AYAT SHALAWAT[1]
Oleh: Laila Mumtahanah[2]
Allah
swt befirman:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áã n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
Artinya”
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya”.(Qs.al-Ahzab:56)
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari
Malaikat berarti meminta ampun dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa
supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ala Muhammad.
Dengan mengucapkan Perkataan seperti: Assalamu'alaika
ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
Dalam ayat-ayat terdahulu, al-Qur’an menyebutkan mengenai kesucian ahl-Bayt
as, kasih sayang kepada mereka, dan bahwa mereka adalah Ahl Bayt
Nabi saw. dan keuarganya. Ahli-ahli tafsir menentukan secara terperinci
nama-nama mereka yang dimaksud adalah Ali. Fatimah, Hasan dan Husein.
Dalam ayat ini menyebutkan suatu perintah yang wajib untuk
bershalawat keatas Nabi saw dan keluarganya yang mulia denga menentukan kepada
mereka dan bukan kepada yang lainnya daripada mereka, mengagungkan maqam dan
kehormatan mereka supaya umt dapat mengetahui kedudukan kerasulan dalam
kehidupan dan risalah mereka.
A. Tafsiran Shalawat Syi’ah
Dalam Tafsir al-Mizan disebutkan bahwa Tentang “Pahala amal”
dari Abi al-Mu’za dari dari Abi Hasan pada suatu hadits ia berkata: Aku
Berkata: Apa maksud “bershalawat”nya Allah, Malaikat, dan orang-orang mukmin?
Ia berkata: Shalawatnya Allah adalah rahmat dari Allah untuk Nabi saw,
Shalawatnya Malaikat adalah Penyucian para Malaikat untuk Nabi saw, dan
Shalawatnya Orang Mukmin adalah mereka mendoakannya.
Dalam suatu hal, dari Amirul Mukminin pada hadits ke 104, Ia
berkata: Bershalawatlah kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya, sesungguhnya
Allah akan menerima do’a kalian ketika kalian menyebut “nama Muhammad”. Do’a
dan penjagaan kalian ketika membaca ayat: Innallaaha wa malaaikatihi
yushalliina ilan Nabiyyi...maka bershalawatlah kalian ketika shalat atau
selain shalat.
Dalam Kitab ad-Darul Mantsur, Telah meriwayatkan Abdul
Razak, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abd bin Hamid, Bukhari, Muslim, Abu daud,
Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Marwadiyyah dari Ka’ab bin ‘Ujrah ,
Ia berkata: Seseorang telah berkata: Ya Rasul,
Kami telah mengetahui salam kepadamu, lalu bagaimana caranya bersalawat
padamu? Nabi bersabda: katakanlah, Allaahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala
Ali Muhammad, Kamaa shallaita ‘ala Ali Ibraahim wa ‘ala Ali Ibrahim,Innaka
hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, Kamaa
baarakta ‘ala Ali Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim, Innaka hamidum majiid.
Ada yang berpendapat: Telah
datang 18 hadits selain riwayat diatas yang menunjukan tentang “penyekutuan
keluarga Muhammad dalam bershalawat” yang periwayatannya pada pemilik Kitab
Sunan dan al-Jawami dari beberapa sahabat, diantaranya: Ibnu Abbas,
Thalhah, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Anshari, Buraidah,
Ibnu Mas’ud, Ka’ab bin ‘Ujrah dan Ali. Adapun riwayat Syi’ah yaitu diatas batas akal.
Pada hal ini, telah meriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi dari hasan bin
Ali: bahwasanya Rasul saw bersabda” Bakhil itu adalah orang yang menyebut Nabi
dan tidak bershalawat pada Ali[3].
PEMBACAAN SHALAWAT KEPADA KELUARGA NABI SAW
Tuduhan:
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali (=keluarga
Ali).”
Orang
Syiah mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib
sekaligus seperti terliat dalam shalawat mereka.
Jawaban
Kata “aali” dalam shalawat itu tidak menunjuk pada Ali atau keluarga Ali.
Semua yang mengerti bahasa Arab akan segera mengerti bahwa “aali” (dengan huruf
alif, artinya keluarga) bukanlah ‘Ali (dengan ‘ain yang merujuk pada Ali bin
Abi Thalib). Kami selalu menambahkan shalawat kepada Nabi dengan shalawat
kepada keluarganya.
