Minggu, 10 Januari 2016

I’JAZ AL-QUR’AN
(Kemukjizatan al-Qur’an dari Segi al-Qur’an Lebih Unggul dari Bibel)
Oleh: Laila Mumtahanah[1]

      Al Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia, banyak yang menganggap bahwasanya Al-Qur’an tidak otentik lagi seperti halnya kitab samawi lainnya yang telah banyak campur tangan manusia didalamnya yang disamakan seperti Bibel. Namun, anggapan ini bisa dikatakan benar tidaknya dengan cara membahas tentang I’jaz Qur’an yang merupakan bagian dari Ilmu Tafsir yang mempelajari tentang segala sesuatu yang menyangkut kemu’jizatan Al-Qur’an. Dengan begitu akan semakin jelas mengenai keotentikan al-Qur’an.
Adapun keotentikan al-Qur’an dapat dilihat dari tiga unsur dalam al-Qur’an:
  1. Lafazh dibagi 2 yaitu Qira’at (bacaan) dan Rasm (tulisan)
  2. Makna (Tafsir)
Dari ketiga unsur ini, tidak ada satu kitab pun yang punya keotentikan seperti al-Qur’an. Al-Qur’an tidak berubah-ubah dalam peradaban zaman, tidak ada penyisipan satu huruf pun. Dengan begitu, al Qur’an yang kita kenal merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini kebenaranya bebas dari tahrif, yaitu perubahan berupa penambahan dan pengurangan sejak diturunkanya pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW, tidak seperti kitab samawi lainya seperti taurat dan injil. Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.Al-Hijr (15):9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al Quran), dan kamilah yang akan menjaganya”.
 Berkenaan dengan “mukjizat al-Qur’an yang berkaitan dengan otentisitasnya” dikatakan didalam Kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an bahwa Mukjizat adalah sesuatu yang diluar kebiasaan dan terjadi ketika ada tantangan dan tak satu pun bisa mengelak atau membantah keberadaannya baik secara hissiyah (nyata, kejadian yang dapat ditangkap panca indra) atau ‘aqly (rasio, fenomena yang tak terduga, didapat setelah melalui proses perenungan dan pemikiran).
Kebanyakan mukjizat Kaum Bani Israil itu secara hissiyah, dikhususkan untuk negeri mereka saja dan sedikit yang melihat dan menyaksikannya. Sedangkan mukjizat umat sekarang adalah secara ‘aqliyah, karena kelebihan kecerdasan dan sempurnanya pemahaman mereka. Syari’at umat sekarang ini telah ditetapkan pada lembaran-lembaran al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad sampai hari kiamat kelak.
Ada juga yang mengatakan bahwa I’jaazul Qur’an maknanya yaitu disaksikan dengan al-Bashirah (akal, kepandaian, hujjah, saksi), disaksikan terus menerus sampai hari kiamat, sesuatu hal yang diluar kebiasaan dalam uslub dan balaghahnya, memberi kabar ghaib, tidak melewatkan suatu masa dari masa-masa setelah Nabi Muhammad saw wafat, tampaknya (terbukti) hal-hal ghaib yang diberitakan yang menunjukan kebenaran dakwahnya. Berbeda dengan mukjizat para Nabi sebelumnya yang musnah sesuai dengan musnahnya masa kenabian para Nabi tertentu[2].
Begitu juga yang dikatakan Gus AA dan  Ziyad at-Tubani, bahwa Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Muhammad saw berupa al-Qur’an. Berbeda dengan mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi lainnya yang berakhir ketika mereka telah tiada. Lain halnya dengan al-Qur’an yang dijaga keasliannya oleh Allah sampai akhir zaman, secara otomatis nilai kemukjizatannya juga berlaku sepanjang masa[3].
Berbeda dengan Bibel, bila kita memakai logika, orang dapat menunjukkan banyak kontradiksi dan kekeliruan dalam Bibel. Adanya sumber-sumber yang berlainan telah menyebabkan adanya versi yang berlainan mengenai sesuatu hikayat. Tetapi di samping itu kita dapatkan bermacam-macam perubahan, bermacam-macam tambahan. Pada mulanya tambahan itu sebagai tafsiran, tetapi kemudian naskah asli dan tafsiran disalin lagi dan semua isinya dianggap asli. Semua ini sudah diketahui oleh ahli-ahli kritik teks, dan mereka kemukakan secara jujur[4].
Untuk lebih jelasnya untuk membuktikan keotentikan al-Qur’an, maka akan dipaparkan point-pointnya sebagai berikut:
A.  Qira’at (bacaan)
Bentuk Qira’at (bacaan) yang dilakukan Nabi dalam mengajarkan al-Qur’an adalah dengan “metode sanad”. Dimana Al-Quran diturunkan secara beransur-ansur dalam lingkungan 23 tahun kerasulan Muhammad SAW telah mengalami satu proses yang tersendiri berbandingan dengan penurunan Kitab-Kitab yang terdahulu. Jika Kitab selain al-Quran diturunkan sekaligus telah membentuk system pembelajaran yang tersendiri hasil bimbingan para Rasul maka al-Quran yang diturunkan berangsur-angsur juga mempunyai sistem pembelajaran yang tersendiri hasil didikan Rasulullah SAW.
Dikatakan oleh Jamaluddin dan Khairuddin dalam suatu tulisannya Keaslian Sanad Pengajian al-Qur’an[5] bahwa Pengajian al-Quran telah melalui proses yang panjang semenjak bermulanya penurunan wahyu yang pertama ke atas Rasulullah SAW. Proses penyampaian tersebut daripada Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW dan seterusnya dari Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat dan generasi seterusnya berjaya membentuk satu sistem yang paling unggul dari sudut penerimaan dan penyampaian ilmu. Sistem pembelajaran al-Quran dalam bentuk sanad terus diwarisi oleh generasi umat Islam dan terpelihara walaupun menerima perubahan dari system yang muncul dari pelbagai sumber. Perkembangan pengajaran dan pembelajaran al-Quran
sekaligus mengembangkan rangkaian sanad mengikut pusat pengajian tertentu.
Konsep Sanad
Sanad berasal dari perkataan “سَنَدَ ” yang bermaksud bertelekan, berteleku, bersandar dan menyandarkan[6]. Istilah sanad dalam ilmu hadis dikenali sebagai rangkaian perawi-perawi hadis yang meriwayat dari seseorang kepada seseorang sehingga sampai kepada Rasulullah SAW[7]. Muhammad Musthafa Bilal dalam Kitab al-Zhuhur al-Nadiyyah fi Syarh Matan al-Syatibiyah fi al-Qira’at al-Sab‘ mengatakan, “Manakala dalam ilmu qira’at yang merangkumi satu disiplin ilmu yang mengetahui cara-cara sebutan kalimah-kalimah al-Quran serta cara-cara melakukan sebutan sama ada sesuatu yang disepakati atau diperselisihkan oleh para imam qira’at, maka kembalikanlah setiap bentuk bacaan kepada penyampainya”[8].
Sanad diistilahkan sebagai rangkaian muqri’ yaitu dari muqri’ sehingga sampai kepada Rasulullah SAW. Dalam pengertian yang lebih khusus sanad atau isnad bermaksud sandaran, sijil tauliah atau kesaksian dalam penerimaan sesuatu qira’at. Hal ini seperti yang dikatakan Muhammad bin Muhamad, al-Jazari dalam Kitab Tayyibah al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr.[9] Perkaitan di antara pengertian sanad dari sudut bahasa dan istilah jelas kerana sanad bertindak sebagai asas yang menjadi pegangan dalam disiplin keilmuan tersebut.
Al-Quran yang diturunkan dengan sab‘ah al-ahruf  kepada Muhammad SAW dengan pengantaraan Jibril AS. Kemudian Rasulullah SAW mengajar para sahabat dan para sahabat mengajar generasi selepas mereka. Keadaan sedemikian berterusan sehingga qira’at tersebut sampai kepada sepuluh orang imam dan para perawi mereka dengan jalan yang mutawatir [10]dan sanad yang sahih. Seterusnya sepuluh imam tersebut serta perawi mereka menyebarkannya di seluruh pelusok dunia serta tersiar nama baik mereka serta dipercayai keadilan mereka oleh
seluruh muslimin kerana mereka dikenali sebagai benar, amanah, baik bacaan dan teliti. Bacaan tersebut telah diterima oleh satu generasi selepas satu generasi. Dengan cara ini berkembangkan konsep sanad dengan cemerlang dalam ruang pengajaran ilmu qira’at al-Quran.[11]
Sanad merupakan keistimewaan yang eksklusif umat Islam dan sunnah yang matang serta kukuh sifatnya. ‘Abd Allah bin Mubarak menegaskan bahawa “al-isnad (sanad-sanad) itu adalah sebahagian daripada agama, kalau ia tiada, nescaya sesiapa sahaja akan berkata apa sahaja yang dia suka.” “Sanad itu senjata mukmin. Jika seseorang tidak memiliki senjata, maka dengan apakah dia ingin berperang”.[12]
Teori di atas dijadikan asas dalam penyampaian dan penerimaan ilmu agama selepas munculnya golongan yang mencoba membawa idea-idea atau pemikiran luar ke dalam ajaran Islam serta bermulanya pengaruh falsafah yang meletakkan akal sebagai puncak ilmu pengetahuan. Teori tersebut juga meletakkan satu tanggung jawab keilmuan kepada setiap penyampai dan penerima ilmu agama agar merujuk sumber ilmu agama sebelum boleh disampaikan atau diterima kebenarannya.
Istilah sanad berkaitan dengan ijazah yang merupakan suatu pemberian dari seorang guru kepada muridnya yang berkelayakan sebagai akuan (taqrir) bagi mengesahkan atau mengakui bahawa muridnya itu telah selesai dalam pengajiannya dan berjaya serta layak dianugerahkan ijazah. Ijazah tersebut sama ada berbentuk kata-kata akuan dari guru atau berbentuk sanad salasilah guru yang bersambung pada setiap individu tanpa terputus di mana-mana serta sampai kepada Rasulullah SAW secara bertulis.
Prosedur yang digunakan dalam penganugerahan sanad sangat teliti dan ketat. Keadaan ini dipengaruhi oleh rasa keimanan dan tanggung jawab seorang rijal atau muqri’ terhadap ilmu yang disampaikan kepada rijal atau qari. Setiap muqri’ perlu memikirkan keadaan kognatif dan afektif setiap qari. Kemampuan kognatif merujuk kepada kemampuannya menguasai qira’at dengan lengkap beserta semua khilaf di dalamnya. Dalam kata lain, setiap muqri’ berpuas hati bahwa bacaan qari adalah sama atau sampai ke tahap sebagaimana bacaan yang diajarkan oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad SAW. Dari sudut afektif pula, setiap qari telah dibimbing akhlak dan peribadinya oleh muqri’ dan mengaplikasikannya dalam kehidupan seharian.
Keperibadian seorang qari telah boleh terlepas dari pandangan gurunya sesuai dengan peranannya yang disebut sebagai hamlatul al-Qur’an.[13] Terdapat hanya satu cara untuk memperolehi sanad. Sanad hanya diperolehi melalui pengajian secara bertalaqqi iaitu memperolehi bacaan secara berhadapaan dengan seorang guru dan mengambil bacaan secara langsung dari mulut guru dengan melihat pergerakan mulut atau bibir guru dan guru tersebut juga memperolehi bacaan daripada gurunya dengan cara yang sedemikian. Keadaan ini berterusnya sehingga ke peringkat para sahabat dan seterusnya Rasulullah SAW. Disiplin ini telah diwarisi dari generasi awal sebagaimana disebut oleh ‘Urwah bin al-Zubayr : “sesungguhnya qira’at al-Quran merupakan satu sunnah dari sunnahsunah Rasulullah SAW maka hendaklah kamu semua membacanya sebagaimana dibacakan qira’at tersebut kepada kamu.[14].
Di zaman Nabi Muhammad, terdapat 3 unsur yang tolong-menolong memelihara Al Quran yang telah diturunkan itu:
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran.
2. Naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis atas perintah Nabi Muhammad.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Pada hal itu, maka Jibril mengadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaidah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadist dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal dan Ahmad (hal 1).[15]

B.  Rasm (tulisan)
Menurut Muhammad Nasir dalam skripsinya Mukjizat Rasm al-Qur’an[16] bahwa Menengok sekilas tentang sejarah tulisan arab, ada sejarah yang sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir Kuno, Babilonia, dan Cina yang seluk beluk tulisannya bermula ribuan tahun sebelumnya. Bangsa Arab adalah pendatang yang benar-benar terlambat. Walaupun huruf Arab merupakan huruf kedua setelah huruf latin dalam luas pemakaiannya sampai dewasa ini, namun huruf Arab sebenarnya baru berkembang jauh dikemudian hari[17].
Keterlambatan perkembangan tulisan Arab ini dikarekan bangsa Arab pada umumnya adalah pengembara dan tidak begitu memperhatikan bahasa tulis. Mereka bertumpu seluas-luasnya pada bahasa lisan untuk penyampaian berita dan komunikasinya. Pada masa sebelum Islam, khususnya abad ke-6 merupakan zaman kesusasteraan yang penuh semangat bagi bangsa Arab, puisilah barang kali yang paling akrab dihati dan satu-satunya pengungkapan sasta. Akan tetapi mereka bertumpu pada bahasa lisan untuk mengabadikan sajak-sajak mereka.
Dalam tradisi Arab, hanya tujuh sajak pujian yang bernama Mu’allaqat yang dikatakan benar-benar karya  yang agung, diikat dalam tulisan, dan dihormati karena ditulis dengan huruf emas, serta digantung di dinding Ka’bah Mekkah. Bahkan sesudah lahirnya Islam pada abad ke-7, al-Qur’an disiarkan pertama kali dengan bahasa lisan tidak dengan tulisan. Sekalipun demikian, Bangsa Arab menyadari perlunya menyalin bahasa kedalam tulisan, maka mereka segera mengungguli bangsa lain dengan seni menulis indah atau kaligrafinya[18].
Sejarah awal tulisan juga menurut Ibnu Asytah daalm kitabnya al-Mashahif  bahwa, “Orang yang pertama menciptakan tulisan adalah Nabi Adam as. 300 tahun sebelum beliau wafat. beliau menulis dalam tanah liat, kemudian beliau mencetaknya, lalu disebarkan dan Nabi Ibrahim as mendapat tulisan arabnya”[19].
Membahas tentang keantentikan al-Qur’an, ada beberapa hal yang mesti digaris bawahi, Pertama, seperti yang telah diterangkan diatas bahwa pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah tulisan (rasm/ writing) tetapi merupakan bacaan (Qira’at/ recication) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya, maupun  pengajaran, penyampaian dan periwayatannya dilakukan dengan lisan. Dari dulu yang dimaksud “membaca al-Qur’an” adalah “membaca dalam ingatan (qara-a ‘an Zhahri qalbin)”. Adapun tulisan hanya sebagai penunjang semata, sebab ayat-ayat al-Qur’an dicatat pada tulang, pelepah kurma, kayu, batu pipih, dan lain sebagainya berdasarkan hafalan dan ingatan dari qari/muqri.
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Hingga wafat Rasul hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi sahabat Nabi, kecuali tulisan kuttab al-wahy (para penulis wahyu) yang secaa khusus diperintah oleh Rasul untuk menuliskan al-Qur’an dihadapan Rasul dan petunjuk Nabi. Para sahabat berbeda-beda satu sama lain dalam menulis al-Qur’an, karena tulisan itu untuk keperluan masing-masing dan banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar di pinggir atau disela-sela ayat yang mereka tulis. Baru kemudian dikodifikasi atas inisiatif Abu Bakar karena banyak para penghafal al-Qur’an yang wafat di Perang Yamamah, sehingga terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi saw.
Ketiga, Tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis “gundul” tanpa tanda baca sedikitpun, sistem vocalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun, rasm utsmani tidak menimbulkan masalah, karena kaum muslimpun belajar hal ini langsung dari para sahabat dengan cara menghafal bukan tulisan[20].

C.  Makna (Tafsir)
Bentuk “makna“ ini menggunakan metode “Tafsir bil Ma’tsur” yaitu menafsirkan dengan mengembalikan kepada siapa yang mengatakannya/ asli yang menafsirkannya. Contohnya: TU mengumumkan agar semua mahasiswanya harus kumpul si kampus Staipi pkl. 8 pagi, dan jika masih ragu, maka harus ditanyakan pada sumber yang mengumumkannya (TU) atau orang yang dekat dengan sumber tersebut.
