BAB IV
PEMBAHASAN
STUDI KRITIK HADITS TENTANG KEUTAMAAN ABU SUFYAN R.A
DALAM KITAB SHAHIH MUSLIM (NOMOR 2501)
Pembahasan Hadits tentang “Keutamaan Abu
Sufyan R.A” diawali dengan didapatkannya satu riwayat pada kitab Shahih Muslim
nomor 2501, Haditsnya sebagai berikut:
حَدَّثَنِي
عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ
الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ
الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي
ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي
سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ:
عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي
سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ
كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى
أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ»
قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ
شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[132]132
Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abd
Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata: Telah
menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad Al-Yamami, Telah
menceritakan kepada kami ‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu
Al-Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin
tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian
Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga
permintaan”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai
seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu
Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau
menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai
juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda
mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana
dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail
berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW
tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu,
Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
A. Takhrij
Hadits
Adapun pencarian
Hadits dengan Takhrij Manual pada mashadir ashliyah menggunakan beberapa
kitab yaitu: al-Mu’jamul Fahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi karya A.J.
Wensink, Miftah al-Kunuz al-Sunnah karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Jami’
al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyir al-Nadzir karya al-Suyuthi, al-Fathul Kabir fi
Ziyadah ila al-Jami’ al-Shaghir karya al-Suyuthi, Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah
al-Athraf karya al-Mizi, al-Mu’jam al-Shaghir karya Thabrani, dan Ittihaf
al-Maharrah bi al-Fawaidh al-Mubtakarah min Athraf al-‘Asyarah karya Ibnu Hajar
al-Asqalani.
Dari hasil penelusuran
hanya ditemukan pada empat kitab yaitu dalam Kitab al-Mu’jamul Fahras li Alfazh
al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensink terdapat dalam beberapa kata:
Dari kata-kata diatas, riwayat haditsnya hanya terdapat
dalam kitab Shahih Muslim, Kitab Fadha-il al-Shahabah, hadits ke 168. Dalam Kitab
Miftah al-Kunuz al-Sunnah karya Muhammad Abdul Baqi
pada tema Abu Sufyan bin Harb dari huruf أ (alif) hanya disebutkan:
Riwayat haditsnya hanya terdapat dalam kitab Shahih Muslim,
Kitab ke 44, hadits ke 168. Dalam Kitab Tuhfah al-Asyraf pada Bab Musnad Abdullah
bin Abbas yaitu riwayat Simak bin Al-Walid Abu Zumail Al-Hanafi Al-Yamami dari
Ibnu Abbas, Hadits no.5674 menyebutkan:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي
سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ:
عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ...
Hadits ini hanya terdapat dalam riwayat
Imam Muslim pada Kitab Fadha-il al-Shahabah[137].
Terakhir, Kitab Ittihaful Maharrah dalam Musnad Abdullah bin Abbas, riwayat
Simak bin Al-Walid Al-Hanafi Abu Zumail, dari Ibnu Abbas, Hadits no.7714
disebutkan:
كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لا
يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ...
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Hibban pada bab al-Tsamin
min al-Tsalits dan Abi ‘Awanah pada Kitab al-Manaqib[138].
Namun setelah dalam pencarian Kitab Abi Awanah[139]
ini tidak ada Kitab al-Manaqib yang dimaksud, sehingga tidak diketemukan
Haditsnya.
Adapun Takhrij Digital yang
bersifat check recheck selanjutnya menggunakan CD program al-Maktabah
Syamilah adalah sebagai berikut: (1) klik icon
pada desktop, (2) kemudian klik
, (3) kemudian ketik kata لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ dan ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ
pada
, (4) klik
(5) kemudian klik
, (6) kemudian klik
(7) maka akan tampil:







(6) untuk mensortir
Hadits-hadits yang sesuai dengan pencarian, maka sorot pada hasil pencarian
satu persatu dan Hadits akan ditampilkan satu persatu diatasnya. Dari program CD al-Maktabah al-Syamilah,
maka diketahui mashadir ashliyahnya adalah: (1) Shahih Muslim karya
Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (2) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi
‘Ashim (3) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (4) al-Mu’jam al-Kabir
karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya
al-Lalika-I (6) al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi.
Adapun Takhrij Digital yang bersifat chek
recheck selanjutnya menggunakan CD program Jawami al-Kalim adalah
sebagai berikut: (1) klik icon
pada desktop (2) kemudian klik
(3)
kemudian ketik kata لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ dan ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ pada kolom
(4) kemudian klik
(5) maka akan tampil:





(6) untuk mensortir Hadits-hadits yang sesuai dengan
pencarian, maka sorot pada hasil pencarian satu persatu dan Hadits akan
ditampilkan satu persatu diatasnya.
Dari program CD Jawami al-Kalim
maka diketahui mashadir ashliyahnya
adalah: (1) Shahih Muslim karya Muslim bin Al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban
karya Muhammad bin Hibban (3) Al-Sunan al-Kubra karya Al-Baihaqi (4) al-Mu’jam
al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
karya al-Lalika-I (6) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
Berdasarkan dilalah diatas, maka rekapitulasi mashadir
ashliyah untuk Hadits yang dibahas adalah:
NO.
|
Dilalah/Tautsiq
|
Mashadir
Ashliyah
|
1.
|
al-Mu’jam
al-Fahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi
|
Shahih
Muslim
|
2.
|
Miftah
al-Kunuz al-Sunnah
|
Shahih
Muslim
|
3.
|
Tuhfah
al-Asyraf
|
Shahih
Muslim
|
4.
|
Ittihaf
al-Maharrah
|
Shahih
Muslim
|
5.
|
CD
Program al-Maktabah al-Syamilah
|
(1) Shahih Muslim karya Muslim bin
al-Hajjaj al-Naisaburi (2) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim (3)
Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (4) al-Mu’jam al-Kabir karya
al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya
al-Lalika-I (6)al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi.
|
6.
|
CD
Program Jawami al-Kalim
|
(1)
Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya
Muhammad bin Hibban (3) al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (4) al-Mu’jam
al-Kabir karya al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
|
Dengan
demikian, maka mashadir ashliyah yang mencantumkan Hadits yang sama atau
semakna dengan yang diteliti secara keseluruhan adalah: (1) Shahih Muslim karya
Muslim bin al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad bin Hibban (3)
al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (4) al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabari (5)
Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya al-Lalika-I (6) al-Ahad
wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim.
Adapun Hadits yang termaktub pada mashadir ashliyah
adalah sebagai berikut:
1.
Shahih Muslim
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ
الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا
النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ،
حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ،
فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ
أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ،
أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ:
وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ:
وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ
الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ
ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ،
لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ: «نَعَمْ»[140]140
Telah menceritakan kepadaku Abbas bin
Abd Al-Azhim Al-‘Ambari dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri, keduanya berkata:
Telah menceritakan kepada kami Al-Nadhr yaitu Ibnu Muhammad Al-Yamami, Telah menceritakan kepada kami
‘Ikrimah, Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Zumail, Telah menceritakan kepadaku
Ibnu Abbas yang berkata “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak
pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi
SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku tiga permintaan”. Nabi SAW menjawab
“Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan
paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku
ingin menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan
agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”.
Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi
orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW
menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal
tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Nabi
SAW dimintai sesuatu, Nabi SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
2. Shahih Ibnu Hibban
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الشَّرْقِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِيُّ، حَدَّثَنَا
النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو
زُمَيْلٍ سِمَاكٌ الْحَنَفِيُّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لا
يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ؟ قَالَ: وَمَا
هِيَ؟ قَالَ: عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ وَأَحْسَنُهَا أُمُّ حَبِيبَةَ
أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ
يَدَيْكَ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ
كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: نَعَمْ "[141]141
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Syarqi, Telah menceritakan
kepada kami Ahmad bin Yusuf al-Sulami, Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr
bin Muhammad, Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah bin Ammar, Telah
menceritakan kepada kami Abu Zumail Simak al-Hanafi, Dari Ibnu Abbas, Ia
berkata: “Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk
menyertainya. Kemudian Ia (Abu Sufyan) berkata: Ya Rasulullah, aku meminta
padamu untuk memberiku tiga permintaan. Nabi berkata: Apa itu? Abu Sufyan
menjawab: “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di
kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin
menikahkannya dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar
anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu
Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi
orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW
menjawab “Ya”.
3.
Sunan al-Kubra
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْبِرْتِيُّ، ثنا مُوسَى بْنُ مَسْعُودٍ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ. ح
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، أنبأ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ يَعْقُوبَ،
وَأَبُو عَمْرٍو الْفَقِيهُ قَالا: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا
الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ،
قَالا: ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا أَبُو
زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لا
يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ
لِلنَّبِيِّ ص: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ أُعْطِيتُهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ
"، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ، وَأَجْمَلُهُنَّ أُمُّ حَبِيبَةَ
بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ:
وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: " نَعَمْ "،
قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ،
قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلا أَنَّهُ طَلَبَ
ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ ص مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ
شَيْئًا إِلا قَالَ: نَعَمْ.[142]142
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Abd Allah al-Hafizh, Telah memberitakan kepada
kami Abu Abd Allah al-Shaffar, Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Muhammad al-Birti, Telah menceritakan kepada kami Musa bin Mas’ud, Telah
menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar(ح), Telah menceritakan kepada kami Abu Abd Allah, Telah
memberitakan kepada kami Abu Abd Allah bin Ya’kub, dan Abu Amr al-Faqih, Telah
berkata keduanya: Telah menceritakan kepada kami Abd Allah bin Muhammad, Telah
menceritakan kepada kami al-Abbas bin Abd al-Azhim al-Anbari, dan Ahmad bin
Yusuf, Telah berkata keduanya: Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin
Muhammad, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, Telah menceritakan
kepada kami Abu Zumail, Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, Ia berkata: “Kaum
muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya.
Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah berilah aku
tiga permintaan”. Nabi SAW menjawab
“Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan
paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku
ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan
agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”.
Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi
orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW
menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal
tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Nabi
SAW dimintai sesuatu, Nabi SAW tidak akan menjawab selain “ya”.
4. Al-Mu’jam al-Kabir
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَذُوعِيُّ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ
الْعَنْبَرِيُّ، ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُرَشِيُّ، ثنا عِكْرِمَةُ بْنُ
عَمَّارٍ، ثنا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ
النَّاسُ لا يَنْظُرُونَ
إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص:
ثَلاثٌ أُعْطِيكَهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ
الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا،
قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا
تَجْعَلُهُ بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي
أَنْ أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: "
نَعَمْ "[143]143
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I, Telah menceritakan
kepada kami al-Abbas bin Abd al-Azhim al-‘Anbari, Telah menceritakan kepada
kami al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi, Telah menceritakan kepada kami Ikrimah
bin Ammar, Telah menceritakan kepada kami Abu Zumail, Telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abbas, Ia berkata: Orang-orang tidak memandang Abu Sufyan dan
tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi
SAW “Berilah aku tiga permintaan”. Nabi menjawab: Ya. Abu Sufyan berkata:“Saya
mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang
Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”.
B Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai
juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda
mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana
dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”.
5.
Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
أنا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ،
أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ يُوسُفَ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
الْجُرْجَانِيُّ، قَالَ: نا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، عَنْ عِكْرِمَةَ
بْنِ عَمَّارٍ، نا أَبُو زُمَيْلٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لا
يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ
لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ " نَعَمْ "، قَالَ:
عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ: أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ
أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: مُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ
كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُمِدُّنِي
حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ:
" نَعَمْ "[144]144
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin
Abdan, Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ubaid bin Ismail, Ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismail bin Yusuf, Ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Abd al-Aziz al-Jurjani, Ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad al-Yamami, Dari Ikrimah bin
Ammar, Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zumail, Dari ibnu Abbas, Ia berkata: Kaum muslimin tidak memandang Abu
Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata
kepada Nabi SAW “Berilah aku tiga permintaan”. Nabi menjawab: Ya. Abu
Sufyan berkata:“Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik
di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya
dengan anda”. Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat
Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Nabi SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata
“Dan anda menolong saya sampai saya memerangi orang-orang kafir sebagaimana
dulu saya memerangi orang-orang islam”. Nabi SAW menjawab “Ya”.
6.
Al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim
حَدَّثَنَا
عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ، ثنا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عِكْرِمَةُ
بْنُ عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي زُمَيْلٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُونَ
لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ
لِلنَّبِيِّ ص: " ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
" عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي
سُفْيَانَ تَتَّخِذُهَا وَأُزَوِّجُكَهَا "، قَالَ: نَعَمْ، "
وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ "، قَالَ:
نَعَمْ.[145]145
Telah menceritakan kepada kami Abbas bin
Abd al-Azhim, Telah menceritakan kepada kami al-Nadhr bin Muhammad, Telah
menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, Dari Abi Zumail, Dari Ibnu Abbas
ra, Ia berkata: Kaum
muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya.
Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Berilah aku tiga permintaan”.
Nabi menjawab: Ya. Abu Sufyan berkata:“Saya mempunyai seorang putri yang paling
baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu
Sufyan, engkau menjadikannya istri dan aku ingin menikahkannya dengan anda”.
Nabi menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda menjadikan Muawiyah
sebagai juru tulis anda (sehingga) ia menulis dihadapan anda”. Nabi SAW
menjawab “Ya”.
B.
Kritik
Sanad Hadits
Setelah dilakukan kegiatan takhrij,
selanjutnya dilakukan penelitian terhadap sanad. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
1.
Langkah awal yang dilakukan adalah seluruh hadits dicatat dan dihimpun
untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar. Adapun sanad-sanad lain
sebagai penunjang dari kitab Muslim
adalah sebagai berikut:
a.
Shahih Muslim
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah (d) Nadhr (Ibnu Muhammad
al-Yamami) (e) Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri dan (f) Abbas bin Abdul Azhim
al-‘Anbari (g) Muslim bin al-Hajjaj.
b. Shahih Ibnu
Hibban
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail Simak al-Hanafi (c) Ikrimah bin Ammar (d)
Nadhr bin Muhammad (e) Ahmad bin Yusuf al-Sulami (f) Ahmad bin Muhammad
al-Syarqi (g) Ibnu Hibban.
c.
Al-Sunan
al-Kubra
(a) Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin
Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e) Ahmad bin Yusuf dan (f) Abbas bin Abdul Azhim
al-‘Anbari (g) Abdullah bin Muhammad (h) Abu ‘Amr al-Faqih dan Abu Abdullah bin
Ya’kub (i) Abu Abdullah (j) Musa bin Mas’ud (k) Ahmad bin Muhammad al-Birti (l)
Abu Abdullah al-Shaffar (m) Abu Abdullah al-Hafizh (n) al-Baihaqi.
d. Al-Mu’jam al-Kabir
(a)
Ibnu Abbas (b) Abu Zumail al-Hanafi (c) Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin
Muhammad al-Jurasyi (e) al-Abbas bin Abdul Azhim al-‘Anbari (f) Muhammad bin
Muhammad al-Jadzu’i (g) al-Tabrani.
e. Syarah Ushul I’tiqad Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah
(a)
Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e)
Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani (f) Muhammad bin Ismail bin Yusuf (g) Ahmad
bin Ubaid bin Ismail (h) Ali bin Ahmad bin Abdan (i) al-Lalika-i.
f. Al-Ahad wa al-Matsani
(a)
Ibnu Abbas (b) Abu Zumail (c) ‘Ikrimah bin Ammar (d) Nadhr bin Muhammad (e)
Abbas bin Abd al-Azhim (f) Ibnu Ashim.
2. Langkah kedua adalah
meneliti pribadi periwayat: para ulama Hadits memfokuskan pada 5 syarat untuk
meneliti sanad Hadits yaitu: (a) Sanad bersambung (b) Perawi bersifat ‘adil
(c) Perawi bersifat dhabith (d) Terhindar dari kejanggalan (syudzudz)
(e) Terhindar dari cacat (‘illat).
Adapun biografi rawi-rawinya adalah sebagai berikut:
a. Ibnu Abbas
Nama rawi: Abdullah bin Abbas bin Abdullah al-Muthalib bin Hasyim bin Abdu
Manaf, Nama popular: Abdullah bin al-Abbas al-Qurasyi, Kunyah: Abu al-Abbas
Al-Madani, Gelar: al-Hibru, al-Bahru, Rutbah: Shahabat, Thabaqah: Pertama,
Tahun lahir: Tiga tahun sebelum hijrah, Tahun wafat: 68H, Tempat wafat: Thaif,
Tempat tinggal: Madinah, Nama kerabat: Nabi SAW, Diriwayatkan oleh: Al-Jama’ah.
Gurunya ada 34 orang, salah satunya
adalah Nabi SAW dan muridnya lebih dari 50 orang diantaranya adalah Abu Zumail
Simak bin al-Walid al-Hanafi[146].
b. Abu Zumail
Nama
rawi: Simak bin al-Walid, Nama populer: Simak bin al-Walid al-Hanafi, Kunyah:
Abu Zumail Al-Hanafi, Rutbah: Menurut Ibnu Hatim: Shaduq, Ibnu Hajar: Laisa
bihi ba’sun. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah[147],
Thabaqah: Tiga, Tempat tinggal: Kufah, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Nasa-I. Gurunya ada empat orang, salah
satunya adalah Abdullah bin Abbas dan salah satu muridnya ada tujuh orang,
salah satunya adalah Ikrimah bin Ammar al-Yamami[148].
c. ‘Ikrimah
Nama
rawi: Ikrimah bin Ammar bin Uqbah bin Habib bin Syihab bin Dzabab bin al-Harits,
Nama popular: Ikrimah bin Ammar al-‘Ajli, Kunyah: Abu Ammar Al-Yamami, Rutbah: Menurut
Ibnu Hajar: Shaduq Yughlatha[149],
dan dalam riwayat Yahya bin Katsir mudhtharib. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah
kecuali pada riwayat Yahya bin Katsir mudhtharib sebagaimana yang dikatakan
Bukhari dan menurut Al-Hakim: Imam Muslim paling banyak menyebutkannya untuk
memperkuat haditsnya (dijadikan sebagai syawahid)[150],
Abi Hatim: Terkadang wahm dan tadlis
pada haditsnya. Tahun wafat: 160H,
Tempat wafat: Baghdad, Thabaqah: Lima (Shighar Tabi’in), Diriwayatkan oleh:
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Nasa-I. Ada 29 guru, di
antaranya adalah Abu Zumail Simak bin al-Walid al-Hanafi dan ada 47 murid salah
satu muridnya adalah al-Nadhr bin Muhammad al-Jurasyi[151].
d.
Nadhr
bin Muhammad
Nama
rawi: Nadhr bin Muhammad bin Musa, Nama populer: al-Nadhr bin Muhammad
al-Jurasyi, Kunyah: Abu Muhammad Al-Yamami, Gelar: Shahib Ikrimah, Rutbah: Menurut
Ibnu Hajar: Tsiqah lahu Ifrad. Menurut Al-Dzahabi: Tsiqah[152],
Thabaqah: Sembilan, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah. Gurunya ada lima orang, di antara gurunya adalah Ikrimah bin Ammar
al-Yamami dan ada 13 murid, di antara muridnya adalah Ahmad bin Ja’far
al-Ma’qiri, Ahmad bin Yusuf al-Sulami, al-Abbas bin Abd al-Azhim al-‘Anbari,
dan Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Bawardi[153].
e. Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiri
Nama
rawi: Ahmad bin Ja’far, Nama populer: Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri, Kunyah: Abu
al-Hasan, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Maqbul, Tahun wafat: 255H, Thabaqah: 11,
Diriwayatkan oleh: Muslim. Memiliki dua guru, salah satunya adalah al-Nadhr bin
Muhammad al-Jurasyi dan memiliki enam murid, salah satunya adalah Muslim[154].
f. Abbas bin Abdul
Azhim Al-Anbari
Nama
rawi: Abbas bin Abdul Azhim bin Ismail bin Taubah bin Abi al-Rasyid, Nama
popular: al-Abbas bin Abdul Azhim al-’Anbiri, Kunyah: Abu al-Fadhl Al-Bashri,
Gelar: Ibnu Abi Rasyid, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah, Hafizh, Tahun
wafat: 246H (tahun ke-40), Thabaqah: 11 (Kibar), Diriwayatkan oleh: Bukhari
Muslim. Memiliki 43 guru, di antara gurunya adalah al-Nadhr bin Muhammad
al-Jurasyi dan memiliki 20 murid, di antara muridnya adalah Muhammad bin
Muhammad al-Jadzu’I dan Abu Bakar Ahmad bin Amr Abi ‘Ashim al-Nabil[155].
g. Muslim bin Al-Hajjaj
Nama
rawi: Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, Nama popular: Muslim bin al-Hajjaj
al-Qusyairi, Kunyah: Abu al-Husain Al-Naisaburi, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar:
Tsiqah, Hafizh, Imam, Mushannif, ‘Alim bi al-Fiqh, Tahun wafat: 261H (tahun
ke-61, umurnya 57 tahun), Tempat tinggal: Ray, Thabaqah: 11. Memiliki lebih
dari 50 guru, di antara gurunya adalah Ahmad bin Ja’far al-Ma’qiri dan Abbas
bin Abdul Azhim al-Anbari dan memiliki 34 murid[156].
h. Ahmad bin Yusuf Al-Sulami
Nama
rawi: Ahmad bin Yusuf bin Khalid bin Salim bin Zawiyah Al-Azdi Al-Muhallabi,
Nama popular: Ahmad bin Yusuf al-Azdi, Kunyah: Abu al-Hasan Al-Naisaburi,
Gelar: Hamdan, dia adalah kakek Abi Amr Ismail bin Najid bin Ahmad bin Yusuf
Al-Sulami Al-Sufi, Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Hafizh, Tsiqah, Tahun lahir: 184,
Tahun wafat: 264 (tahun ke-64, umurnya 80 tahun), Thabaqah: 11, Diriwayatkan
oleh:Muslim. Memiliki 53 guru, di antara gurunya adalah al-Nadhr bin Muhammad
al-Jurasyi al-Yamami dan memiliki 30 murid, di antaranya adalah Abu Hamid Ahmad
bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Syarqi[157].
i.
Ahmad
bin Muhammad Al-Syarqi
Nama
rawi: Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan bin al-Syarqi, Nama popular: Ahmad bin Muhammad
al-Naisaburi, Kunyah: Abu Hamid Al-Syarqi, Gelar: Ibnu al-Syarqi. Rutbah:
Menurut Al-Daruquthni: Tsiqah Ma’mun, Menurut Al-Dzahabi: Imam yang terkenal
kehujjahannya[158].
Tahun lahir: 240H, Tahun wafat: 325H, Thabaqah: 13. Di antara gurunya adalah
Ahmad bin Yusuf al-Azdi dan diantara muridnya adalah Abu Hatim (Ibnu Hibban
al-Busti)[159].
j.
Ibnu
Hibban
Nama
rawi: Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id
bin Syahid, dikatakan: Ibnu Ma’bad bin Hudbah bin Marrah-bin Sa’ad bin Yazid
bin Marrah bin Yazid bin Abdullah bin Darim bin Malik bin Hanzhalah bin Malik
bin Zayyid bin Manah bin Tamim bin Marra bin Add Ibn Thabikhah bin Ilyas bin
Madhar bin Nazar bin Ma’addi bin ‘Adnan Abu Hatim Al-Tamimi Al-Busti[160].
Nama popular: Ibnu Hibban al-Busti, Kunyah: Abu Hatim, Rutbah: Ra’su fi
Ma’rifah al-Hadits (menguasai tentang pengetahuan Hadits), Tahun wafat: 354H[161],
Tsiqah menurut Al-Khatib Al-Baghdadi, Abd Al-Ghani bin Sa’id, Al-Hakim, Ibnu
Makula dan selain mereka[162].
Tempat tinggal: Syam, Tempat wafat: Busti, Thabaqah: 15.
k. Abdullah bin Muhammad
Nama
rawi: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin
Syirawaih bin Asad A’yun bin Rakanah, Nama popular: Abdullah bin
Muhammad al-Naisaburi, Kunyah: Abu Muhammad, Rutbah: Tsiqah, Tahun lahir: 213,
Tahun wafat: 305, Nasab: al-Qurasyi, al-Naisaburi, al-Muthlabi, al-Azdi,
Thabaqah: 13. Diantara gurunya adalah Ahmad bin Yusuf al-Azdi dan diantara
muridnya adalah Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan [163].
l.
Abu
‘Amr Al-Faqih
Nama
rawi: Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali bin Abdullah bin Sinan, Nama
popular: Muhammad bin Abi Ja’far al-Nahwi, Kunyah: Abu Amr Al-Hairi
Al-Naisaburi, Gelar: Ibnu Abi Ja’far, al-Zahid, Rutbah: Tsiqah. Menurut
Al-Subki: Al-Muhaddits, Al-Faqih, Para ulama memiliki haditsnya yang tinggi[164].
Tahun wafat: 376H[165].
Diantara gurunya adalah Abdullah bin Muhammad al-Naisaburi dan diantara muridnya
adalah al-Hakim Abu Abdullah[166].
Menurut Ibnu Thahir: Dia bermazhab syi’ah[167].
m. Abu Abdullah bin Ya’kub
Nama
rawi: Muhammad bin Ya’kub bin Muhammad bin Yusuf bin al-Akhram, Nama popular:
Muhammad bin Ya’kub al-Syaibani, Kunyah: Abu Abdullah, Gelar: Ibnu al-Kirmani,
Rutbah: Tsiqah, Hafizh, al-‘Adl. Tahun wafat: 344[168].
Menurut Al-Dzahabi: Dia adalah Al Imam, al-Hujjah, al-Muttaqin, al-Hafizh.
Menurut Abu Abdullah Al-Hakim: Dia muncul sebagai Ahli Hadits di Negeri kami
setelah Ibnu Al-Syarqi, dia hafal dan faham akan hadits. Tahun lahir: 205H.
Diantara gurunya adalah Abdullah bin Muhammad al-Naisaburi dan diantara
muridnya adalah Abu Abdullah al-Hakim[169].
n. Abu Abdullah (al-Hafizh)
Nama
rawi: Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiyah bin Nu’aim bin al-Hukm Al-Dhabi
Al-Thahmani Al-Naisaburi, Nama popular: al-Hakim al-Naisaburi, Kunyah: Abu Abdullah,
Gelar: al-Hakim, Ibnu al-Bai’, Ibnu Hamdawiyah. Abu Abdullah adalah di antara
senior penghafal dan penyusun hadits. Lahir dan wafat di Naisabur. Dia di
antara para ulama yang paling mengetahui tentang keshahihan hadits dan
perbedaannya dengan hadits yang dha’if. Ibnu ‘Asakir berpendapat: Pada karyanya
terdapat kitab yang dipelajari dihadapan para ulama sampai 1500 juz[170].
Rutbah: Tsiqah, Hafidz. Tahun lahir: 321, Tahun wafat: 405, Mazhab: Safi’iyyah,
Asya’irah, Thabaqah: 17. Diantara gurunya adalah Muhammad bin Ya’kub
al-Syaibani, Muhammad bin Abi ja’far al-Nahwi, Muhammad bin Abdullah al-Shaffar
dan diantara muridnya adalah Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin al-Husain Al-Baihaqi [171].
o. Al-Baihaqi
Nama
rawi: Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdullah bin Musa, Nama popular: Ahmad
bin al-Husain al-Naisaburi Al-Khusrawjidi, Kunyah: Abu Bakar, Rutbah: Tsiqah,
Hafizh. Tempat tinggal: Baihaq, Tahun lahir: 384H Tahun wafat: 458H, Tempat
wafat: Naisabur, Mazhab: Syafi’iyyah, Thabaqah:19. Karya kitabnya ada yang
sampai 1000 juz. Gurunya lebih dari seratus orang, di antaranya adalah Abu Abdullah
al-Hakim[172].
p. Musa bin Mas’ud
Nama
rawi: Musa bin Mas’ud, Nama popular: Musa bin Mas’ud al-Hindi, Kunyah: Abu
Khudzaifah Al-Bashri[173],
Rutbah: Menurut Ibnu Hajar: Shaduq, Su-ul Hifzhi, dan dia suka melakukan
perubahan titik suatu kata, tapi bentuk tulisannya tidak berubah (mushahhaf).
Menurut Al-Dzahabi: Shaduq dan dia melakukan mushahhaf. Tahun lahir: 128H,
Tahun wafat: 220H, Thabaqah: Sembilan, Diriwayatkan oleh: Bukhari, Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah. Diantara gurunya adalah Ikrimah bin Ammar al-Yamami[174]
dan diantara muridnya adalah Ahmad bin Muhammad al-Birti. Menurut Al-Mawardzi:
Abu Abdullah berkata: Abu Khudzaifah yang di Bashrah adalah di antara mayoritas
ulama yang keliru/salah (khatha’). Abu Bakar Al-Atsram berpendapat: Aku
bertanya kepada Abu Abdullah yaitu Ahmad bin Hanbal: Bukankah Abu Khudzaifah di
antara para ulama yang shaduq? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya, dia di
antara sebaik-baiknya ulama yang shaduq. Al-Ajari berkata: Aku mendengar
Abu Daud berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Aku mencatat sepuluh
hadits dari Ibnu Katsir, maka didahulukannya hadits Abi Khudzaifah[175].
q. Ahmad bin Muhammad Al-Birti
Nama
rawi: Ahmad bin Muhammad bin Isa bin al-Azhar, Nama popular: Ahmad bin Muhammad
al-Birt, Kunyah: Abu al-Abbas, Rutbah: Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi: Tsiqah,
Tsabat, Hujjah, dia disebut orang yang shaleh dan ahli ibadah. Tahun wafat: 280H,
Tempat wafat: Baghdad, Mazhab: Hanafiyah, Thabaqah: 12. Diantara gurunya adalah
Musa bin Mas’ud al-Hindi dan diantara muridnya adalah Muhammad bin Abdullah
al-Shaffar[176].
r. Abu Abdullah al-Shaffar
Nama
rawi: Muhammad bin Abdullah bin Ahmad, Nama popular: Muhammad bin Abdullah
Al-Ashbahani al-Shaffar, Kunyah: Abu Abdullah, Gelar: al-Zahid, Rutbah: Tsiqah.
Al-Hakim berpendapat: Dia seorang muhaddits dan diijabah do’anya. Tahun wafat:
339H, Thabaqah: 14. Di antara muridnya adalah Abu Abdullah al-Hakim[177].
s. Muhammad bin Muhammad Al-Jadzu’i
Nama
rawi: Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Syadad, Nama populer: Muhammad bin
Muhammad al-Jadzu’I, Kunyah: Abu Abdullah Al-Anshari Al-Qadhi, Rutbah: Menurut
A-Khathib: Tsiqah. Al-Khathib juga menyebutkan kisahnya sampai selesai dan
kisah tersebut dapat dipercaya/autentik, kisahnya terdapat dalam kitab Amâli
karya Nashr Al-Maqdisi. Al-Jadzu’I juga disifati sebagai orang yang
berhati-hati dalam menetapkan hukum[178].
Tahun wafat: 291H, Tempat wafat: Baghdad, Thabaqah: 12[179].
Diantara gurunya adalah al-Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari dan diantara
muridnya adalah Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani.
t.
Al-Thabrani
Nama
rawi: Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir, Nama popular: Sulaiman bin Ahmad
al-Thabrani, Kunyah: Abu al-Qasim, Rutbah: Menurut Al-Dzahabi: Hafizh, Tsabit,
Tsiqah[180].
Menurut Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani: Tsiqah Hafizh[181].
Gelar: Ibnu Abi Dzar, Tempat tinggal: Ashbahan. Tahun wafat: 360H, Mazhab:
Hanabilah, Thabaqah: 15[182].
Tahun lahir: 260H. menurut Ibnu ‘Asakir: Dia adalah salah seorang penghafal
hadits dan ulama yang suka melakukan rihlah mencari ilmu[183].
Diantara gurunya adalah Muhammad bin Muhammad al-Jadzu’I.
u. Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jurjani
Nama
rawi: Muhammad bin Abdul Aziz, Nama popular: Muhammad bin Abdul Aziz
al-Jurjani, Kunyah: Abu al-Faraj[184],
Rutbah: Majhul Hal, Mazhab: Sufi. Diantara gurunya adalah Nadhr bin Muhammad
dan diantara muridnya adalah Muhammad bin Ismail al-Sulami.
v. Muhammad bin Isma’il bin Yusuf
Nama
rawi: Muhammad bin Ismail bin Yusuf, Nama popular: Muhammad bin Ismail
al-Sulami Al-Tirmidzi, Kunyah: Abu Ismail[185],
Rutbah: Tsiqah, Hafidz. Tahun wafat: 280, Tempat wafat: Baghdad[186].
Menurut Al-Nasa-i: Tsiqah[187].
Thabaqah: 11. Diantara gurunya adalah Muhammad bin Abdul Aziz al-Jurjani dan
diantara muridnya adalah Ahmad bin Ubaid al-Shaffar.
w. Ahmad bin Ubaid bin Isma’il
Nama
rawi: Ahmad bin Ubaid bin Ismail, Nama popular: Ahmad bin Ubaid al-Shaffar,
Kunyah: Abu al-Hasan, Rutbah: Menurut Al-Dzahabi dan Al-Baghdadi:Tsiqah, Tsabit[188].
Tahun wafat: 345, Thabaqah: 14[189].
Memiliki 18 guru, di antara gurunya adalah Muhammad bin Ismail al-Tirmidzi[190]
dan diantara muridnya adalah Ali bin Ahmad al-Syairazi.
x. Ali bin Ahmad bin Abdan
Nama
rawi: Ali bin Ahmad bin Abdan bin Muhammad bin al-Faraj bin Sa’id, Nama
populer: Ali bin Ahmad al-Syairaji, Kunyah: Abu al-Hasan, Gelar: Ibnu Abdan,
Rutbah: Menurut Al-Baghdadi: Tsiqah, Tahun wafat: 415H, Tempat wafat: Naisabur,
Thabaqah: 17. Memiliki 6 guru, di antara gurunya adalah Ahmad bin Ubaid
al-Shaffar[191] dan
diantara muridnya adalah al-Lalika-i.
y. Al-Lalika-i
Nama
rawi: Hibbatullah bin al-Hasan bin Manshur, Nama popular: Hibbatullah bin
al-Hasan al-Razi, Kunyah: Abu al-Qasim, Gelar: Al-Lalika-I, Rutbah:Tsiqah, Muhaddits,
Tempat tinggal: Ray, Tahun wafat: 408H, Tempat wafat: Dinur, Mazhab:
Syafi’iyyah, Thabaqah: 17. Diantara gurunya adalah Ali bin Ahmad al-Syairazi
(Abu al-Hasan[192]).
z. Abi ‘Ashim
Nama
rawi: Ahmad bin Amr bin al-Dhahak bin Mukhallid bin Muslim bin Rafi’ bin Raqi’
bin Dzahl bin Syaiban, Nama popular: Ahmad bin Amr al-Syaibani, Kunyah: Abu
Bakar, Gelar: Ibnu Abi ‘Ashim, al-Nabil. Al-Zahid. Al-Nasik. Rutbah: Menurut
Ibnu Hajar:Tsiqah. Menurut anaknya Abu Bakar bin Abi Ashim: Ayahnya wafat tahun
242H[193].
Tempat tinggal: Ashbahan, Tempat wafat: Ashbahan, Mazhab: Zhahiriyyah,
Thabaqah: 12. Diantara gurunya adalah al-Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari.
Setelah
meneliti biografi dari masing-masing rawi, maka kesimpulan daftar rawi sanad
untuk menunjukan lahir/wafat, derajat, Jarah ta’dil, dan thabaqah rawi
sebagai berikut:
No
|
Kunyah
|
Laqab
|
Nama Rawi
|
Lahir dan Wafat
|
T
|
Derajat
|
1.
|
Abu Al-Abbas Al-Madani
|
Al-Hibru, Al-Bahru
|
Abdullah bin Abbas bin Abdullah
al-Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf
|
Wafat:68H
|
1
|
Shahabah
|
2.
|
Abu Zumail
|
|
Simak bin al-Walid
|
|
3
|
Shaduq, Laisa bihi ba’sun, Tsiqah
|
3.
|
Abu Ammar Al-Yamami
|
|
Ikrimah
bin Ammar bin Uqbah bin Habib bin Syihab bin Dzabab bin al-Harits
|
Wafat:160H
|
5
|
Tsiqah, Shaduq, Yughlath,
Wahm, Tadlis
|
4.
|
Abu Muhammad Al-Yamami
|
Shahib Ikrimah
|
Nadhr
bin Muhammad bin Musa
|
|
9
|
Tsiqah lahu Ifrad
|
5.
|
Abu Al-Hasan
|
|
Ahmad
bin Ja’far
|
Wafat:255H
|
11
|
Maqbul
|
6.
|
Abu Al-Fadhl Al-Bashri
|
Ibnu Abi Rasyid
|
Abbas bin Abdul Azhim bin Ismail bin
Taubah bin Abi al-Rasyid
|
Wafat:246H
|
11
|
Tsiqah, Hafizh
|
7.
|
Abu Al-Husain Al-Naisa
buri
|
|
Muslim
bin al-Hajjaj bin Muslim
|
Wafat:261H
|
11
|
Tsiqah, Hafizh
|
8.
|
Abu Al-Hasan Al-Naisa
buri
|
Ham
dan
|
Ahmad
bin Yusuf bin Khalid bin Salim bin Zawiyah Al-Azdi Al-Muhallabi
|
Lahir:184H
Wafat:264H
|
11
|
Tsiqah, Hafizh
|
9.
|
Abu Hamid Al-Syarqi
|
Ibnu Al-Syarqi
|
Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan bin
al-Syarqi
|
Lahir:240H
Wafat:325H
|
13
|
Tsiqah, Ma’mun
|
10
|
Abu Hatim
|
|
Muhammad
bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id bin Syahid
|
Wafat:354H
|
15
|
Ra’su fi Ma’rifah al-Hadits
|
11
|
Abu Muhammad
|
|
Abdullah bin Muhammad bin Abd
al-Rahman bin Syirawaih bin Asad A’yun
bin Rakanah
|
Lahir:231H
Wafat:305H
|
13
|
Tsiqah
|
12
|
Abu
Amr Al-Hairi Al-Naisa
buri
|
Ibnu Abi Ja’far Al-Zahid
|
Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali
bin Abdullah bin Sinan
|
Lahir:283H
Wafat:376H
|
15
|
Tsiqah, al-Faqih, Syi’ah
|
13
|
Abu Abdullah
|
Ibnu Al-Kirmani
|
Muhammad bin Ya’kub bin Muhammad bin
Yusuf bin al-Akhram
|
Lahir:205H
Wafat:344H
|
14
|
Tsiqah, Hafizh, Al-‘Adl. Al-Hujjah
|
14
|
Abu Abdullah
|
Al-Hakim, Ibnu Al-Ba’I, Ibnu
Hamdawiyah
|
Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiyah
bin Nu’aim bin al-Hukm Al-Dhabi Al-Thahmani Al-Naisaburi
|
Lahir:321H
Wafat:405H
|
17
|
Tsiqah, Hafizh,
|
15
|
Abu Bakar
|
|
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdullah
bin Musa (Al-Baihaqi)
|
Lahir:384H
Wafat:458H
|
19
|
Tsiqah, Hafizh
|
16
|
Abu Khudzaifah Al-Bashri
|
|
Musa bin Mas’ud
|
Lahir:128H
Wafat:220H
|
9
|
Shaduq, Su-ul hifzhi, rawi
yang mushahhaf, khatha’
|
17
|
Abu Al-Abbas
|
|
Ahmad bin Muhammad bin Isa bin
al-Azhar Al-Birti
|
Wafat:280H
|
12
|
Tsiqah, Tsabat, Hujjah
|
18
|
Abu Abdullah
|
Al-Zahid
|
Muhammad bin Abdullah bin Ahmad
Al-Shaffar
|
Wafat:339H
|
14
|
Tsiqah
|
19
|
Abu Abdullah Al-Anshari Al-Qadhi
|
|
Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin
Syadad Al-Jadzu’i
|
Wafat:291H
|
12
|
Tsiqah
|
20
|
Abu Al-Qasim
|
|
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin
Mathr Al-Tabrani
|
Lahir:260H
Wafat:360H
|
15
|
Hafizh, Tsabat, Tsiqah
|
21
|
Abu Al-Faraj
|
|
Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jurjani
|
|
|
Majhul Hal
|
22
|
Abu Ismail
|
|
Muhammad bin Ismail bin Yusuf
|
Wafat:280H
|
11
|
Tsiqah, Hafizh
|
23
|
Abu Al-Hasan
|
|
Ahmad bin Ubaid bin Ismail
|
Wafat:345H
|
14
|
Tsiqah, Tsabat
|
24
|
Abu Al-Hasan
|
Ibnu Abdan
|
Ali bin Ahmad bin Abdan bin Muhammad
bin al-Faraj bin Sa’id
|
Wafat:415H
|
17
|
Tsiqah
|
25
|
Abu Al-Qasim
|
Al-Lalika’i
|
Hibbatullah bin al-Hasan bin Manshur
|
Wafat:408H
|
17
|
Tsiqah
|
26
|
Abu Bakar
|
Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Nabil, Al-Zahid,
Al-Nasik
|
Ahmad bin Amr bin al-Dhahak bin
Mukhallid bin Muslim bin Rafi’ bin Raqi’ bin Dzahl bin Syaiban
|
Wafat:242H
|
12
|
Tsiqah
|
Skema Sanad Hadits

Hadits
di atas pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas
sendiri, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh Abu Zumail sendiri, dan
pada thabaqah ketiga juga hanya diriwayatkan oleh Ikrimah sendiri. Lalu dari
Ikrimah ini, Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang rawi yaitu Nadhr bin
Muhammad dan Musa bin Mas’ud. Namun Musa bin Mas’ud hanya diriwayatkan oleh
satu orang saja begitu seterusnya, sedangkan Nadhr bin Muhammad diriwayatkan
oleh banyak rawi lainnya. Maka berdasarkan jumlah rawinya, Hadits Keutamaan Abu
Sufyan ini adalah Hadits Ahad, karena rawi pada thabaqah tidak memenuhi
syarat Mutawatir yakni empat rawi atau lebih pada setiap thabaqah[194]
atau sahabat yang menyampaikan informasi Hadits ini hanya satu orang yaitu Ibnu
Abbas.
Berdasarkan
bentuk matannya, Hadits ini adalah Hadits Qauli, karena berisi informasi perkataan Ibnu Abbas yang
menyebutkan secara lengkap dialog (bahasa percakapan) antara Nabi SAW dan Abu
Sufyan (Sahabat). Dari segi penisbatan, Hadits ini termasuk Hadits Marfu’
karena nisbah kepada Nabi SAW.
Adapun berdasarkan persambungan sanadnya, Hadits ini adalah Hadits Muttasil
karena para perawi dalam sanad ini, antara guru dan murid terjadi pertemuan (liqa’).
Begitu juga dari keadaan sanadnya, lafazh-lafazh yang digunakan untuk
meriwayatkan Hadits adalah shighat tahdits (haddatsana, haddatsani)
dan ikhbar (akhbarana,akhbarani) yang lebih meyakinkan bahwa
rawi-rawinya mendengar sendiri dari guru yang memberikan riwayatnya. Namun
terdapat perbedaan di antara keduanya, Lafazh haddatsana itu untuk rawi
yang mendengar langsung dari sang guru, sedangkan akhbarana untuk rawi
yang membaca atau menghafal Hadits di hadapan gurunya[195].
Dilihat dari i’tibar (mendapatkan informasi dan petunjuk dari
literatur kitab/ diwan yang asli yaitu Mushannaf, Musnad, Sunan, Shahih) Hadits
ini, dengan mengetahui diwan yang mengoleksi suatu Hadits, kita dapat
mengetahui kualitas Haditsnya. Sebab menurut ulama Muhadditsin disepakati jenis
kitab Hadits menunjukan kualitas Hadits tertentu. Begitu juga, Hadits tentang
Keutamaan Abu Sufyan ini dimuat dalam enam mashadir ashliyyah yaitu: (1)
Shahih Muslim karya Muslim bin Al-Hajjaj (2) Shahih Ibnu Hibban karya Muhammad
bin Hibban (3) Al-Sunan al-Kubra karya Al-Baihaqi (4) Al-Mu’jam al-Kabir karya
al-Thabari (5) Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karya
al-Lalika-I (6) Al-Ahad wa al-Matsani karya Ibnu Abi ‘Ashim. Di antara enam mashadir
ashliyyah tersebut, Hadits ini dimuat dalam Kitab Muslim dan Ibnu Hibban
yang diklasifikasikan sebagai Kitab Shahih.
3. Langkah ketiga
adalah Jarh dan Ta’dil
Berdasarkan
Jarh (orang yang menilai jelek) dan Ta’dil (orang yang menilai baik) nya,
rawi-rawi Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini banyak yang menta’dil, namun ada
beberapa rawi yang di dijarh seperti Ikrimah dijarh “Shaduq yughlatha”,
terkadang wahm dan terkadang tadlis”, Musa bin Mas’ud dijarh
“Shaduq Su-ul Hifzhi dan khatha’”, Muhammad bin Abdul ‘Azhim dijarh
“Majhul Hal”, dan Ahlu al-Bid’ah yaitu Abu Amr al-Faqih yang bermazhab
“Syi’ah”. Adapun Dirasah Tahliliyyah[196] untuk
biografi Ikrimah adalah sebagai berikut:
a.
Ikrimah bin
Ammar:
1)
Dirasah
Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mutasyaddid:
a)
Yahya bin
Ma’in
Pertama, Abu Hatim berkata, dari Yahya bin Ma’in: Ia seorang yang
ummi, namun Hafizh.
Kedua, Mu’awiyah bin Shalih berkata dari Yahya bin Ma’in:
Tsiqat.
Ketiga, al-Ghulabi berkata dari Yahya bin Ma’in: Tsabit.
Keempat, Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata dari Yahya bin
Ma’in: Shaduq, Laisa bihi B’tsun.
Kelima, Utsman bin Sa’id al-Darimi berkata, “Aku bertanya kepada
Yahya bin Ma’in bahwa siapa yang lebih kau sukai diantara Ayub bin Uqbah atau
Ikrimah bin Amr? Yahya bin Ma’in menjawab, Aku lebih suka Ikrimah, sedangkan
Ayub itu dha’if”[197].
Keenam, Zakaria bin Yahya Al-Saji: Shaduq, ia meriwayatkan dari
Syu’bah, Tsauri, dan Yahya bin Al-Qathan. Adapun Yahya bin Ma’in juga Ahmad bin
Hambal menilainya tsiqat. Kecuali Yahya bin Al-Qathan mendha’ifkannya dari
Hadits-hadits dari Yahya bin Abi Katsir[198].
b)
Abi Hatim
Abu Hatim berkata, “Shaduq. Terkadang wahm
dan tadlis pada haditsnya, dan haditsnya dari Yahya bin Abi Katsir
adalah sebagian dari keghalatan-keghalatan”[199].
d)
Syu’bah,
al-Tsauri dan Yahya bin al-Qathan
Zakaria bin Yahya Al-Saji berkata:
Shaduq, ia meriwayatkan dari Syu’bah, Tsauri, dan Yahya bin Al-Qathan[201].
2)
Dirasah
Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mu’tadilin:
a)
Ali
al-Madini
Pertama, Abdullah bin Ali bin al-Madini berkata pada tempat yang
lain, “Yahya mendha’ifkan riwayat para rawi di Yamamah, seperti Ikrimah bin
Ammar dan selainnya”.
Kedua, Abdullah bin Ali bin al-Madini berkata dari ayahnya,
“Hadits-hadits Ikrimah dari Yahya bin Katsir dari Yahya bin Abi Katsir bukanlah
pada hal itu, namun hadits-haditsnya munkar. Yang mana Yahya bin Sa’id
mendha’ifkan riwayat dari kedua rawi itu”. Abdullah bin Ali bin al-Madini
berkata pada tempat lain, “Yahya mendha’ifkan riwayat-riwayat penduduk Yamamah
seperti Ikrimah bin Ammar dan yang semisalnya[202].
Ketiga, Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah berkata,
dari Ali bin Al-Madini: Menurut para sahabat kami, Ikrimah bin Ammar itu tsabit
dan tsiqat[203].
b)
Ahmad bin
Hambal
Pertama, Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata dari ayahnya, “Haditsnya
shalih dari Iyas bin Abi Salamah. Haditsnya mudhtharib dari Yahya bin
Abi Katsir, sehingga Haditsnya dha’if[204] Imam
Ahmad juga mengatakan, “Hadits ini dha’if, karena Imam Bukhari tidak
meriwayatkannya. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya, karena Yahya bin Ma’in
menilai Ikrimah tsiqah ”[205].
Kedua, Abu Zur’ah Al-Dimasyqi berkata, “Aku mendengar Ahmad bin
Ahmad mendha’ifkan riwayat Ayub bin ‘Utbah dan Ikrimah bin ‘Ammar dari Yahya
bin Katsir. Abu Zur’ah berkata lagi: Ikrimah adalah diantara para rawi yang
paling tsiqat[206].
Ketiga, Abu Ubaid Al-Ajari berkata, “Aku bertanya kepada Abu Daud
tentang Ikrimah. Abu Daud menjawab: Ia adalah seorang yang Tsiqat. Dan
Haditsnya pada Yahya bin Abi Katsir itu mudhtharib”. Sedangkan Ahmad bin Hambal
memilih Mulazim bin Amr.
Abu Ubaid berkata pada tempat yang
lain, “Aku bertanya kepada Abu Daud tentang sahabat Yahya bin Katsir, Aku
memberitahukan: Siapa rawi yang paling tinggi menurut Yahya? Maka Yahya
menjawab: Hisyam al-Dastu-I dan al-Auza-‘I. Aku bertanya lagi: Apakah Ma’mar?
Bukan. Apakah Ikrimah bin Ammar juga? Ikrimah itu haditsnya mudhtharib. Yahya
menjawab lagi: Mulazim bin Amr yang lebih mengerti daripada mereka[207]”.
c)
Al-Bukhari
Pertama, Ishaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhari al-Hafizh: Ikrimah
bin Ammar itu tsiqat. Diriwayatkan Sufyan Al-Tsauri dan menyebutkannya pada
Al-Fadhl. Ikrimah banyak ghalath dan menyendiri dalam periwayatannya dari Iyas.
Kedua, Imam Bukhari berkata, “Mudhtharib pada Hadits Yahya bin
Katsir dan tidak terdapat kitab atau catatan padanya”.
d)
Ibnu ‘Adi
Abu Ahmad bin ‘Adi berkata, “Haditsnya
lurus (mustaqim) ketika ia meriwayatkan dari yang tsiqat.
f)
Abdurrahman
bin Mahdi
Muhammad bin Abdullah bin ‘Ammar
Al-Maushuli: Ikrimah bin Ammar itu tsiqat menurut para ulama. Diriwayatkan oleh
Ibnu Mahdi: Tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali kebaikan. Dalam
pembahasannya yang lain: Ikrimah bin Ammar adalah seorang syeikh Yamamah dan ia
paling tsabit daripada Mulazim bin Amr[209].
3)
Dirasah
Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil Mutasahhilin:
a)
Ahmad bin
Abdullah Al-‘Ajali: Tsiqat dan ia meriwayatkan seribu hadits dari Al-Nadhr bin
Muhammad.
b)
Abu
Abdullah al-Hakim
Pertama, Hakim berkata, “Muslim paling banyak
menyebutkannya untuk memperkuatnya (dijadikan sebagai syawahid)”[210]
Kedua,
al-Fadhl bin Ziyad berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah ada seorang
rawi yang lebih diutamakan sebelum Ikrimah di Yamamah seperti Ayyub bin Utbah,
Mulazim bin Amr, atau mereka berdua? Abu Abdullah menjawab, Ikrimah adalah
seorang rawi yang lebih diutamakan daripada mereka berdua atau rawi-rawi
lainnya. Kemudian Abu Abdullah berkata lagi, Syu’bah meriwayatkan beberapa
Hadits dari Ikrimah”[211].
4)
Dirasah
Pendapat-pendapat Imam Jarah dan Ta’dil al-Muta-akhirin:
b)
Al-Dzahabi:
Dalam kitab Muslim disebutkan
tentang Ikrimah, sumbernya munkar dari Simak Al-Hanafi, dari Ibnu Abbas
tentang ‘Tiga hal yang dipinta Abu Sufyan’ dan Tiga Hadits yang lainnya dengan
sanad tersebut[213].
5)
Ali bin
Muhammad Al-Thanafisi: Telah menceritakan pada kami Waki’ dari Ikrimah bin
‘Ammar bahwa Ikrimah itu tsiqat
6)
Ibnu
Khurasy: Shaduq, namun pada haditsnya munkar.
7)
Shalih bin
Muhammad Al-Asadi: Ia adalah seorang rawi yang menyendiri dalam periwayatan
hadits-hadits yang panjang. Ia juga berkata: Ikrimah itu shaduq kecuali pada
sebagian haditsnya yang diriwayatkan ulama-ulama.
Dari jarh dan ta’dil di atas, Ikrimah
masih masuk dari sifat Dhabth, karena ghalath dan wahmnya
tidak mencapai katsratu wahm dan fahsyu al-ghalath. Adapun yang keluar dari sifat dhabth adalah
(1) Banyak wahm
(banyak kelirunya). (2) Banyak berbeda dengan rawi yang lebih tsiqat. (3) Su-ul
hifzhi (jelek hafalan: kemungkinan benar dan salahnya sama). (4) Syiddatu
ghaflah (sangat lalai: rawi yang tidak semangat belajar dan tidak
mantap/tidak teliti, serta tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang
salah dalam periwayatan). (5) Fahsy Al-Ghalath (banyak salah: rawi yang
lebih banyak salahnya daripada benarnya dalam periwayatan Hadits karena
perbuatan Fahisyah yang dilakukannya). (6) Rawi yang tidak tahu lafazh-lafazh dan
maksud-maksud suatu riwayat yang olehnya dijadikan dalil, tidak tahu kandungan
makna riwayatnya. Maka perlu ditentukan siapa yang menyampaikan lafazh riwayat
itu, agar tidak terjadi penyimpangan makna[215].
Sementara itu jika dilihat di
kitab Ta’rif Ahli al-Taqdîs bi Marâtib al-Maushûfîn bi al-Tadlîs,
Menurut Ibnu Hajar, Ikrimah (Shighar
Tabi’in) termasuk rawi tadlis tingkat ketiga (al-Maratib al-Tsalitsah) nomor 88
yang disifati tadlis oleh Imam Ahmad (Imam Jarah dan ta’dil Mu’tadilin) dan
Daruquthni (Imam Jarah dan ta’dil Mu’tadilin dan terkadang Mutasahhilin)[216].
Menurutnya lagi, bahwa mayoritas rawi tadlis tingkat tiga itu Hadits-haditsnya
termasuk yang tidak dapat dijadikan hujjah kecuali mereka menjelaskan
riwayat-riwayatnya dengan sima’. Diantara mereka ada yang ditolak secara mutlak
dan ada yang diterima seperti Abi al-Zubair al-Maki[217].
Namun karena Ikrimah meriwayatkan haditsnya dengan shighat
tahdits, maka dia dapat diterima riwayatnya.
b.
Shaduq, Su-ul
Hifzhi dan khatha’ untuk Musa bin
Mas’ud itu telah keluar dari sifat Dhabt. Su-ul Hifzhi (jelek hafalan)
adalah kemungkinan salah dan benarnya sama.
c.
Orang yang Ahli al-Bid’ah yang telah
keluar dari sifat ‘adil pada Abu Amr al-Faqih dan Abu Abdullah.
Empat rawi yang dijarh di atas, dihukumi sebagai
“Hasan lidzatihi” jika menyendiri dalam periwayatannya dan bisa naik
menjadi “Shahih lighairihi” jika ada mutabi’[218].
Melihat skema sanad Hadits ini di atas, Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini
memiliki mutabi’, maka derajatnya naik menjadi “Shahih lighairih”.
d.
Muhammad
bin Abdul Aziz al-Jurjani yang berderajat “Majhul Hal”, derajatnya bisa
naik jika ada mutabi’ menjadi “Hasan lighairih”, dan jika tidak ada mutabi’
maka ditawaqufkan[219].
Karena Hadits ini memiliki mutabi’, maka dihukumi “Hasan lighairih”.
Dengan melihat derajat Hadits di atas, maka yang
berderajat “Hasan lighairih” pada seorang rawi dari riwayat Al-Lalika-i dan
“Shahih lighairih” pada tiga rawi dari riwayat al-Baihaqi, sedangkan rawi
lainnya berstatus shahih.
Dilihat dari
pengertiannya, Hadits shahih lighairih adalah Hadits yang keshahihannya
dibantu oleh adanya Hadits atau jalur lain. Pada asalnya, Hadits kategori ini
memiliki kelemahan berupa rawi yang kurang dhabith (khafif al-dhabth),
sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadits
Shahih[220].
Tetapi, setelah diketahui ada Hadits atau jalur lain dengan kandungan matan
yang sama dan berkualitas shahih, maka Hadits tersebut naik derajatnya menjadi
shahih. dengan kata lain, Hadits Shahih Lighairih pada mulanya adalah Hadits
Hasan yang karena Hadits Shahih dengan matan yang sama, maka Hadits Hasan
tersebut menjadi Hadits Shahih.
Adapun Hadits hasan
lighairih adalah Hadits yang berkualitas hasan karena adanya Hadits lain
yang mengangkatnya. Pada dasarnya Hadits tersebut berkualitas dha’if
tetapi karena adanya sanad lain yang shahih yang meriwayatkan matan yang sama,
maka kualitas Hadits Dha’if itu terangkat menjadi Hasan Ligahirih. Menurut Ibnu
Shalah sebagaimana dikutip Al-Sakhawi dan Al-Suyuthi, Hadits hasan lighairih
adalah Hadits yang sanadnya ada seorang rawi yang mastur (tertutup atau
belum diketahui), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya
sebab-sebab yang menjadikannya fasik, dan matan Haditsnya diketahui baik
berdasarkan Hadits yang semakna[221].
Sedangkan
mengenai kehujjahan Hadits Hasan ini, Hadits ini dapat dijadikan hujjah baik hasan
lidzatihi atau hasan lighairih, meskipun kekuatannya di bawah Hadits
Shahih. karena itu, sebagian Ulama memasukan Hadits Hasan sebagai bagian dari
kelompok Hadits Shahih, misalnya Al-Hakim Al-Naisaburi, Ibnu Hibban dan Ibn
Khuzaimah, dengan catatan bahwa Hadits Hasan secara kualitas berada di bawah
Hadits Shahih, sehingga jika ada pertentangan yang dimenangkan adalah Hadits
Shahih[222]. Dengan
demikian, maka Hadits ini dihukumi Shahih lighairih.
Dalam pengamalannya, Hadits Shahih itu Maqbul
(dapat diterima menjadi hujjah) sebagaimana pendapat Ibnu Hajar. Menurutnya,
Hadits ini dinilai maqbul karena ada yang mengikutinya (mutabi’)[223].
Dilihat dari kehujjahan Hadits Shahih
yang Ahad atau yang Mutawatir, yang shahih lidzatihi atau shahih
lighairih dapat dijadikan hujjah atau dalil agama dalam bidang hukum,
akhlak, sosial, ekonomi dan sebagainya kecuali di bidang akidah, Hadits Shahih
yang Ahad diperselisihkan di kalangan ulama[224].
C. Kritik Matan
Untuk menentukan Hadits itu berkualitas shahih, hasan, atau dha’if,
langkah-langkah yang mesti dilakukan sesuai yang diajukan oleh M.Syuhudi Ismail
sebagai berikut:
1. Penelitian Matan
dengan melihat kualitas sanad
Jika dilihat dari sanadnya berdasarkan
penelitian di atas, sudah pasti sanad Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini shahih.
Secara sepintas jika ada Hadits yang sanadnya shahih maka matannya juga shahih.
Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Ada juga sanad yang shahih namun
matannya dha’if. Sebagaimana Hadits ini dilihat dari sisi matannya
banyak para ulama yang mengatakan bahwa Hadits ini dianggap bertentangan dengan
fakta sejarah.
Hal ini, menurut Syuhudi Ismail bukan
disebabkan oleh kaedah keshahihan sanad yang kurang akurat, melainkan karena faktor-faktor
lain seperti: (1) Terjadi kesalahan dalam menggunakan pendekatan dalam
penelitian matan, (2) Telah terjadi kesalahan dalam penelitian sanad, (3) Matan
Hadits yang bersangkutan telah diriwayatkan secara makna yang ternyata
mengalami kesalah-pahaman. Untuk itu, agar lebih jelas selanjutnya akan
dipaparkan pendapat ulama yang mengkritik dan membela matan Hadits Muslim ini.
2. Penelitian lafazh
yang semakna
Rekapitulasi
Matan secara Keseluruhan
No.
|
Mashadir Ashliyah
|
Matan Hadits
|
1.
|
Shahih
Muslim
|
كَانَ الْمُسْلِمُونَ
لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ثَلَاثٌ
أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ
وَأَجْمَلُهُ، أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ:
«نَعَمْ» قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ:
«نَعَمْ» قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ، كَمَا كُنْتُ
أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا
أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ:
«نَعَمْ»
|
2.
|
Shahih
Ibnu Hibban
|
" كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ، وَلا
يُجَالِسُونَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ أَسْأَلُكَ أَنْ
تُعْطِيَنِيهِنَّ؟ قَالَ: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ
وَأَحْسَنُهَا أُمُّ حَبِيبَةَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ
الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: نَعَمْ "
|
3.
|
Al-Sunan al-Kubra
|
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ،
وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ
أُعْطِيتُهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ
الْعَرَبِ، وَأَجْمَلُهُنَّ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ،
أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ
كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي
حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ:
" نَعَمْ "، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ
مِنَ النَّبِيِّ ص مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا
إِلا قَالَ: نَعَمْ.
|
4.
|
Al-Mu’jam
al Kabir
|
" كَانَ النَّاسُ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي
سُفْيَانَ، وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ
أُعْطِيكَهُنَّ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ
الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا،
قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا
تَجْعَلُهُ بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ:
وَتُؤَمِّرُنِي أَنْ أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ
الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "
|
5.
|
Syarah Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama’ah
|
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ
وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ
" نَعَمْ "، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ: أُمُّ
حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا، قَالَ: " نَعَمْ "،
قَالَ: مُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ، قَالَ: " نَعَمْ
"، قَالَ: وَتُمِدُّنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ
أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: " نَعَمْ "
|
6.
|
al-Ahad wa al-Matsani
|
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ
وَلا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ص: " ثَلاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ
"، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: " عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ
أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ تَتَّخِذُهَا وَأُزَوِّجُكَهَا "،
قَالَ: نَعَمْ، " وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ
يَدَيْكَ "، قَالَ: نَعَمْ
|
Dengan memperhatikan matan-matan Hadits yang telah
disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi periwayatan secara
makna dalam meriwayatkan Hadits ini. Pada riwayat Muslim tercantum lafazh يَا نَبِيَّ
اللهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ, begitu pula pada
riwayat Al-Lalika-i dan Abi ‘Ashim. Sedangkan pada riwayat-riwayat selain
ketiga riwayat ini menggunakan lafal يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَلاثَ خِصَالٍ
أَسْأَلُكَ أَنْ تُعْطِيَنِيهِنَّ pada riwayat Ibnu
Hibban, lalu menggunakan lafazh يَا
نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلاثٌ أُعْطِيتُهُنَّ pada riwayat Al-Baihaqi dan menggunakan lafazh ثَلاثٌ
أُعْطِيكَهُنَّ pada riwayat
Al-Thabrani.
Perbedaan lafazh selanjutnya adalah setelah lafazh tsalatsa
a’thînihinna, riwayat Ibnu Hibban menggunakan lafazh وَمَا
هِيَ؟, sedangkan riwayat-riwayat yang lainnya
langsung menggunakan lafazh قَالَ: نَعَمْ.
Lafazh lainnya yang menggunakan lafazh عِنْدِي
أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ adalah riwayat Muslim,
al-Thabrani, Al-Lalika-i dan Abi ‘Ashim. Sedangkan riwayat Ibnu Hibban
menggunakan lafazh عِنْدِي أَجْمَلُ الْعَرَبِ وَأَحْسَنُهَا dan riwayat Al-Baihaqi
menggunakan lafazh أجْمَلُهُنَّ. Kemudian riwayat Abi ‘Ashim menggunakan lafazh وَأُزَوِّجُكَهَا تَتَّخِذُهَا, sedangkan riwayat
lainnya langsung pada lafazh وَأُزَوِّجُكَهَا.
Setelah itu, riwayat al-Thabrani menggunakan lafazh تَجْعَلُهُ
بَيْنَ يَدَيْكَ, sedangkan
riwayat Muslim, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Al-Lalika-i langsung pada lafazh بَيْنَ
يَدَيْكَ. Adapun riwayat Abi ‘Ashim menggunakan
lafazh وَمُعَاوِيَةُ تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ.
Riwayat al-Lalika-i
menggunakan lafazh وَتُمِدُّنِي, sedangkan yang lainnya dengan lafazh وَتُؤَمِّرُنِي. Perbedaan lainnya, riwayat Ibnu Hibban dengan lafazh حَتَّى
أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ, sedangkan yang
lainnya dengan lafazh حَتَّى
أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ. Lalu, riwayat
Muslim dan al-Baihaqi diakhir haditsnya menggunakan lafazh قَالَ أَبُو
زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا
قَالَ: «نَعَمْ»,
sedangkan riwayat Abi ‘Ashim hanya sampai pada lafazh وَمُعَاوِيَةُ
تَتَّخِذُهُ كَاتِبًا يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْكَ.
Dengan demikian, walaupun lafazh-lafazh yang dikemukakan
masing-masing perawi nampaknya sedikit berbeda tetapi tidak mempengaruhi maksud
dan artinya.
3. Penelitian
kandungan matan
Penelitian ini
dilakukan dengan mengkaji Syarah Hadits yang terdiri dari mufradat dan
maksud lafazh Hadits, latar belakang Hadits tersebut muncul (asbab al-wurud),
ada syadz dan illat Haditsnya atau tidak.
a. Mufradat Hadits
Lafazh
|
Makna Mufradat
|
لَا يَنْظُرُونَ إِلَى
|
|
ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ
|
Asal kata dari أعطى artinya memberikan[226]
dan Fi’il Amrnya adalah أَعْطِ
artinya berikanlah. Jadi, arti ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ
: berikanlah aku tiga (permintaan)
|
أُزَوِّجُكَهَا
|
Asal kata dari تَزَوَّجَ artinya menikahi. Contohnyaفِي بني فلان تَزَوَّجَ[227].
Jadi, أُزَوِّجُكَهَا artinya aku nikahkan kepadanya.
|
تَجْعَلُهُ
|
Artinya عَمِلَ
(bekerja)[228], sedangkan عَمَلَهُ artinya mengangkatnya sebagai. Jadi, تَجْعَلُهُartinya mengangkatnya sebagai.
|
كَاتِبًا
|
Orang yang berilmu, dinamakan seperti
itu karena umumnya pada orang yang mengetahui tulisan (Juru tulis)[229]
|
وَتُؤَمِّرُنِي
|
|
وَتُمِدُّنِي
|
|
تَتَّخِذُهَا
|
b.
Maksud
Hadits
Lafazh
|
Maksud Lafazh
|
أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ
|
Seperti sabdaNya: Nabi SAW adalah
orang yang paling bagus rupa wajahnya dan paling baik akhlaknya. Syarahnya
telah dijelaskan dalam Kitab Fadha-il al-Nabi. Menurut Abu Hatim al-Sijistan
dan yang lainnya: Yang paling cantik, paling baik. Sedangkan menurut Kalangan
Ahli Nahwiyah: Maknanya adalah orang yang paling cantik disana[233].
|
لا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ،
وَلا يُقَاعِدُونَهُ
|
Menurut Al-Qurtubi: Mereka melakukan
hal itu sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan Nabi dan Kaum Muslimin karena
kemusyrikan Abu Sufyan, ketika seorang pun tidak ada yang melakukan apa yang
dilakukan Abu Sufyan. Lalu ia masuk Islam pada fathu makkah dan ia
termasuk muallaf[234].
|
c.
Penjelasan Peristiwa dan Alasan Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini
Menurut Ibnu Asad, “Di dalam
Kitab Muslim pada Hadits ini terdapat perkatan Abu Sufyan setelah pada hari Fath
Makkah”[235].
Imam Ahmad berkata, “Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini, karena Yahya bin
Ma’in menilai Ikrimah tsiqah ”[236].
d. Kritikan dan
Jawaban atas Hadits Keutamaan Abu Sufyan: Ada beberapa hal yang dikritik pada
Hadits Muslim ini yaitu:
Pertama, Kritikan dan Jawaban para ulama terhadap Ikrimah sebagai
penyebab Hadits Muslim ini bertentangan dengan fakta sejarah (pada Permintaan
Abu Sufyan yang Pertama).
Kritikan: Menurut Al-Nawawi, Al-Shan’ani dan Al-Ashbahani:
Hadits ini
adalah di antara Hadits-hadits yang terkenal dengan kemusykilan
(kejanggalan)nya, dan kemusykilannya tersebut adalah bahwa Abu Sufyan masuk
Islam pada hari Fath Makkah pada tahun delapan hijriyah dan Nabi SAW
menikahi Ummu Habibah jauh sebelumnya. Menurut Abu Ubaidah, Khalifah bin
Khiyath, Ibnu al-Barqi dan Jumhur Ulama, “Nabi menikahinya pada tahun enam
hijriyah, ada juga yang mengatakan tahun tujuh hijriyah”[237].
Ibnu Hazm berkata bahwa:
Hadits ini wahm
dari sebagian rawi, karena mengingat Rasul menikahi Ummu Habibah jauh sebelum Fathu
Makkah terjadi yaitu saat Ummu Habibah turut serta hijrah ke Habasyah dan
ayahnya masih dalam keadaan kafir”. Dalam suatu riwayat, Ibnu Hazm menyatakan,
“ Hadits ini berstatus maudhu’ dan sumbernya dari Ikrimah bin Ammar
al-Rawi dari Abu Zumail”[238].
Pernyataan Al-Nawawi ini juga terdapat dalam kitab Taudhih al-Afkar[239]dan Akhlaq al-Nabi karya Al-Ashbahani[240].
Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, Para Ulama mengingkari matan Haditsnya:
Menurut
mereka, “Ummu Habibah dinikahi Rasul SAW di Habasyah dan yang memberi maharnya
yaitu Raja Najasyi, kisah ini sudah masyhur, kisah terdahulu yang terjadi pada
Rasul sebelum ayahnya (Abu Sufyan) masuk Islam. Lalu apa yang dikatakan Abu
Sufyan setelah Fathu Makkah? Yaitu: “Aku nikahkan Ummu Habibah padamu”.
Maka perintah Abu Sufyan ini, para Huffazh berpendapat, “mereka tidak
mengetahuinya”[241].
Dalam nukilan Abu al-Faraj bin Al-Jauzi
dan Al-Qasimi disebutkan:
Kami
berpendapat, “Rawi ini wahm, karena Ahli Sejarah bersepakat bahwa
Ummu Habibah bersama Ubaidullah bin Jahsyi, lalu Ummu Habibah melahirkan anaknya
disana. Kemudian, Ubaidullah berhijrah dengan Ummu Habibah, mereka masuk Islam
di Habasyah, lalu Ubaidullah pindah agama menjadi agama Nashrani, namun Ummu Habibah
tetap pada agama Islam. Maka Nabi SAW mengirim surat pada Raja Najasyi untuk
meminang Ummu Habibah, lalu Nabi menikahinya dan memberi maharnya 4000 dirham.
Hal ini terjadi pada tahun tujuh hijriyah. Abu Sufyan datang pada waktu adanya
perjanjian perdamaian, lalu ia mengunjungi Ummu Habibah, tikar Rasul menjadi
kotor karena diduduki oleh Abu Sufyan, maka ia tidak mendudukinya lagi. Tidak
ada perbedaan pendapat bahwa Abu Sufyan dan Mu’awiyah masuk Islam pada Fathu
Makkah tahun delapan hijriyah dan Abu Sufyan tidak tahu bahwa ia akan
diangkat oleh Rasul menjadi pemimpin”. Hal ini sebagaimana yang dikatakan
al-Qasimi[242].
Lalu apa yang dikatakan Abu Sufyan setelah Fathu Makkah? Yaitu: “Aku
nikahkan Ummu Habibah padamu”[243].
Ibnu
al-Atsir juga berpendapat pada kitab Asad al-Ghabah (7/116) tentang biografi
Ramlah binti Abi Sufyan dan dikatakan pula oleh Al-Humaidi dan Al-Jazari:
Hadits ini diantara sedikit kewahman
dalam Kitab Muslim, karena Rasul menikahi Ummu Habibah di Habasyah sebelum Abu
Sufyan masuk Islam. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Sirah tentang
hal ini (pernyataan ini juga terdapat dalam Kitab al-Jama’ baina al-Shahihain[244] dan
al-Jami’ al-Ushul[245]).
Adapun ketika Abu Sufyan datang ke Madinah saat terjadi kasus pada orang
Quraisy di Khuza’ah, mereka melanggar perjanjian dengan Rasul. Maka Abu Sufyan
datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian. Lalu ia mengunjungi anaknya
Ummu Habibah dan duduk di atas tikar Rasul, kemudian Ummu Habibah berkata:
“Kamu orang musyrik”[246].
Al-Albani
mengomentari Kitab Shahih Ibnu Hibban di atas bahwa, “Hadits ini munkar”
dalam Kitab Mukhtashar Muslim[247].
Dikatakan juga oleh Ibnu Khurasy: Hadits Ikrimah munkar[248].
Dalam Kitab
al-Sunan al-Kubra dan Tarikh Dimasyqi dikatakan bahwa Syeikh berkata:
Hadits ini pada kisah Ummu Habibah,
para Ahli Kisah Peperangan (al-Maghazi) telah bersepakat atas perbedaan
kisahnya. Mereka tidak berselisih pendapat tentang pernikahan Ummu Habibah
terjadi sebelum kembalinya Ja’far bin Abi Thalib dan sahabatnya dari Habasyah,
namun mereka pulang pada Perang Khaibar dan pernikahan Ummu Habibah terjadi sebelumnya.
Sedangkan masuk Islamnya Abu Sufyan bin Harb pada waktu terjadi Fathu Makkah, dua atau tiga tahun setelah pernikahan
anaknya[249].
Ibnu Qayyim berkata, “Tidak
seorang pun dari Ahli Ilmu yang menjawab tentang kemusykilan Hadits ini, seluruhya
tidak sepakat. Dan yang benar adalah Hadits
ini tidak Mahfuzh, bahkan terdapat ikhtilath”[250].
Al-Dzahabi menyebutkan dalam kitab al-Mizân:
Hadits ini munkar[251]. Hadits ini diingkari juga oleh al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi
dalam kitab “Ifrad Muslim[252].
Dalam Kitab Taujih al-Nazhr, Hadits ini
oleh Thahir Al-Jazari dikelompokkan pada “Hukum wahm pada sebagian rawi”.
Dijelaskan di dalamnya, hukum ini diterima jika tampak dalil yang menunjukan
adanya wahm. Selain dari itu, wahmnya disandarkan pada orang yang menghukumi
wahm tersebut. Ahli Hufazh berkata, “Dalam Kitab Muslim sedikitnya terdapat
lafazh-lafazh yang keliru (ghalath) pada rawinya seperti Hadits: “Innallaha
khalaqa al-Turbah yauma al-Sabti…” Juga Hadits: “Bahwa Nabi shalat kusuf 2
raka’at atau tiga raka’at”.
Contoh-contoh ghalath Hadits di
atas, jika terdapat dalam Kitab Shahihain maka harus dijelaskan keghalathannya.
Sebagaimana halnya Imam Bukhari yang selalu menjelaskan hadits-hadits ghalath
yang ada dalam jalur Haditsnya. Thahir al-Jazari berkata:
Ahli Ilmu selalu melakukan al-Isytihad
dan mengi’tibar pada Hadits yang su’ul hifzhi. Maka mereka mendha’ifkan
Hadits yang tsiqah, shaduq, dan dhabith serta hal-hal yang menjelaskan
keghalathannya dengan perkara-perkara yang dapat menunjukan keghalathannya.
Ilmu ini disebut dengan Ilmu ‘Illat Hadits. Rawi yang ghalat, tsiqah, shaduq
dan dhabith terkadang bisa dikenali secara zhahir, terkadang juga
tersembunyi”. Contoh lain, ada yang mengklaim bahwa seorang rawi mengikuti
suatu Hadits dan mengamalkannya dan ada suatu lafazh pada Hadits itu
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, atau meriwayatkan Hadits yang
tampaknya diriwayatkan dengan sanad shahih, sampai jika Hadits shahih
itu diketahui bertentangan, maka harus dimulai pada takwilan-takwilan yang
lemah atau menjadikannya sebagai dalil yang terdapat dalam permasalahan ilmu.
Seperti Ahli Ilmu tahu bahwa suatu hadits ghalath namun shaduq,
tapi terkadang terputus Haditsnya. Maka dalil-dalil itu bisa diketahui bahwa
pada hadits itu dia berdusta, seperti Hadits yang diriwayatkan oleh para
pemalsu Hadits, Ahli Bid’ah dan ghuluw.[253]
Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata,
Aku mendengar Abu Abdullah bin Abi Nashr Al-Humaidi di Baghdad berkata, Abu
Muhammad bin Hazm berkata pada kami:
Kami tidak akan menemukan pada Kitab
Bukhari dan Muslim yang tidak mungkin dikeluarkan oleh keduanya, karena setiap
Hadits dari salah satu keduanya telah selesai di takhrij kewahamananya,
kecerdasan, hafalan, serta kebenaran pengetahuan rawinya”. Ia menyebutkan pada
Kitab Bukhari yaitu Hadits Syarik dari Anas tentang Isra’, Hadits ini
menjelaskan sebelum Nabi diberi wahyu, Beliau sempat dibelah dadanya. Penyakit
Hadits tersebut ada pada Syarik. Dan Hadits dari Muslim, dari Ibnu Abbas
ini, penyakit Haditsnya ada pada Ikrimah bin Ammar[254].
Al-Zarkasyi berkata,
Termasuk wahm
pada Ikrimah dan rawi yang lainnya yang menyebutkan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ
الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ” , padahal
wanita itu adalah ‘Azzah. Ikrimah yakin bahwa wanita itu adalah Ummu Habibah,
maka ia menyebutkannya. Ia tidak memahami apa yang dimaksudkan Abu Sufyan, maka
Hadits ini menjadi munkar pada rawi yang keliru tersebut[255].
Jawaban atas Kritikan Permintaan Pertama
Abu Sufyan di atas yaitu: dalam pencarian daftar isi di dalam kitab Al-Wuquf ‘ala Mâ fii Shahîhi Muslim min al-Mauquf pada huruf “Kaf”
dinyatakan tidak ada Hadits tentang “keutamaan Abu Sufyan” yang ditawaqqufkan[256].
Jadi, kesimpulan Hadits ini pasti akan ada yaitu dengan cara mentarjih pendapat
para ulama.
Dalam pembahasan “Difa’ ‘an al-Matan (Pembela matan Hadits Keutamaan
Abu Sufyan)”, Hadits ini dinyatakan shahih dari segi sanadnya dan dalam
segi matannya juga Para Ulama berijtihad menguatkan Hadits Muslim ini dan
bantahannya seperti Ibnu Taimiyah yang berpendapat, “Di dalam Hadits ini, Abu
Sufyan meminta kepada Nabi untuk menikahkan Ummu Habibah dan pernyataan ini ghalath”.[257] Hal ini dikatakan Ibnu Taimiyah karena di dalam Kitab
Muslim juga terdapat hadits yang lafazh-lafazhnya ghalat yang disamakan
statusnya dengan Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini. Seperti matan Hadits yang
ditulis البريَّة itu salah (khatha’) dan yang
benarnya adalah التُّرْبَةَ seperti yang
dikatakan Muhaqqiqnya, Haditsnya berbunyi:
Pernyataan
lainnya dari Muhammad Abu Syuhbah menukil dari Abu al-Rayah, dan Abu al-Rayah (yang
mengikuti pendapat Ahli Hadits) berpendapat bahwa
Para Ahli
Hadits menganggap adanya kejanggalan pada Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini. Hal
ini terjadi karena ada rawi bernama Ikrimah yang wahm dan yughlatha,
dan pendapat yang tsabit dan qath’I adalah bahwa tahun pernikahan
Ummu Habibah dan tahun masuk Islamnya Abu Sufyan yang berbeda (bertentangan
dengan fakta). Dia juga mengemukakan dua penakwilan
para Ulama tentang matan Hadits ini. Sebagaimana yang dikatakan para Ulama
lainnya di atas.
Pernyataan Abu Al-Rayah yang membahas
adanya keanehan dalam Hadits Abu Sufyan ini, dibantah bahwa apa yang dinukil
Abu Al-Rayah juga aneh. Ia menukil syubhat-syubhat tersebut dalam Kitab Adhwa’
‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, dimana pada dasarnya pendapat itu adalah
kezhaliman-kezhaliman sebagian ulama kepada sebagian ulama lainnya dan
merupakan sebagian dari perbuatan fanatik (ta’ashub). Perkataan ini
disebutkan oleh Abdul Husain Syarifuddin[259].
Bantahan lainnya bahwa untuk tugas
pembelaan Hadits Muslim ini, penyusun kitab Difa ‘an hadits a-Nabawi
Fadha-il Abi Sufyan hanya menerima komentar tentang wahm dan ghalathnya
Hadits ini, namun tuduhan Hadits ini palsu tidak dapat diterima karena Para
Ulama Jarh dan Ta’dil tidak ada yang berpendapat seperti itu. Dengan menuding Ikrimah
sebagai pemalsu Hadits, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Al-Shalah bahwa Waki’,
Yahya bin Ma’in, dan ulama lainnya menilainya tsiqah[260].
Dalam Kitab Taudhuh al-Afkar pun disebutkan bahwa pernyataan Ibnu Hazm ini
ditolak oleh Ahli Hufazh dan disepakati oleh Ibnu Katsir dalam bab khusus yang
menjelaskan kedha’ifannya[261].
Mengomentari para Ulama yang berkata
bahwa Hadits ini terdapat kewahaman sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah
(atau ulama lainnya yang berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah) itu hanya
membesar-besarkan ghalath yasir (keliru yang ringan) saja untuk
menurunkan keshahihan Kitab Shahih Imam Muslim[262].
Dalam Kitab al-Abatil wa al-Manakir
dikatakan bahwa Hadits Keutamaan Abu Sufyan ini Shahih[263].
Begitu juga dalam Kitab al-Nukat ‘ala
Muqaddimah Ibnu al-Shalah disebutkan masalah-masalah yang terdapat dalam Hadits
Keutamaan Abu Sufyan ini diantaranya Ikrimah dituduh Ibnu Hazm telah memalsukan
Hadits Muslim ini, namun tuduhan Ibnu Hazm ini ditolak. Al-Zarkasyi berkata,
Yang tampak bahwa tuduhan pada rawi
Ikrimah adalah yang diriwayatkan dari rawi bernama al-Nadhr bin Abdurrahman
dari Ikrimah yang suka meriwayatkan perkara-perkara yang munkar,
sebagaimana yang dikatakan oleh para Ahli Hufazh. Dalam hal ini, Imam Muslim
juga tidak meriwayatkan rawi ini. Ia hanya meriwayatkan dari al-Nadhr bin
Muhammad al-Yamami. Namun, ada yang mengatakan bahwa Imam Muslimlah yang wahm
karena menyatukan kedua nama yang berbeda tersebut dan mengira bahwa al-Nadhr
yang ini adalah dari Ikrimah (bin Muhammad) yang tsiqah. Padahal bukan
orang itu. Karena rawi itu adalah ibnu Abd al-Rahman yang dha’if itu.
Maka Hal ini adalah kewahaman yang paling ringan pada matan Hadits tersebut.
Adapun dengan masuknya rawi yang bernama al-Nadhr bin Abdurrahman pada Kitab
Shahih Muslim, maka Imam Muslim telah berdusta”[264].
Namun mana mungkin Imam Muslim berdusta
sedangkan disebutkan oleh Imam Muslim sendiri bahwa dia
memiliki muqaddimah yang bernilai tinggi dan sebagai hal baru dalam ilmu Ushulul Hadits. Ia menjelaskan tentang
pembagian dan macam-macam hadits, hadits-hadits yang ditulisnya, yaitu: Keadaan
para perawi, menerangkan ‘illat, penjelasan hukum haram berdusta atas nama
Rasulullah SAW, anjuran agar hati-hati dalam meriwayatkan, dan larangan
meriwayatkan hadits dari perawi yang lemah dan banyak salah. Juga menerangkan
bahwa sanad hadits itu adalah bagian dari ketentuan agama, Menjarh
dibolehkan bahkan wajib, karena bukan jarh yang diharamkan. dan
menjelaskan panjang lebar tentang berhujjah dengan hadits mu’an‘an[265].
Selanjutnya, diakhir
kesimpulan Kitab al-Nukat disebutkan tentang keghariban suatu Hadits,
sebagaimana yang dinukil dari Abu Bakar Muhammad bin Khair bin Umar Al-Amawi
pada kitabnya,
Para Ulama telah bersepakat, Hadits
Gharib yang terdapat dalam Shahih Muslim dapat dikatakan “tidak shahih”
jika ada yang berkata: Bahwasanya Rasul bersabda begini, sampai ada rawi yang meriwayatkan
perkataan itu paling sedikit bentuk periwayatannya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
Man Kadz-dzaba ‘alayya muta’ammidan, falyatabawwa. Maq’adahu ‘alannar’”[266].
Adapun diakhir
penutupnya Kitab Difa’ ‘an Hadits Fadha-il Abu Sufyan ini, pengarang
mengatakan:
Para
Muhadditsin adalah orang-orang yang diberi ilham dan ilmu mereka sebagai
kebenaran mukjizat Nabi SAW. Ketika mereka menyimpulkan kaidah-kaidah hukum
untuk menilai suatu riwayat Hadits dan mengetahui kebenarannya, mereka tidak
akan bersenda gurau dan menipu. Mereka bersungguh-sungguh dalam memberi
petunjuk dan jalan yang lurus, kaidah-kaidah tersebut yang mereka ridhai maka
mereka menilai tsiqah dari kebenaran khabar-khabar yang dihukumi dan
telah diteliti. Para peneliti, penyusun kitab dan penetap hukum tidak menetapkan
hukum kecuali bersandar pada nukilan yang shahih dan khabar yang yakin
saja. Pentingnya memberikan perhatian penuh pada kaidah periwayatan riwayah
dan dirayah karena dengan jalan ini dapat memberikan jaminan keselamatan
bagi para penelitinya dan menguatkan hujjah dari orang-orang yang fasid dan
ghalath, juga orang-orang yang menolak Hadits dan Sahabat Nabi SAW[267].
Kedua, Kritikan dan
Jawaban tentang kebenaran apakah Abu Sufyan benar telah diangkat menjadi
pemimpin perang atau tidak.
Kritikan: Mengenai Permintaan Abu Sufyan tentang pengangkatannya
sebagai pemimpin perang Muslim itu tidak kuat bahwa Nabi memerintah Abu
Sufyan menjadi pemimpin perang. Al-Mundziri
berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Nabi mengangkat Abu Sufyan menjadi
pemimpin perang, meskipun Hadits ini shahih dan Nabi menepati janjinya
untuk menjadikannya pemimpin perang”[268].
Jawaban atas Kritikan :
Mengenai Permintaan Abu Sufyan tentang pengangkatannya sebagai pemimpin perang
Muslim itu telah diketahui bahwa perkataan Nabi kepada Abu Sufyan tidak
didustakan karena Nabi wafat pada selang waktu yang sebentar setelah kejadian
ini, kemungkinan Abu Sufyan telah diperintah untuk menjadi pemimpin perang pada
perang yang lain dengan isyarat yang lain. Dengan demikian, Pernyataan Al-Mundziri di atas ditolak. Al-Zubair bin
Bakar dari Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Rasulullah SAW menawan 6000 orang
laki-laki dan wanita pada Perang Hunain, lalu Nabi menjadikan Abu Sufyan
sebagai pemimpinnya. Dia juga yang diberi tugas untuk mengusir orang-orang Yahudi”[269].
Adapun fakta yang benar terjadi di zaman kehidupan Nabi
adalah Mu’awiyah yang menjadi penulis wahyu waktu itu[270].
Ketiga, Perbedaan
pendapat tentang Tempat, Wali, Waktu dan Mahar pernikahan Nabi dengan Ummu
Habibah:
Penulis
hanya akan memaparkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun belum
diketemukan pendapat yang paling benar.
Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa Para Ulama berbeda pendapat tentang dimana Nabi SAW
menikahi Ummu Habibah? Ada yang berkata di Madinah sepulangnya para sahabat
dari Habasyah”. Jumhur Ulama mengatakan, “Di Habasyah”. Al-Qadhi melanjutkan,
“Mereka bersilang pendapat tentang siapakah yang bertindak sebagai wali saat
Beliau menikahi Ummu Habibah? Dikatakan Utsman-lah yang menjadi walinya. Ada
juga yang berkata, Orang itu adalah Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash atas izin dari
Ummu Habibah. Dikatakan juga, Raja Najasyi, karena ia adalah kepala negara dan
raja di sana”. Al-Qadhi berkata lagi, “Riwayat dalam Shahih Muslim yang
menegaskan bahwa yang menikahkan Ummu Habibah adalah Abu Sufyan (ayahnya
sendiri), ini sangat jauh dan aneh (غريب جدا),
karena mengingat keberadaan Ummu Habibah di Madinah yang disertai oleh Abu
Sufyan yang saat itu masih kafir sangatlah masyhur”[271].
Para Ulama juga berselisih pendapat
tentang tahun pernikahan Ummu Habibah, “Ada yang mengatakan tahun ke 5, 6, atau
7”. Mereka berselisih pendapat juga tentang mahar yang diberikan Raja Najasyi,
“Ada yang mengatakan 400 dinar, 4000 dinar, atau 200 dinar”[272]
Dalam Kitab Takhrij al-Atsar karya al-Zailâ-‘i disebutkan bahwa:
Diriwayatkan bahwa Rasul SAW akan menikahi Ummu Habibah, maka Ummu
Habibah bersikap baik kepada Ikrimah bin Abi Sufyan ketika pernikahan tersebut
terjadi dan ia memutuskan tali permusuhannya. Sebelumnya, sungguh ia telah
masuk Islam dan berhijrah dengan suaminya Ubaidullah bin Jahsyi ke Habasyah.
Lalu suaminya pindah agama menjadi Nashrani, sedangkan Ummu Habibah menolak
keluar dari Islam. Kemudian suaminya wafat, maka Rasul SAW mengirim surat
kepada Raja Najasyi, lalu meminang Ummu Habibah dan Najasyi memberinya mahar
400 dinar. Berita pernikahan ini sampai kepada ayahnya dan ia berkata: “Semoga
kuda jantan ini tidak potong hidungnya!”.Dikatakan, “Riwayat ini gharib
lafazhnya”.
Abu Daud
meriwayatkan dalam Kitab Sunan mereka bab al-Nikah dari Hadits Urwah bin
al-Zubair, dari Ummu Habibah,
Ummu Habibah sebelumnya bersama Ubaidullah, kemudian Ubaidullah mati
di Habasyah, lalu Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi SAW dan
maharnya 4000 dirham. Dan diutusnya Ummu Habibah kepada Nabi bersama Syarahbil
bin Hasanah”[273].
Abu Daud
meriwayatkan secara mursal, dari Al-Zuhri, “Raja Najasyi menikahkan Ummu
Habibah binti Abu Sufyan kepada Rasul dengan memberi mahar 4000 dirham, dan
memberikan mahar itu kepada Rasul”[274].
Al-Hakim
meriwayatkan dalam Kitab al-Mustadraknya bab al-Nikah dari jalan Ibnu
al-Mubarak, telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari al-Zuhri, daru Urwah,
dari Ummu Habibah:
Ummu Habibah sebelumnya bersama Ubaidullah, kemudian Ubaidullah mati
di Habasyah, lalu Raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi SAW dan
maharnya 4000 dirham. Diutusnya Ummu Habibah kepada Nabi bersama Syarahbil bin
Hasanah”.
Al-Hakim berkata, “Pernyataan ini Shahih
atas syarat al-Syaikhain dan keduanya tidak meriwayatkannya”[275].
Ahmad dan Abi Syaibah meriwayatkan
dalam Kitab Musnad mereka seperti kalimat di atas, ditambah kalimat, “Rasul
tidak mengutus Ummu Habibah dan maharnya 400 dirham”[276].
Selanjutnya, diriwayatkan tentang
keutamaan Ummu Habibah dengan sanadnya kepada al-Zuhri:
Rasul menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, sebelumnya ia bersama
Ubaidullah bin Jahsyi al-Asadi. Kemudian ia berhijrah dengan Ummu Habibah dari
Makkah ke Habasyah dan diuji di sana, sehingga membuat Ubaid Allah memeluk
Nashrani dan Ubaid Allah wafat dalam keadaan beragama Nashrani. Namun Allah
menguatkan Ummu Habibah pada keislamannya sampai kembali ke Madinah, lalu Rasul
meminangnya dan Utsman bin Affan menikahkan Ummu Habibah kepada Rasul. Menurut
al-Zuhri, “Para Ulama mengira Nabi mengirim surat kepada Najasyi, lalu Najasyi
menikahkan Ummu Habibah dengan Rasul dan memberinya 4000 Uqiyah”[277].
Riwayat lain
yaitu Hadits yang disandarkan kepada al-Waqidi:
Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ja’far, dari Abd al-Wahib
bin ‘Aun, ia berkata, “Ketika Abu Sufyan sampai ke acara pernikahan Nabi dengan
anaknya, ia berkata: Semoga kuda jantan tidak potong hidungnya”. Beginilah
riwayat yang ditemukan pada naskah yang dapat dijadikan pegangan, begitu juga
terdapat pada Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah, Kitab ‘Uyun Al-Atsar, dan Thabaqat
Ibnu Sa’id[278].
Banyak sekali pendapat para ulama mengenai tempat, wali,
mahar, dan waktu pernikahan Nabi dan Ummu Habibah dalam Kitab Subulu al-Huda wa
al-Rasyad,
Dikatakan Raja Najasyi menikahkan Ummu
Habibah, dan Najasyi telah masuk Islam, serta Raja Najasyi menikahkan Ummu
Habibah kepada Rasul ketika kembalinya Ummu Habibah dari Habasyah. Sebelumnya
ada pernyataan tidak jauh berbeda dengan keterangan lainnya tentang siapa wali
saat pernikahan Ummu Habibah. Disebutkan pula riwayat dari Ibnu Hibbah dari
Aisyah, “Ubaidullah hijrah bersama Ummu Habibah ke Habasyah. Selama di
Habasyah, Ubaidullah sakit. Ketika telah dekat kematiannya, ia berwasiat kepada
Rasul, lalu Rasul menikahinya dan Raja Najasyi mengutus Ummu Habibah bersama Syarahbil
bin Hasanah. Dikatakan juga bahwa pernikahan Ummu Habibah dan Nabi setelah
menetap di Madinah, Nabi mengutus Amr bin Umayyah al-Dhamri kepada Raja Najasyi
untuk menjadi wali nikahnya. Sedangkan Khalid bin Sa’id menjadi wali nikah Ummu
Habibah[279]”.
Pendapat lainnya yang mengatakan
bahwa
Akad nikah Nabi dengan Ummu Habibah di
Habasyah karena Raja Najasyi memerintah Ja’far bin Abi Thalib dan masyarakat
disana untuk menghadiri pernikahannya, dan walimahnya pada maham hari di
Madinah yang disiapkan oleh Utsman bin Affan dan masyarakat Madinah. Wali Nabi
yaitu Raja Najasyi dan wali Ummu Habibah yaitu Khalid bin Sa’id bin al-Ash.
Najasyi menyerahkan mahar Nabi 400 dinar serta beberapa hadiah berharga lainnya[280].
Begitu juga dengan pernyataan lainnya tidak ada hal yang
berbeda, disebutkan:
Nabi menikahi Ummu Habibah telah diakui
saat ia masih musyrik sehingga yang menjadi walinya adalah orang lain. Adapun
ia berkata: “ya” maksudnya untuk menenangkan hatinya atau tujuanmu telah
tercapai, meskipun pada hakikatnya bukan akad. Ia pun kehilangan satu matanya
pada perang Thaif dan kedua matanya pada perang Yarmuk. Selanjutnya hanya
mencantumkan komentar al-Nawawi[281].
Dalam Kitab Al-Nukat Ibnu Shalah
disebutkan:
Al-Mundziri menghukumi
menurut Sebagian Ulama, “Nabi menikahi Ummu Habibah di Madinah setelah menetap
di Habasyah”. Maka pernyataan ini merubah pendapat yang masyhur[282].
Al-Hafizh Ibnu al-Atsir
menyebutkan dalam Kitab Asad al-Ghabah dari Qatadah bahwa,
Ummu Habibah
setelah hijrah dari Habasyah ke Madinah, maka Rasul mengkhitbah dan
menikahinya”. Begitu juga diriwayatkan oleh al-Laits, dari Uqail dan Ibnu
Syihab. Sedangkan Ma’mar meriwayatkan dari al-Zuhri bahwa, “Rasul SAW menikahi
Ummu Habibah, sedangkan ia sedang berada di Habasyah”. Pendapat inilah yang
paling shahih[283].
Kemusykilan-kemusykilan
pada matan Hadits Muslim ini telah dijawab oleh Para Ulama dengan beberapa
jawaban yaitu kemungkinan Hadits tersebut pada zhahirnya, bahwa masalah
pernikahan Ummu Habibah terdapat pada ayahnya ketika masuk Islam, padahal
pernikahannya terdahulu ketika anaknya berada di Habasyah.
Sesungguhnya
pernikahan Ummu Habibah yang terjadi di Habasyah datang dari riwayat Muhammad
bin Ishaq bin Yasar secara mursal, dan para Ulama berselisih pendapat
tentang kehujjahan sanadnya, “bagaimana tentang kemursalan sanadnya?” maka
Al-Mundziri berkata, “Hadits ini fihi Nazhar. Karena tentang pernikahan
Ummu Habibah tidak diperselisihkan oleh Ahli al-Maghazi bahwa hal itu terjadi
sebelum kembalinya Ja’far bin Abi Thalib ke Habasyah dan kembalinya para
sahabat saat Perang Khaibar”[284].
Menurut Abu
Daud, pendapat yang shahih tentang yang menjadi wakil Rasul adalah Amr
bin Umayyah al-Dhamari, ia membawa Raja Najasyi untuk menikahkan Nabi pada Ummu
Habibah[285].
Diriwayatkan oleh Al-Hakim
dengan sanad yang shahih dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa ia
bertanya kepada Aisyah istri Rasul:
Berapa mahar yang diberikan Rasul kepada
Istri-istrinya? Aisyah menjawab: Maharnya 12,5 Uqiyah yaitu 500 Dirham”. Hadits
ini shahih dan wajib diamalkan. Sedangkan mahar yang diberikan Raja
Najasyi kepada Ummu Habibah sebanyak 400 Dinar yang berfungsi untuk memperbaiki
akhlak para Raja yang berlebihan dalam pekerjaannya (memboroskan harta dan
bermewah-mewahan karena jabatan tingginya) dan untuk menolong Nabi[286].
Penjelasan ini juga sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir dalam Kitab
Tafsirnya surat al-Ahzab ayat 50[287].
Menurut Al-Jauzi mengenai pembahasan menyingkap
kemusykilan Musnad Ummu Habibah binti Abi Sufyan bahwa:
Namanya Ramlah. Ketika dia disisi
Ubaidullah bin Jahsyi. Habibah dilahirkan dan diberi kunyah dengan nama itu.
Ubaid Allah berhijrah dengan Ummu Habibah ke Tanah Habasyah pada tahun kedua
hijriyah, lalu ia menjadi orang Nashrani, kemudian murtad dari agama
nashraninya dan wafat disana. Sedangkan Ummu Habibah tetap pada agamanya. Maka
Rasul mengutus Amr bin Umayyah Al-Dhamri dan menunjuk sebagai wakil nikahnya
yaitu Raja Najasyi untuk mengkhitbah Ummu Habibah. Maka Khalid bin Sa’id bin Al-Ash
mengurusi pernikahan Ummu Habibah, yaitu anak paman Abi Sufyan dikarenakan Abi
Sufyan masih dalam keadaan kafir. Najasyi menyebut maharnya dari Rasul SAW
sebanyak 400 dinar. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh hijriyah.
diriwayatkan oleh Shahihain[288].
Keempat,
Perbedaan Pendapat Takwilan dan Takwilan yang Benar tentang Maksud Permintaan
Abu Sufyan (yang pertama) agar Nabi menikahi Ummu Habibah:
Menurut Ibnu Shalah, kemungkinan Abu Sufyan meminta kepada Rasul memperbarui
akad nikahnya dengan Ummu Habibah untuk menenangkan hatinya, karena terkadang
ia beranggapan dapat memberikan aib pada kepemimpinan dan nasabnya karena
anaknya menikah tanpa ridha ayahnya. Atau Ibnu Hazm mengira bahwa ‘Keislaman
ayahnya’ mengharuskan pembaharuan nikah”[289].
Disebutkan juga dalam Kitab kitab Taudhih al-Afkar[290] dan
Akhlaq al-Nabi[291].
Al-Nawawi menakwilkan bahwa
Barangkali maksud Sabda Nabi: “ya”
adalah bentuk jawaban bahwa tujuanmu telah tercapai, meskipun tanpa
harus memperbarui akad[292].
Disebutkan juga dalam Kitab Taudhih al-Afkar dan Akhlaq al-Nabi.
Disebutkan
dalam Kitab ‘Aun al-Ma’bud bahwa Sebagian ulama berusaha menakwilkan maksud permintaan Abu
Sufyan soal Ummu Habibah dengan ta’wilan
yang fasad seperti:
Ada yang menakwilkan bahwa maksud Abu Sufyan agar memperbaharui akad
pernikahannya, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan agar Nabi tidak
menceraikan Ummu Habibah, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan menunjukkan
keridhaannya Nabi telah menikahi Ummu Habibah. Takwil lainnya seperti Nabi
telah menceraikan Ummu Habiibah kemudian Abu Sufyan ingin menikahkannya lagi. Apalagi
takwil yang menyatakan bahwa nama tersebut salah sebenarnya bukan Ummu Habibah
binti Abu Sufyan tetapi ‘Azzah binti Abu Sufyan.
Takwil selanjutnyanya bahwa Abu Sufyan merasakan kebencian Nabi pada Ummu
Habibah dan bermaksud dengan lafazh pernikahan itu untuk menetapkan
pernikahannya tidak pernah dilakukan. Lalu takwil bahwa kemungkinan Abu Sufyan
mengatakan permintaan itu sebelum ia masuk Islam[293].
Jawaban
dan Takwilan yang Benar: Al-Adlabi mengomentari pernyataan Al-Nawawi
dan Ibnu Al-Shalah yang terdapat dalam Kitab Syarah al-Nawawi bahwa:
Penafsiran mereka adalah penafsiran
yang jauh dari kebenaran. Sebab jika demikian, niscaya ketika Beliau
diminta memperbarui nikah, maka akan menjawab: “Tujuanmu tercapai” atau akan
menjawab: “Tidak ada masalah” atau “Hal ini tidak mengharuskan pembaruan
nikah”. Dan Beliau tidak perlu menjawab dengan kata “ya”[294].
Menurut Ibnu Katsir, penakwilan bahwa Abu Sufyan ingin memperbaharui
akad untuk menenangkan hatinya dan penakwilan bahwa Abu Sufyan mengira karena
keislamannya, maka pernikahan Ummu Habibah jadi rusak adalah takwilan yang dha’if.
Adapun takwilan yang paling baik atau “Shahih pada Hadits ini adalah
mengenai ta’wil bahwa Abu Sufyan ketika melihat menantunya yaitu Rasul yang
mulia, ia lebih menyukai untuk menikahkannya dengan anaknya yang lain yaitu
‘Azzah dan meminta bantuan pada Ummu Habibah. Namun, rawinya wahm
dalam menyebutkan nama Ummu Habibah”[295].
Begitu juga
disebutkan dalam Kitab al-Mu’jam al-Kabir dan Jami’ al-Ushul bahwa adanya
Pernyatan Al-Mubarak bin Al-Atsir, sungguh Al-Humaidi berkata:
Ia berkata
kepada kami (sebagian Ahli Hufazh): Hadits ini wahm pada sebagian
rawinya, karena tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Ilmu tentang
khabar bahwa Nabi menikahi Ummu Habibah sebelum Fathu Makkah di Habasyah
dan ayahnya masih kafir saat itu”. Adapun pernyataan saudaranya al-Humaidi
dalam kitab Asad al-Ghayah (5/457) bahwa, “Hadits ini di antara sedikit kewahman
dalam kitab Muslim dan diantara kewahamannya ketika Al-Thabrani meriwayatkan
Hadits seperti itu”. Ulama lainnya yang berpendapat, “Maksud memperbaharui akad
tanpa izin Abu Sufyan karena akan menjadikan aib baginya”. Sebagian Ulama lagi
mengatakan, “Karena ia yakin batal nikah anaknya dengan keislamannya”.
Pernyataan ini seluruhnya dha’if.
Menurut
al-Thabrani, jawaban paling benar adalah agar Nabi menikahi anaknya yang lain
yaitu ‘Azzah dan meminta bantuan pada saudaranya Ummu Habibah sebagaimana
Haditsnya yang terdapat dalam Kitab Shahihain dan Hadits ini wahm
rawinya dalam memberi nama “Ummu Habibah” pada Hadits tersebut. Jadi, maksud
kami Hadits ini adalah Hadits yang menyendiri (khabar mufrad).
Dikatakan, “Pada sebagian riwayat adalah ‘Azzah, pada sebagian lainnya adalah
Durrah”. Namun pernyataan ini ditolak (Durrah), sedangkan pernyataan sebelumnya
diterima (‘Azzah)[296].
Menurut
Al-Shan’ani takwilan mengenai yang ingin dinikahkan adalah saudaranya Ummu
Habibah, lalu Nabi mengabarkan bahwa adanya pengharaman menyatukan dua saudara.
Maka takwilan yang paling mendekati sebagaimana disebutkan Haditsnya dalam
Kitab Shahihain”[297].
Begitu
juga, Al-Nawawi berpendapat,
“Kemungkinan kejadian tentang pernyataan Ummu Habibah untuk menikahkan
saudaranya yaitu Azzah, pada waktu itu Ummu Habibah tidak mengetahui adanya
pengharaman menyatukan/menggabungkan antara dua saudara perempuan. Inilah kemungkinan-kemungkinan pada
samarnya Hadits Ummu Habibah dan Abu Sufyan[298].
Haditsnya yaitu:
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ
لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، انْكِحْ
أُخْتِي عَزَّةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتُحِبِّينَ
ذَلِكِ؟» فَقَالَتْ: نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللهِ، لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ،
وَأَحَبُّ مَنْ شَرِكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي»، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ دُرَّةَ
بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: «بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ:
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ
رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ
الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ
عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ»[299]299
Sesungguhnya Ummu Habibah istri Rasul SAW
telah menceritakan, bahwa dia berkata kepada Rasul, Ya Rasul! nikahilah oleh
engkau saudariku, ‘Azzah!' Beliau bertanya, 'Kamu senang akan hal itu? Ummu
Habibah berkata, Benar, Wahai Rasul! 'Aku tidak berbasa-basi dengan engkau, dan
aku lebih senang jika orang yang bersamaku dalam kebaikan adalah saudara
perempuanku sendiri.' Beliau berkata, 'Dia tidak halal aku nikahi' Aku (Ummu
Habibah) berkata, 'Aku mendengar kabar bahwa engkau melamar Durrah binti Abu
Salamah.' Rasulullah SAW menjawab, "Putri Abu Salamah." Aku menjawab,
'Ya.' Beliau berkata, 'Seandainya dia bukan anak tiriku yang dalam asuhanku,
maka dia tetap tidak halal aku nikahi, karena dia adalah putri saudara
laki-lakiku dari hubungan susuan. Tsawaibah pernah menyusuiku dan Abu Salamah. Oleh karena itu, janganlah
kalian menawarkan anak-anak perempuan kalian dan saudara-saudara perempuan
kalian!”'
Takwilan
tentang maksud permintaan menikahi anaknya bukan Ummu Habibah, tapi ‘Azzah juga
dikomentari oleh Ibnu Qayyim bahwa, “Penakwilan ini adalah penakwilan yang
paling baik”[300].
Ayat pendukung kisah ini adalah sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ
أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ
عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي
هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ
إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
Hai
Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut
hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
(al-Ahzaab[33]: 50)
Dalam
Tafsir al-Misbah disebutkan FirmanNya:
Ahlalna laka azwazaka al-lati ataita ujurahunna, dipahami oleh
sebagian ulama seperti Qurthubi dalam arti dihalalkan untuk Nabi mengawini
siapapun yang bukan mahramnya, selama beliau memberi mereka mahar. Alasannya
antara lain apa yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi bahwa Aisyah berkata, “Tidak
wafat Rasul kecuali setelah Allah menghalalkan untuk Nabi semua wanita”.
Penggunaan bentuk kata kerja masa lampau dalam FirmanNya: yang telah engkau
berikan maskawin mereka, mengisyaratkan baiknya memberi maskawin sebelum
bercampur. Tapi mayoritas ulama memahaminya dalam arti dihalalkan bagi beliau
semua wanita yang ketika turunnya ayat ini berstatus sebagai pasangan hidup
beliau. Ini karena mereka itulah yang telah diberikan oleh Nabi maskawin
mereka. Penghalalan itu-walau jumlah mereka lebih dari empat orang- disebabkan
karena mereka telah rela hidup sederhama dengan Nabi. Ibnu Abbas berkata,
“Tadinya Rasul dapat nikah dengan wanita manapun yang beliau inginkan, sehingga
hal ini meresahkan istri-istri beliau, dan ketika turunnya ayat ini mereka
menyambut gembira”. Karena istri-istri yang dimaksud di sini ada yang merupakan
kerabat Nabi dari suku Quraisy yaitu Aisyah, Hafshah, Saudah, Ummu Salamah,
Ummu Habibah dan ada juga yang bukan kerabat yaitu Juwairah dari Bani
al-Mushthalaq, Maimunah binti Al-Harits dari Bani Hilal, Zainab Ummu Al-Masakin
juga dari Bani Hilal yang ketika turun ayat ini telah wafat dan Shafiyah bin
Huyai dari Bani Israil.
Penggunaan kata al-Nabi yang disebutkan dua kali dalam konteks
pernikahan ini, bertujuan menekankan pengkhususan tersebut sekaligus
mengisyaratkan bahwa penerimaan beliau adalah terdorong oleh kedudukan beliau
sebagai manusia agung di sisi Allah, yang dianugerahi keistimewaan serta
dibebani pula tugas khusus yang tidak dibebankan pada selainnya[301].
Adapun Menurut Ibnu Katsir mengeani
FirmanNya,
Wa mâ malakat yamînuka mimmâ afâ allâhu ‘alaika (“Dan hamba
sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan
yang dikaruniakan Allah untukmu.”) yaitu Allah halalkan bagimu sesuatu yang kau
ambil dari harta rampasan perang. Beliau memiliki Shafiyyah dan Juwairiyyah
dari rampasan tersebut, lalu beliau memerdekakan dan menikahi keduanya. Beliau
juga memiliki Raihanah binti Syam’un an-Nadlariyyah, serta Mariyatul Qibthiyyah
ibu Ibrahim anak beliau, yang keduanya adalah tawanan.
Firman Allah: Wa banâti ‘ammika wa
banâti ‘ammâti khâlika wa banâti khâlâtika (“Dan [demikian pula] anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.”) ini merupakan keadilan,
pertengahan antara sangat lebih dan sangat kurang. Hal ini diriwayatkan oleh
Ubay bin Ka’ab, Ikrimah, Al-Dhahak, Mujahid, Abi Al-Razin, Abi Al-Shalih,
Al-Hasan, Qatadah, Al-Sudi, dan selain mereka.
Ibnu Jarir Al-Thabari juga berkata, “Maksud
ayat di atas adalah tidak halal bagi Nabi untuk menikahi istri-istri bukan
seorang muslim. Maka perempuan Nashrani, Yahudi, dan Musyrik haram bagi Nabi”.
Diharamkan wanita yang memiliki fisik cantik tanpa agama Islam sebagaimana
disebutkan dalam Surat al-Maidah ayat 5.
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Ummu Salamah berkata: “Rasulullah SAW
tidak wafat sehingga Allah menghalalkan baginya untuk mengawini wanita yang dikehendakinya
kecuali mahramnya”[302].
Selanjutnya FirmanNya:
لَا
يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلَا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ
Tidak halal bagimu mengawini
perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
isteri-isteri (yang lain)…[303](QS.Al-Ahzab[33]:52)
Ibnu
Katsir menyebutkan banyak ulama, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Al-Dhahhak, Qatadah,
Ibnu Zaid, Ibnu Jarir dan selain mereka juga menyebutkan,
Bahwa ayat ini turun sebagai balasan bagi para istri Nabi SAW serta
keridhaan terhadap mereka atas kebaikan sikap mereka memilih Allah, Rasul-Nya
dan negeri akhirat, di saat Rasulullah SAW meminta mereka untuk memilihnya
seperti pada ayat yang lalu. Ketika mereka telah memilih Rasulullah saw., maka
balasan yang mereka terima adalah Allah membatasi Nabi untuk dijadikan
istri-istri beliau serta diharamkan baginya untuk menikahi wanita lain atau
menggantikan mereka dengan wanita yang lainnya, sekalipun kecantikan mereka
membuat beliau kagum, kecuali budak wanita dan tawanan perang, maka tidak
mengapa beliau miliki. Kemudian Allah menghapuskan (nasakh) kesulitan
tersebut dan membatalkan hukum ayat ini serta membolehkan beliau untuk nikah.
Akan tetapi setelah peristiwa pernikahan pada wanita tawanan perang itu,
pernikahan beliau tidak terjadi, agar beliau menjadi anugerah bagi mereka.
Ikrimah berpendapat, “Istri-istri yang
bersama nabi ada sembilan orang yaitu lima orang dari Quraisy yaitu Aisyah,
Ummu Habibah, Hafshah, Saudah, Ummu Salamah. Yang lainnya adalah Shafiyah binti
Huyay, Zainab binti Jahsyi, Maimunah binti Al-Harits al-Hulaliyah, dan
Juwairiyah binti al-Harits al-Mushthalaqiyah”[304].
Ibnu Abi Hatim berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ismail Al-Ahmasi, Telah menceritakan kepada kami Wali’, Telah menceritakan
kepada kami Musa bin Ubaidah, Dari Muhammad bin Ka’ab, Dari Umar bin Al-Hukm
dan Abdullah bin Ubaidah, mereka berkata:
Nabi
menikahi 13 istri, enam orang dari Quraisy yaitu Khadijah, Aisyah, Hafshah,
Ummu Habibah, Saudah, Ummu Salamah. Tiga orang dari Bani ‘Amir Sha’sha’ah, dua
istri dari Bani Hilal bin ‘Amr yaitu Maimunah binti Al-Harits (dia yang
menghadiahkan/menyerahkan dirinya pada Nabi), Zainab Ummu al-Masakin, dan wanita
dari Bani Abi Bakar bin Kilab dari al-Qartha (dia adalah orang yang memilih
dunia), wanita dari Bani al-Jun yaitu wanita yang minta perlindungan kepada
Nabi. Zainab binti Jahsyi Al-Asdiyah, serta dua tawanan perang yaitu Shafiyah
binti Huyay bin Akhthab dan Juwairiyah binti Al-Harits bin Amr Al-Mushthalaq
Al-Khaza’iyyah[305].
Dari kisah di atas membuktikan bahwa Nabi tidak akan pernah
memperbaharui akad nikah istri-istrinya dan dalil surat al-Ahzab yang
membolehkan Nabi menikah lagi, namun Nabi menikah tidak karena nafsunya, tapi
dalam batas-batas yang sangat wajar dan yang bertujuan mendukung misi
dakwahnya.
Al-Zarkasyi mengatakan bahwa makna
takwilan permintaan Abu Sufyan pertama adalah perkataan Nabi untuk menenangkan
hati Abu Sufyan dan takwilan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ” yaitu Ummu Habibah adalah takwilan yang jauh dari kebenaran[306]. Ia juga menambahkan,
Diantara
pendapat yang dapat dijadikan hukum oleh kesepakatan adalah pernyataan
al-Baihaqi dalam Kitab Sunannya. Syaikh kami ‘Amad Al-Din bin Katsir menyebutkan
pernyataan berikut sebagai ta’wilan yang baik yaitu, “Pernyataan bahwa Maksud
Abu Sufyan menikahkan pada Nabi adalah anaknya yang lain yaitu ‘Azzah, dan Ummu
Habibah diminta membantu untuk bicara pada Nabi. Maka Nabi menyetujuinya untuk
menyenangkan hati Abu Sufyan. Namun, di sisi lain Nabi menjelaskan pada Ummu
Habibah bahwa saudaranya tidak halal bagi Nabi. Maka Nabi memenuhi
permintaannya yang lain yaitu menjadikan Mu’awiyah sebagai penulisnya.
Mu’awiyah adalah diantara sahabat yang diutus oleh Nabi untuk menghancurkan
thaghut penduduk Tha’if.Oleh karenanya, termasuk wahm pada Ikrimah dan rawi
yang lainnya yang menyebutkan kalimat عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ” , padahal wanita itu adalah ‘Azzah. Ikrimah yakin bahwa wanita
itu adalah Ummu Habibah, maka ia menyebutkannya. Ia tidak memahami apa yang
dimaksudkan Abu Sufyan, maka Hadits ini menjadi munkar pada rawi yang
keliru tersebut[307].
D.
Nilai
dan Kehujjahan
Analisa
sanad dan matan Hadits tentang Keutamaan Abu Sufyan telah dibahas di atas, maka
dalam rangka membahas nilai Hadits tersebut hanya dengan mengambil kesimpulan (natijah)
dari analisa sanad dan matan.
Telah
disebutkan bahwa sanad Hadits ini tsiqat dan dari segi matannya pun shahih.
Walaupun banyak para Ulama yang berpendapat Hadits ini bertentangan dengan
fakta sejarah, namun hal itu dapat terbantahkan dan terbukti Hadits ini sesuai
dengan fakta sejarah. Dengan demikian, Hadits ini dapat dijadikan hujjah.
[132]Muslim, Shahih
Muslim, hlm.1358
[133]A.J.Wensink,
al-Mu’jamul Fahrs li Alfadzil Haditsan-Nabawi, (Leiden: Maktabah Biril,
1936), Juz.5, hlm.43
[134]Ibid,hlm.352
[135]Ibid, Juz 1,
hlm.100
[136]Muhammad
Abdul Baqi’, Miftah al-Kunuz as-Sunnah, (Lahore: Idarah Tarjaman
as-Sunnah, 1978), hlm.16
[137]Abi
al-Hajaj al-Mizi, Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf, (t.t:t,tp,
t.th), Juz.4, hlm.469
[138]Ahmad bin
Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqalani, Ittihaf al-Maharrah bi Al-Fawa-id
al-Mubtakarah min Athraf al-‘Asyirah, (Madinah: Fahrasah Maktabah al-Mulk
Fahd al-Wathaniyah, 1994), cet.ke-1, Juz.7, hlm.233
[139]Abi ‘Awanah
Ya’kub bin Ishaq al-Isfirayini, al-Qismu al-Mafqud min Musnad Abi ‘Awanah
al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim, (Kairo: Maktabah al-Sunnah,1995),
cet.ke-1; Abi ‘Awanah Ya’kub bin Ishaq al-Isfirayini, Mustakhraj Abi
‘Awanah, Mustakhraj Abi ‘Awanah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), cet.ke-1
(Maktabah Syamilah al-Isdar 2) (5 juz: Kitab Iman, Kitab Shalat, Kitab Zakat,
Kitab Haji, dan Kitab Hudud)
[140]Muslim, Shahih
Muslim, hlm.1358
[141]Al-Amir
‘Ala-u al-Din ‘Ali bin Balban al-Farisi, Shahih Ibnu Hibban bi Tartib
Ibnu Balban, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1993), cet.ke-2, Juz.16,
hlm.189
[142]Abu Bakar
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), cet.ke-3, Juz.7, hlm.226
[143]Abu al-Qasim
Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah Ibnu
Taimiyah, t.th), cet.ke-2, Juz.12, hlm.199
[144]Abu
al-Qasim Hibbatullah bin Hasan bin Manshur al-Thabari al-Razi al-Lalika-i, Syarah
Ushul I’tiqad Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Arab Saudi: Dar Tayyibah, 2003),
cet.ke.8, Juz 8, hlm.1442-1443
[145]Abu Bakar
bin Abi Ashim wahuwa Ahmad bin Amr al-Dhahak bin Mukhallid al-Syaibani, al-Ahad wa al-Matsani, (Riyadh: Dar
al-Rayah, 1991), cet.ke-1, Juz1, hlm.364
[146]Jamal al-Din Abi
al-Hajjaj Yusuf al-Mizi, Tahdzib
al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1983),
cet.ke-12 Jil.15, hlm.155-162
[148]Jamal Al-Din, Tahdzib,
, Jil.12, hlm.127
[149]Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib,
(tt:Dar Al-‘Ashimah, t.th), hlm. 687
[150] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.5, hlm. 114
[151]Jamal Al-Din, Tahdzib,
Jil.20, hlm. 256-264
[152] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.7, hlm. 34
[153]Jamal Al-Din, Tahdzib,
Jil.29, hlm.402-403
[158] Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.1, hlm. 301
[159]Abu Bakar Muhammad bin Abd al-Ghani, Al-Taqyid li
Ma’rifah al-Ruwah wa al-Sunan wa al-Masanid, (Hindi: Mathbu’ah Mujallis Da-irah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah ,
1983 ), cet.ke-1, Juz.1, hlm.187
[160]Abi Al-Qasim Ali bin Al-Hasan Ibn Habbah Allah bin Abd Allah
Al-Syafi’I (Ibnu ‘Asakir), Tarikh Madinah Dimasyqi, (t.t: Dar Al-Fikr,
1997), cet.ke-1, Juz.52, hlm. 249
[161]Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.6, hlm. 99
[162]Muhammad bin Mukarram (Ibn Manzhur), Mukhtashar Tarikh Dimasyqi
li Ibnu ‘Asakir ,(Damaskus: Dar Al-Fikr, 1990), cet.ke-1, Juz. 22, hlm.79
[163]Abu Bakar ,
Al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.2, hlm.60
[164]Taj Al-Din Abi Nashr Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-Kafi Al-Subki, Thabaqat
Al-Syafi’iyyah al-Kubra, (t.t: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th), Juz.3, hlm. 69-70
[165]Abu Bakar, al-Taqyid
li Ma’rifah, Juz.1, hlm.34-35
[166]Taj Al-Din, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz.3, hlm.69-70
[167]Syamsu Al-Din Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al-Dzahabi,
Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Garb al-Islami, 2003),
cet.ke-1, Jil.8, hlm. 432
[168]Abu Bakar, al-Taqyid
li Ma’rifah, Juz.1, hlm.130-131
[169]Syamsu Al-Din Abi Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Utsman
Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, (Beirut: Mu-assasah al-Risalah, 1983), cet.ke-1, Juz.15, hlm. 466-467
[170]Khair Al-Din Al-Zirikli, Al-I’lam Qamus Tarajim li al-Asymar
al-Rijal wa al-Nisa min al-‘Arab al-Musta’ribina wa al-Musytasyriqina, (Beirut:
Dar al-‘Ilmi li al-Mulayyin, 2002), cet.ke-15, Juz.6, hlm. 227
[171]Abu Bakar, Al-Taqyid
li Ma’rifah, Juz.1, hlm.64-65
[173]Muhammad bin Hibban
bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Al-Tsiqât, (Hindi: Mathbu’ah
Majlis Da-irah al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1973), cet.ke-1, Juz.9, hlm.160
[174]Jamal, Tahdzib,Jil.29,
hlm.147
[175]Abu Al-Ma’athi Al-Nawari, dkk, Mausu’ah Aqwal al-Imam Ahmad bin
Hanbal fi Rijal al-Hadits wa ‘Ilalihi, (Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1997), cet.ke-1,
Jil.3, hlm. 416
[176]Abi Bakar Ahmad bin
Ali bin Tsabit al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Madinah al-Salam, (Beirut:
Dar al-Gharb al-Islami, 2001), cet.ke-1, Juz.6, hlm.219
[177]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm. 437-438
[179]Abi Bakar
Al-Baghdadi, Tarikh Madinah, Jil.4, hlm.336-339
[180]Syamsu Al-Din, Mizan, Juz.3, hlm.278; Syamsu Al-Din, Siyar
A’lam, Juz.16. hlm. 119
[181]Abu Bakar, Al-Taqyid li Ma’rifah, Juz.2, hlm.12
[183]Abi Al-Qasim (Ibnu ‘Asakir), Tarikh Madinah Dimasyqi, Juz.
22, hlm.163
[185]Jamal, Tahdzib, Jil.24,
hlm.489-490
[186]Ibnu Hibban, al-Tsiqat,
Juz.9, hlm.150
[187]Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Nasa-I, Tasmiyah
Masyayuh Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Nasa-I Alladzina sami’a
minhum wa Dzikru al-Mudallisina, (Makkah: Dar ‘Alim al-Fawa-id, 1432),
cet.ke-1, hlm.96
[188]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm.439; Abu Bakar
Al-Bahgdadi, Tarikh Madinah Al-Salam, Juz.5, hlm.433; Syamsu Al-Din, Tarikh
al-Islam, Juz.7, hlm. 901
[189]Al-Baghdadi, Tarikh
Madinah, Juz.5, hlm.433
[190]Syamsu Al-Din, Siyar A’lam, Juz.15, hlm.439; Abu Bakar
Al-Bahgdadi, Tarikh Madinah Al-Salam, Juz.5, hlm.433;
[191]Abu Bakar Al-Baghdadi,
Tarikh Madinah, Jil.13, hlm.232
[193]Jamal Al-Din , Tahdzib al-Kamal, Juz. 22, hlm. 77-78
[194]Fatchur Rahman, Ikhtishar,
hlm.60-61
[196]Husein Zaenal Muttaqin al-Indunisiyyi, Dirasah
Tahliliyyah li Tarjamah Suwaid bin Sa’id al-Hadatsani, (al-Madinah
al-Munawwarah: al-Mumlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1420H), hlm.9-10; Abdul
‘Aziz, Dhawabith al-Jarh, hlm.48-49 Mengenai Para Imam Jarah dan Ta’dil
Mutasyaddid, Mu’tadilin, Mutasahhil, dan Muta-akhirin.
[197] Jamal al-Din, Tahdzib, Jil.20, hlm.259
[200]Ibid, hlm.261
[201]Ibid
[204]Al-Dzahabi, Mizan, Juz.5, hlm.114
[205]al-Jauzi,
Kasyfu al-Musykil, Juz.2, hlm.463-464
[210]Al-Dzahabi, Mizan, hlm. 114
[212]Ibnu Hajar, Taqrib, hlm. 687
[213]Al-Dzahabi, Mizan, hlm. 116
[215]Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh, hlm.13-14
[216]Syihabuddin Abi al-Fadhl Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Hajar al-Kinani al-‘Asqalani, Ta’rif Ahli al-Taqdîs bi Marâtib al-Maushûfîn bi al-Tadlîs, (Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyah, 1987), cet.ke-2, hlm.98
[217]Ibid, hlm.23
[218]Muhammad
Abu al-Laits al-Khair Abadi al-Qasimi, Takhrij al-Hadits: Nasyâtuhu wa
Manhâjatuhu, (Malaysia, al-Jami’ah al-Islamiyah al-‘Alamiyah, 1997),
cet.ke-3, hlm.231
[220]al-Khathib,
Ushul al-Hadits, hlm.306
[221]Syamsu
al-Din Abi al-Khair Muhammad bin Abd al-Rahman al-Sakhawi al-Syafi’I, Fath
al-Mugits bi Syarhi Alfiyah al-Hadits, (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj,
1426H), cet.ke-1, Juz.1, hlm.123; Abi al-Fadhl Abd al-Rahman bin Abi Bakar
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi, (Riyadh:
Dar al-‘Ashimah, 2003), cet.ke-1, Juz.1, hlm.222
[222]Azis
Asmana, Syarah dan Kritik, (Tesis), hlm.79-80
[223]Su’ud bin
‘Aid bin Umair al-Sha’idi, al-Ahadits al-Waridah fi Fadha-il al-Shahabah, (Madinah:
Fahras Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathaniyyah Atsna al-Nasy, 1427 H), cet.ke-1,
Jil.8, hlm.346-349
[224]Azis
Asmana, Syarah dan Kritik, (Tesis), hlm.76; Sebagaimana perselisihannya
terdapat dalam Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
(Kairo: al’Ashimah, t.t), hlm.119-137
[227]Ibnu
Manzhur, Lisan al-Arab, hlm.1885
[228]Ibid, hlm.637
[229]Ibid, hlm.3817
[230]Ibid, hlm.128
[232]Ibnu
Manzhur, Lisan al-Arab, hlm.37
[233]Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Juz.16, hlm.91
[235]Ibid, hlm.13
[236]al-Jauzi,
Kasyfu al-Musykil, Juz.2, hlm.464
[239]Muhammad
bin Ismail al-Amir al-Husna al-Shan’ani,
Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, (Madinah: al-Maktabah
al-Salafiyah, t.th), Juz.1, hlm.128-129
[240]Abi
Muhammad Abd Allah bin Muhammad bin Ja’far bin al-Ashbahani, Akhlaq al-Nabi
wa Âdâbuhû, (Kairo: al-Dar al-Masriah al-Lubnaniah, 1993), cet.ke-2, hlm.51
[242]Muhammad
bin Ibrahim bin Ali bin al-Murtadha bin al-Mufadhal al-Husna al-Qasimi, Al-‘Awashim
wa al-Qasimi fi al-Dzan ‘an Sunnah Abi al-Qasim, (Beirut: Mu-assasah
al-Risalah, 1994), cet.ke-3, Juz.3, hlm.93-94
[244]Muhammad bin Fatuh
al-Humaidi, al-Jama’ baina al-Shahihain, (t.t: dar Ibn Hazm, t.th),
Juz.2, hlm.130-131
[245]Majad al-Din Abi
al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi
Ahadits al-Rasul, (t.t, Maktabah Dar al-Bayan,1969), Juz.9, hlm.106
[248]Al-Mizi, Tahdzib, Juz. 10, hlm. 263
[249]Al-Baihaqi,
al-Sunan al-Kubra, Juz.7, hlm.226; Abi al-Qasim Ali bin al-Hasan Ibn
Hibbatullah bin Abdullah al-Syafi’I, Tarikh Madinah Dimasyqi,(t.t, Dar
al-Fikr, t.th), Juz.69, hlm.147-148
[250]Muhammad
bin Ibrahim bin Ali bin al-Murtadha bin al-Mufadhal al-Husna al-Qasimi, Al-‘Awashim
wa al-Qasimi fi al-Dzan ‘an Sunnah Abi al-Qasim, (Beirut: Mu-assasah
al-Risalah, 1994), cet.ke-3, Juz.3, hlm.93-94
[253]Thahir al-Jazari
al-Dimasyqi, Taujih al-Nazhr ila Ushul al-Atsar, (Beirut: Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah,
1995), Juz.2, hlm.738-741
[254]Ibid, hlm. 741
[255]Al-Zarkasyi, al-Nukat, hlm.296-298
[256]Abi Fadl bin Hajar al-Asqalani, Al-Wuquf ‘ala Mâ
fii Shahîhi Muslim min al-Mauquf, (Beirut: Mu-assasu al-Kutub
ats-Tsaqafiyyah, 1986), cet.ke-1, hlm.151
[257]Penjelasan ini
terdapat dalam Kitabnya Minhaj al-Sunnah dan Majmu’ Fatawa.
[258]Muslim, Shahih
Muslim, hlm.1500
[263]Abu Abd
Allah al-Husain Ibn Ibrahim al-Juraqani al-Hamdzani, al-Abati wa al-Manakir
wa al-Shihah wa al-Masyahir, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004), cet.ke-1,
hlm.105
[264]al-Zarkasyi,
Al-Nukat, Juz.1, hlm.293-294
[265]Muslim, Shahih Muslim, hlm.6-21
[266]al-Zarkasyi,
Al-Nukat, Juz.1, hlm.294-298
[267]Sa’ad al-Marshafa, Difa’
‘an Hadits, hlm.38-39
[268]Al-Zarkasyi, Al-Nukat, Juz.1, hlm.295-296. Kisahnya
terdapat di dalam Kitab al-Ishabah dan
telah disebutkan di Bab 3 hlm.42 bahwa pernyataan ini diingkari oleh para
sahabat bahwa Nabi menugaskan Abu Sufyan di Najran. Namun Abu Sufyan berada di
Makkah ketika Nabi wafat dan yang ditugaskan (menjadi pemimpin perang) ketika
itu adalah Amr bin Hazm.
[269]Ibid, hlm.298; Taqiyyudin Ahmad bin Ali
bin Abdul Qadir bin Muhammad al-Maqrizi, Imta’ al-Asma’ bima li
al-Nabiyyi saw minal Ahwali wa al-Amwali al-Hafadati wa al-Mata’I, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Juz.2, cet.ke-1, hlm.20-21
[270]Sa’ad al-Marshafi, Difa’
‘an Hadits, hlm.29-30
[272]Al-Zarkasyi, Nukat, Juz.1, hlm.290
[273]Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistan, Sunan Abi Daud,(Riyadh:
t.pn, t.th), hlm.240
[274]Ibid
[275]Abi Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala
al-Shahihain, (Mesir: Dar al-Haramain, 1997), Juz.2, cet.ke-1, hlm.261
[276]Abi Ubaidullah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Riyadh:
Baitul Afkar, 1998), hlm. 2044
[277]al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak, Juz.4, hlm.102
[278]Al-Zailâ-I, Kitab
Takhrij al-Atsar, Juz.2, hlm.945-948; al-Hakim
al-Naisaburi, al-Mustadrak, Juz.4, hlm.105
[279]Muhammad bin Yusuf
al-Shalihi al-Syami, Subulu al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad, (Kairo:
Ihya’ al-Turats al-Islami, 1997), Juz. 12, hlm.101-102
[280]Syihabuddin, al-Ishabah fi al-Tamyiz, Juz.8, hlm.84-85;
Muhammad bin Sa’ad bin Muni’ al-Zuhri, al-Thabaqah al-Kabir, (Kairo:
Maktabah al-Khanaja, 2001), Juz.10, cet.ke-1, hlm.95-97; Ibrahim Muhammad Hasan
al-Jamal, Zaujatu al-Nabi Muhammad saw wa Asraru al-Hikmah fi
Ta’addadihinna, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th), cet.ke-2, hlm.89-96;
Muhammad Ali Qathab, Zaujatu al-Anbiya’ wa Ummahat al-Mu’minin, (Kairo:
Dar al-Tsaqafiyyah, 2004), cet.ke-1, hlm. 171-176; ‘Amad
al-Din Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, al-Bidayah
wa al-Nihayah, (Pakistan: Dar al-Hijr, 1997), cet.ke-1, Juz.6, hlm.144; Ibnu Balban, Shahih Ibnu
Hibban, Juz.16, hlm.190
[281]Syihab al-Din Abi
al-Falah Abd al-Hay bin Ahmad bin Muhammad al’Akri al-Hanbali al-Dimasyqi, Syadzarârat
al-Dzahab fi Akhbar man Dzahab, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1986), cet.ke-1,
hlm.192-193
[282]Al-Zarkasyi, Nukat, Juz.1, hlm.290
[283]‘Izzuddin bin al-Atsir Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari,Asad
al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994),
cet.ke-1, Juz.7, hlm.117
[284]al-Zarkasyi,
Al-Nukat, Juz.1, hlm.296-297
[286]Sa’ad al-Marshafi, Difa’
‘an Hadits, hlm.17
[287]‘Amad
al-Din, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz.11,
hlm.190
[290]Muhammad
bin Ismail al-Amir al-Husna al-Shan’ani,
Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, (Madinah: al-Maktabah
al-Salafiyah, t.th), Juz.1, hlm.128-129
[291]Abi
Muhammad Abd Allah bin Muhammad bin Ja’far bin al-Ashbahani, Akhlaq al-Nabi
wa Âdâbuhû, (Kairo: al-Dar al-Masriah al-Lubnaniah, 1993), cet.ke-2, hlm.51
[295]Ibnu Katsir,
al-Bidayah Juz.6, hlm.149
[297]Al-Shan’ani,
Taudhih al-Ifkar, Juz.1, hlm.129
[298]Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Juz.10, hlm.39-40
[300] Muhammad bin Ibrahim, Al-Awashim, Juz.3,
hlm.93-94
[301]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, Vol.11, hlm.300-303
[302]‘Amad al-Din, Tafsir al-Qur’an, Juz.11,
hlm.190-191
[303]Nabi tidak
boleh menikah lagi sesudah mempunyai istri-istri sebanyak yang telah ada itu
dan tidak boleh mengganti istri-istrinya yang telah ada dengan menikahi
perempuan lain.
[304]‘Amad al-Din, Tafsir
al-Qur’an, Juz.11, hlm.191
[306]al-Zarkasyi,
Al-Nukat, Juz.1, hlm.289
Tidak ada komentar:
Posting Komentar