Dalam Hadis
Al-Bukhari
meriwayatkannya dalam Shahih-nya juz 3 dan Muslim dalam shahih-nya
juz 1. Allamah al Qanduzi dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hal 227 menukil dari al
Bukhari, Ibn Hajar dalam al Shawa’iq al-Muhriqah pada bab 11, pasal
pertama ayat kedua. Mereka semua meriwayatkannya dari Ka’ab bin ‘Ajarah: Ketika
ayat ini turun (QS. 33: 6), kami bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah,
kami tahu bagaimana mengucapkan salam kepadamu. Tetapi bagaimana kamu
mengucapkan shalawat kepada keluargamu? Beliau menjawab, “Ucapkanlah, Allahumma
Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad” (Ya Allah limpahkan shalawat kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad).
Rasulullah
saw bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku denngan shalawat yang
buntung”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?” beliau
menjawab, “Engkau mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah
limpahkan shalawat kepada Muhammad) lalu kalian diam. Melainkan ucapkanlah, Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat
kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad) [Ibn Hajar meriwayatkan dalam al-Shawa’iq
hal 87][4].
Bershalawat sambil nyanyi pun
dilakukan, bahkan Haddad Alawi yang berfaham Syi’ah yang sangat anti
bershalawat kepada para shahabat Nabi menjadi bintang tamu. Dalam shalawatnya
Alwi tidak pernah menyebut para shahabat Nabi.
Shalawat
sambil menyanyi pun dianggap sebagai pengamalan terhadap perintah bershalawat
kepada nabi yang tertera di dalam surah Al-Ahzab.
Shalawat
kepada nabi Shallallahu alaihi wasallam itu artinya memohon kepada Allah,
berdoa kepada- Nya agar rahmat, kedudukan yang mulia di sisi- Nya dianugerahkan
kepada Nabi Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena shalawat adalah
doa, maka doa harus dilakukan sebagai mana doa lainnya, bukan dengan bernyanyi…..!
Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para tabi‘in dan para pemuka
imam Mazhab yang empat yang sudah tidak diragukan kecintaan mereka kepada nabi
Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah bershalawat dengan cara bernyanyi[5].
Hukum
Bershalawat Kepada Selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Pembahasan ini
mencakup beberapa hal di antaranya:[
Pertama: Bershalawat kepada para Nabi dan Rasulullah ‘Alaihi As-shallatu
wassallaam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:”Seluruh para Nabi dan
Rasul ‘Alaihi As-shallatu wassallaam di doakan dengan shalawat dan
diucapkan salam kepada mereka. (Jalaaul Afham 627). Imam al-Baihaqi
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صلوا على أنبياء اللَّه ورسله فإن اللَّه بعثهم كمابعثني
[حديث حسن: صحيح الجامع للألباني حديث 3782]
“Bershalawatlah
kepada para Nabi dan Rasul ‘Alaihi As-shallatu wassallaam, sesungguhnya
Allah telah mengutus mereka sebagaimana Dia mengutusku.” (hadits hasan. Di
kitab Shahih al-Jami, tulisan Syaikh al-Albani rahimahullah).hadits
no:3782)
Kedua: Bershalawat kepada seluruh keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam artian kita mengucapkan:
اللهم صلِّ على آل محمد.
“Ya Allah
berilah Shalawat kepada keluarga Muhammad.”
Ibnu Qoyyim rahimahullah
berkata:”Keluarga Nabi diberi ucapan shalawat, dan tidak ada beda pendapat
dalam hal ini.”(Jalaaul Afham: 636)
Faidah: Yang dimaksud keluarga Nabi adalah keluarga dalam agama dan iman bukan
semata-mata karena hubungan darah, karena Abu Lahab dan Abu Thalib memiliki
hubungan darah dengan Nabi akan tetapi keduanya bukan termasuk keluarga Nabi
yang kita harus mengucapkan shalawat untuk mereka. Wallahu A’lam
Ketiga: Apakah bershalawat kepada keluarga Nabi secara terpisah/berdiri sendiri?
Dalam arti menyebut salah seorang saja di antar mereka, sperti mengucapkan: “Allahumma
Shalli ‘ala ‘Ali bin Abi Thalib, atau Allahumma Shalli ‘ala Hasan
atau Allahumma Shalli ‘ala Husain atau Allahumma Shalli ‘ala Fathimah
dan yang semacamnya. Dan juga apakah bershalawat terhadap para Sahabat radhiyallahu’anhum
dan generasi setelah mereka?
Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika menjawab pertanyaan tersebut:”Yang benar yang diyakini oleh
kebanyakan ulama adalah, hal itu makruh karena hal itu termasuk kebiasaan
ahli bid’ah dan kita telah dilarang dari kebiasaan mereka.”(al-Adzkar Imam
Nawawi 159)
Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata:”Sesungguhnya Rafidhah (syi’ah) apabila menyebut nama Imam-imamnya,
mereka bershalawat kepada mereka, dan mereka tidak bershalawat kepada
orang-orang yang lebih baik dari imam-imam mereka walaupun orang tersebut lebih
baik dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
daripada imam mereka. Maka hendaklah kaum muslimin menyelisihi mereka dalam
kebiasaan ini.”(Jalaaul Afham 640)[6].
Fakta-fakta Syi’ah di Indonesia
TANYA: Ada yang bilang bahwa
Syi'ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya
saja mungkin ia tidak tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang
Jalal melihat perkembangan Syi'ah di negeri ini?
JAWAB: Ada beberapa teori
tentang kedatangan Syi'ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa
penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang
Syi'ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah
sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan --dibawah
pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir-- sampai ke Yaman. Mereka
menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat
dalam beberapa kitab Syi'ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu
mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, "Wahai saat ini kita ganti
perjuangan kita dengan pena É"
Kemudian mereka semua secara
lahir menganut mazhab Syafi'i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab
Syafi'i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama,
pada kata 'Hadramaut' ditulis: sukkanuha syi'iyyuna syafi'iyyuna; penduduknya
orang-orang Syi'i yang bermazhab Syafi'i. Saya kira Munjid itu merekam mereka.
Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum
'Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan
Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka
datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi'i, di dalam, mereka Syi'i.
Belakangan ada bukti-bukti
lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU
secara kultural adalah Syi'ah. Hal itu karena tradisi Syafi'i di Indonesia
--berbeda dengan tradisi Syafi'i di negeri-negeri lain-- sangat kental diwarnai
tradisi-tradisi Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang
masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas
menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu
membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah. Tradisi itu lahir di sini
dalam bentuk mazhab Syafi'i. Jadi di luarnya Syafi'i di dalamnya Syi'i.
Masih ada juga bukti-bukti
ritus khas Syi'ah --bukan khas Syafi'i-- yang populer di Indonesia. Salah
satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian
seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi'ah yang tidak dikenal pada mazhab
Syafi'i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum'at sering dibacakan shalawat
diba'. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi'ah yang dua belas. Dan itu
mereka lakukan setiap malam Jum'at, seperti pembaruan bai'at, kepatuhan pada
dua belas Imam.
Untuk memperkuat itu, ada juga
kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi'i untuk menghormati
--kadang-kadang secara berlebihan-- keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai
Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi'ah,
Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma'shum. Jadi, tidak
semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa
semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu
merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam[7].
B. Tafsir al-Munir karya Wahbah
Zuhaili:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áã n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ ¨bÎ) tûïÏ%©!$# crè÷sã ©!$# ¼ã&s!qßuur ãNåks]yès9 ª!$# Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur £tãr&ur öNçlm; $\/#xtã $YYÎgB ÇÎÐÈ tûïÏ%©!$#ur crè÷sã úüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur ÎötóÎ/ $tB (#qç6|¡oKò2$# Ïs)sù (#qè=yJtFôm$# $YZ»tFôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇÎÑÈ
Artinya:Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah
akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang
menghinakan. dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.(Qs.al-Ahzab:56-58)
Menyakiti Allah dan rasul-rasulNya,
Yaitu melakukan perbuatan- perbuatan yang tidak di ridhai Allah dan tidak
dibenarkan Rasul- nya; seperti kufur, mendustakan kenabian dan sebagainya.
Balaghah:
(#qßJÏk=yur$¸JÎ=ó¡n@
Yaitu
Fi’il yang mengikuti mashdar sebagai taukid.
Al-Mufradat
al-Lughawwi:
¨bÎ)©!$#¼çmtGx6Í´¯»n=tBurtbq=|Áãn?tãÄcÓÉ<¨Z9$#...
...Mereka bershalawat
kepada Nabi Muhammad saw. yaitu mereka memperhatikan tampaknya kemuliaa dan
keagungan kehendaknya.
Shalat secara bahasa:do’a,
disebutkan: bershalawatlah kepada Nabi saw. yaitu berdo’alah kepadanya. Minallah
yaitu: berupa rahmat dan keridloannya, dan Minal malaaikah yaitu: Do’a
dan Istighfarnya, dan dari umat yaitu: do’a dan pengagungan kepada Nabi saw
...(#q=|¹Ïmøn=tã(#qßJÏk=yur$¸JÎ=ó¡n@
Yaitu
perhatikanlah oleh kalian juga bershalawat kepadanya, maka sesungguhnya kalian
adalah yang paling utama tentang hal itu. Lalu mereka berkata:اللهم
صلي على محمد.
Ayat
itu menunjukkan atas wajibnya shalawatserta salam kepadanya dalam suatu
kalimat, dan membolehkan shalawat kepada yang lainnya yang diikuti nama Nabi
saw. dan membenci dari yang menganggap sedikit dalam bershalawat. Karena
shalawat dalam ‘urf menjadi syi’ar untuk menyebut Rasul saw, sebagaimana
disebutkan al-Baidlawi, asy-Syaukani, dan yang lainnya, maka tidak boleh
dikatakan:صلى الله على فلان, atauفلان عليه السلام. Dan sungguh telah
bersepakat para Ulama bahwa bershalawat kepada Rasul saw diwajibkan atas setiap
muslim dan paling sedikit satu kali dalam seumur hidup.
Tafsir
dan penjelasan:
Sesungguhnya Allah bershalawat
kepada Nabinya berupa rahmat dan keidlaannya, sedang malaikat mereka
mendoakannya dengan maghirah dan meninggikat derajatnya. Oleh karena itu,
kalian wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya katakanlahاللهم
صلي على محمد.Atau
berdoalah kepadanya dengan rahmat dan tambahan kemuliaan dan derajat yang
mulia. Memperhatikan pentingnya suatu hukum dari jalan yang mendatangkan
kebaikan yang dikuatkan dengan huruf “إنّ”
dan datang dengan Jimlah Ismiyyah yang berfaedah ad-Dawam (selamanya)
dan datang Jumlah Ismiyyah itu pada yang disandarkannya: Sesngguhnya Allah
wajib kepadaNya dalam kelemahannya.
يصلونsebagai petunjuk kepada suatu sanjungan dari Allah kepada RasulNya
yang memberi kemuliaan selamanya. Ayat ini mempertemukan suatu illat pada apa
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwasanaya kehendak orang-orang mukmin menyakiti Rasul saw, maka
seolah-olah dikatakan: Tidaklah keadaan kalian menyakitinya, sedangkan Allah
sesungguhnya Ia dan Malaikat bershalawat kepadanya. Dan perintah itu selamanya
seperti itu. Maka dalam perintah itu tidak berhak kecuali menghormati dan
memuliakannya. Dan sungguh ayat itu dimulai dengan Jumlah Ismiyyah yang
berfaedah selamanya, dan diakhiri dengan Jumlah Fi’liyyah yang memberi isyarat
pada huruf إنّ.
Maka jika menyakiti dengan hak
(benar) itu tidak diharamkan, seperti menyakiti dengan qishash, memotong tangan
dalam pencurian, ta’zir yang bermacam-macam, dan membunuh orang yang murtad.
Sebagaimana Sabda Nabi saw dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh
pemilik Kitabussitah dari Abi Hurairah: “Aku diperintah untuk memerangi
orang-orang sampai mereka berkata: La ilaaha illallaah. Jika mereka
mengatakannya, maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka
melainkan dengan haknya”.
Maka mereka kepada Abu Bakar
mengenai hadits ini bahwa zakat itu hak harta, lalujika peperangan (pembunuhan)
yang menghalangi sebab itu, maka Ia berkata: “Demi Allah, kalaulah
menghalangiku batang leher yang mereka berikan kepada Rasul saw untuk
peperangan mereka kepada Nabi saw”.
Sedangkan kebutuhan pada ucapan Umar itu, maka Ia berkata: “Illa bihaqqihaa”
dan zakat itu hak bagi harta-harta, maka sumbernya dijelaskan terhadap apa yang
diriwayatkan Abu Bakar..
Fiqh
al-Hayah atau al-Ahkam (memahami hukum-hukum):
Petunjuk
ayatnya sebagai berikut:
1.
Bahwasanya
ayat shalawat atas Nabi saw itu memberikan kemuliaan pada kehidupan dan
kematiannya. Melindungi kedudukan dan posisinya yang luhur. Sedangkan shalawat
dari Allah adalah Rahmat dan Keridloannya, dari malaikat adalah Do’a dan
Istighfar, dan dari Umat adalah Do’a dan pengagungan pada perintahnya.
2.
Allah
menyuruh hambanya bershalawat kepada Nabinya selain Para Nabi berupa
memuliakannya. Tidak ada perbedaan tentang diwajibkannya shalawat satu saki
seumur hidup, dan sunnah-sunnah yang diperkuat nabi disetiap waktu yang tidak
memberi keleluasaan untuk meninggalkannya.dan tidak melalaikan dari membacanya
kecuali bacaan shalawat yang tidak baik.
Sungguh
kita mengetahui sifat shalawat dan salam kepada nabi saw, yaitu dengan shighat
shalawat kaum Ibrahim. Keutamaan bershalawat kepada Nabi bagi kita adalah
sebagaimana telah datang pada yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, dan an-Nasa-i dari Abi Hurairah”Siapa yang bershalawat satu kali,
maka Allah akan bershalawat kepadanya 10kali”. Ia berkata juga:”Siapa yang
bershalawat kepadaku dalam kitabnya, maka Malaikat tidak akan berhenti
bershalawat kepadanya selama Namaku disebut pada kitab itu”. Sahl bin Abdullah
berkata: ash-Shalah[8].
C.
Tafsir al-Mishbah Karya Quraish Shihab:
Tafsir
Surat al-Ahzab ayat 56, bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah
terhadap kaum muslimin berkaitan dengan Nabi Muhammad saw dan Istri-istrinya,
demikian juga keistimewaan dan kemudahan yang Allah anugerahkan kepada beliau.
Hal itu karena agungnya pribadi Nabi Muhammad saw. Itulah yang dikesankan oleh
penempatan ayat diatas, setelah ketentauan yang lalu dan sebelum pernyataan
tentang siksa yang menanti merka yang menyakiti Nabi. Sungguh kita tidak dapat
membayangkan betapa tinggi kedudukan Nabi dan betapa cintanya Allah kepada
beliau.
Ayat
dan perintah Allah ini sungguh unik, tidak ada satu perintah pun yang
diperintahkan Allah-yang sebelum memerintahkannya- Yang Maha Kuasa itu
menyampaikan bahwa Dia pun melakukan, bahkan telah melakukan apa yang
diperintahkannya itu. Tidak ada hal yang demikian kecuali shalawat kepada Nabi
saw.
Ayat ini bagai menyatakan:
Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa bahkan menghimpun segala
sifat terpuji, dan demikia juga Malaikat-malaikatNya yang merupakan makhluk
suci, sangat cinta dan kagum kepada Nabi saw. Karena itu, Allah dan MalaikatNya
terus menerus bershalawat untuk Nabi yakni Allah melimpahkan Rahmat dan aneka
anugerah . Adapun Malaikat memohon kiranya dipertinggi lagi derajat dan
dicurahkan maghfirah atas Nabi Muhammad saw
(Makhluk Allah yang termulia dan paling banyak jasanya kepada umat
manusia dalam memperkenalkan Allah dan jalan lurus menuju kebahagiaa). Karena
itu, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua untuknya, yakni
mohon dicurahkan lagi shalawat kepadanya, dan hindarkan beliau dari segala aib
dan kekurangan serta sebut-sebutlah keistimewaan dan jasa beliau dan
bersalamlah yakni ucapan penghormatan kepada beliau yang sempurna dan
penuhi tuntunan beliau.
Hal ini pun menggambarkan bahwa
penghuni langit pmengagungkan Nabi Muhammad saw, maka kaum muslimin penghuni
bumi harus mengagungkan Nabi pula.
Kita dituntut bukan saja untuk tidak
merendahkan Nabi saw, tapi juga mengagungkannya (mengakui dan memberi
penghormatan pada para tokoh sejarah peradaban hidup). Dengan kita memberi
hak-hak manusia agung, maka kita akan bersedia memberi hak-hak orang yang
kecil.
Perintah Allah ini juga diamalkan
oleh Nabi saw sendiri, walau berkaitan dengan dirinya sendiri. Dikatakan oleh
Putrinya, bahwa Rasul saw apabila masuk masjid, beliau bershalawat dan bersalam
sambil berucap “Ya Allah, ampuni dosaku dan bukakan bagiku pintu-pintu
anugerahmu” (HR.Tirmidzi).
Kata صلوا
diambil dari kata صلاة yang bermakna
“Menyebut-nyebut yang baik serta ucapan-ucapan yang mengundang kebajikan” dan
Doa dan curahan rahmat adalah sebagian maknanya. Sedangkan kata سلموا terambil dari kata سلام artinya “Luput dari kekurangan, kerusakan, dan aib”. Kata selamat
disini diucapkan misalnya bila terjadi hal yang tidak diinginkan, namun tidak
mengakibatkan kekurangan atau kecelakaan. Ini termasuk Salam atau Damai Pasif.
Adapun Damai yang Positif, ketika Andaa mengucapkan selamat kepada seseorang
yang sukses dalam usahanya, maka ucapan itu adala cermin dari keselamatan positif.
Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya
meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Kaa’ab bin ‘Ujrah berkata: Ketika turunnya
ayat ini, kami bertanya kepada Nabi: Wahai Rasul , kami telah mengetahui salam,
maka bagaimana shalawat untukmu? Beliau bersabda: Allahumma shalli ala
Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad, Kama shallaita ‘ala Ali Ibrahim wa ‘ala Ali
Ibrahim. Innaka hamidum majid. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali
Muhammad, kama baarakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim, Innaka hamiidum
majid.
Mengenai hukum melaksanakan perintah
ini, Nabi saw bersabda: “Siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat,
malaikat terus menerus bershalawat kepadanya selama malaikat itu bershalaway
kepadaku. Maka silahkan memilih persedikit atau perbanyaklah” (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah dari Amr bin Rabi’ah).
Adapun para Ulama berbeda pendapat
tentang “hukum bershalawat’. Ada yang berpendapat wajib setiap disebut beliau,
ada juga yang menganggap sunnah. Imam syafi’i berpendapat bahwa shalawat wajib
setiap melakukan shalat, saat bertasyahud. Jadi, tidak sah shalat, jika tidak
mengucapkan shalawat. Bahkan menurut sebagian ulama, walaupun lupa.
Minimal shalawat adalah Allahumma
shalli ‘ala Muhammad, tetapi sebaiknya minimal yang bernilai baik adalah
seperti yang diajarkan Nabi saw yakni bershalawat untuk keluarga beliau. Ada
juga riwayat yang menyatakan bahwa beliau bersabda pada para
sahabatnya:”Tahukah kalian siapa yang kikir? Mereka menjawab: Allah dan
RasulNya lebuh mengetahui. Beliau menjawab: Dia yang bershalawat kepadaku tanpa
menyebut keluargaku”.
Menurut Ibnu Asyur, dia tidak
menemukan referensi yang menyatakan bahwa para sahabat selalu bershalawat
setiap mendengar nama Nabi disebut, tidak juga menulisnya ketika menulis nama
beliau. Mereka hanya bershalawat bila mereka teringat salah satu hal yang
berkaitan dengan beliau. Namun katanya, Penulisan nama Nabi pada mukaddimah
buku-buku dikenal pada masa Harun ar-Rasyid. Ini ditulis oleh Ibnu al-Atsir
dalam bukunya al-Kamil tahun 181H, juga oleh al-Qadli ‘Iyadl dalam
bukunya asy-Syifa. Tidak dapat disangkal bahwa sejak abad 4 H, nama Nabi
Muhammad selalu diikiutu shalawat dalam
buku-buku Tafsir dan Hadits. Bahwasaanya yang menetapkan tradisi ini adalah
Ulama Hadits.
An-Nawawi menganjurkan menulis kata Azza
wa Jalla atau Ta’ala atau Subhaanahu wa Ta’ala setelah
menulis lafadz Allah.dan juga Shalallah ‘alaihi wa salllam setelah
menulis nama Nabi. Ia menganjurkan aagar tidak disingkat atau sekadar
melambangkannya, bahkan kalaupun dia menyalin dari satu buku yang tidak
mencantumkannya, maka sebaiknya penyalin mencantumkannya. “Seseorang hendaknya
jangan bosan mengulanginya, siapa yang mengabaikan hal ini, maka Ia telah luput
meraih kebajikan yang banyak”. An-Nawawi dalam muqaddikah Shahih Muslim
sebagaiman yang dikutip Ibnu Asyur.
Quraish Shihab pernah mendapat surat
dan pertanyaan, yang intinya mengadu bahwa sebagian non muslim sering berkata:
Bagaimana seorang muslim akan memperoleh keselamatan, kalau Nabinya saja masih
minta didoakan selamat melalui shalat dan dengan bershalawat?
Jawabnya, pertama sekali Allah telah
menegaskan kepada beliau pada Qs.adl-Dluha:5 “Dan pasti kelak Kami akan
menganugerahkan kepadamu (aneka anugerah) sampai kau benar-benar puas”. Jadi
keliru sekali yang menduga bahwa Nabi Muhammad belum memperoleh jaminan keselamatan.
Dan Allah Maha Kaya dan anugerahNya tidak terbatas, sedang Nabi walaupun Ia
Nabi dan utusanNya, tetap saja Ia adalah makhluk Allah yang membutuhkan rahmat.
Kendatipun, beliau telah mendapat jaminan syurga dan aneka anugrah, itu semua
hanya sekelumit dari apa yang dimiliki Allah. Dengan demikian wajar, jika
beliau tetap memohon dan kita pun diperintah oleh Allah agar berdo’a untuk
beliau.
Keselamatan bukan hanya terhindar
dari bahaya, tapi juga ingin memperoleh anugrah (keselamatan aktif). Kita mengucapkan
selamat pada yang memperoleh kedudukan, lulus ujian,dan lainnya.
Berdoa, memohon keselamatan dan
kesejahteraan kepada Nabi saw bertujuan sebagai pengajaran agar kita pandai
berterima kasih kepada yang telah berjasa mengantarkan kita menuju ke pintu
gerbang kebahagiaan dunia dan akhirat. Sekaligus, merupakan peringatan bahwa
jangan terlalu mengandalkan amal kebajikan yang dilakukan, karena jangankan
manusia biasa, manusia teragung pun yakni Nabi Muhammad saw tidak masuk syurga
karena amal beliau, tapi “semata-mata karena rahmat Allah”, begitu sabda
beliau. Seseorang yang merasa puas dan yakin akan memperoleh keselamatan, tidak
akan meningkatkan upayanya, bahkan boleh jadi lengah, padahal Allah menjanjikan
akan menambah nikmat dan anugrahnya terhadap siapapun yang telah diberinya
anugrah. (baca Qs. Ibrahim:7)[9].
[1]
Salah satu tugas UAS mata kuliah Tafsir Kontemporer
[2]Mahasiswi
Tafsir Hadits Semester 6
[3] Muhammad
Husein ath-Thabaththaba’i, al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, Juz 16, cet 1, Beirut:
Mu-assasu al-A’la lil Mathbuu’at, 1997, hlm. 350
[4]http://regularisasiperbedaan.blogspot.com/2011/10/per Senin, 24 Oktober 2011, diunduh pada hari selasa 21 mei
2013, pkl.11:49
[5]http://www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/07/08/7907/27-penyimpangan-esq-ary-ginanjar-versi-nahimunkar.com/Kamis, 08 Jul 2010, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013,
pkl.11:49
[6]Makalah thullab di Islamic Center Bekasihttp://www.ziddu.com/download/19041390/shalawatbadar.rar.html, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013,
pkl.11:49
[7]Kang Jalal ,Visi Media, Politik, Dan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Kedua
April 1998 (Hal: 433-460), dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei, diunduh pada hari selasa 21 mei 2013,
pkl.11:49.
[8]
Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqiidati wa asy-Syari’ati
wa al-Manhaj, al-Ishdar 3, cet 2, Damaskus: Dari Fikr al-Mu’aashir, 1412 H,
hlm.22
[9] M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol.11,
cet IV, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hlm.313-318
Tidak ada komentar:
Posting Komentar