Sebuah lafazh, maknanya tergantung siapa yang mengungkapkan lafazh mengenai pemahaman isi al-Qur’an tersebut. Makanya, metode pertama yang digunakan adalah “Tafsir bil ma’tsur/ Tafsir Qur’an bil Qur’an”. Jika tidak diketemukan maka caripada orang yang dekat dan diberi mandat untuk menyampaikan wahyu yaitu Rasul, jadi metodenya “Tafsir Qur’an bil hadits”. Jika masih tidak ada cari pada murid-murid Rasul yaitu para sahabat, metodenya “Tafsir Qur’an bi ash-Shahabah” dan seterusnya hingga tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama tafsir. Inilah bagaimana Allah memelihara “aturan baku metode menafsirkan” dari penyimpangan.



[1] Salah satu  Mahasiswi Tafsir Hadits STAI Persis Garut Semester 8
[2] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa Tartiib al-Itqaan fi “ulumil Qur’an, (Riyadl: Darul Hijrah, 1992), cet.1 hlm.49-51
[3] Gus AA dan  Ziyad at-Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an,( Jakarta: Indomedia Group, 2006), cet.1, hlm.15-16
[4] Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science, terjemahan oleh:  M.Rasjidi, Bibel. Qur’an, dan Sains Modern, (Jakarta: 1978), hlm.40
[5] Khairuddin bin Said dan Jamaluddin bin Adam, Keaslian Sanad Pengajian al-Qur’an: Kelangsungan Tradisi Ilmu al-Qur’an, pdf, hlm.1-5
[6] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Ed.2, cet.7, hlm.666
[7] Nur al-Din ‘Itir, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asirah, 1997), hlm. 33.
[8] Lihat Muhammad  Mustafa Bilal, al-Zhuhur al-Nadiyyah fi Syarh Matan al-Syatibiyah fi al-Qira’at al-Sab‘ , (Kaherah: Dar al-Fadilah, 2007) hlm.10.
[9] Lihat Muhammad bin Muhamad, al-Jazari, Tayyibah al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr, tahkik: Muhammad bin ‘Abd Allah, (Kaherah:Maktabah al-Sunnah, 2002), hlm. 5.
[10] Syarat menjadikan bacaan al-Quran sebagai mutawatir berlaku apabila bacaan tersebut dihafal keseluruhannya oleh seseorang dengan jumlah yang ramai penghafalnya bahkan jika sebahagian besar sesuatu yang diriwayatkan semua bagiannya oleh sejumlah khalayak maka akan diketahui secara mudah dan terhasillah sifat mutawatir.  Lihat ‘Abd al-Rahman bin Isma‘il, Abu Syamah al-Maqdisi, al-Mursyid al-Wajiz ila ‘Ulum tata‘allaq bi al-Kitab al-‘Aziz, tahkik: Ibrahim Syams al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 2003)hlm. 53.
[11] Lihat Muhammad Salim Muhaysin , al-Hadi, (Beirut: Dar al-Jayl, t.t.), hlm. 24.
[12] Lihat ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr, al-Suyuti (t.t.), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, j.1, hlm. 94.
[13] Lihat Muhammad bin al-Husayn, al-Ajurri (2003), Akhlaq Ahl al-Qur’an, tahkik: Muhammad ‘Amr bin “Abd al-Latif, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 77-79.
[14] Lihat ‘Uthman bin Sa‘id, al-Dani (2005), Jami‘ fi al-Qira’at al-Sab‘ al-Masyhurah, tahkik: Muhammad Saduq al-Jazai’ri, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, ms. 40.
[16] Muhammad Nasir, Mukjizat Rasm al-Qur’an (Telaah pada Mushaf Utsmani), Skripsi Sarjana Ushuluddin (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.18-20
[17] Lihat Yasin Hamid Safadi, Kaligafri Islam, (Jakarta: Panja Simpati, 1986), hlm.7
[18] Ibid
[19] Jalaluddin Abdurrahman Abu Bakar al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), cet.1, hlm.555-556
[20] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Luxenberg, dalam Jurnal al-Insan, vol.1, no.1, th.2005, hlm.14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar