kritikan Permintaan Pertama Abu Sufyan di atas yaitu: dalam pencarian daftar isi di dalam kitab Al-Wuquf ‘ala Mâ fii Shahîhi Muslim min al-Mauquf pada huruf “Kaf” dinyatakan tidak ada Hadits tentang “keutamaan Abu Sufyan” yang ditawaqqufkan[256]. Jadi, kesimpulan Hadits ini pasti akan ada yaitu dengan cara mentarjih pendapat para ulama.
       Dalam pembahasan “Difa’ ‘an al-Matan (Pembela matan Hadits Keutamaan Abu Sufyan)”, Hadits ini dinyatakan shahih dari segi sanadnya dan dalam segi matannya juga Para Ulama berijtihad menguatkan Hadits Muslim ini dan bantahannya seperti Ibnu Taimiyah yang berpendapat, “Di dalam Hadits ini, Abu Sufyan meminta kepada Nabi untuk menikahkan Ummu Habibah dan pernyataan ini ghalath”.[257] Hal ini dikatakan Ibnu Taimiyah karena di dalam Kitab Muslim juga terdapat hadits yang lafazh-lafazhnya ghalat yang disamakan statusnya dengan Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini. Seperti matan Hadits yang ditulis البريَّة itu salah (khatha’) dan yang benarnya adalah  التُّرْبَةَ seperti yang dikatakan Muhaqqiqnya, Haditsnya berbunyi:
خَلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْت[258].245
Pernyataan lainnya dari Muhammad Abu Syuhbah menukil dari Abu al-Rayah, dan Abu al-Rayah (yang mengikuti pendapat Ahli Hadits) berpendapat bahwa
     Para Ahli Hadits menganggap adanya kejanggalan pada Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini. Hal ini terjadi karena ada rawi bernama Ikrimah yang wahm dan yughlatha, dan pendapat yang tsabit dan qath’I adalah bahwa tahun pernikahan Ummu Habibah dan tahun masuk Islamnya Abu Sufyan yang berbeda (bertentangan dengan fakta). Dia juga mengemukakan dua penakwilan para Ulama tentang matan Hadits ini. Sebagaimana yang dikatakan para Ulama lainnya di atas.
     Pernyataan Abu Al-Rayah yang membahas adanya keanehan dalam Hadits Abu Sufyan ini, dibantah bahwa apa yang dinukil Abu Al-Rayah juga aneh. Ia menukil syubhat-syubhat tersebut dalam Kitab Adhwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, dimana pada dasarnya pendapat itu adalah kezhaliman-kezhaliman sebagian ulama kepada sebagian ulama lainnya dan merupakan sebagian dari perbuatan fanatik (ta’ashub). Perkataan ini disebutkan oleh Abdul Husain Syarifuddin[259].
       Bantahan lainnya bahwa untuk tugas pembelaan Hadits Muslim ini, penyusun kitab Difa ‘an hadits a-Nabawi Fadha-il Abi Sufyan hanya menerima komentar tentang wahm dan ghalathnya Hadits ini, namun tuduhan Hadits ini palsu tidak dapat diterima karena Para Ulama Jarh dan Ta’dil tidak ada yang berpendapat seperti itu. Dengan menuding Ikrimah sebagai pemalsu Hadits, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Al-Shalah bahwa Waki’, Yahya bin Ma’in, dan ulama lainnya menilainya tsiqah[260]. Dalam Kitab Taudhuh al-Afkar pun disebutkan bahwa pernyataan Ibnu Hazm ini ditolak oleh Ahli Hufazh dan disepakati oleh Ibnu Katsir dalam bab khusus yang menjelaskan kedha’ifannya[261].
       Mengomentari para Ulama yang berkata bahwa Hadits ini terdapat kewahaman sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah (atau ulama lainnya yang berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah) itu hanya membesar-besarkan ghalath yasir (keliru yang ringan) saja untuk menurunkan keshahihan Kitab Shahih Imam Muslim[262].
       Dalam Kitab al-Abatil wa al-Manakir dikatakan bahwa Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini Shahih[263].
       Begitu juga dalam Kitab al-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibnu al-Shalah disebutkan masalah-masalah yang terdapat dalam Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini diantaranya Ikrimah dituduh Ibnu Hazm telah memalsukan Hadits Muslim ini, namun tuduhan Ibnu Hazm ini ditolak. Al-Zarkasyi berkata,
     Yang tampak bahwa tuduhan pada rawi Ikrimah adalah yang diriwayatkan dari rawi bernama al-Nadhr bin Abdurrahman dari Ikrimah yang suka meriwayatkan perkara-perkara yang munkar, sebagaimana yang dikatakan oleh para Ahli Hufazh. Dalam hal ini, Imam Muslim juga tidak meriwayatkan rawi ini. Ia hanya meriwayatkan dari al-Nadhr bin Muhammad al-Yamami. Namun, ada yang mengatakan bahwa Imam Muslimlah yang wahm karena menyatukan kedua nama yang berbeda tersebut dan mengira bahwa al-Nadhr yang ini adalah dari Ikrimah (bin Muhammad) yang tsiqah. Padahal bukan orang itu. Karena rawi itu adalah ibnu Abd al-Rahman yang dha’if itu. Maka Hal ini adalah kewahaman yang paling ringan pada matan Hadits tersebut. Adapun dengan masuknya rawi yang bernama al-Nadhr bin Abdurrahman pada Kitab Shahih Muslim, maka Imam Muslim telah berdusta”[264].
       Namun mana mungkin Imam Muslim berdusta sedangkan disebutkan oleh Imam Muslim sendiri bahwa dia memiliki muqaddimah yang bernilai tinggi dan sebagai hal baru dalam ilmu Ushulul Hadits. Ia menjelaskan tentang pembagian dan macam-macam hadits, hadits-hadits yang ditulisnya, yaitu: Keadaan para perawi, menerangkan ‘illat, penjelasan hukum haram berdusta atas nama Rasulullah SAW, anjuran agar hati-hati dalam meriwayatkan, dan larangan meriwayatkan hadits dari perawi yang lemah dan banyak salah. Juga menerangkan bahwa sanad hadits itu adalah bagian dari ketentuan agama, Menjarh dibolehkan bahkan wajib, karena bukan jarh yang diharamkan. dan menjelaskan panjang lebar tentang berhujjah dengan hadits mu’an‘an[265].
       Selanjutnya, diakhir kesimpulan Kitab al-Nukat disebutkan tentang keghariban suatu Hadits, sebagaimana yang dinukil dari Abu Bakar Muhammad bin Khair bin Umar Al-Amawi pada kitabnya,
Para Ulama telah bersepakat, Hadits Gharib yang terdapat dalam Shahih Muslim dapat dikatakan “tidak shahih” jika ada yang berkata: Bahwasanya Rasul bersabda begini, sampai ada rawi yang meriwayatkan perkataan itu paling sedikit bentuk periwayatannya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW: Man Kadz-dzaba ‘alayya muta’ammidan, falyatabawwa. Maq’adahu ‘alannar’[266].

Adapun diakhir penutupnya Kitab Difa’ ‘an Hadits Fadha-il Abu Sufyan ini, pengarang mengatakan:
Para Muhadditsin adalah orang-orang yang diberi ilham dan ilmu mereka sebagai kebenaran mukjizat Nabi SAW. Ketika mereka menyimpulkan kaidah-kaidah hukum untuk menilai suatu riwayat Hadits dan mengetahui kebenarannya, mereka tidak akan bersenda gurau dan menipu. Mereka bersungguh-sungguh dalam memberi petunjuk dan jalan yang lurus, kaidah-kaidah tersebut yang mereka ridhai maka mereka menilai tsiqah dari kebenaran khabar-khabar yang dihukumi dan telah  diteliti. Para peneliti, penyusun kitab dan penetap hukum tidak menetapkan hukum kecuali bersandar pada nukilan yang shahih dan khabar yang yakin saja. Pentingnya memberikan perhatian penuh pada kaidah periwayatan riwayah dan dirayah karena dengan jalan ini dapat memberikan jaminan keselamatan bagi para penelitinya dan menguatkan hujjah dari orang-orang yang fasid dan ghalath, juga orang-orang yang menolak Hadits dan Sahabat Nabi SAW[267].
Kedua, Kritikan dan Jawaban tentang kebenaran apakah Abu Sufyan benar telah diangkat menjadi pemimpin perang atau tidak.   
Kritikan: Mengenai Permintaan Abu Sufyan tentang pengangkatannya sebagai pemimpin perang Muslim itu tidak kuat bahwa Nabi memerintah Abu Sufyan menjadi pemimpin perang. Al-Mundziri berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Nabi mengangkat Abu Sufyan menjadi pemimpin perang, meskipun Hadits ini shahih dan Nabi menepati janjinya untuk menjadikannya pemimpin perang”[268].
Jawaban atas Kritikan : Mengenai Permintaan Abu Sufyan tentang pengangkatannya sebagai pemimpin perang Muslim itu telah diketahui bahwa perkataan Nabi kepada Abu Sufyan tidak didustakan karena Nabi wafat pada selang waktu yang sebentar setelah kejadian ini, kemungkinan Abu Sufyan telah diperintah untuk menjadi pemimpin perang pada perang yang lain dengan isyarat yang lain. Dengan demikian, Pernyataan Al-Mundziri di atas ditolak. Al-Zubair bin Bakar dari Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Rasulullah SAW menawan 6000 orang laki-laki dan wanita pada Perang Hunain, lalu Nabi menjadikan Abu Sufyan sebagai pemimpinnya. Dia juga yang diberi tugas untuk mengusir orang-orang Yahudi”[269].
Adapun fakta yang benar terjadi di zaman kehidupan Nabi adalah Mu’awiyah yang menjadi penulis wahyu waktu itu[270].
Ketiga, Perbedaan pendapat tentang Tempat, Wali, Waktu dan Mahar pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah:
                        Penulis hanya akan memaparkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun belum diketemukan pendapat yang paling benar.
     Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa Para Ulama berbeda pendapat tentang dimana Nabi SAW menikahi Ummu Habibah? Ada yang berkata di Madinah sepulangnya para sahabat dari Habasyah”. Jumhur Ulama mengatakan, “Di Habasyah”. Al-Qadhi melanjutkan, “Mereka bersilang pendapat tentang siapakah yang bertindak sebagai wali saat Beliau menikahi Ummu Habibah? Dikatakan Utsman-lah yang menjadi walinya. Ada juga yang berkata, Orang itu adalah Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash atas izin dari Ummu Habibah. Dikatakan juga, Raja Najasyi, karena ia adalah kepala negara dan raja di sana”. Al-Qadhi berkata lagi, “Riwayat dalam Shahih Muslim yang menegaskan bahwa yang menikahkan Ummu Habibah adalah Abu Sufyan (ayahnya sendiri), ini sangat jauh dan aneh (غريب جدا), karena mengingat keberadaan Ummu Habibah di Madinah yang disertai oleh Abu Sufyan yang saat itu masih kafir sangatlah masyhur”[271].

       Para Ulama juga berselisih pendapat tentang tahun pernikahan Ummu Habibah, “Ada yang mengatakan tahun ke 5, 6, atau 7”. Mereka berselisih pendapat juga tentang mahar yang diberikan Raja Najasyi, “Ada yang mengatakan 400 dinar, 4000 dinar, atau 200 dinar”[272]
Dalam Kitab Takhrij al-Atsar karya al-Zailâ-‘i disebutkan bahwa:
Diriwayatkan bahwa Rasul SAW akan menikahi Ummu Habibah, maka Ummu Habibah bersikap baik kepada Ikrimah bin Abi Sufyan ketika pernikahan tersebut terjadi dan ia memutuskan tali permusuhannya. Sebelumnya, sungguh ia telah masuk Islam dan berhijrah dengan suaminya Ubaidullah bin Jahsyi ke Habasyah. Lalu suaminya pindah agama menjadi Nashrani, sedangkan Ummu Habibah menolak keluar dari Islam. Kemudian suaminya wafat, maka Rasul SAW mengirim surat kepada Raja Najasyi, lalu meminang Ummu Habibah dan Najasyi memberinya mahar 400 dinar. Berita pernikahan ini sampai kepada ayahnya dan ia berkata: “Semoga kuda jantan ini tidak potong hidungnya!”.Dikatakan, “Riwayat ini gharib lafazhnya”.

       Abu Daud meriwayatkan dalam Kitab Sunan mereka bab al-Nikah dari Hadits Urwah bin al-Zubair, dari Ummu Habibah,
Ummu Habibah sebelumnya bersama Ubaidullah, kemudian Ubaidullah mati di Habasyah, lalu Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi SAW dan maharnya 4000 dirham. Dan diutusnya Ummu Habibah kepada Nabi bersama Syarahbil bin Hasanah”[273].
       Abu Daud meriwayatkan secara mursal, dari Al-Zuhri, “Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah binti Abu Sufyan kepada Rasul dengan memberi mahar 4000 dirham, dan memberikan mahar itu kepada Rasul”[274].
       Al-Hakim meriwayatkan dalam Kitab al-Mustadraknya bab al-Nikah dari jalan Ibnu al-Mubarak, telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari al-Zuhri, daru Urwah, dari Ummu Habibah:
Ummu Habibah sebelumnya bersama Ubaidullah, kemudian Ubaidullah mati di Habasyah, lalu Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi SAW dan maharnya 4000 dirham. Diutusnya Ummu Habibah kepada Nabi bersama Syarahbil bin Hasanah”.
Al-Hakim berkata, “Pernyataan ini Shahih atas syarat al-Syaikhain dan keduanya tidak meriwayatkannya”[275].
Ahmad dan Abi Syaibah meriwayatkan dalam Kitab Musnad mereka seperti kalimat di atas, ditambah kalimat, “Rasul tidak mengutus Ummu Habibah dan maharnya 400 dirham”[276].
Selanjutnya, diriwayatkan tentang keutamaan Ummu Habibah dengan sanadnya kepada al-Zuhri:
Rasul menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, sebelumnya ia bersama Ubaidullah bin Jahsyi al-Asadi. Kemudian ia berhijrah dengan Ummu Habibah dari Makkah ke Habasyah dan diuji di sana, sehingga membuat Ubaid Allah memeluk Nashrani dan Ubaid Allah wafat dalam keadaan beragama Nashrani. Namun Allah menguatkan Ummu Habibah pada keislamannya sampai kembali ke Madinah, lalu Rasul meminangnya dan Utsman bin Affan menikahkan Ummu Habibah kepada Rasul. Menurut al-Zuhri, “Para Ulama mengira Nabi mengirim surat kepada Najasyi, lalu Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Rasul dan memberinya 4000 Uqiyah”[277].

                Riwayat lain yaitu Hadits yang disandarkan kepada al-Waqidi:
Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ja’far, dari Abd al-Wahib bin ‘Aun, ia berkata, “Ketika Abu Sufyan sampai ke acara pernikahan Nabi dengan anaknya, ia berkata: Semoga kuda jantan tidak potong hidungnya”. Beginilah riwayat yang ditemukan pada naskah yang dapat dijadikan pegangan, begitu juga terdapat pada Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah, Kitab ‘Uyun Al-Atsar, dan Thabaqat Ibnu Sa’id[278].
Banyak sekali pendapat para ulama mengenai tempat, wali, mahar, dan waktu pernikahan Nabi dan Ummu Habibah dalam Kitab Subulu al-Huda wa al-Rasyad,
Dikatakan Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah, dan Najasyi telah masuk Islam, serta Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Rasul ketika kembalinya Ummu Habibah dari Habasyah. Sebelumnya ada pernyataan tidak jauh berbeda dengan keterangan lainnya tentang siapa wali saat pernikahan Ummu Habibah. Disebutkan pula riwayat dari Ibnu Hibbah dari Aisyah, “Ubaidullah hijrah bersama Ummu Habibah ke Habasyah. Selama di Habasyah, Ubaidullah sakit. Ketika telah dekat kematiannya, ia berwasiat kepada Rasul, lalu Rasul menikahinya dan Raja Najasyi mengutus Ummu Habibah bersama Syarahbil bin Hasanah. Dikatakan juga bahwa pernikahan Ummu Habibah dan Nabi setelah menetap di Madinah, Nabi mengutus Amr bin Umayyah al-Dhamri kepada Raja Najasyi untuk menjadi wali nikahnya. Sedangkan Khalid bin Sa’id menjadi wali nikah Ummu Habibah[279]”.

                Pendapat lainnya yang mengatakan bahwa
Akad nikah Nabi dengan Ummu Habibah di Habasyah karena Raja Najasyi memerintah Ja’far bin Abi Thalib dan masyarakat disana untuk menghadiri pernikahannya, dan walimahnya pada maham hari di Madinah yang disiapkan oleh Utsman bin Affan dan masyarakat Madinah. Wali Nabi yaitu Raja Najasyi dan wali Ummu Habibah yaitu Khalid bin Sa’id bin al-Ash. Najasyi menyerahkan mahar Nabi 400 dinar serta beberapa hadiah berharga lainnya[280].
Begitu juga dengan pernyataan lainnya tidak ada hal yang berbeda, disebutkan:
     Nabi menikahi Ummu Habibah telah diakui saat ia masih musyrik sehingga yang menjadi walinya adalah orang lain. Adapun ia berkata: “ya” maksudnya untuk menenangkan hatinya atau tujuanmu telah tercapai, meskipun pada hakikatnya bukan akad. Ia pun kehilangan satu matanya pada perang Thaif dan kedua matanya pada perang Yarmuk. Selanjutnya hanya mencantumkan komentar al-Nawawi[281].

Dalam Kitab Al-Nukat Ibnu Shalah disebutkan:
Al-Mundziri menghukumi menurut Sebagian Ulama, “Nabi menikahi Ummu Habibah di Madinah setelah menetap di Habasyah”. Maka pernyataan ini merubah pendapat yang masyhur[282].
Al-Hafizh Ibnu al-Atsir menyebutkan dalam Kitab Asad al-Ghabah dari Qatadah bahwa,
     Ummu Habibah setelah hijrah dari Habasyah ke Madinah, maka Rasul mengkhitbah dan menikahinya”. Begitu juga diriwayatkan oleh al-Laits, dari Uqail dan Ibnu Syihab. Sedangkan Ma’mar meriwayatkan dari al-Zuhri bahwa, “Rasul SAW menikahi Ummu Habibah, sedangkan ia sedang berada di Habasyah”. Pendapat inilah yang paling shahih[283].
Kemusykilan-kemusykilan pada matan Hadits Muslim ini telah dijawab oleh Para Ulama dengan beberapa jawaban yaitu kemungkinan Hadits tersebut pada zhahirnya, bahwa masalah pernikahan Ummu Habibah terdapat pada ayahnya ketika masuk Islam, padahal pernikahannya terdahulu ketika anaknya berada di Habasyah.
     Sesungguhnya pernikahan Ummu Habibah yang terjadi di Habasyah datang dari riwayat Muhammad bin Ishaq bin Yasar secara mursal, dan para Ulama berselisih pendapat tentang kehujjahan sanadnya, “bagaimana tentang kemursalan sanadnya?” maka Al-Mundziri berkata, “Hadits ini fihi Nazhar. Karena tentang pernikahan Ummu Habibah tidak diperselisihkan oleh Ahli al-Maghazi bahwa hal itu terjadi sebelum kembalinya Ja’far bin Abi Thalib ke Habasyah dan kembalinya para sahabat saat Perang Khaibar”[284].
Menurut Abu Daud, pendapat yang shahih tentang yang menjadi wakil Rasul adalah Amr bin Umayyah al-Dhamari, ia membawa Raja Najasyi untuk menikahkan Nabi pada Ummu Habibah[285].
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shahih dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa ia bertanya kepada Aisyah istri Rasul:
     Berapa mahar yang diberikan Rasul kepada Istri-istrinya? Aisyah menjawab: Maharnya 12,5 Uqiyah yaitu 500 Dirham”. Hadits ini shahih dan wajib diamalkan. Sedangkan mahar yang diberikan Raja Najasyi kepada Ummu Habibah sebanyak 400 Dinar yang berfungsi untuk memperbaiki akhlak para Raja yang berlebihan dalam pekerjaannya (memboroskan harta dan bermewah-mewahan karena jabatan tingginya) dan untuk menolong Nabi[286]. Penjelasan ini juga sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya surat al-Ahzab ayat 50[287].

Menurut Al-Jauzi mengenai pembahasan menyingkap kemusykilan Musnad Ummu Habibah binti Abi Sufyan bahwa:
 Namanya Ramlah. Ketika dia disisi Ubaidullah bin Jahsyi. Habibah dilahirkan dan diberi kunyah dengan nama itu. Ubaid Allah berhijrah dengan Ummu Habibah ke Tanah Habasyah pada tahun kedua hijriyah, lalu ia menjadi orang Nashrani, kemudian murtad dari agama nashraninya dan wafat disana. Sedangkan Ummu Habibah tetap pada agamanya. Maka Rasul mengutus Amr bin Umayyah Al-Dhamri dan menunjuk sebagai wakil nikahnya yaitu Raja Najasyi untuk mengkhitbah Ummu Habibah. Maka Khalid bin Sa’id bin Al-Ash mengurusi pernikahan Ummu Habibah, yaitu anak paman Abi Sufyan dikarenakan Abi Sufyan masih dalam keadaan kafir. Najasyi menyebut maharnya dari Rasul SAW sebanyak 400 dinar. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh hijriyah. diriwayatkan oleh Shahihain[288].

       Keempat, Perbedaan Pendapat Takwilan dan Takwilan yang Benar tentang Maksud Permintaan Abu Sufyan (yang pertama) agar Nabi menikahi Ummu Habibah:
Menurut Ibnu Shalah, kemungkinan Abu Sufyan meminta kepada Rasul memperbarui akad nikahnya dengan Ummu Habibah untuk menenangkan hatinya, karena terkadang ia beranggapan dapat memberikan aib pada kepemimpinan dan nasabnya karena anaknya menikah tanpa ridha ayahnya. Atau Ibnu Hazm mengira bahwa ‘Keislaman ayahnya’ mengharuskan pembaharuan nikah”[289]. Disebutkan juga dalam Kitab kitab Taudhih al-Afkar[290] dan Akhlaq al-Nabi[291].
       Al-Nawawi menakwilkan bahwa Barangkali maksud Sabda Nabi: “ya”  adalah bentuk jawaban bahwa tujuanmu telah tercapai, meskipun tanpa harus memperbarui akad[292]. Disebutkan juga dalam Kitab Taudhih al-Afkar dan Akhlaq al-Nabi.
       Disebutkan dalam Kitab ‘Aun al-Ma’bud bahwa Sebagian ulama berusaha menakwilkan maksud permintaan Abu Sufyan soal Ummu Habibah dengan ta’wilan yang fasad seperti:
     Ada yang menakwilkan bahwa maksud Abu Sufyan agar memperbaharui akad pernikahannya, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan agar Nabi tidak menceraikan Ummu Habibah, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan menunjukkan keridhaannya Nabi telah menikahi Ummu Habibah. Takwil lainnya seperti Nabi telah menceraikan Ummu Habiibah kemudian Abu Sufyan ingin menikahkannya lagi. Apalagi takwil yang menyatakan bahwa nama tersebut salah sebenarnya bukan Ummu Habibah binti Abu Sufyan tetapi ‘Azzah binti Abu Sufyan. Takwil selanjutnyanya bahwa Abu Sufyan merasakan kebencian Nabi pada Ummu Habibah dan bermaksud dengan lafazh pernikahan itu untuk menetapkan pernikahannya tidak pernah dilakukan. Lalu takwil bahwa kemungkinan Abu Sufyan mengatakan permintaan itu sebelum ia masuk Islam[293].

       Jawaban dan Takwilan yang Benar: Al-Adlabi mengomentari pernyataan Al-Nawawi dan Ibnu Al-Shalah yang terdapat dalam Kitab Syarah al-Nawawi bahwa:
Penafsiran mereka adalah penafsiran yang jauh dari kebenaran. Sebab jika demikian, niscaya ketika Beliau diminta memperbarui nikah, maka akan menjawab: “Tujuanmu tercapai” atau akan menjawab: “Tidak ada masalah” atau “Hal ini tidak mengharuskan pembaruan nikah”. Dan Beliau tidak perlu menjawab dengan kata “ya”[294].
       Menurut Ibnu Katsir, penakwilan bahwa Abu Sufyan ingin memperbaharui akad untuk menenangkan hatinya dan penakwilan bahwa Abu Sufyan mengira karena keislamannya, maka pernikahan Ummu Habibah jadi rusak adalah takwilan yang dha’if. Adapun takwilan yang paling baik atau “Shahih pada Hadits ini adalah mengenai ta’wil bahwa Abu Sufyan ketika melihat menantunya yaitu Rasul yang mulia, ia lebih menyukai untuk menikahkannya dengan anaknya yang lain yaitu ‘Azzah dan meminta bantuan pada Ummu Habibah. Namun, rawinya wahm dalam menyebutkan nama Ummu Habibah”[295].
       Begitu juga disebutkan dalam Kitab al-Mu’jam al-Kabir dan Jami’ al-Ushul bahwa adanya Pernyatan Al-Mubarak bin Al-Atsir, sungguh Al-Humaidi berkata:
     Ia berkata kepada kami (sebagian Ahli Hufazh): Hadits ini wahm pada sebagian rawinya, karena tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Ilmu tentang khabar bahwa Nabi menikahi Ummu Habibah sebelum Fathu Makkah di Habasyah dan ayahnya masih kafir saat itu”. Adapun pernyataan saudaranya al-Humaidi dalam kitab Asad al-Ghayah (5/457) bahwa, “Hadits ini di antara sedikit kewahman dalam kitab Muslim dan diantara kewahamannya ketika Al-Thabrani meriwayatkan Hadits seperti itu”. Ulama lainnya yang berpendapat, “Maksud memperbaharui akad tanpa izin Abu Sufyan karena akan menjadikan aib baginya”. Sebagian Ulama lagi mengatakan, “Karena ia yakin batal nikah anaknya dengan keislamannya”. Pernyataan ini seluruhnya dha’if.
            Menurut al-Thabrani, jawaban paling benar adalah agar Nabi menikahi anaknya yang lain yaitu ‘Azzah dan meminta bantuan pada saudaranya Ummu Habibah sebagaimana Haditsnya yang terdapat dalam Kitab Shahihain dan Hadits ini wahm rawinya dalam memberi nama “Ummu Habibah” pada Hadits tersebut. Jadi, maksud kami Hadits ini adalah Hadits yang menyendiri (khabar mufrad). Dikatakan, “Pada sebagian riwayat adalah ‘Azzah, pada sebagian lainnya adalah Durrah”. Namun pernyataan ini ditolak (Durrah), sedangkan pernyataan sebelumnya diterima (‘Azzah)[296].
            Menurut Al-Shan’ani takwilan mengenai yang ingin dinikahkan adalah saudaranya Ummu Habibah, lalu Nabi mengabarkan bahwa adanya pengharaman menyatukan dua saudara. Maka takwilan yang paling mendekati sebagaimana disebutkan Haditsnya dalam Kitab Shahihain”[297].
            Begitu juga, Al-Nawawi berpendapat, “Kemungkinan kejadian tentang pernyataan Ummu Habibah untuk menikahkan saudaranya yaitu Azzah, pada waktu itu Ummu Habibah tidak mengetahui adanya pengharaman menyatukan/menggabungkan antara dua saudara perempuan. Inilah kemungkinan-kemungkinan pada samarnya Hadits Ummu Habibah dan Abu Sufyan[298]. Haditsnya yaitu:
 أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، انْكِحْ أُخْتِي عَزَّةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتُحِبِّينَ ذَلِكِ؟» فَقَالَتْ: نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللهِ، لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ، وَأَحَبُّ مَنْ شَرِكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي»، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ دُرَّةَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: «بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ»[299]299
     Sesungguhnya Ummu Habibah istri Rasul SAW telah menceritakan, bahwa dia berkata kepada Rasul, Ya Rasul! nikahilah oleh engkau saudariku, ‘Azzah!' Beliau bertanya, 'Kamu senang akan hal itu? Ummu Habibah berkata, Benar, Wahai Rasul! 'Aku tidak berbasa-basi dengan engkau, dan aku lebih senang jika orang yang bersamaku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri.' Beliau berkata, 'Dia tidak halal aku nikahi' Aku (Ummu Habibah) berkata, 'Aku mendengar kabar bahwa engkau melamar Durrah binti Abu Salamah.' Rasulullah SAW menjawab, "Putri Abu Salamah." Aku menjawab, 'Ya.' Beliau berkata, 'Seandainya dia bukan anak tiriku yang dalam asuhanku, maka dia tetap tidak halal aku nikahi, karena dia adalah putri saudara laki-lakiku dari hubungan susuan. Tsawaibah pernah menyusuiku dan Abu Salamah. Oleh karena itu, janganlah kalian menawarkan anak-anak perempuan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian!”'
       Takwilan tentang maksud permintaan menikahi anaknya bukan Ummu Habibah, tapi ‘Azzah juga dikomentari oleh Ibnu Qayyim bahwa, “Penakwilan ini adalah penakwilan yang paling baik”[300]. Ayat pendukung kisah ini adalah sebagai berikut:
    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzaab[33]: 50)

Dalam Tafsir al-Misbah disebutkan FirmanNya:

   Ahlalna laka azwazaka al-lati ataita ujurahunna, dipahami oleh sebagian ulama seperti Qurthubi dalam arti dihalalkan untuk Nabi mengawini siapapun yang bukan mahramnya, selama beliau memberi mereka mahar. Alasannya antara lain apa yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi bahwa Aisyah berkata, “Tidak wafat Rasul kecuali setelah Allah menghalalkan untuk Nabi semua wanita”. Penggunaan bentuk kata kerja masa lampau dalam FirmanNya: yang telah engkau berikan maskawin mereka, mengisyaratkan baiknya memberi maskawin sebelum bercampur. Tapi mayoritas ulama memahaminya dalam arti dihalalkan bagi beliau semua wanita yang ketika turunnya ayat ini berstatus sebagai pasangan hidup beliau. Ini karena mereka itulah yang telah diberikan oleh Nabi maskawin mereka. Penghalalan itu-walau jumlah mereka lebih dari empat orang- disebabkan karena mereka telah rela hidup sederhama dengan Nabi. Ibnu Abbas berkata, “Tadinya Rasul dapat nikah dengan wanita manapun yang beliau inginkan, sehingga hal ini meresahkan istri-istri beliau, dan ketika turunnya ayat ini mereka menyambut gembira”. Karena istri-istri yang dimaksud di sini ada yang merupakan kerabat Nabi dari suku Quraisy yaitu Aisyah, Hafshah, Saudah, Ummu Salamah, Ummu Habibah dan ada juga yang bukan kerabat yaitu Juwairah dari Bani al-Mushthalaq, Maimunah binti Al-Harits dari Bani Hilal, Zainab Ummu Al-Masakin juga dari Bani Hilal yang ketika turun ayat ini telah wafat dan Shafiyah bin Huyai dari Bani Israil.
       Penggunaan kata al-Nabi yang disebutkan dua kali dalam konteks pernikahan ini, bertujuan menekankan pengkhususan tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa penerimaan beliau adalah terdorong oleh kedudukan beliau sebagai manusia agung di sisi Allah, yang dianugerahi keistimewaan serta dibebani pula tugas khusus yang tidak dibebankan pada selainnya[301].

Adapun Menurut Ibnu Katsir mengeani FirmanNya,

        Wa mâ malakat yamînuka mimmâ afâ allâhu ‘alaika (“Dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu.”) yaitu Allah halalkan bagimu sesuatu yang kau ambil dari harta rampasan perang. Beliau memiliki Shafiyyah dan Juwairiyyah dari rampasan tersebut, lalu beliau memerdekakan dan menikahi keduanya. Beliau juga memiliki Raihanah binti Syam’un an-Nadlariyyah, serta Mariyatul Qibthiyyah ibu Ibrahim anak beliau, yang keduanya adalah tawanan.
          Firman Allah: Wa banâti ‘ammika wa banâti ‘ammâti khâlika wa banâti khâlâtika (“Dan [demikian pula] anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.”) ini merupakan keadilan, pertengahan antara sangat lebih dan sangat kurang. Hal ini diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Ikrimah, Al-Dhahak, Mujahid, Abi Al-Razin, Abi Al-Shalih, Al-Hasan, Qatadah, Al-Sudi, dan selain mereka.
       Ibnu Jarir Al-Thabari juga berkata, “Maksud ayat di atas adalah tidak halal bagi Nabi untuk menikahi istri-istri bukan seorang muslim. Maka perempuan Nashrani, Yahudi, dan Musyrik haram bagi Nabi”. Diharamkan wanita yang memiliki fisik cantik tanpa agama Islam sebagaimana disebutkan dalam Surat al-Maidah ayat 5.
       Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Ummu Salamah berkata: “Rasulullah SAW tidak wafat sehingga Allah menghalalkan baginya untuk mengawini wanita yang dikehendakinya kecuali mahramnya”[302].

Selanjutnya FirmanNya:
لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلَا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain)[303](QS.Al-Ahzab[33]:52)
       Ibnu Katsir menyebutkan banyak ulama, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Al-Dhahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, Ibnu Jarir dan selain mereka juga  menyebutkan,
     Bahwa ayat ini turun sebagai balasan bagi para istri Nabi SAW serta keridhaan terhadap mereka atas kebaikan sikap mereka memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat, di saat Rasulullah SAW meminta mereka untuk memilihnya seperti pada ayat yang lalu. Ketika mereka telah memilih Rasulullah saw., maka balasan yang mereka terima adalah Allah membatasi Nabi untuk dijadikan istri-istri beliau serta diharamkan baginya untuk menikahi wanita lain atau menggantikan mereka dengan wanita yang lainnya, sekalipun kecantikan mereka membuat beliau kagum, kecuali budak wanita dan tawanan perang, maka tidak mengapa beliau miliki. Kemudian Allah menghapuskan (nasakh) kesulitan tersebut dan membatalkan hukum ayat ini serta membolehkan beliau untuk nikah. Akan tetapi setelah peristiwa pernikahan pada wanita tawanan perang itu, pernikahan beliau tidak terjadi, agar beliau menjadi anugerah bagi mereka.
            Ikrimah berpendapat, “Istri-istri yang bersama nabi ada sembilan orang yaitu lima orang dari Quraisy yaitu Aisyah, Ummu Habibah, Hafshah, Saudah, Ummu Salamah. Yang lainnya adalah Shafiyah binti Huyay, Zainab binti Jahsyi, Maimunah binti Al-Harits al-Hulaliyah, dan Juwairiyah binti al-Harits al-Mushthalaqiyah”[304].
       Ibnu Abi Hatim berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail Al-Ahmasi, Telah menceritakan kepada kami Wali’, Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ubaidah, Dari Muhammad bin Ka’ab, Dari Umar bin Al-Hukm dan Abdullah bin Ubaidah, mereka berkata:
Nabi menikahi 13 istri, enam orang dari Quraisy yaitu Khadijah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Saudah, Ummu Salamah. Tiga orang dari Bani ‘Amir Sha’sha’ah, dua istri dari Bani Hilal bin ‘Amr yaitu Maimunah binti Al-Harits (dia yang menghadiahkan/menyerahkan dirinya pada Nabi), Zainab Ummu al-Masakin, dan wanita dari Bani Abi Bakar bin Kilab dari al-Qartha (dia adalah orang yang memilih dunia), wanita dari Bani al-Jun yaitu wanita yang minta perlindungan kepada Nabi. Zainab binti Jahsyi Al-Asdiyah, serta dua tawanan perang yaitu Shafiyah binti Huyay bin Akhthab dan Juwairiyah binti Al-Harits bin Amr Al-Mushthalaq Al-Khaza’iyyah[305].

        Dari kisah di atas membuktikan bahwa Nabi tidak akan pernah memperbaharui akad nikah istri-istrinya dan dalil surat al-Ahzab yang membolehkan Nabi menikah lagi, namun Nabi menikah tidak karena nafsunya, tapi dalam batas-batas yang sangat wajar dan yang bertujuan mendukung misi dakwahnya.
       Al-Zarkasyi mengatakan bahwa makna takwilan permintaan Abu Sufyan pertama adalah perkataan Nabi untuk menenangkan hati Abu Sufyan dan takwilan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ yaitu Ummu Habibah adalah takwilan yang jauh dari kebenaran[306]. Ia juga menambahkan,
     Diantara pendapat yang dapat dijadikan hukum oleh kesepakatan adalah pernyataan al-Baihaqi dalam Kitab Sunannya. Syaikh kami ‘Amad Al-Din bin Katsir menyebutkan pernyataan berikut sebagai ta’wilan yang baik yaitu, “Pernyataan bahwa Maksud Abu Sufyan menikahkan pada Nabi adalah anaknya yang lain yaitu ‘Azzah, dan Ummu Habibah diminta membantu untuk bicara pada Nabi. Maka Nabi menyetujuinya untuk menyenangkan hati Abu Sufyan. Namun, di sisi lain Nabi menjelaskan pada Ummu Habibah bahwa saudaranya tidak halal bagi Nabi. Maka Nabi memenuhi permintaannya yang lain yaitu menjadikan Mu’awiyah sebagai penulisnya. Mu’awiyah adalah diantara sahabat yang diutus oleh Nabi untuk menghancurkan thaghut penduduk Tha’if.Oleh karenanya, termasuk wahm pada Ikrimah dan rawi yang lainnya yang menyebutkan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ” , padahal wanita itu adalah ‘Azzah. Ikrimah yakin bahwa wanita itu adalah Ummu Habibah, maka ia menyebutkannya. Ia tidak memahami apa yang dimaksudkan Abu Sufyan, maka Hadits ini menjadi munkar pada rawi yang keliru tersebut[307].

D.  Nilai dan Kehujjahan
Analisa sanad dan matan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan telah dibahas di atas, maka dalam rangka membahas nilai Hadits tersebut hanya dengan mengambil kesimpulan (natijah) dari analisa sanad dan matan.
Telah disebutkan bahwa sanad Hadits ini tsiqat dan dari segi matannya pun shahih. Walaupun banyak para Ulama yang berpendapat Hadits ini bertentangan dengan fakta sejarah, namun hal itu dapat terbantahkan dan terbukti Hadits ini sesuai dengan fakta sejarah. Dengan demikian, Hadits ini dapat dijadikan hujjah.



[132]Muslim, Shahih Muslim, hlm.1358
[133]A.J.Wensink, al-Mu’jamul Fahrs li Alfadzil Haditsan-Nabawi, (Leiden: Maktabah Biril, 1936), Juz.5, hlm.43
[134]Ibid,hlm.352
[135]Ibid, Juz 1, hlm.100
[136]Muhammad Abdul Baqi’, Miftah al-Kunuz as-Sunnah, (Lahore: Idarah Tarjaman as-Sunnah, 1978), hlm.16
[137]Abi al-Hajaj al-Mizi, Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf, (t.t:t,tp, t.th), Juz.4, hlm.469
[138]Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqalani, Ittihaf al-Maharrah bi Al-Fawa-id al-Mubtakarah min Athraf al-‘Asyirah, (Madinah: Fahrasah Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyah, 1994), cet.ke-1, Juz.7, hlm.233
[139]Abi ‘Awanah Ya’kub bin Ishaq al-Isfirayini, al-Qismu al-Mafqud min Musnad Abi ‘Awanah al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim, (Kairo: Maktabah al-Sunnah,1995), cet.ke-1; Abi ‘Awanah Ya’kub bin Ishaq al-Isfirayini, Mustakhraj Abi ‘Awanah, Mustakhraj Abi ‘Awanah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), cet.ke-1 (Maktabah Syamilah al-Isdar 2) (5 juz: Kitab Iman, Kitab Shalat, Kitab Zakat, Kitab Haji, dan Kitab Hudud)
[140]Muslim, Shahih Muslim,  hlm.1358
[141]Al-Amir ‘Ala-u al-Din ‘Ali bin Balban al-Farisi, Shahih Ibnu Hibban bi Tartib Ibnu Balban, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1993), cet.ke-2, Juz.16, hlm.189
[142]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), cet.ke-3, Juz.7, hlm.226
[143]Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.th), cet.ke-2, Juz.12, hlm.199
[144]Abu al-Qasim Hibbatullah bin Hasan bin Manshur al-Thabari al-Razi al-Lalika-i, Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Arab Saudi: Dar Tayyibah, 2003), cet.ke.8, Juz 8, hlm.1442-1443
[145]Abu Bakar bin Abi Ashim wahuwa Ahmad bin Amr al-Dhahak bin Mukhallid al-Syaibani,  al-Ahad wa al-Matsani, (Riyadh: Dar al-Rayah, 1991), cet.ke-1, Juz1, hlm.364
[146]Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf  al-Mizi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1983), cet.ke-12 Jil.15, hlm.155-162
[147]Syamsu Al-Din, Mîzân, Juz.3, hlm. 327
[148]Jamal Al-Din, Tahdzib, , Jil.12, hlm.127
[149]Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, (tt:Dar Al-‘Ashimah, t.th), hlm. 687
[150] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.5, hlm. 114
[151]Jamal Al-Din, Tahdzib,  Jil.20, hlm. 256-264
[152] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.7, hlm. 34
[153]Jamal Al-Din, Tahdzib, Jil.29, hlm.402-403
[154]Ibid, Jil.1, hlm.282-283
[155]Ibid, Jil.14, hlm.223-224
[156]Ibid,  Jil.27, hlm.501
[157]Ibid, Jil.1, hlm.524
[158] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.1, hlm. 301
[159]Abu Bakar  Muhammad bin Abd al-Ghani, Al-Taqyid li Ma’rifah al-Ruwah wa al-Sunan wa al-Masanid, (Hindi: Mathbu’ah  Mujallis Da-irah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah , 1983 ), cet.ke-1, Juz.1, hlm.187
[160]Abi Al-Qasim Ali bin Al-Hasan Ibn Habbah Allah bin Abd Allah Al-Syafi’I (Ibnu ‘Asakir), Tarikh Madinah Dimasyqi, (t.t: Dar Al-Fikr, 1997), cet.ke-1, Juz.52, hlm. 249
[161]Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.6, hlm. 99
[162]Muhammad bin Mukarram (Ibn Manzhur), Mukhtashar Tarikh Dimasyqi li Ibnu ‘Asakir ,(Damaskus: Dar Al-Fikr, 1990), cet.ke-1, Juz. 22, hlm.79
[163]Abu Bakar , Al-Taqyid li Ma’rifah,  Juz.2, hlm.60
[164]Taj Al-Din Abi Nashr Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-Kafi Al-Subki, Thabaqat Al-Syafi’iyyah al-Kubra,  (t.t: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th), Juz.3, hlm. 69-70
[165]Abu Bakar, al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.1, hlm.34-35
[166]Taj Al-Din, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz.3, hlm.69-70
[167]Syamsu Al-Din Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam,  (Beirut: Dar al-Garb al-Islami, 2003), cet.ke-1, Jil.8, hlm. 432
[168]Abu Bakar, al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.1, hlm.130-131
[169]Syamsu Al-Din Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah,  1983), cet.ke-1, Juz.15, hlm. 466-467
[170]Khair Al-Din Al-Zirikli, Al-I’lam Qamus Tarajim li al-Asymar al-Rijal wa al-Nisa min al-‘Arab al-Musta’ribina wa al-Musytasyriqina, (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Mulayyin, 2002), cet.ke-15, Juz.6, hlm. 227
[171]Abu Bakar, Al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.1, hlm.64-65
[172]Ibid, hlm.147; Taj Al-Din, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz.4, hlm. 8-11
[173]Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Al-Tsiqât, (Hindi: Mathbu’ah Majlis Da-irah al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1973), cet.ke-1, Juz.9, hlm.160
[174]Jamal, Tahdzib,Jil.29, hlm.147
[175]Abu Al-Ma’athi Al-Nawari, dkk, Mausu’ah Aqwal al-Imam Ahmad bin Hanbal fi Rijal al-Hadits wa ‘Ilalihi,  (Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1997), cet.ke-1, Jil.3, hlm. 416
[176]Abi Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Madinah al-Salam, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), cet.ke-1, Juz.6, hlm.219
[177]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm. 437-438
[178]Ibid, Tarikh al-Islam, Juz.6, hlm. 1043
[179]Abi Bakar Al-Baghdadi, Tarikh Madinah, Jil.4, hlm.336-339
[180]Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.3, hlm.278; Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.16. hlm. 119
[181]Abu Bakar, Al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.2, hlm.12
[182]Ibid, hlm.11-12
[183]Abi Al-Qasim (Ibnu ‘Asakir), Tarikh Madinah Dimasyqi, Juz. 22, hlm.163
[184]Ibid, Juz.54, hlm. 127
[185]Jamal, Tahdzib, Jil.24, hlm.489-490
[186]Ibnu Hibban, al-Tsiqat, Juz.9, hlm.150
[187]Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Nasa-I, Tasmiyah Masyayuh Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Nasa-I Alladzina sami’a minhum wa Dzikru al-Mudallisina, (Makkah: Dar ‘Alim al-Fawa-id, 1432), cet.ke-1, hlm.96
[188]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm.439; Abu Bakar Al-Bahgdadi, Tarikh Madinah Al-Salam, Juz.5, hlm.433; Syamsu Al-Din, Tarikh al-Islam, Juz.7, hlm. 901
[189]Al-Baghdadi, Tarikh Madinah, Juz.5, hlm.433
[190]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm.439; Abu Bakar Al-Bahgdadi, Tarikh Madinah Al-Salam, Juz.5, hlm.433;
[191]Abu Bakar Al-Baghdadi, Tarikh Madinah, Jil.13, hlm.232
[192]Ibid, Jil.16, hlm.108
[193]Jamal Al-Din , Tahdzib al-Kamal, Juz. 22, hlm. 77-78
[194]Fatchur Rahman, Ikhtishar, hlm.60-61
[195]Ibid, hlm.220-221
[196]Husein Zaenal Muttaqin al-Indunisiyyi, Dirasah Tahliliyyah li Tarjamah Suwaid bin Sa’id al-Hadatsani, (al-Madinah al-Munawwarah: al-Mumlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1420H), hlm.9-10; Abdul ‘Aziz, Dhawabith al-Jarh, hlm.48-49 Mengenai Para Imam Jarah dan Ta’dil Mutasyaddid, Mu’tadilin, Mutasahhil, dan Muta-akhirin.
[197] Jamal al-Din, Tahdzib,  Jil.20, hlm.259
[198]Ibid, hlm.258-264
[199] Ibid, hlm.258-260
[200]Ibid, hlm.261
[201]Ibid
[202]Ibid, hlm.260
[203]Ibid
[204]Al-Dzahabi, Mizan, Juz.5, hlm.114
[205]al-Jauzi, Kasyfu al-Musykil, Juz.2, hlm.463-464
[206] Jamal al-Din, Tahdzib, Jil.20, hlm.258-259
[207]Ibid, hlm.261
[208]Ibid, hlm.263
[209]Ibid, hlm.262
[210]Al-Dzahabi, Mizan, hlm. 114
[211] Jamal al-Din, Tahdzib, Jil.20, hlm.259
[212]Ibnu Hajar, Taqrib, hlm. 687
[213]Al-Dzahabi, Mizan, hlm. 116
[214]Jamal Al-Din, Tahdzib, Jil.20, hlm. 258-264
[215]Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh,  hlm.13-14
[216]Syihabuddin Abi al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al-Kinani al-‘Asqalani, Ta’rif Ahli al-Taqdîs bi Marâtib al-Maushûfîn bi al-Tadlîs, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1987), cet.ke-2, hlm.98
[217]Ibid, hlm.23
[218]Muhammad Abu al-Laits al-Khair Abadi al-Qasimi, Takhrij al-Hadits: Nasyâtuhu wa Manhâjatuhu, (Malaysia, al-Jami’ah al-Islamiyah al-‘Alamiyah, 1997), cet.ke-3, hlm.231
[219] Ibid
[220]al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm.306
[221]Syamsu al-Din Abi al-Khair Muhammad bin Abd al-Rahman al-Sakhawi al-Syafi’I, Fath al-Mugits bi Syarhi Alfiyah al-Hadits, (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1426H), cet.ke-1, Juz.1, hlm.123; Abi al-Fadhl Abd al-Rahman bin Abi Bakar Jalal al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi, (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 2003), cet.ke-1, Juz.1, hlm.222
[222]Azis Asmana, Syarah dan Kritik, (Tesis), hlm.79-80
[223]Su’ud bin ‘Aid bin Umair al-Sha’idi, al-Ahadits al-Waridah fi Fadha-il al-Shahabah, (Madinah: Fahras Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyyah Atsna al-Nasy, 1427 H), cet.ke-1, Jil.8, hlm.346-349
[224]Azis Asmana, Syarah dan Kritik, (Tesis), hlm.76; Sebagaimana perselisihannya terdapat dalam Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: al’Ashimah, t.t), hlm.119-137
[225]Ahmad Warson, al-Munawwir, hlm.1433
[226]Ibid, hlm.946
[227]Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hlm.1885
[228]Ibid, hlm.637
[229]Ibid, hlm.3817
[230]Ibid, hlm.128
[231]Ahmad Warson, al-Munawwir, hlm.1318
[232]Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hlm.37
[233]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.16, hlm.91
[234]Sa’ad al-Marshafa, Difa’ ‘an Hadits, hlm.31
[235]Ibid, hlm.13
[236]al-Jauzi, Kasyfu al-Musykil, Juz.2, hlm.464
[237]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.16, hlm.91
[238]Ibid, hlm.91-92
[239]Muhammad bin Ismail  al-Amir al-Husna al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th), Juz.1, hlm.128-129
[240]Abi Muhammad Abd Allah bin Muhammad bin Ja’far bin al-Ashbahani, Akhlaq al-Nabi wa Âdâbuhû, (Kairo: al-Dar al-Masriah al-Lubnaniah, 1993), cet.ke-2, hlm.51
[241]Al-Amir Ala-u al-Din, Shahih Ibnu Hibban, Juz.16, hlm.189
[242]Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin al-Murtadha bin al-Mufadhal al-Husna al-Qasimi, Al-‘Awashim wa al-Qasimi fi al-Dzan ‘an Sunnah Abi al-Qasim, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1994), cet.ke-3, Juz.3, hlm.93-94
[243]Al-Amir Ala-u al-Din, Shahih Ibnu Hibban, Juz.16, hlm.189
[244]Muhammad bin Fatuh al-Humaidi, al-Jama’ baina al-Shahihain, (t.t: dar Ibn Hazm, t.th), Juz.2, hlm.130-131
[245]Majad al-Din Abi al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (t.t, Maktabah Dar al-Bayan,1969), Juz.9, hlm.106
[246]Al-Amir Ala-u al-Din, Shahih Ibnu Hibban, Juz.16, hlm.189-190
[247]Al-Albani, al-Ta’lîqât, Juz.10, hlm.275
[248]Al-Mizi, Tahdzib, Juz. 10, hlm. 263
[249]Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Juz.7, hlm.226; Abi al-Qasim Ali bin al-Hasan Ibn Hibbatullah bin Abdullah al-Syafi’I, Tarikh Madinah Dimasyqi,(t.t, Dar al-Fikr, t.th), Juz.69, hlm.147-148
[250]Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin al-Murtadha bin al-Mufadhal al-Husna al-Qasimi, Al-‘Awashim wa al-Qasimi fi al-Dzan ‘an Sunnah Abi al-Qasim, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1994), cet.ke-3, Juz.3, hlm.93-94
[251]Mukhtashar Shahih Muslim, (tt:t.pn, t.th) juz 2, hlm.457
[252]Ibid
[253]Thahir al-Jazari al-Dimasyqi, Taujih al-Nazhr ila Ushul al-Atsar,  (Beirut: Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, 1995), Juz.2, hlm.738-741
[254]Ibid, hlm. 741
[255]Al-Zarkasyi, al-Nukat, hlm.296-298
[256]Abi Fadl bin Hajar al-Asqalani, Al-Wuquf ‘ala Mâ fii Shahîhi Muslim min al-Mauquf, (Beirut: Mu-assasu al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, 1986), cet.ke-1, hlm.151
[257]Penjelasan ini terdapat dalam Kitabnya Minhaj al-Sunnah dan Majmu’ Fatawa.
[258]Muslim, Shahih Muslim, hlm.1500
[259]Sa’ad al-Marshafa, Difa’ ‘an Hadits, hlm.13-14
[260]Ibid, hlm.14-15; Al-Nawawi, Syarah Muslim, hlm.92
[261]al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, Juz.1, hlm.128-129
[262]Sa’ad al-Marshafa, Difa’ ‘an Hadits, hlm.15
[263]Abu Abd Allah al-Husain Ibn Ibrahim al-Juraqani al-Hamdzani, al-Abati wa al-Manakir wa al-Shihah wa al-Masyahir, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004), cet.ke-1, hlm.105
[264]al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.293-294
[265]Muslim, Shahih Muslim, hlm.6-21
[266]al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.294-298
[267]Sa’ad al-Marshafa, Difa’ ‘an Hadits, hlm.38-39
[268]Al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.295-296. Kisahnya terdapat di dalam Kitab al-Ishabah  dan telah disebutkan di Bab 3 hlm.42 bahwa pernyataan ini diingkari oleh para sahabat bahwa Nabi menugaskan Abu Sufyan di Najran. Namun Abu Sufyan berada di Makkah ketika Nabi wafat dan yang ditugaskan (menjadi pemimpin perang) ketika itu adalah Amr bin Hazm.
[269]Ibid, hlm.298; Taqiyyudin Ahmad bin Ali  bin Abdul Qadir bin Muhammad al-Maqrizi, Imta’ al-Asma’ bima li al-Nabiyyi saw minal Ahwali wa al-Amwali al-Hafadati wa al-Mata’I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Juz.2, cet.ke-1, hlm.20-21
[270]Sa’ad al-Marshafi, Difa’ ‘an Hadits, hlm.29-30
[271]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.16, hlm.92
[272]Al-Zarkasyi, Nukat, Juz.1, hlm.290
[273]Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistan, Sunan Abi Daud,(Riyadh: t.pn, t.th), hlm.240
[274]Ibid
[275]Abi Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Mesir: Dar al-Haramain, 1997), Juz.2, cet.ke-1, hlm.261
[276]Abi Ubaidullah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Riyadh: Baitul Afkar, 1998), hlm. 2044
[277]al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak, Juz.4, hlm.102
[278]Al-Zailâ-I, Kitab Takhrij al-Atsar, Juz.2, hlm.945-948; al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak, Juz.4, hlm.105
[279]Muhammad bin Yusuf al-Shalihi al-Syami, Subulu al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad, (Kairo: Ihya’ al-Turats al-Islami, 1997), Juz. 12, hlm.101-102
[280]Syihabuddin, al-Ishabah fi al-Tamyiz, Juz.8, hlm.84-85; Muhammad bin Sa’ad bin Muni’ al-Zuhri, al-Thabaqah al-Kabir, (Kairo: Maktabah al-Khanaja, 2001), Juz.10, cet.ke-1, hlm.95-97; Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, Zaujatu al-Nabi Muhammad saw wa Asraru al-Hikmah fi Ta’addadihinna, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th), cet.ke-2, hlm.89-96; Muhammad Ali Qathab, Zaujatu al-Anbiya’ wa Ummahat al-Mu’minin, (Kairo: Dar al-Tsaqafiyyah, 2004), cet.ke-1, hlm. 171-176; ‘Amad al-Din Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Pakistan: Dar al-Hijr, 1997), cet.ke-1, Juz.6, hlm.144; Ibnu Balban, Shahih Ibnu Hibban, Juz.16, hlm.190 
[281]Syihab al-Din Abi al-Falah Abd al-Hay bin Ahmad bin Muhammad al’Akri al-Hanbali al-Dimasyqi, Syadzarârat al-Dzahab fi Akhbar man Dzahab, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1986), cet.ke-1, hlm.192-193
[282]Al-Zarkasyi, Nukat, Juz.1, hlm.290
[283]‘Izzuddin bin al-Atsir Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari,Asad al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), cet.ke-1, Juz.7, hlm.117
[284]al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.296-297
[285]Abi ath-Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud, Juz 6, hlm. 106
[286]Sa’ad al-Marshafi, Difa’ ‘an Hadits, hlm.17
[287]‘Amad al-Din, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz.11, hlm.190
[288]Al-Jauzi, Kasyfu al-Musykil, Juz 4, hlm. 428
[289]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.16, hlm.91-92
[290]Muhammad bin Ismail  al-Amir al-Husna al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th), Juz.1, hlm.128-129
[291]Abi Muhammad Abd Allah bin Muhammad bin Ja’far bin al-Ashbahani, Akhlaq al-Nabi wa Âdâbuhû, (Kairo: al-Dar al-Masriah al-Lubnaniah, 1993), cet.ke-2, hlm.51
[292]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.16, hlm.91-92
[293]Abi ath-Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud, Juz 6, hlm. 106-108
[294]Al-Adlabi, Manhaj Naqd, hlm.299
[295]Ibnu Katsir, al-Bidayah Juz.6, hlm.149
[296]Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, Juz.12, hlm.199
[297]Al-Shan’ani, Taudhih al-Ifkar, Juz.1, hlm.129
[298]Al-Nawawi, Syarah Muslim, Juz.10, hlm.39-40
[299]Muslim, Shahih Muslim,hlm.761
[300] Muhammad bin Ibrahim, Al-Awashim, Juz.3, hlm.93-94
[301]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, Vol.11, hlm.300-303
[302]‘Amad al-Din, Tafsir al-Qur’an, Juz.11, hlm.190-191
[303]Nabi tidak boleh menikah lagi sesudah mempunyai istri-istri sebanyak yang telah ada itu dan tidak boleh mengganti istri-istrinya yang telah ada dengan menikahi perempuan lain.
[304]‘Amad al-Din, Tafsir al-Qur’an, Juz.11, hlm.191
[305]Ibid,hlm.193
[306]al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.289
[307]Ibid, hlm.296-298

Tidak ada komentar:

Posting Komentar