I’JAZ AL-QUR’AN
(Kemukjizatan
al-Qur’an dari Segi al-Qur’an Lebih Unggul dari Bibel)
Oleh:
Laila Mumtahanah[1]
Al Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk
seluruh umat manusia, banyak yang menganggap bahwasanya Al-Qur’an tidak otentik
lagi seperti halnya kitab samawi lainnya yang telah banyak campur tangan
manusia didalamnya yang disamakan seperti Bibel. Namun,
anggapan ini bisa dikatakan benar tidaknya dengan cara membahas tentang I’jaz
Qur’an yang merupakan
bagian dari Ilmu Tafsir yang mempelajari tentang segala sesuatu yang menyangkut
kemu’jizatan Al-Qur’an. Dengan begitu akan semakin
jelas mengenai keotentikan al-Qur’an.
Adapun
keotentikan al-Qur’an dapat dilihat dari tiga unsur dalam al-Qur’an:
- Lafazh dibagi 2 yaitu Qira’at (bacaan) dan Rasm (tulisan)
- Makna (Tafsir)
Dari ketiga unsur ini, tidak ada satu kitab pun yang punya
keotentikan seperti al-Qur’an. Al-Qur’an tidak berubah-ubah dalam peradaban
zaman, tidak ada penyisipan satu huruf pun. Dengan begitu, al Qur’an yang kita kenal
merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini kebenaranya bebas dari tahrif,
yaitu perubahan berupa penambahan dan pengurangan sejak diturunkanya pertama
kali kepada Nabi Muhammad SAW, tidak seperti kitab samawi lainya seperti taurat
dan injil. Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita
sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama
kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang
sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al
Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
QS.Al-Hijr (15):9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al
Quran), dan kamilah yang akan menjaganya”.
Berkenaan dengan “mukjizat
al-Qur’an yang berkaitan dengan otentisitasnya” dikatakan didalam Kitab al-Itqan
fi ‘Ulumil Qur’an bahwa Mukjizat adalah sesuatu yang diluar
kebiasaan dan terjadi ketika ada tantangan dan tak satu pun bisa mengelak atau
membantah keberadaannya baik secara hissiyah (nyata, kejadian yang dapat
ditangkap panca indra) atau ‘aqly (rasio, fenomena yang tak terduga, didapat
setelah melalui proses perenungan dan pemikiran).
Kebanyakan mukjizat Kaum Bani Israil itu secara hissiyah,
dikhususkan untuk negeri mereka saja dan sedikit yang melihat dan menyaksikannya.
Sedangkan mukjizat umat sekarang adalah secara ‘aqliyah, karena
kelebihan kecerdasan dan sempurnanya pemahaman mereka. Syari’at umat sekarang
ini telah ditetapkan pada lembaran-lembaran al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad
sampai hari kiamat kelak.
Ada juga yang mengatakan bahwa I’jaazul Qur’an maknanya yaitu
disaksikan dengan al-Bashirah (akal, kepandaian, hujjah, saksi),
disaksikan terus menerus sampai hari kiamat, sesuatu hal yang diluar kebiasaan
dalam uslub dan balaghahnya, memberi kabar ghaib, tidak melewatkan suatu masa
dari masa-masa setelah Nabi Muhammad saw wafat, tampaknya (terbukti) hal-hal
ghaib yang diberitakan yang menunjukan kebenaran dakwahnya. Berbeda dengan
mukjizat para Nabi sebelumnya yang musnah sesuai dengan musnahnya masa kenabian
para Nabi tertentu[2].
Begitu juga yang dikatakan Gus AA dan Ziyad at-Tubani, bahwa Allah memberikan
mukjizat kepada Nabi Muhammad saw berupa al-Qur’an. Berbeda dengan mukjizat
yang diberikan Allah kepada para nabi lainnya yang berakhir ketika mereka telah
tiada. Lain halnya dengan al-Qur’an yang dijaga keasliannya oleh Allah sampai
akhir zaman, secara otomatis nilai kemukjizatannya juga berlaku sepanjang masa[3].
Berbeda
dengan Bibel, bila kita memakai logika, orang dapat menunjukkan banyak kontradiksi
dan kekeliruan dalam Bibel. Adanya sumber-sumber
yang berlainan telah menyebabkan adanya versi yang berlainan mengenai sesuatu
hikayat. Tetapi di samping itu kita dapatkan bermacam-macam perubahan,
bermacam-macam tambahan. Pada mulanya tambahan itu sebagai tafsiran, tetapi
kemudian naskah asli dan tafsiran disalin lagi dan semua isinya dianggap asli.
