Selasa, 17 November 2015

AYAT SHALAWAT[1]
Oleh: Laila Mumtahanah[2]
Allah swt befirman:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ  
Artinya” Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.(Qs.al-Ahzab:56)
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari Malaikat berarti meminta ampun dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ala Muhammad.
Dengan mengucapkan Perkataan seperti: Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
Dalam ayat-ayat terdahulu, al-Qur’an menyebutkan mengenai kesucian ahl-Bayt as, kasih sayang kepada mereka, dan bahwa mereka adalah Ahl Bayt Nabi saw. dan keuarganya. Ahli-ahli tafsir menentukan secara terperinci nama-nama mereka yang dimaksud adalah Ali. Fatimah, Hasan dan Husein.
Dalam ayat ini menyebutkan suatu perintah yang wajib untuk bershalawat keatas Nabi saw dan keluarganya yang mulia denga menentukan kepada mereka dan bukan kepada yang lainnya daripada mereka, mengagungkan maqam dan kehormatan mereka supaya umt dapat mengetahui kedudukan kerasulan dalam kehidupan dan risalah mereka.
A.  Tafsiran Shalawat Syi’ah
Dalam Tafsir al-Mizan disebutkan bahwa Tentang “Pahala amal” dari Abi al-Mu’za dari dari Abi Hasan pada suatu hadits ia berkata: Aku Berkata: Apa maksud “bershalawat”nya Allah, Malaikat, dan orang-orang mukmin? Ia berkata: Shalawatnya Allah adalah rahmat dari Allah untuk Nabi saw, Shalawatnya Malaikat adalah Penyucian para Malaikat untuk Nabi saw, dan Shalawatnya Orang Mukmin adalah mereka mendoakannya.
Dalam suatu hal, dari Amirul Mukminin pada hadits ke 104, Ia berkata: Bershalawatlah kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya, sesungguhnya Allah akan menerima do’a kalian ketika kalian menyebut “nama Muhammad”. Do’a dan penjagaan kalian ketika membaca ayat: Innallaaha wa malaaikatihi yushalliina ilan Nabiyyi...maka bershalawatlah kalian ketika shalat atau selain shalat.
Dalam Kitab ad-Darul Mantsur, Telah meriwayatkan Abdul Razak, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abd bin Hamid, Bukhari, Muslim, Abu daud, Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Marwadiyyah dari Ka’ab bin ‘Ujrah , Ia berkata: Seseorang telah berkata: Ya Rasul,  Kami telah mengetahui salam kepadamu, lalu bagaimana caranya bersalawat padamu? Nabi bersabda: katakanlah, Allaahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, Kamaa shallaita ‘ala Ali Ibraahim wa ‘ala Ali Ibrahim,Innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, Kamaa baarakta ‘ala Ali Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim, Innaka hamidum majiid.
Ada yang berpendapat: Telah datang 18 hadits selain riwayat diatas yang menunjukan tentang “penyekutuan keluarga Muhammad dalam bershalawat” yang periwayatannya pada pemilik Kitab Sunan dan al-Jawami dari beberapa sahabat, diantaranya: Ibnu Abbas, Thalhah, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Anshari, Buraidah, Ibnu Mas’ud, Ka’ab bin ‘Ujrah dan Ali. Adapun riwayat Syi’ah yaitu diatas batas akal.
Pada hal ini, telah meriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi dari hasan bin Ali: bahwasanya Rasul saw bersabda” Bakhil itu adalah orang yang menyebut Nabi dan tidak bershalawat pada Ali[3].
PEMBACAAN SHALAWAT KEPADA KELUARGA NABI SAW
Tuduhan:
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali (=keluarga Ali).”
            Orang Syiah mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib sekaligus seperti terliat dalam shalawat mereka.
Jawaban
            Kata “aali” dalam shalawat itu tidak menunjuk pada Ali atau keluarga Ali. Semua yang mengerti bahasa Arab akan segera mengerti bahwa “aali” (dengan huruf alif, artinya keluarga) bukanlah ‘Ali (dengan ‘ain yang merujuk pada Ali bin Abi Thalib). Kami selalu menambahkan shalawat kepada Nabi dengan shalawat kepada keluarganya.

Dalam Hadis
            Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya juz 3 dan Muslim dalam shahih-nya juz 1. Allamah al Qanduzi dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hal 227 menukil dari al Bukhari, Ibn Hajar dalam al Shawa’iq al-Muhriqah pada bab 11, pasal pertama ayat kedua. Mereka semua meriwayatkannya dari Ka’ab bin ‘Ajarah: Ketika ayat ini turun (QS. 33: 6), kami bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, kami tahu bagaimana mengucapkan salam kepadamu. Tetapi bagaimana kamu mengucapkan shalawat kepada keluargamu? Beliau menjawab, “Ucapkanlah, Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad” (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad).
            Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku denngan shalawat yang buntung”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?” beliau menjawab, “Engkau mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad) lalu kalian diam. Melainkan ucapkanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad) [Ibn Hajar meriwayatkan dalam al-Shawa’iq hal 87][4].
Bershalawat sambil nyanyi pun dilakukan, bahkan Haddad Alawi yang berfaham Syi’ah yang sangat anti bershalawat kepada para shahabat Nabi menjadi bintang tamu. Dalam shalawatnya Alwi tidak pernah menyebut para shahabat Nabi.
            Shalawat sambil menyanyi pun dianggap sebagai pengamalan terhadap perintah bershalawat kepada nabi yang tertera di dalam surah Al-Ahzab.
            Shalawat kepada nabi Shallallahu alaihi wasallam itu artinya memohon kepada Allah, berdoa kepada- Nya agar rahmat, kedudukan yang mulia di sisi- Nya dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena shalawat adalah doa, maka doa harus dilakukan sebagai mana doa lainnya, bukan dengan bernyanyi…..! Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para tabi‘in dan para pemuka imam Mazhab yang empat yang sudah tidak diragukan kecintaan mereka kepada nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah bershalawat dengan cara bernyanyi[5].
Hukum Bershalawat Kepada Selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Pembahasan ini mencakup beberapa hal di antaranya:[
Pertama: Bershalawat kepada para Nabi dan Rasulullah ‘Alaihi As-shallatu wassallaam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:”Seluruh para Nabi dan Rasul ‘Alaihi As-shallatu wassallaam di doakan dengan shalawat dan diucapkan salam kepada mereka. (Jalaaul Afham 627). Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صلوا على أنبياء اللَّه ورسله فإن اللَّه بعثهم كمابعثني [حديث حسن: صحيح الجامع للألباني حديث 3782]
“Bershalawatlah kepada para Nabi dan Rasul ‘Alaihi As-shallatu wassallaam, sesungguhnya Allah telah mengutus mereka sebagaimana Dia mengutusku.” (hadits hasan. Di kitab Shahih al-Jami, tulisan Syaikh al-Albani rahimahullah).hadits no:3782)
Kedua: Bershalawat kepada seluruh keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam artian kita mengucapkan:
اللهم صلِّ على آل محمد.
“Ya Allah berilah Shalawat kepada keluarga Muhammad.”
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:”Keluarga Nabi diberi ucapan shalawat, dan tidak ada beda pendapat dalam hal ini.”(Jalaaul Afham: 636)
Faidah: Yang dimaksud keluarga Nabi adalah keluarga dalam agama dan iman bukan semata-mata karena hubungan darah, karena Abu Lahab dan Abu Thalib memiliki hubungan darah dengan Nabi akan tetapi keduanya bukan termasuk keluarga Nabi yang kita harus mengucapkan shalawat untuk mereka. Wallahu A’lam
Ketiga: Apakah bershalawat kepada keluarga Nabi secara terpisah/berdiri sendiri? Dalam arti menyebut salah seorang saja di antar mereka, sperti mengucapkan: “Allahumma Shalli ‘ala ‘Ali bin Abi Thalib, atau Allahumma Shalli ‘ala Hasan atau Allahumma Shalli ‘ala Husain atau Allahumma Shalli ‘ala Fathimah dan yang semacamnya. Dan juga apakah bershalawat terhadap para Sahabat radhiyallahu’anhum dan generasi setelah mereka?
Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika menjawab pertanyaan tersebut:”Yang benar yang diyakini oleh kebanyakan ulama adalah, hal itu makruh karena hal itu termasuk kebiasaan ahli bid’ah dan kita telah dilarang dari kebiasaan mereka.”(al-Adzkar Imam Nawawi 159)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:”Sesungguhnya Rafidhah (syi’ah) apabila menyebut nama Imam-imamnya, mereka bershalawat kepada mereka, dan mereka tidak bershalawat kepada orang-orang yang lebih baik dari imam-imam mereka walaupun orang tersebut lebih baik dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada imam mereka. Maka hendaklah kaum muslimin menyelisihi mereka dalam kebiasaan ini.”(Jalaaul Afham 640)[6].
Fakta-fakta Syi’ah di Indonesia
TANYA: Ada yang bilang bahwa Syi'ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidak tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat perkembangan Syi'ah di negeri ini?
JAWAB: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi'ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi'ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan --dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir-- sampai ke Yaman. Mereka menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat dalam beberapa kitab Syi'ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, "Wahai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena É"
Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi'i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi'i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata 'Hadramaut' ditulis: sukkanuha syi'iyyuna syafi'iyyuna; penduduknya orang-orang Syi'i yang bermazhab Syafi'i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum 'Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi'i, di dalam, mereka Syi'i.
Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi'ah. Hal itu karena tradisi Syafi'i di Indonesia --berbeda dengan tradisi Syafi'i di negeri-negeri lain-- sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi'i. Jadi di luarnya Syafi'i di dalamnya Syi'i.
Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi'ah --bukan khas Syafi'i-- yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi'ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi'i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum'at sering dibacakan shalawat diba'. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi'ah yang dua belas. Dan itu mereka lakukan setiap malam Jum'at, seperti pembaruan bai'at, kepatuhan pada dua belas Imam.
Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi'i untuk menghormati --kadang-kadang secara berlebihan-- keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi'ah, Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma'shum. Jadi, tidak semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam[7].

B.  Tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ   ¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcrèŒ÷sム©!$# ¼ã&s!qßuur ãNåks]yès9 ª!$# Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur £tãr&ur öNçlm; $\/#xtã $YYÎgB ÇÎÐÈ   tûïÏ%©!$#ur šcrèŒ÷sムšúüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur ÎŽötóÎ/ $tB (#qç6|¡oKò2$# Ïs)sù (#qè=yJtFôm$# $YZ»tFôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇÎÑÈ 
Artinya:Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.(Qs.al-Ahzab:56-58)
            Menyakiti Allah dan rasul-rasulNya, Yaitu melakukan perbuatan- perbuatan yang tidak di ridhai Allah dan tidak dibenarkan Rasul- nya; seperti kufur, mendustakan kenabian dan sebagainya.
Balaghah:
(#qßJÏk=yur$¸JŠÎ=ó¡n@
Yaitu Fi’il yang mengikuti mashdar sebagai taukid.
Al-Mufradat al-Lughawwi:
¨bÎ)©!$#¼çmtGx6Í´¯»n=tBurtbq=|Áãƒn?tãÄcÓÉ<¨Z9$#...
...Mereka bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. yaitu mereka memperhatikan tampaknya kemuliaa dan keagungan kehendaknya.
            Shalat secara bahasa:do’a, disebutkan: bershalawatlah kepada Nabi saw. yaitu berdo’alah kepadanya. Minallah yaitu: berupa rahmat dan keridloannya, dan Minal malaaikah yaitu: Do’a dan Istighfarnya, dan dari umat yaitu: do’a dan pengagungan kepada Nabi saw
...(#q=|¹Ïmøn=tã(#qßJÏk=yur$¸JŠÎ=ó¡n@
Yaitu perhatikanlah oleh kalian juga bershalawat kepadanya, maka sesungguhnya kalian adalah yang paling utama tentang hal itu. Lalu mereka berkata:اللهم صلي على محمد.
Ayat itu menunjukkan atas wajibnya shalawatserta salam kepadanya dalam suatu kalimat, dan membolehkan shalawat kepada yang lainnya yang diikuti nama Nabi saw. dan membenci dari yang menganggap sedikit dalam bershalawat. Karena shalawat dalam ‘urf menjadi syi’ar untuk menyebut Rasul saw, sebagaimana disebutkan al-Baidlawi, asy-Syaukani, dan yang lainnya, maka tidak boleh dikatakan:صلى الله على فلان, atauفلان عليه السلام. Dan sungguh telah bersepakat para Ulama bahwa bershalawat kepada Rasul saw diwajibkan atas setiap muslim dan paling sedikit satu kali dalam seumur hidup.
Tafsir dan penjelasan:
            Sesungguhnya Allah bershalawat kepada Nabinya berupa rahmat dan keidlaannya, sedang malaikat mereka mendoakannya dengan maghirah dan meninggikat derajatnya. Oleh karena itu, kalian wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya katakanlahاللهم صلي على محمد.Atau berdoalah kepadanya dengan rahmat dan tambahan kemuliaan dan derajat yang mulia. Memperhatikan pentingnya suatu hukum dari jalan yang mendatangkan kebaikan yang dikuatkan dengan huruf “إنّ” dan datang dengan Jimlah Ismiyyah yang berfaedah ad-Dawam (selamanya) dan datang Jumlah Ismiyyah itu pada yang disandarkannya: Sesngguhnya Allah wajib kepadaNya dalam kelemahannya.
        يصلونsebagai petunjuk kepada suatu sanjungan dari Allah kepada RasulNya yang memberi kemuliaan selamanya. Ayat ini mempertemukan suatu illat pada apa yang telah disebutkan sebelumnya, bahwasanaya kehendak orang-orang mukmin menyakiti Rasul saw, maka seolah-olah dikatakan: Tidaklah keadaan kalian menyakitinya, sedangkan Allah sesungguhnya Ia dan Malaikat bershalawat kepadanya. Dan perintah itu selamanya seperti itu. Maka dalam perintah itu tidak berhak kecuali menghormati dan memuliakannya. Dan sungguh ayat itu dimulai dengan Jumlah Ismiyyah yang berfaedah selamanya, dan diakhiri dengan Jumlah Fi’liyyah yang memberi isyarat pada huruf إنّ.
            Maka jika menyakiti dengan hak (benar) itu tidak diharamkan, seperti menyakiti dengan qishash, memotong tangan dalam pencurian, ta’zir yang bermacam-macam, dan membunuh orang yang murtad. Sebagaimana Sabda Nabi saw dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh pemilik Kitabussitah dari Abi Hurairah: “Aku diperintah untuk memerangi orang-orang sampai mereka berkata: La ilaaha illallaah. Jika mereka mengatakannya, maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka melainkan dengan haknya”.
            Maka mereka kepada Abu Bakar mengenai hadits ini bahwa zakat itu hak harta, lalujika peperangan (pembunuhan) yang menghalangi sebab itu, maka Ia berkata: “Demi Allah, kalaulah menghalangiku batang leher yang mereka berikan kepada Rasul saw untuk peperangan  mereka kepada Nabi saw”. Sedangkan kebutuhan pada ucapan Umar itu, maka Ia berkata: “Illa bihaqqihaa” dan zakat itu hak bagi harta-harta, maka sumbernya dijelaskan terhadap apa yang diriwayatkan Abu Bakar..
Fiqh al-Hayah atau al-Ahkam (memahami hukum-hukum):
Petunjuk ayatnya sebagai berikut:
1.      Bahwasanya ayat shalawat atas Nabi saw itu memberikan kemuliaan pada kehidupan dan kematiannya. Melindungi kedudukan dan posisinya yang luhur. Sedangkan shalawat dari Allah adalah Rahmat dan Keridloannya, dari malaikat adalah Do’a dan Istighfar, dan dari Umat adalah Do’a dan pengagungan pada perintahnya.
2.      Allah menyuruh hambanya bershalawat kepada Nabinya selain Para Nabi berupa memuliakannya. Tidak ada perbedaan tentang diwajibkannya shalawat satu saki seumur hidup, dan sunnah-sunnah yang diperkuat nabi disetiap waktu yang tidak memberi keleluasaan untuk meninggalkannya.dan tidak melalaikan dari membacanya kecuali bacaan shalawat yang tidak baik.
Sungguh kita mengetahui sifat shalawat dan salam kepada nabi saw, yaitu dengan shighat shalawat kaum Ibrahim. Keutamaan bershalawat kepada Nabi bagi kita adalah sebagaimana telah datang pada yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan an-Nasa-i dari Abi Hurairah”Siapa yang bershalawat satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10kali”. Ia berkata juga:”Siapa yang bershalawat kepadaku dalam kitabnya, maka Malaikat tidak akan berhenti bershalawat kepadanya selama Namaku disebut pada kitab itu”. Sahl bin Abdullah berkata: ash-Shalah[8].
C. Tafsir al-Mishbah Karya Quraish Shihab:
            Tafsir Surat al-Ahzab ayat 56, bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah terhadap kaum muslimin berkaitan dengan Nabi Muhammad saw dan Istri-istrinya, demikian juga keistimewaan dan kemudahan yang Allah anugerahkan kepada beliau. Hal itu karena agungnya pribadi Nabi Muhammad saw. Itulah yang dikesankan oleh penempatan ayat diatas, setelah ketentauan yang lalu dan sebelum pernyataan tentang siksa yang menanti merka yang menyakiti Nabi. Sungguh kita tidak dapat membayangkan betapa tinggi kedudukan Nabi dan betapa cintanya Allah kepada beliau.
Ayat dan perintah Allah ini sungguh unik, tidak ada satu perintah pun yang diperintahkan Allah-yang sebelum memerintahkannya- Yang Maha Kuasa itu menyampaikan bahwa Dia pun melakukan, bahkan telah melakukan apa yang diperintahkannya itu. Tidak ada hal yang demikian kecuali shalawat kepada Nabi saw.
            Ayat ini bagai menyatakan: Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa bahkan menghimpun segala sifat terpuji, dan demikia juga Malaikat-malaikatNya yang merupakan makhluk suci, sangat cinta dan kagum kepada Nabi saw. Karena itu, Allah dan MalaikatNya terus menerus bershalawat untuk Nabi yakni Allah melimpahkan Rahmat dan aneka anugerah . Adapun Malaikat memohon kiranya dipertinggi lagi derajat dan dicurahkan maghfirah atas Nabi Muhammad saw  (Makhluk Allah yang termulia dan paling banyak jasanya kepada umat manusia dalam memperkenalkan Allah dan jalan lurus menuju kebahagiaa). Karena itu, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua untuknya, yakni mohon dicurahkan lagi shalawat kepadanya, dan hindarkan beliau dari segala aib dan kekurangan serta sebut-sebutlah keistimewaan dan jasa beliau dan bersalamlah yakni ucapan penghormatan kepada beliau yang sempurna dan penuhi tuntunan beliau.
            Hal ini pun menggambarkan bahwa penghuni langit pmengagungkan Nabi Muhammad saw, maka kaum muslimin penghuni bumi harus mengagungkan Nabi pula.
            Kita dituntut bukan saja untuk tidak merendahkan Nabi saw, tapi juga mengagungkannya (mengakui dan memberi penghormatan pada para tokoh sejarah peradaban hidup). Dengan kita memberi hak-hak manusia agung, maka kita akan bersedia memberi hak-hak orang yang kecil.
            Perintah Allah ini juga diamalkan oleh Nabi saw sendiri, walau berkaitan dengan dirinya sendiri. Dikatakan oleh Putrinya, bahwa Rasul saw apabila masuk masjid, beliau bershalawat dan bersalam sambil berucap “Ya Allah, ampuni dosaku dan bukakan bagiku pintu-pintu anugerahmu” (HR.Tirmidzi).
            Kata صلوا diambil dari kata صلاة yang bermakna “Menyebut-nyebut yang baik serta ucapan-ucapan yang mengundang kebajikan” dan Doa dan curahan rahmat adalah sebagian maknanya. Sedangkan kata سلموا terambil dari kata سلام artinya “Luput dari kekurangan, kerusakan, dan aib”. Kata selamat disini diucapkan misalnya bila terjadi hal yang tidak diinginkan, namun tidak mengakibatkan kekurangan atau kecelakaan. Ini termasuk Salam atau Damai Pasif. Adapun Damai yang Positif, ketika Andaa mengucapkan selamat kepada seseorang yang sukses dalam usahanya, maka ucapan itu adala cermin dari keselamatan positif.
            Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Kaa’ab bin ‘Ujrah berkata: Ketika turunnya ayat ini, kami bertanya kepada Nabi: Wahai Rasul , kami telah mengetahui salam, maka bagaimana shalawat untukmu? Beliau bersabda: Allahumma shalli ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, Kama shallaita ‘ala Ali Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim. Innaka hamidum majid. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, kama baarakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim, Innaka hamiidum majid.
            Mengenai hukum melaksanakan perintah ini, Nabi saw bersabda: “Siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, malaikat terus menerus bershalawat kepadanya selama malaikat itu bershalaway kepadaku. Maka silahkan memilih persedikit atau perbanyaklah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Amr bin Rabi’ah).
            Adapun para Ulama berbeda pendapat tentang “hukum bershalawat’. Ada yang berpendapat wajib setiap disebut beliau, ada juga yang menganggap sunnah. Imam syafi’i berpendapat bahwa shalawat wajib setiap melakukan shalat, saat bertasyahud. Jadi, tidak sah shalat, jika tidak mengucapkan shalawat. Bahkan menurut sebagian ulama, walaupun lupa.
            Minimal shalawat adalah Allahumma shalli ‘ala Muhammad, tetapi sebaiknya minimal yang bernilai baik adalah seperti yang diajarkan Nabi saw yakni bershalawat untuk keluarga beliau. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa beliau bersabda pada para sahabatnya:”Tahukah kalian siapa yang kikir? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya lebuh mengetahui. Beliau menjawab: Dia yang bershalawat kepadaku tanpa menyebut keluargaku”.
            Menurut Ibnu Asyur, dia tidak menemukan referensi yang menyatakan bahwa para sahabat selalu bershalawat setiap mendengar nama Nabi disebut, tidak juga menulisnya ketika menulis nama beliau. Mereka hanya bershalawat bila mereka teringat salah satu hal yang berkaitan dengan beliau. Namun katanya, Penulisan nama Nabi pada mukaddimah buku-buku dikenal pada masa Harun ar-Rasyid. Ini ditulis oleh Ibnu al-Atsir dalam bukunya al-Kamil tahun 181H, juga oleh al-Qadli ‘Iyadl dalam bukunya asy-Syifa. Tidak dapat disangkal bahwa sejak abad 4 H, nama Nabi Muhammad  selalu diikiutu shalawat dalam buku-buku Tafsir dan Hadits. Bahwasaanya yang menetapkan tradisi ini adalah Ulama Hadits.
            An-Nawawi menganjurkan menulis kata Azza wa Jalla atau Ta’ala atau Subhaanahu wa Ta’ala setelah menulis lafadz Allah.dan juga Shalallah ‘alaihi wa salllam setelah menulis nama Nabi. Ia menganjurkan aagar tidak disingkat atau sekadar melambangkannya, bahkan kalaupun dia menyalin dari satu buku yang tidak mencantumkannya, maka sebaiknya penyalin mencantumkannya. “Seseorang hendaknya jangan bosan mengulanginya, siapa yang mengabaikan hal ini, maka Ia telah luput meraih kebajikan yang banyak”. An-Nawawi dalam muqaddikah Shahih Muslim sebagaiman yang dikutip Ibnu Asyur.
            Quraish Shihab pernah mendapat surat dan pertanyaan, yang intinya mengadu bahwa sebagian non muslim sering berkata: Bagaimana seorang muslim akan memperoleh keselamatan, kalau Nabinya saja masih minta didoakan selamat melalui shalat dan dengan bershalawat?
            Jawabnya, pertama sekali Allah telah menegaskan kepada beliau pada Qs.adl-Dluha:5 “Dan pasti kelak Kami akan menganugerahkan kepadamu (aneka anugerah) sampai kau benar-benar puas”. Jadi keliru sekali yang menduga bahwa Nabi Muhammad belum memperoleh jaminan keselamatan. Dan Allah Maha Kaya dan anugerahNya tidak terbatas, sedang Nabi walaupun Ia Nabi dan utusanNya, tetap saja Ia adalah makhluk Allah yang membutuhkan rahmat. Kendatipun, beliau telah mendapat jaminan syurga dan aneka anugrah, itu semua hanya sekelumit dari apa yang dimiliki Allah. Dengan demikian wajar, jika beliau tetap memohon dan kita pun diperintah oleh Allah agar berdo’a untuk beliau.
            Keselamatan bukan hanya terhindar dari bahaya, tapi juga ingin memperoleh anugrah (keselamatan aktif). Kita mengucapkan selamat pada yang memperoleh kedudukan, lulus ujian,dan lainnya.
            Berdoa, memohon keselamatan dan kesejahteraan kepada Nabi saw bertujuan sebagai pengajaran agar kita pandai berterima kasih kepada yang telah berjasa mengantarkan kita menuju ke pintu gerbang kebahagiaan dunia dan akhirat. Sekaligus, merupakan peringatan bahwa jangan terlalu mengandalkan amal kebajikan yang dilakukan, karena jangankan manusia biasa, manusia teragung pun yakni Nabi Muhammad saw tidak masuk syurga karena amal beliau, tapi “semata-mata karena rahmat Allah”, begitu sabda beliau. Seseorang yang merasa puas dan yakin akan memperoleh keselamatan, tidak akan meningkatkan upayanya, bahkan boleh jadi lengah, padahal Allah menjanjikan akan menambah nikmat dan anugrahnya terhadap siapapun yang telah diberinya anugrah. (baca Qs. Ibrahim:7)[9].




[1] Salah satu tugas UAS mata kuliah Tafsir Kontemporer
[2]Mahasiswi Tafsir Hadits Semester 6
[3] Muhammad Husein ath-Thabaththaba’i, al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, Juz 16, cet 1, Beirut: Mu-assasu al-A’la lil Mathbuu’at, 1997, hlm. 350

[4]http://regularisasiperbedaan.blogspot.com/2011/10/per Senin, 24 Oktober 2011, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013, pkl.11:49

[6]Makalah thullab di Islamic Center Bekasihttp://www.ziddu.com/download/19041390/shalawatbadar.rar.html, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013, pkl.11:49

[7]Kang Jalal ,Visi Media, Politik, Dan Pendidikan,  Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Kedua April 1998 (Hal: 433-460), dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013, pkl.11:49.

[8] Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqiidati wa asy-Syari’ati wa al-Manhaj, al-Ishdar 3, cet 2, Damaskus: Dari Fikr al-Mu’aashir, 1412 H, hlm.22  
[9] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol.11, cet IV, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hlm.313-318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar