IMAM AN-NASA-I
(215-303 H/ 839-915 M)[1]
Oleh: Laila Mumtahanah[2]
A.
Silsilah
An-Nasa-i adalah ulama terkemuka melebihi
ulama lain dimasanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam Tadzkirah,
nama lengkap Beliau adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali
bin Sinan bin Bahar al-Khurasani al-Qadli. Dialah pengarang Kitab Sunan dan
kitab-kitab berharga lainnya. Beliau dilahirkan di daerah Nasa’ pada
tahun 215H. Ada yang berpendapat, Ia dilahirkan tahun 214H[3]. Nama Beliau dinisbatkan pada kota tempat beliau
dilahirkan[4].
B.
Perjalanan Mencari Ilmu
Dalam kitab al-Ba’itsul Hasis, Imam
an-Nasa-i dilahirkan dan dibesarkan di Nasa’. Ia menghafalkan al-Qur’an
dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari guru-guru madrasah di negerinya. Setelah
menginjak remaja, dia senang mengembara untuk mendapatkan hadits. Sebelum
berusia 15tahun, dia pergi ke Hijaz, Irak, Mesir, dan Jazirah Arab untuk belajar
hadits dari ulama-ulama negeri itu. Sehingga Nasa-i menjadi ulama hadits
terkemuka yang mempunyai sanad ‘Ali (sanad yang sedikit).
C.
Tempat Tinggal an-Nasa-i
Nasa-i tinggal di Mesir yaitu tepatnya di
jalan Qanadil hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian, Ia pindah ke
Damaskus. Di tempat yang baru ini, Ia mengalami peristiwa tragis yang
menyebabkan kematiannya.
Dikisahkan, suatu ketika Ia datang ke masjid,
Ia dimintai pendapat tentang keutamam Mu’awiyah oleh segerombolan orang yang
mendekatinya, mereka seakan-akan mendesak Nasa-i agar menulis buku tentang
“Keutamaan Mu’awiyah” sebagaiman Ia menulis tentang “keutamaan Ali” . Nasa-i
menjawab kepada penanya tersebut: “Apakah kamu belum puas adanya kesamaan
derajat antara Mu’awiyah dan Ali, sehingga kamu merasa perlu mengutamakannya?”.
Mendengar jawaban seperti itu, mereka marah lalu memukulinya sampai buah
zakarnya pun dipukuli, serta menginjak-injaknya, kemudian menyeretnya keluar
dari masjid, sampai hampir meninggal dunia[5].
Ada juga yang mengatakan bahwa Ia memilih
negara Mesir sebagai tempat untuk bermukim dalam menyiarkan hadits-hadits
kepada masyarakat[6].
D.
Wafatnya
Dalam kitab Bidayah an-Nihayah disebutkan bahwa Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat beliau
meninggal. Daruquthni menjelaskan, ketika ditimpa musibah di Damaskus itu, Ia
minta dipindahkan ke Makkah dan meninggal di tanah haram itu. Kemudian
dimakamkan di disuatu tempat antara Shafa dan Marwah. Begitu juga pendapat
Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-Uqbi al-Misri dan ulama lainnya.
Imam adz-Dzahabi berbeda pendapat, Menurutnya
an-Nasa-i meninggal di Ramlah Palestina. Ibnu Yunus dalam Tarikhnya
sependapat dengan adz-Dzahabi, begitu pula Abu ja’far ath-Thahawi dan Abu bakar
bin Naqatah, mereka juga mengatakan bahwa Nasa-i wafat tahun 303H, dan
dimakamkan di Baitul Maqdis[7].
Dalam buku Ikhtishar Mushthalah hadits, Beliau wafat hari Senin, 13
Shafar[8].
E.
Guru dan Muridnya
Nasa-i menerima hadits dari beberapa ulama
terkemuka. Ketika berusia 15tahun, Ia belajar ke Qutaibah selama 14bulan. Guru
lainnya Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Khasram dan Abu Dawud
(penulis as-Sunan) dan Tirmidzi (penulis al-Jami’).
Banyak ulama yang meriwayatkan haditsnya.
Diantaranya Abul qasim ath-Thabrani, Abu Ja’far ath-Thahawi, al-Hasan bin
al-Khidir as-Suyuthi, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi, dan Abu
Bakar bin Ahmad as-Sunni[9].
F.
Sifat-sifatnya
Nasa-i memiliki wajah yang tampan, kulitnya
putih kemerahan, dan suka mengenakan pakaian dengan motif bergaris buatan
Yaman. Dia adalah ahli ibadah baik di waktu siang ataupun malam, serta rajin
berhaji dan berjihad.
Dia sering ikut bertempur bersama gubernur
Mesir. Nasa-i terkenal keberaniannya dan keteguhan hatinya menegakkan cara
berjihad menurut Sunnah rasul. Sehingga dia dikenal selalu menajga jarak dengan
majlis penguasa, meskipun sering ikut berperang bersamanya. Begitulah,
seharusnta disamping mengajarkan ilmu pengetahuan, jika ada panggilan jihad,
hendaklah ulama segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa-i juga
mengikuti jejak Abu Dawud sehari berpuasa sehari tidak[10].
Beliau adalah seorang Muhadits putra Nasa yang pintar, wara’, hafidz, lagi
taqwa. Bahkan menurut sebagian Muhaddits, beliau lebih Hafidz dari Muslim[11]. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam
an-Nubala’ bahwa Dia adalah hafidz hadits, Syaikh Islam dan pengkritik
hadits dan penulis kitab as-Sunan[12].
G.
Komentar para Ulama tentangnya dan Kitabnya
Nasa-i sangat teliti terhadap perawi dan telah
menentukan persyaratan yang sangat ketat dalam menerima hadits. Al-Hakim menggutip pendapat
Daruquthni bahwa: “Abu Abdurrahman an-Nasa-i adalah ulama hadits terkemuka di
masanya”. Kitab hadits yang disusunnya disebut ash-Shahih.
Abu Ali an-Naisabuuri, seorang ahli hadits
di Khurasan mengatakan: “Yang mengatakan hadits kepada kami adalah seorang imam
hadits yang telah diakui oleh ulama, yaitu bernama Abdurrahman an-Nasa-i.
Syarat yang dipakai Nasa-i lebih ketan dibanding syarat yang digunakan oleh
Muslim al-Hajjaj”. Meskipun agak berlebihan, pernyataan diatas menunjukan bahwa
Nasa-i sangat hati-hati dalam mengkritik para perawi[13].
H.
Fiqh Nasa-i
Disamping ahli hadits, mengetahui para perawi
dan kelemahan hadits yang diriwayatkan, Ia juga seorang ahli fiqh. Daruquthni
pernah berkata: Di Mesir, Nasa-i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqh
pada masanya, dan paling mengetahui tentang hadits dan perawinya.
Al-Hakim Abu Abdullah berkata: Pendapat Abu abdurrahman
mengenai hadits fiqh sangat banyak jumlahnya jika ditunjukkan seluruhnya.
Barang siapa yang mengkaji kitabnya as-Sunan, niscaya akan terpesona
dengan keindahan kata-katanya.
Ibnu Asir al-Jazairi menerangkan dalam
miqaddimah Jami’ul Ushulnya, Nasa-i bermazhab Syafi’i dan mempunyai kita
Manasik yang di tulis berdasarkan mazhab Syafi’i[14].
I.
Karya-karyanya
Diantara kitab karya Imam an-Nasa-i adalah:
1.
As-Sunan al-Kubra
2.
As-Sunan ash-Shughra terkenal
dengan nama al-Mujtaba. Kitab ini merupakan hasil seleksi dari Nasa-i
sendiri, ada yang mengatakan juga bahwa nama kitab iniadalah al-Mujtana.
Kitab ini disusun dengan metodologi yang sangat unik dengan memadukan fikh dan kajian sanad. Hadits-haditsnya disusun
dengan bab-bab fikh, dan tiap bab diberinya judul, yang terkadang mencapai
tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadits di suatu
tempat. Dengan demikian Ia telah menempuh suatu jejak Muhadditsin yang paling
rimit dan agung[15].
3.
Dalam Kitab Sunan an-Nasa-i bi Ta’liqaat as-Salafiyyah bi Tahqiq Fadilah
al-Ustadz ‘Ata-ullah al-Faujiyani bahwa Sunan ash-Sughra adalah
Kitab Sunan yang paling sedikit hadits dla’ifnya yaitu yang ada dihadapan kami
hari ini dan di pegang oleh para Muhadditsin dalam riwayat mereka dari
an-Nasa-i. Jumlah hadits al-Mujtaba ada 5761 hadits[16].
4.
Al-Khasha-is
5.
Fada-ilus Shahabah
6.
Al-Manasik[17]
7.
J.
Sunan an-Nasa-i
Ketika
selesai menyusun kitabnya, as-Sunan al-Kubra, Imam an-Nasa-i
memberikannya kepada amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: Apa isi kitab shahih
ini shahih semua? Dia menjawab:”Ada yang shahih dan ada yang hasan, serta ada
pula yang mendekati keduanya”. Sang Amir berkata: “Pilihkan hadits yang shahih
saja untukku”. Kemudian Nasa-i menghimpun hadits shahih saja dalam kitab yang
diberi nama as-Sunan ash-Shugra. Kitab ini disusun menurut sistematika
fiqh seperti kitab sunan lainnya.
Nasa-i sangat teliti dalam menyusun kitab as-Sunan
as-Sughranya. Oleh karena itu, ulama berkata: “Derajat kitab as-Sunan
ash-Sughra dibawah Shahih Bukhari dan Muslim. Karena sedikit
sekali hadits dla’if yang terdapat didalamnya”. Oleh karenanya, hadits Sunan
ini dikritik oleh Abul Faraj ibnu al-Jauzi dan dianggapnya sebagai hadits maudlu’
yang jumlahnya amat sedikit yaitu sebanyak 10 buah.
Penilaian maudlu’ itu tidak sepenuhnya dapat diterima, bahkan
as-Suyuthi menyanggahnya. Dalam Sunan an-Nasa-i terdapat hadits shahih,
hasan dan dla’if. Tetapi yang dla’if jumlahnya sangat sedikit. Adapun pendapat
sebagian ulama, ada yang mengatakan bahwa hadits Sunan itu shahih semua. Penilaian ini adalah
terlalu sembrono. Atau mungkin maksudnya adalah sebagian hadits Nasa-i
adalah hadits shahih.
Sunan ash-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab
hadits pokok yang dapat dipercaya menurut penilaian ahli hadits. Sedangkan Sunan
al-Kubra tidak terdapat hadits yang
ditinggalkan oleh para ulama.
Apabila ada hadits yang dinisbatkan kepada
an-Nasa-i misalnya, dikatakan “hadits riwayat an-Nasa-i”, maka yang dimaksud
adalah hadits yang terdapat dalam Sunan as-Sughra. Tapi ada pula yang
mengatakan bahwa maksudnya hadits yang terdapat dalam Sunan al-Kubra.
Sebagaimana pendapat pengarang kitab Aunul Ma’bud: Ketahuilah, perkataan
al-Mundziri dalam Mukhtasharnya dan perkataan al-Mizzi dalam Athrafnya
bahwa: “Hadits ini diriwayatkah oleh an-Nasa-i”, maka yang dimaksud adalah
hadits yang terdapat dalam Sunan al-Kubra, yang kini beredar diseluruh negeri
seperti India, Arabia dan negeri lainnya. Kita tidak usah bingung dengan tidak
hadirnya kitab Sunan as-Sughra, sebab isinya sudah tercakup dalam Sunan
al-Kubra.
Al-Mizzi pernah berkata dalam beberapa tempat,
bahwa: “Hadits ini diriwayatkan oleh Nasa-i dalam bab Tafsir”. Padahal dalam Sunan
as-Sughra tidak terdapat bab tafsir, melainkan ada di Sunan al-Kubra.
Perlu diketahui, Sunan
an-Nasa-i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi pegangan umat
islam[18].
Disebutkan bahwa Sunan
al-Kubra ini akhirnya terkenal dengan Sunan an-Nasa-i. Kitab ini
adalah kitab yang muncul setelah shahihain yang paling sedikit hadits dla’if, tetapi
paling banyak pengulangannya. Seperti hadits tentang Niat yang diulang sampai
16kali[19].
Jumhur ulama hadits
menempatkan kitab Sunan an-Nasai sebagai kitab hadits yang berstatus standar pada peringkat “kelima”[20].
K.
Perbedaan Sunan al-Kubra dengan Sunan as-Sughra
Dalam kitab Sunan an-Nasa-i disebutkan bahwa ada
beberapa point tentang perbedaan Sunan al-Kubra dan Sunan as-Sughra,
yaitu:
1.
Dalam Sunan al-Kubra terdapat tambahan kitab yang tidak ada pada Sunan
as-Sughra, diantaranya: Kitab as-Siyar, al-Manaqib, ath-Thibb,
al-Fara-id, al-Walimah, at-Ta’bir, Fadla-ilul Qur’an, al-‘Ilmu, dan
lainnya. Kitab Al-Kubra tidak dikurangi kitab-kitabnya dari kitab al-Mujtaba
seperti Kitab al-Iman wa Syara-ihi, ash-Shulhu. Hal ini memberi
suatu keistimewaan pada kitab Sunan al-Kubra.
2.
Dalam Sunan al-Kubra dimasukkan kitab-kitab yang dikarangnya
sedikit, kemudian dihimpun kepada penyusunnya dan diletakkan ditempat yang
sesuai dengan pembahasannya.
3.
Sunan al-Kubra ditambah beberapa bab dan beberapa hadits.
Contoh: Pada Kitab Shaum, kita akan mendapatkan bab-bab yang banyak yang tidak
ada dalam kitab al-Mujtaba’.
4.
Setelah pembahasan bab dan hadits, akan diikuti tambahan tentang
komentar-komentar hadits, ketika akan menjelaskan illat, mauquf, irsal hadits
atau yang lainnya.
5.
Pada kitab Sunan as-Shagir, dalam memunculkan sanadnya menggunakan
lafadz akhbarana, terkadang dengan akhbaranii. Hal ini diantara
keistimewaan kitab ini. Adapun dalam al-Kubra pembahasannya meluas lagi sampai menggunakan
penjelasan bersifat berita (al-Balaaghat).
6.
Dalam al-Mujtaba terdapat tambahan tarjamah, bab-bab, dan Istinbat
yang tidak terdapat pada al-Kubra. Seperti: tentang tarjamah
kitab ath-Thaharah dalam kitab al-Kubra: Satu, Larangan
dari menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat dan Dua,
perintah menghadap ke timur dan barat. Sedangkan dalam al-Mujtaba
menjadi 3 tarajim: Satu, menghadap kiblat ketika buang hajat, Dua,
membelakangi kiblat ketika buang hajat. Tiga, perintah menghadap ke timur dan
barat ketika buang hajat[21].
L.
Penamaan Kitabnya
Dinamakan Kitab as-Sunan karena kitab
ini disusun menurut sistematika fiqh, adapun Sunan al-Kubra dari segi
istilah yaitu kepada nama al-Jami’ . al-Jami’ dalam istilah Ahli
Hadits: Apa yang terdapat dalam kitabnya seluruh bagian-bagian hadits diantara
hadits aqidah, al-Ahkam, ar-Raqa-iq,dan lain-lain. Dinamakan al-Kubra
yaitu a-ad-Diiwan (catatan-catatan an-Nasa-i atau lembaran-lembaran yang
dikumpulkan) yang ditulis. Dan kitab itu ditulis oleh para tentara dan para ‘Athiyyah.
Adapun Sunan
as-Sughra dinamakan al-Mujtaba karena al-Mujtaba artinya:
yang dikumpulkan atas bentuk pilihan.
Sebagaimana firman Allah swt;
فاجتباه
ربه
M.
Metodologi Kitabnya dan Pendapat Ulama tentangnya
Ahmad bin Mahbub ar-Ramli berkata: “Saya
mendengar Imam an-Nasai berkata: Ketika saya bertekad mengumpulkan hadits
(kitab as-Sunan), saya beristikharah kepada Allah dalam meriwayatkan
hadits dari guru-guru yang mana di hatiku terdapat sedikit aib, kemudia saya
memilih untuk meninggalkan riwayat mereka, lalu saya meninggalkan sejumlah
hadits dari mereka yang semula saya banggakan”.
Abu al-hassan al-Ma’arifi berkata: “Apabila
saya memperhatikan hadits yang dikeluarkan oleh ahli hadits, maka hadits yang
dikeluarkan an-Nasai itu lebih mendekati shahih dari pada hadits yang lainnya”.
Al-hafidz Ibnu rasyid berkata:” Kitab an-nasai
itu kitab sunan terindah pembagiannya dan terbaik penataannya. Kitabnya
menggabungantara metodologi Bukhari dan Muslim disertai dengan banyak
penjelasan illat hadits”.
Secara global, kitab ini termasuk kutubussuttah
yang paling sedikit setelah shahihain yang memuat hadits dla’if dan rawi
yang cacat. Sunan Abu dawud dan Sunan Tirmidzi mendekatinya dalam kategori itu. Sedangkam Sunan
Ibnu Majah berseberangan dengannya, karena ia bersendirian dalam
meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tertuduh dusta.
Muhammad bin Mu’awiyahh al-Ahmar, perawi
hadits dari an-Nasai berkata: “Semua kitab Sunan adalah shahih, dan
sebagiannya ma’lul, hanya saja illatnya tidak jelas. Dan hadits
pilihan yang dinamakan al-Mujtaba adalah shahih semua”[23].
N.
Sistematika kitab Sunan an-Nasai
Urutan kitab ini dimulai dengan kitab Thaharah dan
diakhiri dengan kitab al-Asyribah, jumlah kitab yang dicantumkan
dialamnya ada 51 kitab.
1.
Ath-Thaharah jumlah 204
2.
Al-Miyah jumlah 13
3.
Al-haidl jumlah 26
4.
Al-Ghuslu wat Tayamum jumlah 30
5.
Ash-Shalatu jumlah 24
6.
Al-Mawaaqiitu jumlah 55
7.
Al-Adzanu jumlah 42
8.
Al-Masaajidu:46
9.
Al-Imaamatu:65
10.
Iftitatush Shalaatu:89
11.
Al-Qiblatu:26
12.
Ath-Thathbiqu:106
13.
As-Sahwu:105
14.
Taqshiruh Shalati fi safar:5
15.
Al-Jum’atu:45
16.
Al-Kusufu:25
17.
Shalatul Khauf:27
18.
Al-Istiqa:18
19.
Shalatul Idain:36
20.
Qiyamul Lail wa Tathawwu’ Nuhari:67
21.
Al-Janaizu:121
22.
Ash-Shiyamu:85
23.
Az-zakatu: 100
24.
Manasikul haji:251
25.
Al-Jihadu:48
26.
An-Nikah:84
27.
Ath-Thalaqu:76
28.
Al-Khailu:17
29.
Al-Ahbasu:4
30.
Al-Washaya:12
31.
An-Nahlu:1
32.
Al-Hibatu:4
33.
Ar-Ruqba:1
34.
Al-Umra:5
35.
Al-Aimanu wan Nadzuru wal Muzara’ah:50
36.
Isyratun Nisa’:4
37.
Tahrimuddan:29
38.
Qasmul Fai-i:16
39.
Al-bai’atu:39
40.
Al-Haqiqatu:5
41.
Al-Fara’u wal Atiratu:11
42.
Ash-Shaidu:38
43.
Adl-Dlahaya:44
44.
Al-Buyu’ul:9
45.
Al-qasamatu:48
46.
Qath’us sariqi:8
47.
Al-Imanu wa Syara-iuhi:33
48.
Az-Ziinatu:122
49.
Adabul qadla’i:37
50.
Al-Isti-adzatu:65
51.
Al-Asyribatu:59[24]
O.
Syarah Sunan an-Nasa-i
Para Ulama kurang memperhatikan uuntuk mensyarah Sunan an-Nasa-i berbeda
dengan kitab hadits lainnya. Sebagaimana yang telah diterangkan as-Suyuthi
dalam muqadimah kitab Syarahnya:”Syarah ini adalah catatan (ta’liq) atas Kitab
Sunan an-Nasa-i. Cara penyusunannya sama seperti catatan atas Bukhari dan
Muslim, Sunan Abu Dawud dan Tirmidzi. Seharusnya syarah ini sudah berusia 600
tahun, tetapi kurang mendapat perhatian dari para ulam hadits untuk
mensyarahnya”. Diantara ulama yang mensyarahnya:
1.
Jalaluddin as-Suyuthi (w.911 H)
Penjelasan syarah ini sangat singkat, bahkan seperti catatan biasa. Syarah
tersebut bernama Zuhar ar-Rubba ‘alal Mujtaba. Didalamnya terdpat
penelitian terhadap para rawi, penjelasan mengenai sebagian lafaz dan hadits
gharib, serta keterangan mengenai hukumk dan adab yangg terkandung dalam hadits
Sunan. Meskipun uraian kitab syarah ini sangat singkat namun sangat berguna.
2.
Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi as-Sindi (w. 1138 H)
Ulama ini hidup di Madinah , terkenal dengan panggilan as-Sindi. Dalam
kitab syarahnya, Ia berkata: “Ini adalah catatan atas kitab Suna an-Nasa-i.
Isinya hanya uraian singkat mengenai hal-hal yang sangat diperlukan oleh para
pembaca, seperti bahasa, i’rab, hadits gharib dan lainnya”.
Syarah ini lebih sempurna daripada syarah as-Suyuthi, karena didalmnya
terdapt pendapat hukum dari as-Sindi. Kedua syarah ini diterbitkan di Mesir dan
India. Pada terbitan Mesir, matan hadits Sunan dan kedua syarahnya dicetak
menjadi satu kitab. Dan penerbitannya selesai tahun 1312H.
3.
Sirajuddin Umar bin Ali bin al-Mulqin asy-Syafi’i
Syarah yang ditulis ini hanya merupakan tambahan atas Shahih Bukhari dan
Muslim, Abu dawud dan Tirmidzi, dan hanya satu jilid[25].
Dalam Sunan an-Nasa-I disebutkan bahwa Yang mensyarah kitab
Sunan an-Nasa-I dari segi “matan” diantaranya
1.
Tajrid
li Shihah wa as-Sunan karya Razin
al’Abdari as-Sirqithi
2.
Jami’
al-Ushul fi Ahaditsi Rasul karya Abi as-Sa’aadaat
Ibnu alAtsir al-Jazariy
3.
Mukhtasharaat
Jaami’ al-Ushul wa Ahammahaa karya Ibnu
ad-Diiba’ asy-Syaibaani
Yang mensyarah dari segi “Rijal dan Sanad” diantaranya
1.
Al-Athraf
karya Abi al-Fadhl bin
Thahir
2.
Kitab
al-Isyraf ‘ala al-Athraf karya al-Imam abi al-Qasim Ibnu Asakir
3.
Al-Kasyaaf
fi Ma’rifati al-Athraf karya
Syamsuddin Abi al-Muhasin Muhammad bin Ali bin al-Hasan bin Hamzah ad-Damsyiqiy
Yang meringkas dirasat-dirasat Sunan an-Nasa-I diantaranya
1.
Syarah
Sunan an-Nasa-I karya Abu al-Abbas Ahmad bin Abi
al-Walid bin Rasyid
2.
Haasyiyah karya Abi hasan bin Muhammad bin Abdul Haadi as-Sindi
3.
Zahru
ar-Ruba ‘ala al-Mujtaba karya Jalaluddin as-Suyuthi
Yang meringkas dari segi Sanad dan Rijal diantaranya
1.
Yang
pertama kali menaruh perhatian pada Rijal an-Nasa-I adalah Abu Muhammad
Abdullah bin Muhammad bin Asad al-Juhni
2.
Rijal
an-Nasa-I karya Abi Muhammad ad-Dauraqi
P.
Hadits Dla’if menurut an-Nasa-i
Al-Baqa’i berkata dalam Syarah al-Fiyyah
dari Ibnu Katsir: “Bahwasanya didalam kitab an-Nasa-i terdapat rawi-rawi yang
majhul, ada yang majhul ‘ain atau majhul hal, dan diantara mereka ada yang
dijarah, ada hadits-hadits dla’if, illat, dan munkar”[27].
Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah, bahwa Ia mendengar
Muhammad bin Sa’d al-Bawardi berkata: “Diantara pendirian an-Nasa-i adalah
mengeluarkan hadits dari setiap rawi yang tidak disepakati untuk ditinggalkan”.
Ibnu Mandah juga berkata:”Demikian juga Abu Dawud al-Sijistani, mengambil
hadits seperti pengambilan an-Nasa-i dan mencantumkan sanad yang dla’if apabila
pada bab yang bersangkutan tidal ada hadits lain. Karena hadits yang demikian
lebih kuat daripada pendapat ulama”[28].
Q.
Kelebihan
Kitab Sunan an-Nasa-I Terbitan Darul Ma’rifah
Diantara kelebihannya adalah
1. Penilaian tsiqat nash-nash dalam kitab sunan ini yaitu dengan
menyandarkan pentsiqatan sanad-sanad yang dikembalikan pada kitab Tuhfatil
Asyraf untuk mengembalikan seluruh sanad kitab ini, disandarkan catatan
kaki Suyuthi dan as-Sindi
2.
Penomoran hadits dan syarah yaitu disambungkan
antara nomor hadits dan catatan kaki beserta penyusunannya
3.
Hubungan
kitab ini dengan Mu’jamul Fahrs, Miftah Kunuz as-Sunnah dan Tuhfatul
Asyraf yaitu penomoran kitab an bab pada kitab al-Mujtaba digabung
bersama nomor Mu’jamul Fahrs, Miftah Kunuz as-Sunnah dan Tuhfatul
Asyraf.
4.
Hubungan
naskah kitab ini dengan naskah kitab terdahulu yaitu disimpan pada terbitan ini
nomor-nomor lembaran (juz dan shafhah) untuk naskah-naskah terdahulu
yang dianggap dapat menyempurnakan isi kitab dan kemungkinan dapat
mengembalikan pada naskah ini dengan mudah[29].
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Kutubussittah, cet 1,
Surabaya: Pustaka Proressif, 1993
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits,
cet 3, Bandung: PT.al-Ma’arif, 1981
Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa-i
Syarhi al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi wa hasyiyah al-Imam as-Sindi, cet 6,
Jilid 1-2, Beirut: Darul Ma’rifah, 2001
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushulul Hadits
(‘Uluumuhu wa Mushthalaahuhu), Damaskus: Darul Fikr, 1989
Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadits, cet 1, Jakarta: Darul Haq, 2011, terj
Muhammad Muhammad Abu Zahwa, al-Hadits wal
Muhadditsun, Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, 1984
M.Syuhudi Ismali, Cara Praktis Mencari
hadits, Cet 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, cet 1,
Bandung: PT.REMAJA ROSDAKARYA, 2012
Totok Djumantoro, Kamus Ilmu Hadits,
Cet 2, Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2002
[1]Salah satu tugas mata Kuliah Hadits VI (Kitab an-Nasa-i)
[2]Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 6
[3]Abu Syuhbah, Kutubussittah, cet 1, Surabaya: Pustaka Proressif,
1993, hlm.91
[4]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, cet 3, Bandung: PT.al-Ma’arif,
1981, hlm.334
[5]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm. 92
[6]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, hlm.334
[7]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm. 92
[8]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, hlm.335
[9]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm. 92
[10]Ibid
[11]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, hlm.334
[12]Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, cet 1,
Jakarta: Darul Haq, 2011, terj, hlm.149
[13]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm.93
[14] Ibid
[15]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, cet 1, Bandung: PT.REMAJA ROSDAKARYA,
2012, hlm.282-283
[16] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushulul Hadits (‘Uluumuhu wa
Mushthalaahuhu), Damaskus: Darul Fikr, 1989, hlm.325
[17]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm.94
[19]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, hlm.334-335
[20]M.Syuhudi Ismali, Cara Praktis Mencari hadits, Cet 2, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991, hlm.9
[21] Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa-i Syarhi al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthi wa hasyiyah al-Imam as-Sindi, cet 6, Jilid 1-2, Beirut: Darul
Ma’rifah, 2001, hlm. 8-9
[22] Ibid,
hlm. 9-10
[23]Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, hlm.
149-150
[24]Totok Djumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Cet 2, Jakarta: PT.Bumi Aksara,
2002, hlm.198-200
[25]Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm.95-96
[27] Muhammad Muhammad Abu Zahwa, al-Hadits wal Muhadditsun, Beirut:
Darul Kitab al-‘Arabi, 1984, hlm.359
[28]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, hlm. 298
Tidak ada komentar:
Posting Komentar