Semua ini sudah diketahui oleh ahli-ahli kritik teks, dan mereka kemukakan
secara jujur[4].
Untuk lebih jelasnya untuk membuktikan keotentikan al-Qur’an, maka
akan dipaparkan point-pointnya sebagai berikut:
A. Qira’at (bacaan)
Bentuk Qira’at (bacaan) yang dilakukan Nabi dalam mengajarkan
al-Qur’an adalah dengan “metode sanad”. Dimana Al-Quran
diturunkan secara beransur-ansur dalam lingkungan 23 tahun kerasulan Muhammad SAW telah mengalami satu proses yang tersendiri berbandingan
dengan penurunan Kitab-Kitab yang terdahulu.
Jika Kitab selain al-Quran diturunkan sekaligus telah membentuk system pembelajaran yang tersendiri hasil bimbingan para Rasul maka
al-Quran yang diturunkan berangsur-angsur
juga mempunyai sistem pembelajaran yang tersendiri hasil didikan Rasulullah SAW.
Dikatakan
oleh Jamaluddin dan Khairuddin dalam suatu tulisannya Keaslian Sanad
Pengajian al-Qur’an[5]
bahwa Pengajian al-Quran telah melalui proses yang panjang semenjak
bermulanya penurunan wahyu yang
pertama ke atas Rasulullah SAW. Proses penyampaian tersebut daripada Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW dan seterusnya dari Nabi Muhammad
SAW kepada para sahabat dan
generasi seterusnya berjaya membentuk satu sistem yang paling unggul dari sudut
penerimaan dan penyampaian ilmu. Sistem pembelajaran al-Quran dalam bentuk
sanad terus diwarisi oleh generasi umat
Islam dan terpelihara walaupun menerima perubahan dari system yang muncul dari pelbagai sumber. Perkembangan pengajaran
dan pembelajaran al-Quran
sekaligus
mengembangkan rangkaian sanad mengikut pusat pengajian tertentu.
Konsep
Sanad
Sanad berasal dari perkataan “سَنَدَ ” yang bermaksud bertelekan,
berteleku, bersandar dan menyandarkan[6]. Istilah
sanad dalam ilmu hadis dikenali sebagai rangkaian perawi-perawi hadis yang
meriwayat dari seseorang kepada seseorang sehingga sampai kepada Rasulullah SAW[7]. Muhammad
Musthafa Bilal dalam Kitab al-Zhuhur al-Nadiyyah fi Syarh Matan
al-Syatibiyah fi al-Qira’at al-Sab‘ mengatakan, “Manakala dalam
ilmu qira’at yang merangkumi satu disiplin ilmu yang mengetahui cara-cara
sebutan kalimah-kalimah al-Quran serta cara-cara melakukan sebutan sama ada
sesuatu yang disepakati atau diperselisihkan oleh para imam qira’at, maka
kembalikanlah setiap bentuk bacaan kepada penyampainya”[8].
Sanad diistilahkan sebagai rangkaian muqri’ yaitu
dari muqri’ sehingga sampai kepada Rasulullah SAW. Dalam pengertian yang
lebih khusus sanad atau isnad bermaksud sandaran, sijil tauliah atau
kesaksian dalam penerimaan sesuatu qira’at. Hal
ini seperti yang dikatakan Muhammad bin Muhamad, al-Jazari dalam Kitab Tayyibah
al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr.[9] Perkaitan
di antara pengertian sanad dari sudut bahasa dan istilah jelas kerana sanad
bertindak sebagai asas yang menjadi pegangan dalam disiplin keilmuan tersebut.
Al-Quran yang diturunkan dengan sab‘ah al-ahruf kepada Muhammad SAW dengan pengantaraan
Jibril AS. Kemudian Rasulullah SAW mengajar para sahabat dan para sahabat mengajar
generasi selepas mereka. Keadaan sedemikian berterusan sehingga qira’at tersebut sampai
kepada sepuluh orang imam dan para perawi mereka dengan jalan yang mutawatir [10]dan sanad yang sahih. Seterusnya sepuluh imam tersebut serta
perawi mereka menyebarkannya di seluruh pelusok
dunia serta tersiar nama baik mereka serta dipercayai keadilan mereka oleh
seluruh muslimin kerana mereka dikenali sebagai benar,
amanah, baik bacaan dan teliti. Bacaan tersebut telah diterima oleh satu
generasi selepas satu generasi. Dengan cara ini berkembangkan konsep sanad
dengan cemerlang dalam ruang pengajaran ilmu qira’at al-Quran.[11]
Sanad merupakan keistimewaan yang eksklusif umat Islam dan
sunnah yang matang serta kukuh sifatnya. ‘Abd Allah bin Mubarak menegaskan
bahawa “al-isnad (sanad-sanad) itu adalah sebahagian daripada agama,
kalau ia tiada, nescaya sesiapa sahaja akan berkata apa sahaja yang dia
suka.” “Sanad itu senjata mukmin. Jika seseorang tidak memiliki senjata,
maka dengan apakah dia ingin berperang”.[12]
Teori di atas dijadikan asas dalam penyampaian dan penerimaan
ilmu agama selepas munculnya golongan yang mencoba membawa idea-idea atau pemikiran
luar ke dalam ajaran Islam serta bermulanya pengaruh falsafah yang meletakkan
akal sebagai puncak ilmu pengetahuan. Teori tersebut juga meletakkan satu
tanggung jawab keilmuan kepada setiap penyampai dan penerima ilmu agama agar
merujuk sumber ilmu agama sebelum boleh disampaikan atau diterima kebenarannya.
Istilah sanad berkaitan dengan ijazah yang merupakan suatu
pemberian dari seorang guru kepada muridnya yang berkelayakan sebagai akuan (taqrir)
bagi mengesahkan atau mengakui bahawa muridnya itu telah selesai dalam pengajiannya
dan berjaya serta layak dianugerahkan ijazah. Ijazah tersebut sama ada
berbentuk kata-kata akuan dari guru atau berbentuk sanad salasilah guru yang
bersambung pada setiap individu tanpa terputus di mana-mana serta sampai kepada
Rasulullah SAW secara bertulis.
Prosedur yang digunakan dalam penganugerahan sanad sangat
teliti dan ketat. Keadaan ini dipengaruhi oleh rasa keimanan dan tanggung jawab
seorang rijal atau muqri’ terhadap ilmu yang disampaikan kepada rijal
atau qari. Setiap muqri’ perlu memikirkan keadaan kognatif
dan afektif setiap qari. Kemampuan kognatif merujuk kepada kemampuannya
menguasai qira’at dengan lengkap beserta semua khilaf di dalamnya. Dalam
kata lain, setiap muqri’ berpuas hati bahwa bacaan qari adalah
sama atau sampai ke tahap sebagaimana bacaan yang diajarkan oleh Jibril a.s.
kepada Nabi Muhammad SAW. Dari sudut afektif pula, setiap qari telah
dibimbing akhlak dan peribadinya oleh muqri’
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan seharian.
Keperibadian seorang qari telah boleh terlepas dari pandangan
gurunya sesuai dengan peranannya yang disebut sebagai hamlatul al-Qur’an.[13]
Terdapat hanya satu cara untuk memperolehi sanad. Sanad hanya diperolehi
melalui pengajian secara bertalaqqi iaitu memperolehi bacaan secara berhadapaan
dengan seorang guru dan mengambil bacaan secara langsung dari mulut guru dengan
melihat pergerakan mulut atau bibir guru dan guru tersebut juga memperolehi
bacaan daripada gurunya dengan cara yang sedemikian. Keadaan ini berterusnya
sehingga ke peringkat para sahabat dan seterusnya Rasulullah SAW. Disiplin ini
telah diwarisi dari generasi awal sebagaimana disebut oleh ‘Urwah bin al-Zubayr
: “sesungguhnya qira’at al-Quran merupakan satu sunnah dari sunnahsunah Rasulullah
SAW maka hendaklah kamu semua membacanya sebagaimana dibacakan qira’at
tersebut kepada kamu.”[14].
Di
zaman Nabi Muhammad, terdapat 3 unsur yang tolong-menolong memelihara Al Quran
yang telah diturunkan itu:
1.
Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran.
2.
Naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis atas perintah Nabi Muhammad.
3.
Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk
mereka masing-masing.
Pada
hal itu, maka Jibril mengadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan
bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah
diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril
dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu
terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi
Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk
menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika
Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal
oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan
surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri
oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi
Muhammad berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato baginda, dalam
pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri telah
mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan
terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaidah yang
amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan
keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Al-Quran
pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan
Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama
: al Jam’u fis Sudur
Para
sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima
wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur
(budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka
diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat
masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua
: al Jam’u fis Suthur
Yaitu
wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun
sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun
waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu
kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh
mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis
hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW
bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa
yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ”
(Hadist dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal dan Ahmad (hal 1).[15]
B. Rasm (tulisan)
Menurut Muhammad Nasir dalam skripsinya Mukjizat Rasm al-Qur’an[16]
bahwa Menengok sekilas tentang sejarah tulisan arab, ada sejarah yang sangat
berbeda dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir Kuno, Babilonia, dan Cina yang
seluk beluk tulisannya bermula ribuan tahun sebelumnya. Bangsa Arab adalah
pendatang yang benar-benar terlambat. Walaupun huruf Arab merupakan huruf kedua
setelah huruf latin dalam luas pemakaiannya sampai dewasa ini, namun huruf Arab
sebenarnya baru berkembang jauh dikemudian hari[17].
Keterlambatan perkembangan tulisan Arab ini dikarekan bangsa Arab
pada umumnya adalah pengembara dan tidak begitu memperhatikan bahasa tulis.
Mereka bertumpu seluas-luasnya pada bahasa lisan untuk penyampaian berita dan
komunikasinya. Pada masa sebelum Islam, khususnya abad ke-6 merupakan zaman
kesusasteraan yang penuh semangat bagi bangsa Arab, puisilah barang kali yang
paling akrab dihati dan satu-satunya pengungkapan sasta. Akan tetapi mereka
bertumpu pada bahasa lisan untuk mengabadikan sajak-sajak mereka.
Dalam tradisi Arab, hanya tujuh sajak pujian yang bernama Mu’allaqat
yang dikatakan benar-benar karya yang
agung, diikat dalam tulisan, dan dihormati karena ditulis dengan huruf emas,
serta digantung di dinding Ka’bah Mekkah. Bahkan sesudah lahirnya Islam pada
abad ke-7, al-Qur’an disiarkan pertama kali dengan bahasa lisan tidak dengan
tulisan. Sekalipun demikian, Bangsa Arab menyadari perlunya menyalin bahasa
kedalam tulisan, maka mereka segera mengungguli bangsa lain dengan seni menulis
indah atau kaligrafinya[18].
Sejarah awal tulisan juga menurut Ibnu Asytah daalm kitabnya al-Mashahif
bahwa, “Orang yang pertama
menciptakan tulisan adalah Nabi Adam as. 300 tahun sebelum beliau wafat. beliau
menulis dalam tanah liat, kemudian beliau mencetaknya, lalu disebarkan dan Nabi
Ibrahim as mendapat tulisan arabnya”[19].
Membahas tentang keantentikan al-Qur’an, ada beberapa hal yang mesti
digaris bawahi, Pertama, seperti yang telah diterangkan diatas bahwa pada
prinsipnya al-Qur’an bukanlah tulisan (rasm/ writing) tetapi merupakan
bacaan (Qira’at/ recication) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses
turunnya, maupun pengajaran, penyampaian
dan periwayatannya dilakukan dengan lisan. Dari dulu yang dimaksud “membaca
al-Qur’an” adalah “membaca dalam ingatan (qara-a ‘an Zhahri qalbin)”.
Adapun tulisan hanya sebagai penunjang semata, sebab ayat-ayat al-Qur’an
dicatat pada tulang, pelepah kurma, kayu, batu pipih, dan lain sebagainya
berdasarkan hafalan dan ingatan dari qari/muqri.
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima
dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan
berbagai medium tulisan. Hingga wafat Rasul hampir seluruh catatan-catatan awal
tersebut milik pribadi sahabat Nabi, kecuali tulisan kuttab al-wahy (para
penulis wahyu) yang secaa khusus diperintah oleh Rasul untuk menuliskan
al-Qur’an dihadapan Rasul dan petunjuk Nabi. Para sahabat berbeda-beda satu
sama lain dalam menulis al-Qur’an, karena tulisan itu untuk keperluan
masing-masing dan banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan
atau komentar di pinggir atau disela-sela ayat yang mereka tulis. Baru kemudian
dikodifikasi atas inisiatif Abu Bakar karena banyak para penghafal al-Qur’an
yang wafat di Perang Yamamah, sehingga terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan
periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi saw.
Ketiga, Tulisan Arab atau khat mengalami
perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal islam, al-Qur’an ditulis
“gundul” tanpa tanda baca sedikitpun, sistem vocalisasi baru diperkenalkan
kemudian. Namun, rasm utsmani tidak menimbulkan masalah, karena kaum
muslimpun belajar hal ini langsung dari para sahabat dengan cara menghafal
bukan tulisan[20].
C. Makna (Tafsir)
Bentuk “makna“ ini menggunakan metode “Tafsir bil Ma’tsur” yaitu
menafsirkan dengan mengembalikan kepada siapa yang mengatakannya/ asli yang
menafsirkannya. Contohnya: TU mengumumkan agar semua mahasiswanya harus kumpul
si kampus Staipi pkl. 8 pagi, dan jika masih ragu, maka harus ditanyakan pada
sumber yang mengumumkannya (TU) atau orang yang dekat dengan sumber tersebut.
Sebuah lafazh, maknanya tergantung siapa yang mengungkapkan lafazh
mengenai pemahaman isi al-Qur’an tersebut. Makanya, metode pertama yang
digunakan adalah “Tafsir bil ma’tsur/ Tafsir Qur’an bil Qur’an”. Jika tidak
diketemukan maka caripada orang yang dekat dan diberi mandat untuk menyampaikan
wahyu yaitu Rasul, jadi metodenya “Tafsir Qur’an bil hadits”. Jika masih tidak
ada cari pada murid-murid Rasul yaitu para sahabat, metodenya “Tafsir Qur’an bi
ash-Shahabah” dan seterusnya hingga tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama
tafsir. Inilah bagaimana Allah memelihara “aturan baku metode menafsirkan” dari
penyimpangan.
[1]
Salah satu Mahasiswi Tafsir Hadits STAI
Persis Garut Semester 8
[2]
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tahdzib wa Tartiib al-Itqaan fi “ulumil
Qur’an, (Riyadl: Darul Hijrah, 1992), cet.1 hlm.49-51
[3]
Gus AA dan Ziyad at-Tubani, Membaca dan
Memahami Konstruksi al-Qur’an,( Jakarta: Indomedia Group, 2006), cet.1, hlm.15-16
[4]
Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science, terjemahan oleh: M.Rasjidi, Bibel. Qur’an, dan Sains Modern,
(Jakarta: 1978), hlm.40
[5]
Khairuddin bin Said dan Jamaluddin bin Adam, Keaslian Sanad Pengajian
al-Qur’an: Kelangsungan Tradisi Ilmu al-Qur’an, pdf, hlm.1-5
[6]
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), Ed.2, cet.7, hlm.666
[7] Nur al-Din ‘Itir, Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asirah, 1997), hlm.
33.
[8] Lihat Muhammad Mustafa Bilal, al-Zhuhur al-Nadiyyah fi
Syarh Matan al-Syatibiyah fi al-Qira’at al-Sab‘ , (Kaherah: Dar al-Fadilah,
2007) hlm.10.
[9] Lihat Muhammad bin Muhamad, al-Jazari, Tayyibah
al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr, tahkik: Muhammad bin ‘Abd Allah, (Kaherah:Maktabah
al-Sunnah, 2002), hlm. 5.
[10] Syarat menjadikan bacaan al-Quran
sebagai mutawatir berlaku apabila bacaan tersebut dihafal keseluruhannya
oleh seseorang dengan jumlah yang ramai penghafalnya bahkan jika sebahagian
besar sesuatu yang diriwayatkan semua bagiannya oleh sejumlah khalayak maka
akan diketahui secara mudah dan terhasillah sifat mutawatir. Lihat ‘Abd al-Rahman bin Isma‘il, Abu Syamah
al-Maqdisi, al-Mursyid al-Wajiz ila ‘Ulum tata‘allaq bi al-Kitab al-‘Aziz,
tahkik: Ibrahim Syams al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 2003)hlm. 53.
[12] Lihat ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr, al-Suyuti
(t.t.), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, j.1, hlm. 94.
[13] Lihat Muhammad bin al-Husayn, al-Ajurri
(2003), Akhlaq Ahl al-Qur’an, tahkik: Muhammad ‘Amr bin “Abd al-Latif,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 77-79.
[14] Lihat ‘Uthman bin Sa‘id, al-Dani (2005), Jami‘
fi al-Qira’at al-Sab‘ al-Masyhurah, tahkik: Muhammad Saduq al-Jazai’ri,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, ms. 40.
[16] Muhammad Nasir, Mukjizat Rasm al-Qur’an (Telaah pada Mushaf
Utsmani), Skripsi Sarjana Ushuluddin (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2008), hlm.18-20
[17] Lihat Yasin Hamid Safadi, Kaligafri Islam, (Jakarta: Panja
Simpati, 1986), hlm.7
[18] Ibid
[19] Jalaluddin Abdurrahman Abu Bakar al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2004), cet.1, hlm.555-556
[20] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Luxenberg, dalam Jurnal
al-Insan, vol.1, no.1, th.2005, hlm.14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar